Chereads / AL HIKAM / Chapter 63 - Tanggapilah Ihsan Allah Dengan Sebaik-Baiknya

Chapter 63 - Tanggapilah Ihsan Allah Dengan Sebaik-Baiknya

Apabila kita telah tidak menggantungkan diri kita dalam arti yang luas kepada makhluk alam semesta, barulah kita menjadi hamba Allah di mana hubungan kita adalah semata-mata kepada Allah s.w.t., dan putuslah hubungan kita pada hakikatnya kepada selain Allah. Meskipun telah demikian kita dengan Allah s.w.t. kalaupun ada ujian-ujianNya terhadap kita, sifatnya adalah semata-mata menambah kemantapan keimanan, meninggikan martabat taqwa, mempertinggi nilai kesabaran dan terus memperdekat hubungan kita kepada Allah s.w.t. Tetapi berlainan dengan manusia yang masih belum putus asa dari selain Allah, artinya masih mengikatkan dirinya dengan makhluk-makhluk Allah dan bukan mengikatkan dirinya dengan Allah s.w.t.

Orang itu adalah tamak kepada selain Allah, menggantungkan dirinya dengan loba kepada alam yang dijadikan Allah, seolah-olah makhluk dan alam itu lebih berkuasa dari Allah. Padahal dia sendiri dengan semua makhluk yang ada ini, adalah ciptaan Allah, orang-orang yang begini perlu diberikan peringatan oleh Allah dan memang demikianlah sunnah Allah, supaya ia sadar, siapa dia dan siapa Allah. Untuk itulah, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menerangkan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-63 sebagai berikut:

"Barangsiapa yang tidak berhadap atas (kepada) Allah dengan sebab kelunakan-kelunakan kurnia Allah, niseaya kepada orang itu diikatkan rantai-rantai ujian Allah."

Kalam Hikmah ini tafsirannya sebagai berikut:

I. Diri manusia itu terbagi atas dua:

[a] Diri manusia yang mulia. Diri manusia yang begini selalu menghadap Allah s.w.t. tidak melupakanNya dan selalu ingat kepadaNya. Ingat dengan lidah, ingat dengan hati, ingat dengan perasaan seluruh anggota tubuh. Dia ingat kepada Allah, karena kebaikan Allah yang Maha Lembut terhadap hambaNya. Dia ingat kepada Allah karena nikmatNya dan karena kurnia yang dilimpahkanNya dengan beruntun-runtun. Dia merasakan, bahwa kebaikan nikmat dan kurnia Allah s.w.t. itu tak mungkin dibalasnya dengan baik dan sempurna. Demikianlah perasaan diri manusia yang mulia, diri manusia yang bebas merdeka.

[b] Diri manusia yang rendah, hina dan tidak bernilai. Perasaannya jauh berbeda dari diri manusia yang mulia, seperti yang telah kita terakan di atas. Ingatannya dikendalikan oleh nafsunya, maka berjalanlah fikirannya selalu pada bagaimana kesejahteraan hidup dan kehidupannya. 

Yang difikirkan olehnya hanyalah semata-mata segala sesuatu yang bersifat dunia. Seolah-olah ia lupa, bahwa ia sewaktu-waktu pasti akan meninggalkan segala-galanya. Meninggalkan segala yang dicintainya, isterinya, anak-anaknya, harta benda, pangkat dan kedudukan, dan lain-lainnya.

Manusia-manusia yang memang tidak ada fikirannya terhadap akhirat atau dengan kata lain terhadap ajaran-ajaran agamanya. Seolah-olah di atasnya tidak ada yang berkuasa dan yang menentukan segala gerak alam mayapada ini. Manusia-manusia yang seperti ini, akhirnya tak dapat menghindarkan diri dari penyesalan-penyesalan.

Sebab pada akhirnya ia terbentur pada ketentuan-ketentuan Tuhan yang Maha Agung, Allah s.w.t. Apakah ia dapat menjamin bahwa hartanya akan terus selamat, tidak hilang atau tidak rugi. Apakah ia dapat memastikan bahwa kehendak, maksud dan cita-citanya pasti berhasil. Apakah dia dapat menetapkan dengan keyakinan yang sesungguhnya, bahwa roda dunia itu tidak berputar. Apakah ia dapat menghambat kematian dirinya dan hidup selama-lamanya. Apakah .... dan bagaimanakah akhir hayat dengan perkembangan dunia ini selanjutnya? Diri manusia yang mulia akan dapat menjawabnya dengan baik sehingga sejalan dengan amanat-amanat keimanannya, tetapi diri manusia yang celaka, yang sombong, dan tidak tahu diri, akan terbentur di sana-sini dengan tonggak keagungan Allah s.w.t. dengan qadha' dan qadarNya, yang penuh dengan serba aneka rahasia.

Diri manusia yang tidak mulia seperti di atas, perlu ditindak oleh Allah s.w.t. Apakah ia disakitkan olehNya, dijatuhkan ia dari kedudukannya, dibangkrutkan dagangannya, dimatikan anak bininya dan lain sebagainya. 

Maksudnya tidak lain supaya ia sadar, supaya ia insaf dan supaya ia kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian, kembali taat ia kepada Allah s.w.t. sebagai kepastian Tuhan, bahwa semua makhlukNya baik sadar atau tidak sadar harus tunduk kepada kekuasaan yang Maha Besar, yaitu Allah s.w.t. dalam Al-Quran Al-Karim, sebagai berikut:

"Dan apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya tunduk kepada Tuhan, mau atau tidak mau, demikian juga bayang-bayang mereka di waktu pagi dan petang." (Ar-Ra'd: 15)

Teranglah bagi kita dengan ayat ini, bahwa manusia pada khususnya, bagaimanapun sombongnya terhadap Tuhan dengan ajaran-ajaranNya, namun sewaktu-waktu, secara paksa dia harus mengakui kelemahannya dan kekurangannya sebagai makhluk terhadap Allah selaku Khalik.

II. Berkata alim besar Tasawuf Abu Madyan r.a.: "Sesuatu ketetapan Allah ialah menyeru hamba-hambaNya untuk berta'abbud kepadaNya dengan jalan melapangkan rezeki-rezekinya, dan mengekalkan kesehatannya, (dan lain-lain) agar hamba-hamba itu kembali kepadaNya dengan nikmat-nikmat tersebut. Maka jika tidak menanggapi mereka atas seman dan panggilan Allah itu, maka Allah akan mencuba mereka, baik ketika senang dan juga ketika susah, mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar. Karena maksud Allah ialah kembalinya hamba tersebut kepadaNya, baik secara taat atau secara paksa."

Perkataan Abu Madyan ini sebagai dalil atas penjelasan di atas, yakni terhadap diri yang mulia dan diri yang celaka. Karena itu maka kita lihat dalam sejarah hamba-hamba Allah yang saleh perasaan-perasaan yang halus yang dimiliki oleh mereka sehingga perasaan mereka yang memimpin diri mereka untuk lebih taat dan untuk lebih bersyukur kepada Allah s.w.t.

Kita lihat suatu contoh dalam sejarah antara Abu Bakar As-Siddiq r.a. dengan Nabi Muhammad s.a.w., tatkala Nabi dengan Abu Bakar pada suatu malam di atas bukit; di depan pintu gua Hira', 

Abu Bakar berkata kepada Nabi: "Wahai Rasulullah! Biarkan aku masuk lebih dulu sebelum anda, karena jika ada ular atau sesuatu yang menyakiti sayalah yang menghadapinya sebelum anda. 

Nabi menjawab: "Masuklah!" 

Maka Abu Bakar pun masuk, yang kemudian beliau menyentuh dinding-dinding gua itu dengan dua tangannya. 

Maka setiap kali beliau melihat ada lubang, beliau robek kainnya untuk menutup lubang itu. Demikianlah seluruh lubang yang ada dalam gua itu beliau tutup semuanya dengan sobekan-sobekan kainnya.

Rupanya masih terdapat satu lubang yang harus ditutup, tetapi tidak ada penutupnya, maka beliau letakkan tumitnya untuk penutup satu lubang pada dinding gua tersebut. Setelah selesai semua maka masuklah Rasulullah s.a.w. dan jadilah Nabi dengan Abu Bakar dalam gua itu sampai pagi. Pada pagi harinya Nabi berkata kepada Abu Bakar, setelah Nabi melihat bahwa kain Abu Bakar sudah tidak ada lagi, Nabi bertanya, "Ke manakah kainmu, hai Abu Bakar?"

Maka Abu Bakar pun menceritakan kenyataan perbuatannya. Kemudian Nabi berdoa sambil mengangkat tangannya: "Wahai Tuhan! Engkau jadikanlah Abu Bakar besertaku pada darajatku pada hari kiamat." Setelah doa itu, maka turunlah wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang menyatakan, bahwa Allah s.w.t. sungguh telah memperkenankan doa Nya.

Lihatlah bagaimana mulianya diri Abu Bakar, sehingga dalam satu riwayat dikatakan, sampai binatang kala menggigit tumit Abu Bakar dari lubang gua, tetapi beliau tidak merasa sakit, demi asyik dan terarah fikiran dan perasaan beliau untuk keselamatan Rasulullah s.a.w. yang berguna untuk kepentingan agama. 

Lihat pulalah kepada salah satu bicara Saiyidina Umar bin Al-Khaththab r.a.:

"Jikalau mati seekor kambing atas pantai Sungai Furat dengan sia-sia, sesungguhnya aku mengira bah wa Allah s.w.t. akan bertanya kepadaku pada hari kiamat, tentang kambing yang mati itu."

Demikianlah Umar bin Al-Khaththab r.a. demi taqwanya kepada Allah s.w.t. sehingga tanggung jawabnya sebagai kepala negara dan sebagai pemimpin ummat, beliau perhatikan sampai pada kematian seekor binatang yang matinya tanpa diketahui sebabnya.

Hal keadaan ini, disebabkan juga karena beliau takut kepada Allah kalau-kalau dengan masalah itu Allah Ta'ala mengambil tindakan.

Ya, meskipun tindakan itu mempakan cobaan dan ujian dari Allah untuk jangan semena-mena lagi setelah itu.

Kesimpulan:

Diri-diri yang mulia karena kebaikan Allah, karena nikmatNya dan karena kurniaNya, maka diri-diri itu menanggapi semua ihsan Allah dengan berhadap kepadaNya, tidak lalai dan tidak melupakanNya. Tetapi diri-diri yang celaka, dia tidak kembali kepada Allah, kecuali dipaksa dan dikerasi. Dipaksa dengan bala dan cobaan, dikerasi dengan ujian dan imtihan. Maksud Tuhan pada hakikatnya tidak lain selain supaya diri yang enggan dan sombong itu kembali kepadaNya, meskipun dengan jalan paksa atau dengan jalan kekerasan.

Dan ini pada hakikatnya masih ada perhatian Allah kepada hambaNya, yaitu untuk keselamatan hambaNya yang abadi dengan adanya keselamatan pada akhir hayatnya.

Mudah-mudahan kita semua dijadikan oleh Allah sebagai hamba-hambaNya yang termasuk dalam diri-diri yang mulia, yang senantiasa tidak lupa kepadaNya.

Amin, ya Rabbal-'alamin .... !