Chereads / Flawed Destiny / Chapter 1 - I. Lahirnya Bencana

Flawed Destiny

🇮🇩Panechana
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - I. Lahirnya Bencana

Pagi yang indah dan menyejukkan, sinar mentari menembus setiap cela yang ada. Suara tangisan khas dari sesosok bayi mungil terus terdengar di pagi hari ini. Di dalam sebuah rumah, seorang ibu tengah menggendong bayinya yang belum berhenti menangis sedari tadi.

Senyuman serta tangisan bahagia tak luntur dari wajah sang ibu, tangan yang lembut dan hangat mengelus lembut kepala kecil bayi nya yang baru saja lahir beberapa menit sebelumnya.

"Kau adalah sebuah anugerah yang di turunkan untukku." Air mata bahagia dari Sang ibu terus berjatuhan seiring mengelus kepala bayi perempuan-nya.

Derap langkah terdengar hingga ke telinga wanita yang sedang menenangkan putrinya itu. Bunyi hentakan kaki berhenti di ambang pintu, dengan pelan wanita yang telah menjadi Ibu itu menoleh ke arah pintu kamarnya. Melihat seorang pria dengan raut khawatir pada wajahnya tertangkap di indera penglihatan wanita itu, senyuman pun terpancar dengan air mata yang membasahi pipi merahnya.

"Enery." Pria itu memanggil nama wanita-nya.

Sang Ibu atau wanita dengan bayi mungil di gendongan-nya pun membalas dengan senyuman manis.

"Akhirnya kamu datang, Ebion."

Pria dengan nama Ebion itu adalah suami sahnya. Melihat keringat yang bercucuran di kening suami nya, membuat ia tersenyum tipis. Ebion berjalan mendekat ke ranjang istrinya dengan bayi mereka yang berada di gendongan Sang istri. Tersenyum hangat diliputi kebahagiaan yang terpancar dari wajah tampannya.

"Apa anak kita terlahir normal?" Ebion mengulurkan tangannya.

Kebingungan menatap telapak tangan suaminya, Enery bertanya:

"Mengapa kau mengulurkan tanganmu?" Bingungnya.

Ebion mendecak sebal, "Aku ingin menggendongnya, Nery."

Melihat wajah gemas pada Ebion membuatnya tertawa geli.

"Hati-hati saat kau menggendongnya, dia masih sangat rapuh." Enery memberikan tubuh putrinya ke atas telapak tangan suaminya.

Ebion dengan senangnya merengkuh tubuh mungil putrinya.

"Apa dia seorang perempuan?" Tanya Ebion melihat betapa manis wajah anaknya.

Enery mengangguk, "Kau benar, dia seorang perempuan." Balasnya.

Memerhatikan wajah putrinya dengan seksama, betapa bahagianya sampai dia tak bisa mengungkapkan rasa bahagia itu. Enery yang melihat wajah bahagia Ebion hanya bisa terkekeh geli karena bisa dilihat kalau pria itu juga menahan kegemasan-nya. Memerhatikan lebih teliti, Ebion bisa merasakan keanehan ketika melihat sebuah tanda lahir di daerah selangka putrinya.

Ebion mengernyitkan alisnya, merasa aneh.

"Ada apa, Bion?" Tanya Enery merasakan perubahan aura dari Ebion.

Ebion melirik dingin Enery. "Apa dia keturunan rubah?" Tanya Ebion dengan nada mengintimidasi.

Enery terkesiap, dia tak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Ebion. Dengan gugup, jari-jarinya meraih lengan Ebion yang masih menatapnya datar.

"Kenapa kau tak menjawabnya, Nery?" Ebion merasakan tangan Enery yang bergetar.

Enery mengangkat wajahnya, menatap samar-samar rupa suaminya. "Dia bukan salah satu dari kita, Bion."

Ebion terdiam, menatapi wajah istrinya yang terlihat ketakutan. Membuang napasnya pasrah, entah kenapa dia tak bisa marah kepada istrinya.

"Maafkan aku." Lirih Enery.

Dengan perlahan, tangan-nya menaruh lembut tubuh putrinya di atas pangkuan Enery. Diikuti insting keibuan-nya, ia menggendong kembali tubuh mungil bayi perempuan-nya.

"Apa kau yakin bisa menjaga seorang Chimera, Nery?" Tanya Ebion dengan raut serius.

Enery yang tahu bahwa pertanyaan Ebion mengarah ke kesehatannya, membuat dirinya membuktikan dengan menggigit kuat ibu jarinya hingga mengeluarkan aroma darah segar yang wangi dan juga kuat.

"APA YANG KAU LAKUKAN, ENERY?" Pekik Ebion terlonjak kaget melihat aksi istrinya.

Ingin menarik tangan istrinya, namun Enery menghempaskan tangan Ebion dan menarik kembali tangannya untuk memasukkan jarinya ke dalam bibir kecil putrinya. Enery tak gila, dia hanya ingin membantu putrinya.

"Harus ku lakukan, sayang." Gumam Enery.

Ebion mematung di tempatnya saat ia melihat betapa rakus putrinya ketika menghisap setiap tetes darah yang keluar dari ibu jari istrinya.

"Aku harus memberikannya sedikit energi dengan darahku, walaupun dia seorang Chimera sekalipun.." Enery menatap nanar wajah putrinya.

"Dia tetaplah putri kita, Bion." Lanjut Enery menatap wajah pucat putrinya yang perlahan memerah.

Melalui ketajaman matanya, Ebion dapat melihat ekor dan juga telinga kecil yang perlahan muncul dari tubuh mungil putrinya. Begitu pula Enery melihat hal yang sama, namun tidak merasa ketakutan, justru Enery tersenyum bahagia sampai ekor dan telinga rubahnya ikut muncul.

"Lihatlah wajah putri kita, Bion. Sangat lucu bukan?" Enery melihat jari-jari kecil putrinya menggenggam ibu jarinya.

Ebion yang merasa jauh lebih tenang pun ikut duduk di samping Enery yang masih fokus memberikan makan putri mereka. Ebion ikut melihat putrinya yang sedang menghisap ibu jari Enery, putrinya pasti sangat kehausan.

"Apa kau sudah tau bahwa dia seorang Chimera dari awal?" Tanya Ebion memerhatikan wajah rupawan istrinya.

Enery tersenyum tipis, "Aku mengetahuinya setelah dia lahir karena aku juga melihat tanda lahir di tulang selangkanya." Jelasnya.

Ebion menatap melas istrinya, "Apa kau akan kuat menjaga seorang Chimera? Aku takut jika terjadi apa-apa padamu." Ia gelisah dengan keadaan istrinya.

Enery tahu bahwa Ebion hanya ingin menenangkannya. Dia juga tahu bahwa dia memang memiliki tubuh yang cukup lemah untuk seorang siluman rubah.

"Apa kau takut jika terjadi apa-apa padaku?" Enery menjahili suaminya.

"Apa aku terlihat baik-baik saja sekarang?" Ia berucap seakan-akan dirinya bersedih.

Enery menatap datar wajah Ebion. "Wajahmu sangat menjijikkan, Bion."

Ebion hanya bisa tersenyum, dia tak bisa melampiaskan kekesalannya pada istri cantiknya. Dengan seksama mereka melihat putrinya yang sudah tertidur lelap setelah menyantap darah Enery.

Menaruh tubuh putrinya ke dalam ranjang, sekaligus menidurkan putrinya yang sudah terlelap. Enery bisa melihat wajah tenang putrinya, ia benar-benar diserbu kebahagiaan.

"Aku beruntung bisa melahirkannya, Bion." Enery menutup alas kain keranjang bayinya.

Enery menoleh ke suaminya yang sedang duduk menghadapnya.

"Dia memang berbeda, namun dia tak berbeda di mataku." Tutur Enery.

Ebion menghela pelan, "Apa kau siap menerima setiap konsekuensi yang ada?" Tanyanya serius.

"Aku harus siap tak siap kan?" Ujarnya diakhir senyuman getir.

"Aku tak bisa menahanmu, aku hanya bisa menjagamu." Ebion meraih tangan istrinya.

Dengan jelas wanita itu melihat kekhawatiran yang terpancar dari manik mata suaminya, mengecup kening suaminya, setidaknya dia bisa menenangkan perasaan pria itu. Ebion mendekap pinggang istrinya, menduselkan wajahnya diperut Enery. Ebion benar-benar tak ingin kehilangan istri tercintanya.

"Aku akan melindungi kalian dari Lataza, apa pun caranya." Lirih Ebion.

Enery dapat merasakan hembusan napas suaminya pada perutnya. Tertawa geli setelah mendengar suara Ebion menunjukkan keseriusannya. Telapak tangan Enery mengelus lembut punggung gagah suaminya.

"Terima kasih sudah ada untukku, Ebion." Enery tersenyum haru.

𝘙𝘢𝘴𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘪𝘳 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩. Batin Ebion setelah mendengar ucapan istrinya.

Ebion mendorong pelan tubuh istrinya, menatapi wajah manis Enery yang membuat wanita itu kebingungan. Raba-rabaan yang mengitari jari-jarinya membuat ia langsung paham dan mengaitkan jari-jarinya dengan jari-jari panjang Ebion.

Tersenyum manis pada Ebion, memberikan reaksi pada daun telinga pria itu yang memerah setelah melihat senyuman istrinya.

"Kau tau kan jika putri kita akan dibunuh jika Lataza mengetahuinya?" Enery menatap nanar keranjang putri kecilnya.

"Aku mengetahui semuanya, Nery. Lataza tidak akan mengizinkan kamu untuk melahirkan putri kita." Ebion mengeratkan genggamannya pada jari-jari Enery.

Enery tersenyum getir, "Sangat kejam ya dunia ini, bahkan kelahirannya saja harus dirahasiakan."

Wajahnya menoleh, menatap paras tampan Ebion. "Mereka tak akan mengambil putriku kan, Bion?" Tatapnya nanar.

Ebion tak dapat menatap manik oranye istrinya. "Berharap saja kabar ini tidak sampai didengar Lataza."

Tak terlintas di pikirannya kalau Lataza tak mengetahui tentang kelahiran putrinya, karena penguasa dunianya yang bernama Lataza akan mengetahuinya cepat ataupun lambat. Ebion paham sekali dengan sifat serta sikap Lataza yang tak menyukai keberadaan Chimera, bahkan Chimera-chimera sebelumnya sudah dibantai bersih oleh Lataza dan gigolonya.

"Bagaimana jika mengirimkan putri kita ke bumi manusia?" Usul Enery.

Ebion terdiam menatap Enery bingung. "Jangan, di bumi tidak aman untuk seorang Chimera dan juga putri kita masih harus dalam pengawasan ketat melihat situasi yang bisa saja suatu waktu nanti dia akan dianggap merusak perkembangan di bumi." Jelasnya menyangkal usulan istrinya.

"Lalu bagaimana kita harus menyembunyikan putri kita dari pengawasan Lataza?"

Ebion menghela kasar, "Aku akan memikirkannya setelah memanggil Terio dan juga Elata." Ebion bangkit dari tempatnya.

Enery melihat kepergian suaminya, sedikit gelisah dengan perkiraannya. Pandangan nanar mengarah ke keranjang bayi yang berbalut kain putih tersebut, betapa bahagianya di hari ini berkat kelahiran putri pertamanya.

"Kau adalah Chimera yang ditakdirkan setelah nenekmu, kau akan hidup dalam kekerasan. Tak menutup kemungkinan kalau dunia akan lebih keras kepada makhluk-makhluk siluman seperti kita, tapi aku akan menjagamu sampai kau bertumbuh besar putriku." Perlahan air mata Enery kembali menetes.