Suasana yang semakin memanas terjadi di dalam Toko yang membuat seorang wanita sudah merasa gerah menontoni kedua pria di dekatnya tidak kunjung tenang.
Seriza yang sedari tadi melihat perdebatan di depan matanya pun mulai jengah, dia mengambil ponsel dari dalam kantong celananya. Wanita itu mencari nomor seseorang dan saat nama orang yang dia cari sudah tertera di daftar kontaknya, ia langsung memencet nomor tersebut.
𝘉𝘶𝘻𝘻...
"Selamat sore, saya Seriza. Apa ini benar dengan Tuan Ebion?" Tanya Seriza setelah teleponnya tersambung.
Seriza menjauh dari kedua sejoli yang masih berdebat dengan opininya masing-masing, ia tidak ingin mereka tahu bahwa wanita itu menghubungi Ebion selaku Ayah kandung dari Lera.
"𝘠𝘢, 𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳." Terdengar balasan dari seberang telepon.
"Apa Anda adalah Ayah kandung dari Lera?" Tanya Seriza memastikan.
Seriza dapat mendengar suara barang terjatuh dari seberang telepon.
"𝘈𝘥𝘢 𝘢𝘱𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘪 𝘴𝘢𝘺𝘢?" Tanya Ebion khawatir.
Seriza menghela pelan, "Putri Anda berada di tangan Tuan Lataza sekarang."
Tak ada balasan dari Ebion, Seriza meyakini bahwa sekarang Ebion sedang menggeram kesal di sana.
"𝘈𝘱𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯?" Suara Ebion memberat.
"Anda bisa datang langsung ke alamat yang akan saya kirimkan." Ucap Seriza.
"𝘉𝘢𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩." Ebion memutuskan sambungan telepon.
Seriza menjauhkan ponselnya dari telinga dan kembali memasukkannya ke dalam kantong. Wanita itu beranjak dari tempatnya, berjalan menuju ke dua sejoli yang masih bertengkar dengan menggiring opini masing-masing, membuat Seriza selaku yang mendengarkannya tak bisa tenang karena peraduan opini dua pria dewasa itu.
"Apa kau sudah gila? Kau melawan Tuanmu sendiri." Kesal Lataza.
Tezeo tersenyum kecil, "Lalu Anda apa? Tuan keras kepala?" Ejeknya.
"Apa kau tidak diajarkan sopan santun oleh orang tuamu?" Lataza menatap kesal Tezeo.
"Orang tuaku sudah meninggal, Anda menghina mereka?" Tezeo merasa tersinggung.
Lataza tergagap, "Aku tak tau jika orang tuamu meninggal, kau duluan yang menghinaku." Lataza tak ingin kalah.
Tezeo terpelongo tak percaya, "Anda benar-benar tidak tau adab." Cercahnya.
"APA KAU BILANG?" Teriak Lataza membeludak.
Lataza mengeluarkan tongkat lewat sihirnya, namun sebelum Lataza bisa menusuk Tezeo menggunakan tongkatnya, uluran tangan terlebih dahulu menahan pergerakan tongkat Lataza dengan pedangnya.
Seriza mengeluh kesal, "Apa kalian tak bisa tenang sedikit? Kalian mengganggu ketenangannya."
Lataza dan Tezeo langsung terdiam setelah melihat satu-satunya wanita di antara mereka terlihat lebih sangar dari sebelumnya. Seriza menarik sebuah kursi yang tak jauh darinya dan menjatuhkan tubuhnya di atas kursi itu, dia benar-benar kelelahan.
"Bagaimana keadaan anak itu?" Tanya Seriza tanpa mengangkat wajahnya.
Tezeo yang memegang tubuh Lera pun langsung memerhatikan gerak-gerik Lera yang terlihat membaik.
"Keadaan dia sudah lebih membaik dibandingkan sebelumnya." Balas Tezeo.
Seriza menghela lega, "Baguslah."
Tezeo mendekati sofa panjang yang terletak diujung ruangan, dia terus memerhatikan keadaan Lera yang lebih bernyawa. Tangannya menurunkan tubuh Lera ke atas sofa empuk yang menjadi tempat gadis itu beristirahat.
"Aku menghubungi seseorang." Timpal Seriza tiba-tiba.
Tezeo dan Lataza yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing pun terhenti karena ucapan Seriza. Tezeo sudah selesai menidurkan Lera dengan posisi yang nyaman, setelah itu dia pun beranjak dari sofa dan berjalan ke tempat duduk Seriza.
"Siapa yang kau maksud?" Tanya Tezeo belum mengerti.
Seriza menegakkan tubuhnya, menatap nanar pintu Toko yang masih tertutup rapat.
"Ada apa? Kau menghubungi siapa, Seriza?" Tanya Lataza yang sudah berdiri menghadap Seriza.
Seriza berdehem, "Dia sudah datang." Ujarnya mengecilkan suaranya.
Tezeo dan Lataza yang ingin tahu langsung mengikuti arah pandang wanita itu yang menuju ke arah pintu masuk. Alis Tezeo mengerut, dia seperti melihat, ah bukan, dia benar-benar melihat bayangan hitam yang semakin mendekat ke pintu utama.
"Apa kau melihat hal yang sama?" Tanya Lataza yang masih memerhatikan pergerakan dari luar.
Tezeo mengangguk kecil, "Ya, sebuah bayangan hitam."
Seriza yang sedari tadi hanya duduk pun langsung berdiri dan menuju ke belakang tubuh tegap Lataza dengan pedangnya yang sudah siap di genggamannya. Mereka terus bersiap diri akan apa yang terjadi, namun Seriza masih bersikap santai memegangi pedangnya, berbeda dengan dua pria dewasa yang entah kenapa merasa gugup.
"Kenapa kalian berdua terlihat tegang?" Tanya Seriza melihat ketegangan dari raut wajah kedua pria di depannya.
Tezeo menoleh, "Aku hanya takut jika Lera yang menjadi sasaran."
"Kita harus menyiapkan diri jika serangan terjadi dadakan." Lataza tidak menoleh sedikit pun.
Seriza tak paham lagi dengan kedua pria itu dan tidak memberikan balasan lagi. Melihat Lataza dan Tezeo yang berwaspada, dia pun ikut menyiapkan dirinya dengan tatapannya yang masih terpaku pada pintu utama.
Bunyi pintu terbuka, dengan pelan dan tidak ada unsur kekerasan. Lataza dan Tezeo sudah siap untuk menyerang, namun saat aroma yang cukup menusuk memasukki Toko diiringi sesosok yang sedari tadi menjadi pusat kewaspadaan mulai menunjukkan dirinya.
Tezeo dengan cepat menjauhkan tangannya, menyembunyikan kembali sisik ularnya.
"Tuan?" Lirih Tezeo.
Sosok gagah itu tak lain adalah Ebion, Ayah dari Lera serta atasan Tezeo.
"Terio?" Ucap Ebion melihat kehadiran Tezeo.
Tezeo seketika membungkuk hormat, "Maafkan saya, Tuan Ebion."
Tak ada balasan dari Ebion, pria itu terfokus kepada seseorang yang berdiri cukup dekat dengan Ebion. Orang yang dimaksud adalah Lataza dan juga melihat adanya Seriza selaku sekretarisnya. Ebion tidak memakai ancang-ancang langsung merunduk, tak berani menatap mata tajam Lataza yang memang sudah terkenal sebagai ciri khasnya.
"Salam hormat, 𝘔𝘺 𝘔𝘢𝘫𝘦𝘴𝘵𝘺." Hormat Ebion.
Lataza terdiam, tak kunjung membalas, tatapan Lataza terlihat kosong mengarah ke Ebion. Seriza yang merasa aneh dengan kelakuan Tuannya pun menepuk pundak pria itu beberapa kali hingga kesadaran Lataza kembali.
"Apa Anda baik-baik saja, Yang Mulia?" Seriza memastikan kondisi Tuannya.
Lataza memijat pelipisnya, "Maafkan aku." Ia berdesis.
Seriza mengangguk paham, "Bukan masalah, Yang Mulia."
Setelah kesadarannya terkumpul, Lataza melirik Ebion yang masih bertahan diposisinya. Lataza mendekati Ebion yang tak menghindar, pria itu dapat melihat punggung lebar Ebion yang tertunduk.
"Kau bisa bangun, Tuan Ebion." Ucap Lataza.
Sesuai perintah, Ebion kembali menegapkan tubuhnya. "Maafkan saya, Yang Mulia."
Lataza menggeleng, "Seharusnya saya yang patut meminta maaf terlebih dahulu." Lataza ingin merendahkan tubuhnya.
Sebelum terjadi hal tak mengenakan, pergerakkan Lataza ditahan oleh Ebion.
"Jangan seperti ini Tuan, Anda tak bersalah." Hentinya.
Lataza sedikit melirik ke tempat Lera tertidur. "Saya hanya merasa tidak enak atas perbuatan saya."
Ebion melambaikan tangannya, menepis perkataan Lataza.
"Tidak Tuan, Tuan tidak melakukan apa pun yang salah."
Mendengar perkataan Ebion membuat rasa bersalah Lataza semakin besar.
"Biarkan saya membayar semua kerugiannya."
"Kirimkan semua total kerugiannya ke nomor saya, akan saya transfer langsung dengan jumlah yang sama." Seriza memberikan ponselnya kepada Tezeo.
Tezeo kebingungan, melihat Ebion yang sedang memberikannya sinyal telepati. Pria tersebut paham dengan arti tatapan Tuannya, ia langsung menerima ponsel Seriza dan menyimpan nomornya di dalam ponsel Seriza.
"Baiklah, apa ada lagi yang kalian butuhkan?" Tanya Ebion.
Lataza kembali berdiri tegap, "Saya akan membawa putri Anda ke mansion saya untuk ditindak lanjuti."
Lagi dan lagi, Ebion dan Tezeo dibuat tak habis pikir dengan apa yang Tuan mereka tentukan. Namun insting seorang Ayah tak pernah salah, Ebion paham dengan ucapan Lataza. Langkah Ebion mengarah ke sofa yang menjadi alas tidur putrinya.
Ebion menatapi wajah lucu putrinya yang sedang tertidur lelap.
"Kau benar-benar tidak punya sikap waspada, Rara." Gemasnya.
Ebion mengangkat tubuh mungil putrinya dan membawanya ke dalam dekapan hangatnya, membiarkan putrinya tidur di dalam gendongannya dan dia kembali ke tempat Lataza yang masih setia menunggu.
Ebion menghela berat, "Apa tak bisa jika putri saya dibiarkan saja dan hidup dengan damai?" Kekhawatiran Ebion terhadap pertumbuhan putrinya.
"Saya tak bisa membiarkan seorang Chimera terus berkeliaran di bumi manusia, saya harus mencegah jika sesuatu terjadi karena ulah Chimera." Lataza memerhatikan wajah pucat Lera.
Namun bukannya diberikan rasa hormat, sebatang kayu melayang dan mengenai belakang kepala Lataza, pelakunya tak lain adalah Seriza.
Lataza meringis, "Apa yang kau lakukan? Kau sudah tak tahu peraturan lagi ya Seriza." Kesalnya.
"Apa itu yang Anda maksud dengan peraturan? Anda saja tega memfitnah anak kecil seperti dia." Cerca Seriza.
Tak ada bantahan dari Lataza atau balasan dari mulut pria itu, dia hanya tak bisa membuka suara lagi karena yang dikatakan oleh Seriza mengenai sasaran. Lataza meratapi ubin yang sudah berantakan karena ulahnya, dia tak tahu harus bersikap seperti apa.
Ebion berdehem, "Anda bisa membawanya jika kita membuat kesepakatan, Yang Mulia."
Lataza tergugah karena mendengar tawaran dari Ebion, dia pun membalikkan badannya dan berhadapan dengan Ebion yang terlihat tegang.
"Tawaran?" Tanya Lataza meyakinkan pendengarannya.
"Ya tawaran, Anda bisa membawa putriku dengan dua syarat, Yang Mulia."
Lataza menaikkan satu alisnya, "Apa?"
"Yang pertama Anda harus menjaganya dengan baik dan yang kedua, Anda harus bisa membiarkannya hidup sesuai apa yang dia mau." Usul Ebion.
Lataza langsung mengangguk setuju, "Baiklah, aku setuju dengan tawaranmu."
Ebion menyerahkan tubuh anaknya, "Anda bisa menggendongnya."
Dengan penuh kehati-hatian, Lataza menimang tubuh mungil Lera yang terlihat sangat rapuh.
"Baiklah, saya bisa tenang jika putri saya berada di tangan yang tepat. Saya mempercayai Anda, My Majesty." Ebion menaruh tangannya di dada.
Lataza mengangguk, "Terima kasih dan maaf atas tindakanku." Balasnya.
Ebion tersenyum sebagai balasannya. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, tidak perlu terlihat dewasa karena dipaksa keadaan, Tuan Latazaaaaaa."
"Kita pergi, ikut aku Terio."
Setelah mengatakan ucapan perpisahan, Ebion dan Tezeo melangkah keluar dari Toko. Berbeda dengan Lataza yang masih terpaku di tempatnya setelah mendengar perkataan Ebion, pria dewasa itu pintar membidik dan langsung mengenai hati Lataza.
𝘉𝘦𝘯𝘢𝘳-𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘴𝘪𝘭𝘶𝘮𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘳𝘪𝘨𝘢𝘭𝘢. Batin Lataza kacau.
Lataza beralih menatap wajah Lera yang perlahan memerah, dia seperti melihat tomat yang sudah matang.
"Lalu apa yang akan Anda lakukan setelah ini, Yang Mulia?" Tanya Seriza yang berdiri di belakang Lataza.
"Kita kembali ke mansion." Ujarnya.