Atmosphere yang perlahan berubah gelap, diiringi dengan tatapan dingin yang terus mengarah ke dua pemuda yang sedang berlutut di depan pintu. Aura dingin yang terus menunsuk, perasaan mencengkam yang mencekik napas mereka.
Kedua pemuda yang sedang bertekuk lutut merasakan sesuatu menekan jantung mereka saat melihat tatapan Lataza yang sudah berubah atau berotasi, sehingga mereka tidak dapat melihat tatapan Lataza yang terasa seperti tatapan kematian bagi mereka.
"Apa kalian tidak punya mulut? Jawab."
Lataza semakin mendesak dua pemuda itu dengan menambahkan kadar pada aroma yang ia keluarkan.
𝘾𝙤𝙪𝙜𝙝 𝘾𝙤𝙪𝙜𝙝!
Suara terbatuk-batuk yang datang dari samping nya, mengalihkan fokus Lataza, yang tak lain adalah Lera. Sorot mata abu-abu nya mendilik ke Lera dan langsung mendekati Lera yang masih terbaring.
Tangan lelaki itu kembali memasang selang oksigen yang tadi sempat ia lepas dari hidung Lera. Manik abu-abu Lataza dapat melihat wajah Lera yang kembali tenang, namun dia merasa seperti sudah melakukan sesuatu yang salah.
"Ada apa ini?" Suara Dokter Gederia tertangkap di pendengaran Lataza.
Lataza menolehkan wajahnya menatap wajah Gederia.
"Seriza??"
Gederia tampak terkejut, namun dengan cepat menunduk hormat di hadapan Lataza.
"Salam hormat, 𝘔𝘺 𝘓𝘰𝘳𝘥."
Jerim dan Toru bisa melihat Gederia yang langsung tunduk di hadapan Lataza, mereka tak berani mengacaukan keadaan karena keselamatan Lera adalah tujuan mereka.
"Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan?" Tanya Seriza kembali tegap.
Lataza menatap kosong tubuh Lera yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang khusus. Jari-jari Lataza mengusap lembut punggung tangan Lera yang kaku, pria itu tak ingin berhenti menatapi wajah tenang Lera, entah kenapa hanya dengan mengamati wajah gadis yang sedang tidak sadarkan diri itu bisa membuatnya tenang.
"Aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan." Balasnya.
Seriza menutup pelan kedua pintu UKS dan memberikan sihir agar orang-orang di luar tidak mengetahui keadaan di dalam. Langkah Seriza melewati Jerim dan juga Toru yang masih bertekuk lutut di lantai.
Kaki jenjang Seriza berhenti di depan Jerim dan Toru.
"Kalian berdiri." Suruhnya.
Dengan hati-hati, Jerim dan Toru bangkit dari simpuhan mereka dan bersikap seakan-akan tidak ada yang terjadi. Jerim memerhatikan pedang yang perlahan muncul di punggung indah Seriza, pria tinggi itu terpukau sekaligus kagum saat melihat betapa elegannya Seriza walau hanya dilihat dari belakang.
"Apa Anda tau jika memasuki kawasan manusia adalah ketidak-minatan Anda?" Singgung Seriza mengetahui watak Tuannya itu.
Lataza tak menggubris ucapan ajudan pribadinya itu, dia masih fokus menatapi wajah Lera, bahkan sekarang tangannya sudah bertaut dengan jari-jari lentik Lera. Seriza dapat melihat wajah datar Lataza yang sama sekali tak berubah, bahkan saat dia menggenggam tangan Lera.
"Apa Anda mulai menyukai keberadaannya?" Tanya Seriza dengan nada mengejek.
Seketika genggaman Lataza pada tangan Lera terlepas setelah mendengar ucapan wanita di sampingnya. Lataza memijat pelipisnya, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai gila karena adanya keinginan untuk lebih dekat dengan Lera.
"Apa kau sudah gila? Tak mungkin aku menyukai seorang Chimera." Timpalnya.
Seriza tersenyum miring, "Apa Anda masih ingin mengelabui perasaan Anda sendiri?"
Jari-jari Lataza mengepal, ingin sekali dia menghabisi siapa pun yang mengganggu pikirannya saat ini. Tatapan tajam mengarah ke Seriza yang terlihat sangat tenang, bahkan wanita itu tak bergerak sama sekali ketika Lataza berjalan mendekatinya.
"Aku bisa saja membunuhnya, tapi.." Lataza tak melanjutkan kata-katanya.
Seriza memiringkan kepalanya, "Tapi?"
Lataza menetralkan detak jantungnya agar dia merasa lebih tenang.
"Aku tak siap." Cicit Lataza.
Seriza terkekeh pahit, "Apa setelah semuanya hanya itu jawaban Anda? Anda terus-terusan membunuh para Chimera, sampai.." Seriza menggantungkan kalimatnya.
"Anda membunuh Kakak laki-laki saya." Lanjut Seriza dengan mata berkaca-kaca.
Lataza terdiam setelah ia mendengar ke tidakterimaan yang disuarakan oleh Seriza. Memang banyak Chimera yang sudah dibunuh oleh Lataza, salah satunya adalah Kakak laki-laki Seriza.
Seriza berbalik dan menatap nanar pintu masuk. "Jika Anda tak sanggup membunuhnya, biarkan saya yang menggantikan Anda."
Seriza melangkah keluar, beranjak keluar dengan mendobrak kasar pintu UKS dan menutupnya kembali dengan kuat hingga Lera yang sebelumnya tidak sadarkan diri langsung terbangun karena hentakan yang cukup kuat membuatnya terlonjak kaget.
"Ini gua kok berasa simulasi kematian ya." Bisik Jerim di telinga Toru.
Toru yang mendengarnya pun mencubit kecil pinggang Jerim.
"Kebiasaan tuh mulut, kalau lu mau mati minta sama Tuan Lataza mumpung orangnya di sini." Bisik Toru.
"𝐁𝐞𝐫𝐢𝐬𝐢𝐤."
Suara serak seorang gadis membuyarkan fokus ketiga pria di dalam ruangan. Dengan hati-hati Lataza menoleh ke Lera yang memegangi kepalanya.
Lera mengerjapkan matanya beberapa kali hingga dia bisa menyamakan pantulan cahaya yang cukup menyilaukan di matanya. Setelah dirasa cukup, Lera mengedarkan pandangannya walau sedikit kesulitan dikala melihat sekitarnya karena pandangannya yang masih buram.
"Pakai ini."
Mendengar suara berat yang amat sangat dikenalinya dengan tak sopan memasuki indra pendengarannya. Wajah Lera kembali menunduk, tak siap mengangkat wajahnya apalagi melihat wajah dari pemilik suara itu. Pandangan gadis itu hanya terpaku memerhatikan obat mata yang disodorkan oleh Lataza.
"Apa kau tidak mau mengambil pemberianku?" Lataza semakin mendesak Lera untuk mengambilnya.
Lera meremas kencang selimut yang menutupi kakinya.
"Kenapa Anda ada di sini?" Tanya Lera.
Pria dewasa di samping ranjangnya termenung menatapi pucuk kepala Lera, melihat surai hitam Lera yang memanjakan matanya. Melihat gadis yang tak kunjung melihat kehadirannya membuat Lataza harus merendahkan dirinya agar dapat melihat wajah Lera.
"Apa kau tau jika membuatku menunggu adalah suatu kesalahan?" Lataza akhirnya dapat melihat wajah pucat Lera.
Lera tergagap saat melihat wajah Lataza yang cukup dekat, namun dia berhasil menenangkan dirinya agar pria di sampingnya ini tak melihat wajahnya yang memanas. Berbeda dengan Lataza yang masih setia menatapi manik mata Lera secara langsung hingga membuat si empu semakin tidak karuan.
"Ambil ini." Lataza menyodorkan kembali obat mata miliknya.
Lera dengan sikap waspadanya mengambil cepat obat mata yang diberikan Lataza dan menyembunyikan botol kecil itu di kepalan tangannya. Lataza tersenyum tipis, namun mereka hanya bisa melihat wajah datar Lataza.
"Baiklah, sekarang aku akan pergi." Ujar Lataza.
Mendengar hal tersebut, Lera mengangkat wajahnya. Merasakan tatapan gelisah dari Lera, ia pun menatap balik manik mata Lera yang terlihat berlinang. Seketika Lataza terkesiap ketika melihat air mata yang perlahan turun mengalir di pipi gadis itu.
"Apa Anda akan menemui gadis itu?" Tanya Lera sesugukkan.
Lataza tak pernah melihat pancaran rapuh dari kedua mata Lera, ia merasa bahwa dirinya seperti ditampar berkali-kali saat melihat air mata yang berjatuhan dari manik amber Lera.
"Rara.." Lirih Toru yang melihat Lera begitu menyiksa dirinya.
Jerim menahan lengan Toru yang ingin beranjak, menggelengkan kepalanya yang berarti "Jangan". Toru bergantian memandangi Lataza dan Lera, tak tega melihat air mata yang terus berjatuhan di pipi Lera bahkan karena tangisan itu wujud Lera berubah ke mode Chimera.
"Kita ngga bisa diem aja Jer." Toru menghempaskan tangan Jerim yang menahan pergerakkan-nya.
Namun sekeras apa pun Toru mencoba, Jerim tetap menahan lengan Toru dan tak melepaskannya. Jerim hanya tak mau jika mereka berdua ikut campur akan terjadi sesuatu yang lebih parah.
"Lebih baik kita keluar, kita gak boleh ikut campur dalam masalah mereka." Peringat Jerim dengan berbisik.
Jerim menarik lengan Toru agar si empu mengikutinya. Pada akhirnya rencana untuk membawa Toru keluar berhasil, dua pria itu pergi meninggalkan ruang UKS. Sedangkan dua orang lainnya sedang terdiam dengan pikirannya masing-masing yang membuat keadaan semakin memburuk.
Hujan terdengar bergemuruh di luar, terdengar deras dan diiringi dengan dentuman petir di mana-mana.
"Jika Anda ingin menemui gadis itu, maka saya dengan senantiasa mundur." Lera menyeka air matanya.
Dengan keberaniannya, Lera menatap manik mata Lataza yang berubah merah darah, menyiratkan begitu pesan mendalam di kedua manik itu. Begitu pula dengan keadaannya yang sudah berubah menjadi Chimera, ia harus bisa mengontrol emosinya dan wujudnya yang harus diubah sebelum waktu pelajaran ke tiga dimulai.
"Apa Anda mengetahui perasaan saya kepada Anda?" Lera melepas selang oksigen dihidungnya.
Elie mendecak. "Padahal Anda juga sudah tau kalau saya serapuh ini."
Lera membenarkan seragamnya yang cukup kusut, lalu menurunkan kakinya ke lantai. Gadis itu berusaha melangkah, walaupun dirinya masih dalam pengaruh suplemen yang diberikan padanya.
Langkahnya berjalan mendekati Lataza yang hanya terdiam melihat tubuh Lera yang semakin mendekatinya. Lera mendongakkan wajahnya, melihat wajah tegas Lataza, rahang tegas pria itu, perawakan tegas yang berwibawa.
Lera tertawa pelan, "Bagaimana bisa saya menyelesaikan permasalahan ini?"
Lataza hanya terdiam memandangi Lera yang berbicara.
"Oh ya.." Lera menunjuk dadanya, lebih tepatnya di depan jantungnya.
"𝘽𝙪𝙣𝙪𝙝 𝙨𝙖𝙮𝙖, 𝙏𝙪𝙖𝙣 𝙇𝙖𝙩𝙖𝙯𝙖." Ucap Lera penuh keseriusan.
Lataza tersentak kaget, ia tak dapat melihat candaan lagi di bola mata Lera. Pria tinggi itu menggertakkan rahangnya ketika melihat keberanian dari kedua mata Lera.
Jari-jari panjangnya mengepal kuat. Pria itu memundurkan langkahnya, tak sanggup melihat wajah Lera.
"Kenapa Anda mundur? Bukankah Anda sendiri yang mengatakan itu? Apa Anda ingin menarik ucapan Anda waktu itu."
Lera semakin mendekati dirinya ke Lataza, tidak terlihat adanya ketakutan sedikit pun pada manik amber gadis itu.