Chereads / Flawed Destiny / Chapter 7 - II. Penyakit lama.

Chapter 7 - II. Penyakit lama.

Akhirnya karena ucapan Jerim, Lera menyamakan langkahnya dengan Jerim yang disandang menjadi 𝙎𝙘𝙝𝙤𝙤𝙡 𝙋𝙧𝙞𝙣𝙘𝙚. Airpods yang sebelumnya terpasang akhirnya dilepas oleh gadis itu saat ia merasa sudah tak ada lagi keramaian yang terlihat.

"Kenapa kamu masih gunain airpods? Bukannya Kak Nadden udah larang kamu sebelumnya?" Tanya Jerim mengambil tempat airpods yang berada di tangan Lera.

Lera menghela berat, "Lebih baik gitu dibandingkan aku berpikir kalau orang-orang berbicara yang aneh-aneh." Eluhnya.

Jerim memasukkan tempat airpods milik Lera ke dalam saku seragamnya, ia dapat melihat wajah muram Lera yang sudah terlihat sejak tadi mereka bertemu. Jari-jari pria tinggi itu mencubit pipi Lera yang membuat si empu kesakitan.

"Apa kamu tidak ingin berobat saja? Aku akan menemanimu kapan pun saat aku punya waktu." Tawar Jerim.

Lera menampar tangan Jerim yang mencubit pipinya sampai memerah.

"Apa yang kamu maksud dengan Rumah Sakit? Aku tak mau ke Rumah Sakit, bukannya kamu tau kalau aku benci bau Rumah Sakit?" Lera mengelus pipinya.

Jerim terkekeh mengejek Lera, "Apa yang kamu takuti dari Rumah Sakit? Masih dengan alasan yang sama?"

Lera melirik pergelangan tangannya, "𝘠𝘰𝘶 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘪𝘵, huh?"

Jerim meraih pergelangan tangan Lera. "𝘋𝘰𝘯'𝘵 𝘱𝘶𝘴𝘩 𝘺𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘧 𝘵𝘰𝘰 𝘮𝘶𝘤𝘩, 𝘺𝘰𝘶 𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘵𝘰 𝘵𝘢𝘬𝘦 𝘤𝘢𝘳𝘦 𝘰𝘧 𝘺𝘰𝘶𝘳𝘴𝘦𝘭𝘧 𝘵𝘰𝘰."

Lera tersenyum kecil, lalu tangannya meraih leher Jerim dan memeluk pria jakung itu. Menyembunyikan wajahnya di pundak Jerim, sedangkan pria yang merasakan tingkah Lera yang menurutnya sudah biasa membiarkan gadis itu memeluknya, bahkan tangannya ikut membalas pelukan dari Lera dengan cukup erat.

"𝘠𝘰𝘶 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘐 𝘳𝘦𝘢𝘭𝘭𝘺 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘳𝘪𝘨𝘩𝘵?" Tanya Lera menggelantungkan tangannya di leher Jerim.

Jerim menduselkan wajahnya di surai hitam Lera. "𝘈𝘯𝘥 𝘐 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘮𝘰𝘳𝘦 𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘰𝘶 𝘭𝘰𝘷𝘦 𝘮𝘦."

"𝘛𝘩𝘢𝘯𝘬 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘰 𝘮𝘶𝘤𝘩, makasih udah jadi sahabat aku." Lirih Lera tepat di telinga Jerim.

"𝘐 𝘴𝘩𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘣𝘦 𝘵𝘩𝘦 𝘰𝘯𝘦 𝘵𝘩𝘢𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘺𝘰𝘶." Ucap Jerim.

Lera tertawa pelan, mengeratkan pelukannya pada leher Jerim, namun dia tak menyakiti Jerim sedikit pun.

"𝐀𝐇𝐄𝐌!" Deheman seorang pria yang tiba di samping mereka.

"TORUU!!" Pekik Jerim dengan wajah sumringah.

Pria dengan wajah masam itu dengan tak sengaja melihat kejadian yang membuatnya menyumpah serapahi Jerim. Badan kecil Toru memisahkan dua sejoli itu, bahkan dia harus menarik pundak Lera agar si empu melepaskan eratan nya.

"Apa kalian tau kalau kalian jadi pusat perhatian lagi pagi ini?" Tanya Toru menimpali.

Lera menggeleng dan langsung menyerbu tubuh Toru yang sedikit lebih pendek darinya.

"Apa kau dengar yang ku ucapkan, Rara?" Toru tak menghempas tubuh Lera.

Lera menggeleng, "Aku tak peduli, 𝘣𝘦𝘤𝘢𝘶𝘴𝘦 𝘵𝘩𝘦𝘺 𝘥𝘰𝘯'𝘵 𝘩𝘢𝘷𝘦 𝘢 𝘫𝘰𝘣."

Toru mencubit kecil pinggang Lera, gadis itu yang awalnya memeluk tubuhnya langsung tersungkur ke bawah dengan bokongnya yang mencium ubin dengan keras. Lera memegangi bokongnya, dia juga memijat pinggangnya yang terasa sakit.

"Apa kamu tidak bisa pelan-pelan, 𝙈𝙧. 𝙎𝙝𝙤𝙧𝙩??" Tanya Lera penuh penekanan.

Toru yang merasa dirinya dihina pun menatap tajam Lera. "𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘰 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘢𝘺? Tuan Pendek?" Toru mengulangi perkataan Lera.

"Yups 𝘸𝘩𝘺? 𝘠𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘢 𝘧𝘪𝘨𝘩𝘵?" Tanya Lera berancang akan meninju.

Toru melempar tasnya ke Jerim yang senantiasa menontoni mereka berdua. Pria yang dipanggil 𝘔𝘳. 𝘚𝘩𝘰𝘳𝘵 itu menggulung lengan bajunya sampai ke sikut bahkan tak lupa membuka dua kancing atas seragamnya.

"𝘑𝘶𝘴𝘵 𝘥𝘰 𝘪𝘵." Tantang Toru.

Lera yang melihat tubuh Toru yang siap kapan saja untuk menyerangnya kembali mundur dengan tubuh tegap, dengan wajah polosnya Lera mendekati Toru.

"𝘐 𝘭𝘰𝘴𝘦." Lera mengangkat kedua tangannya menyerah.

Toru tersenyum miring, "𝘎𝘰𝘰𝘥 𝘨𝘪𝘳𝘭."

Jerim tertawa renyah, "Seorang Lera menyerah? 𝘛𝘩𝘪𝘴 𝘪𝘴 𝘨𝘰𝘰𝘥 𝘯𝘦𝘸𝘴!" Ledeknya.

Lera mengambil ancang-ancang akan memukul Jerim dengan tas ranselnya, namun dia merasakan hawa yang mengganjal pada pernapasannya, menyerang titik lemah di jantungnya.

Gadis itu berusaha menghirup udara yang ada, namun dia merasa seperti ada yang mencekik lehernya, benar-benar menyakiti gadis itu. Kedua pria yang melihatnya langsung berlari panik menghampiri Lera yang sudah bersimpuh di atas lantai dengan keringat dingin yang terus turun dari keningnya.

"𝘈𝘳𝘦 𝘺𝘰𝘶 𝘰𝘬𝘢𝘺, Ra?" Tanya Jerim memegang kening Lera.

"𝘖𝘩 𝘨𝘰𝘥, kayaknya dia kambuh Jer." Ucap Toru melihat kalung Lera berubah oranye.

Jerim yang paham dengan kondisi sahabatnya itu dengan cepat mengangkat tubuh Lera dan membawa gadis itu ke dalam gendongan-nya. Toru mengambil ransel Lera, dia memakaikan ransel gadis itu di pundak kanannya, sedangkan di pundak satunya sudah terisi tas milik Jerim dan Toru.

"Hati-hati Jer." Peringat Toru.

Jerim mengangguk paham, dia mulai berlari menuju ke UKS. Sesampainya di depan pintu UKS yang tertutup rapat, Toru menggeser pintu di depannya dan menyuruh Jerim masuk terlebih dahulu, sedangkan Toru ikut masuk setelah situasi di luar terbilang aman.

"Tidurin dia di ranjang khusus, Jer." Suruh Toru.

Jerim sedikit tergesa-gesa saat menarik ranjangnya agar lebih mendekat, namun untungnya ada Toru yang membantunya agar lebih cepat. Dengan bantuan Toru, Jerim berhasil menidurkan Lera yang terlihat kesusahan bernapas di atas ranjang.

"Ambil tabung sama regulator oksigennya, Jer." Perintah Toru yang sedang memeriksa keadaan Lera.

Jerim yang menurut pun turut membantu Toru mengambil peralatan oksigen yang sudah tersedia di ruang UKS, dia mengangkat tabung oksigen dan menaruhnya di samping ranjang Lera. Pria itu tak lupa juga mengambil selang untuk menyalurkan oksigennya dan memberikannya kepada Toru.

"𝘛𝘩𝘢𝘯𝘬𝘴." Ucap Toru diakhiri senyuman.

Toru yang sedikit paham dengan dunia medis pun langsung mengambil tindakan dengan memasangkan selang pernapasan ke hidung Lera, dan juga sedikit menarik pengencangnya di area belakang telinga Lera agar selangnya tak longgar.

"Apa Rara baik-baik saja?" Tanya Jerim khawatir.

Toru melirik wajah Jerim yang dipenuhi dengan keringat karena berlari tadi. Toru kembali menatap wajah pucat Lera, namun tangannya sibuk merogoh sesuatu dari dalam kantong jas sekolahnya.

Toru melempar sapu tangan ke wajah Jerim. "Bersihkan wajahmu yang penuh keringat itu." Ucapnya tanpa berbalik.

Jerim mengambil sapu tangan yang mendarat di wajahnya, menatapnya sedikit lama. Dan dia membersihkan keringat di wajahnya yang terus berjatuhan karena rambutnya yang juga ikutan basah.

"Apa kamu menyimpan suplemen yang diberikan Kak Nadden?" Tanya Toru menatap Jerim.

Jerim berpikir, mengingat di mana ia meletakkannya

"Aah itu tertinggal di lokerku, aku akan mengambilnya." Ucapnya polos.

Toru memijat keningnya, ia merutuki dirinya sendiri karena dia lupa kalau temannya yang satu ini sangat ceroboh dan pelupa.

"Jangan, lokermu ada di lantai tiga."

Toru menggenggam tangan dingin Lera, memikirkan caranya agar dia dapat membantu Lera tanpa orang lain mengetahuinya.

"Apa kalian membutuhkan ini?" Seorang wanita menunjukkan sebuah wadah obat yang berisi pil-pil merah dan kuning.

Toru melonjak kaget. "Siapa Anda?" Tanyanya berwaspada.

Wanita itu berjalan ke arah mereka bertiga. Toru memasang wajah waspada dengan gerak-gerik wanita itu, sedangkan Jerim hanya duduk terdiam di bangkunya dengan rambut yang sudah berantakan.

"Aku sama seperti dia." Ucap wanita itu menunjuk Lera yang sedang tertidur.

Toru mengerutkan alisnya, "Apa yang bisaku pastikan kalau Anda seorang siluman?" Toru masih tak percaya.

Wanita itu menghela, dia menggulung lengan bajunya sedikit ke atas hingga menunjukkan sebuah gambar yang terukir di lengannya.

𝘔𝘢𝘭𝘢𝘪𝘬𝘢𝘵 𝘮𝘢𝘶𝘵, pikir Toru dan Jerim bersamaan.

"Saya adalah Gederia, kalian bisa memanggil saya Gea dan saya adalah Dokter baru di sini." Ucap Gea memperkenalkan diri.

Jerim menganga, "Bu Dokter terlihat sangat muda." Kagumnya.

Toru yang melihat kebodohan sahabatnya berakhir memukul punggung Jerim, dia tak dapat memaklumi kebodohan dari sahabatnya satu ini yang sudah kelewat batas.

Gea tersenyum tipis, "Kalian harus cepat memberikan suplemen ke gadis ini atau dia akan berada di keadaan kritis."

Toru yang mengerti pun menerima obat pemberian Gea, tanpa rasa waspada sedikit pun karena pikirannya sudah dipenuhi oleh Lera. Dengan menekan kedua pipi Lera, Toru dapat memasukkan obatnya ke dalam mulut Lera.

Setelah itu dia menuangkan air ke dalam mulut Lera secara bertahap, lalu dia menutup mulut Lera serta mendongakkan wajah gadis itu agar obat dan air yang dimasukkannya dapat mengalir ke dalam tenggorokan Lera.

"Kau cukup hebat juga, apa kamu tak berminat masuk kedokteran?" Tawar Gea.

Toru menggeleng, "Aku tidak berminat." Tolaknya.

Gea membelalak, tubuhnya berbalik dan kembali ke meja kerjanya. Toru yang kelelahan pun akhirnya terduduk di samping Jerim yang sedang berfokus memerhatikan Lera yang sedang tertidur pulas.

"Sepertinya dia sudah mendingan dibandingkan saat kita membawanya." Ucap Jerim.

Toru memerhatikan wajah pucat Lera. "Kamu benar, dia terlihat lebih bernyawa."

"Apa kamu tidak masalah jika harus meninggalkan jam pertama?" Tanya Jerim mengingat Toru yang berada di kelas berbeda dengannya dan Lera.

"No problem, keadaan Lera lebih penting." Jawab Toru.

Jerim menepuk pundak Toru, "𝘛𝘩𝘢𝘯𝘬 𝘺𝘰𝘶 ya Ru, kalau gak ada lu, gua gak tau harus apa."

Toru terkekeh, "Jadi udah gak mau make bahasa formal lagi nih, udahan ngambeknya?" Ejek Toru.

Jerim mendumel, "𝘖𝘯𝘭𝘺 𝘵𝘰𝘥𝘢𝘺."

"Jangan gitu dong, masa gua lagi yang ngalah? Kali-kali lu gitu." Toru kelelahan dengan sikap Jerim.

"𝘠𝘰𝘶 𝘰𝘭𝘥, lu harus ngalah." Timpal Jerim.

"𝘚𝘩𝘶𝘵 𝘵𝘩𝘦 𝘧𝘶𝘤𝘬 𝘶𝘱." Toru merasa sebal dengan Jerim yang terus membawa usianya.

Dengan gerutuan, pandangan Toru kembali mengecek keadaan Lera yang perlahan kembali normal karena obat yang diberikan oleh Gea. Jari-jari Toru menyapu pergelangan tangan Lera, melihat begitu banyaknya baretan bahkan sayatan yang berada di pergelangan tangan gadis itu.

Toru mengelus bekas sayatan di tangan Lera. "𝘠𝘰𝘶 𝘬𝘯𝘰𝘸 𝘵𝘩𝘢𝘵 𝘪𝘵 𝘢𝘭𝘭 𝘩𝘶𝘳𝘵𝘴, 𝘣𝘶𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘵𝘪𝘭𝘭 𝘥𝘰 𝘪𝘵." Gumamnya.

Jerim yang sedari tadi terduduk akhirnya bangkit dan mendekati Toru yang berdiri dipinggir ranjang dengan jari-jari pria itu yang menyentuh pergelangan tangan Lera.

"Apa yang harus gua lakuin biar siluman-siluman itu gak mengincar lu lagi, Ra." Lirih Toru geram.

Jerim mencengkeram lengan Toru, dia menggeleng dikala Toru memandangnya.

"Jangan, jangan ikut sakiti diri lu juga." Tahan Jerim.

"Tapi siapa lagi yang bisa menguatkan dia."

Jerim terpaku menatapi tanda di tulang selangka Lera.

"Kita harus hubungi dia." Ujar Jerim.

Toru kebingungan saat Jerim berkata seperti itu, namun saat melihat tatapan Jerim yang mengarah ke tulang selangka Lera, dia dapat memahaminya sekarang.

Merogoh kantong celananya dan mengambil ponselnya, Toru mencari nomor yang menjadi tujuannya saat ini. Pria itu berhasil menemukan nama orang yang dituju dalam daftar kontaknya dan tanpa menunggu lama, dia langsung memencet tombol telepon yang berada di layarnya.

Telepon sudah tersambung, jari-jari Toru meremas celananya berusaha menetralkan detak jantungnya.

"𝘗𝘢𝘨𝘪, 𝘒𝘢𝘬 𝘛𝘦𝘻𝘦𝘰."