Chereads / Flawed Destiny / Chapter 6 - I. Kehidupan Elie

Chapter 6 - I. Kehidupan Elie

"NADDEN! š˜žš˜ˆš˜’š˜Œ š˜œš˜—!" Teriakan seorang gadis remaja memenuhi ruangan.

Pagi hari yang disambut dengan udara segar membuat kedua mata ingin lebih lama terpejam, serta hangatnya angin pagi yang membuat tubuh menjadi lebih lekat dengan kasur. Tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya, tetapi pada pagi hari kedamaian sudah berganti dengan teriakan dari gadis remaja yang terlihat sedang tergesa-gesa.

"Hei! Jika kamu tidak kunjung bangun, aku akan berangkat sendiri." Ancam si gadis.

Lenguhan mulai terdengar dari mulut si korban yang ketenangannya terganggu di pagi hari ini, pria yang awalnya terbaring dengan damai perlahan mulai bangkit dari tidurnya.

Masih dengan mata terpejam, dia duduk di pinggiran kasurnya. Namun bagi si gadis yang melihatnya jadi lebih kesal dikala Nadden yang dimaksudnya tak kunjung menurunkan kaki ke lantai.

"Aku berangkat." Gadis itu merampas tas sekolahnya dari atas kursi.

Gadis itu berancang-ancang akan pergi, namun tak sempat dia melangkah, sebuah tangan kekar menahan lengannya. Gadis itu menolehkan wajahnya, melihat kedua mata si empu yang menahan pergerakannya belum terbuka total.

"Tunggu 5 menit lagi, aku akan siap-siap." Nadden langsung turun dari kasurnya.

Si gadis yang melihatnya pun tersenyum bangga, dia merasa bahwa dirinya telah menang. Gadis itu melangkah ke ranjang yang tadi ditiduri oleh Nadden.

Tangannya bergerak merapihkan setiap barang yang ada di atas ranjang itu sembari menunggu pria yang sedang bergulat dengan kamar mandinya.

"RARA!" Suara Nadden berteriak dari dalam kamar mandi.

Rara yang dimaksud adalah gadis yang sedang membereskan ranjang milik Nadden. Lera merengut kesal karena teriakan Nadden mengejutkannya.

"š˜žš˜©š˜¢š˜µ?" Balas Lera kesal.

Nadden mencelingukkan wajahnya keluar, "š˜”š˜ŗ š˜µš˜°š˜øš˜¦š˜­." Cengirnya.

Lera memutar bola matanya malas, "Seperti biasa."

Lera mengambil handuk yang terjemur di dalam ruang pengering pria itu, menariknya dengan kasar. Langkah Lera mengarah cepat ke depan Nadden yang melihat Lera dengan raut ketakutan.

Lemparan tepat sasaran mengenai wajah tampan Nadden yang terlihat tidak mengetahui kesalahannya.

"Jika besok masih sama, aku akan membuang semua handuk milikmu." Peringat Lera sekaligus berisikan ancaman.

Dengan cepat Nadden menutup kamar mandinya, dia merinding setelah melihat wajah kesal Lera. Langkah kaki Lera berjalan menjauh dari depan kamar mandi, kembali membereskan kasur Nadden serta ditemani dengan dumelan yang keluar dari bibirnya.

"Dua pria itu sama saja." Cibir Lera.

Melihat jam tangannya, menyadari bahwa jarum jam sudah mengarah ke jam 7.34 dan dia kembali menggerutu dengan dirinya sendiri. Lera menunggu Nadden yang tak kunjung menampakkan dirinya, bahkan dia sudah selesai membereskan dan membersihkan kamar Nadden yang awalnya cukup berantakan.

"š˜¼š™š™€ š™”š™Šš™ š˜æš™€š˜¼š˜æ?" Pekik Lera mengguncang pendengaran Nadden.

Nadden mendobrak pintu kamar mandi nya, dengan terburu-buru menjemur handuknya agar tidak mendapatkan omelan dari gadis baik hati yang sedang duduk di sofa kamarnya.

Gadis yang dimaksud terus memerhatikan setiap langkah Nadden dengan manik tajamnya, dirinya dibuat kesal dengan perilaku Nadden yang menurutnya sudah menjadi kebiasaan pria itu.

"š˜šš˜°š˜³š˜³š˜ŗ, š˜ š˜©š˜¢š˜·š˜¦ š˜¢ š˜±š˜³š˜°š˜£š˜­š˜¦š˜® š˜øš˜Ŗš˜µš˜© š˜®š˜ŗ š˜±š˜°š˜°š˜±." Elak Nadden cengengesan.

Lera mengacungkan jari tengahnya. "š˜“š˜¢š˜µš˜¦."

Lera meraih kembali tas ranselnya yang bersandar di sofa, sedangkan Nadden menyusul pergerak-kan Lera yang terbilang cepat baginya, dan dia harus mengejar langkah gadis itu.

Nadden memakai pakaian casual nya, tak lupa juga memakai coat nya karena cuaca yang mulai mendingin. Lera sendiri juga memakai coat hangat miliknya agar tak kedinginan di luar ruangan.

"Apa sekolah sedang mengadakan acara?" Tanya Nadden melihat penampilan Lera.

Lera tak menoleh, "Tidak, hanya festival biasa saja."

"Festival?" Nadden dibuat berpikir.

Lera menghela pelan, "Perlombaan antar sekolah, apa tidak ada surat perizinan yang sampai ditanganmu?" Ia berbalik tanya.

"Tidak ada, lalu kenapa kau tidak memakai seragam olahraga milikmu?"

Lera menunjuk tas ranselnya, "Sudahku bawa."

Nadden mengangguk paham dan kembali mengikuti Lera yang mempercepat langkahnya. Nadden membututi Lera dari belakang, namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat Lera mendadak terdiam.

"Ra?" Panggil Nadden.

Lera tidak menyahut, tatapannya masih terpaku lurus. Tidak tahu kenapa Lera terdiam dengan tatapan kosong, ia menghampiri Lera yang tak memperlihatkan pergerakan.

Jari-jari Nadden menyentuh lembut pundak Lera, namun setelah indera penglihatannya menangkap sebuah aktifitas yang tak dia duga sebelumnya, dia berakhir merutuki dirinya sendiri.

"Ayo kita berangkat, kamu akan terlambat." Nadden menarik pergelangan tangan Lera.

Lera masih terdiam di tempatnya, bahkan dia tak melangkah sedikit pun. Pria yang bersamanya merasakan suasana di sekitarnya menjadi sedikit suram dan juga mencengkam. Nadden masih berusaha menarik tangan Lera, namun si empu tak ingin bergerak.

Nadden menutup kedua mata Lera, "Lebih baik kita pergi." Bujuknya.

Akhirnya Lera memasrahkan diri, dia berjalan berdampingan dengan Nadden. Sedangkan Nadden terus menggenggam pergelangan tangan Lera agar gadis itu tak kembali berbalik dan melihat sesuatu yang akan disesalinya.

"Apa kau tidak menyerah juga?" Tanya Nadden merasa tidak tega dengan Lera.

Lera tertawa meremehkan dirinya, "Aku terlalu bodoh ya, Kak?"

"Tidak."

"Lalu? Apakah aku salah?" Tanya Lera lesu.

"Tidak juga."

Lera menutup kedua matanya, tawaan remeh kembali terdengar.

"Aku ingin menyerah saja."

"Kamu selalu berkata seperti itu setiap saat." Balas Nadden.

Lera mendengus kesal, "Wajar saja bukan? Jika kamu mencintai seseorang, tetapi dia terus menerobos masuk ke dalam hatimu, kamu akan merasa bahwa dirimu lemah." Ujarnya.

Nadden mengetahui perasaan Lera, dia tak berani berkata banyak karena dia sudah berusaha untuk mengingatkan Lera agar gadis itu tidak mencintai seseorang yang sudah ia kenal baik sifatnya, apalagi sifat buruknya.

Nadden menyeret Lera sampai ke parkiran rumahnya, tangannya mengambil kunci mobil dan menekan tombol unlock pada kunci mobilnya.

"Devar!" Suara tegas seorang pria membuat langkah Nadden terhenti.

Namun bukannya fokus ke orang yang memanggilnya, pandangannya terlebih dulu mengecek Lera yang berjalan di belakangnya. Menyadari wajah masam Lera yang terpampang sangat jelas, ia menepuk pelan pundak Lera dengan senyuman yang menghiasi wajahnya.

"Kamu tunggu di sini." Ucap Nadden.

Lera mengangguk pelan, Nadden yang merasa yakin langsung menghampiri orang yang memanggilnya tadi.

"Salam hangat, Tuan Lataza." Tunduknya hormat.

Pria tinggi di hadapannya yang berbalut pakaian kerja dengan jas hitam yang menambah kesan elegan. Nadden memerhatikan pakaian yang dikenakan Lataza pagi ini, dia sangat cermat dalam hal menyelidik.

"Apa kau sudah ingin berangkat?" Tanya Lataza sembari merogoh kantong celananya.

Nadden mengangguk, "Aku akan mengantar Rara pagi ini." Balasnya.

Nadden dapat melihat perubahan raut wajah Lataza yang berubah datar. Ia sudah menduga dari awal bahwa Lataza akan menunjukkan wajah itu saat dirinya sudah membahas atau membawa nama Lera.

"Kalau seperti itu, aku titip gadis itu bersamamu ya." Lataza menoleh ke belakangnya.

Mengikuti arah pandang Lataza, betapa terkejutnya dia saat melihat seorang gadis yang terlihat sebaya dengan Lera. Nadden dapat melihat sekilas wajah polos dari gadis itu, tak habis pikir dengan pola pikir Lataza yang sudah tak bisa dikontrol.

"Dia siapa?" Nadden berbisik.

Lataza tersenyum tipis, "Namanya Sewira.."

"šƒššš§ šš¢šš š°ššš§š¢š­ššš¤š®." Lanjut Lataza diakhiri seringai.

Nadden merutuki dirinya sendiri, dia seharusnya tak bertanya. Gadis yang bernama Sewira itu menghampiri Lataza dan juga Nadden yang sudah selesai berbincang, dengan wajah polosnya ia menggelantung di tangan seorang Lataza yang notabenya seorang Penguasa.

Nadden terbelalak, "Apa akan Anda biarkan saja jika gadis itu bergelayutan di tanganmu?" Tanya Nadden langsung.

"Tidak apa, š˜Æš˜° š˜±š˜³š˜°š˜£š˜­š˜¦š˜®." Ucap Lataza santai.

Pikiran Nadden seperti disambar petir, tak menduga semuanya akan menjadi seperti ini. Sorot matanya melirik sekilas Lera yang masih terdiam sembari menunggu di samping mobilnya, pria itu merasa tak enak dengan Lera.

"Dia akan bersekolah di tempatmu." Ujar Lataza.

Kembali dibuat terkejut dengan ucapan Lataza yang menurutnya tak masuk akal. Jari-jari Nadden mengepal erat di bawah sana, merasakan amarah mengaliri tubuhnya.

"Baiklah." Ucap Nadden dengan emosi tertahan.

"Aku titip dia padamu." Lataza mendorong pelan tubuh Sewira.

Namun sebelum Sewira melangkah pergi bersama dengan Nadden, pria besar dengan wajah tegasnya mengecup kening gadis remaja itu dengan senyuman hangatnya. Sewira memerhatikan wajah Lataza dengan senyuman geli di wajahnya, dia membalas kecupan Lataza dengan mencium pipi Lataza.

"Rara." Gumam Nadden tertahan.

Nadden dengan cepat menutupi pemandangan di belakangnya dengan tubuh tingginya, namun sudah terlambat karena Lera secara tak sengaja berbalik ketika dia mendengar derap langkah mendekatinya.

"Maafkan aku." Lera menunduk.

Nadden menepuk jidatnya, dia merasa bodoh.

Lera terkekeh, "Sudahlah Kak, aku juga sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini."

Pria tinggi di hadapan Lera menatap gadis di hadapannya dengan nanar. Nadden tersenyum sembari membukakan pintu penumpang di depan, dia membiarkan Lera masuk dengan hati-hati.

Gadis itu sudah menemukan posisi nyamannya dan Nadden menutup pintu mobil setelah melihat Lera sudah mengacungkan jempol.

"Buka pintumu sendiri." Ujar Nadden melirik sinis Sewira.

Sewira melihat kepergian Nadden yang menuju ke pintu kemudi, dengan jengkel dia masuk sendiri ke dalam mobil milik Nadden. Nadden bisa melihat Sewira yang memasuki mobilnya, namun yang menjadi fokusnya sekarang adalah senyuman kecil yang terpasang saat Sewira memasuki mobilnya.

š˜‹š˜Ŗš˜¢ š˜“š˜¢š˜Æš˜Øš˜¢š˜µ š˜®š˜¦š˜Æš˜¤š˜¶š˜³š˜Ŗš˜Øš˜¢š˜¬š˜¢š˜Æ. Batin Nadden mengintimidasi.

"Kita berangkat sekarang Kak, aku akan terlambat." Ucap Lera menatap lurus keluar jendela.

Nadden mengangguk, "Yosh! Kita berangkat."

Nadden menghidupkan mesin mobilnya dan langsung menancap gas keluar dari parkiran rumahnya. Dengan kecepatan memadai, pria itu membawa mobil sportnya tanpa memikirkan sekitarnya.

"Aku tak ingin melihatnya lagi." Gumam Lera menatapi jalanan.

Perjalanan terasa sunyi, Nadden merasakan suasana yang tak biasa. Lirikan mengarah ke gadis yang hanya terdiam dengan pandangannya yang lurus ke depan, betapa berbedanya Lera pada hari ini, biasanya gadis itu akan bersemangat menceritakan hal random kepada Nadden.

"Apa kamu sudah minum suplemen yang ku siapkan kemarin?" Tanya Nadden kembali fokus pada jalanan.

Setelah mendengar pertanyaan dari Nadden, tangan Lera langsung bergerak mengecek tasnya. Isi dalam tas digeledah dan tangan Lera terhenti, dia menyadari sesuatu yang menjadi barang pentingnya tertinggal.

Lera berdehem saat ia merasakan tatapan Nadden yang mengintimidasi.

"Sudahku minum." Balasnya.

Nadden mengerutkan alisnya, "Jangan sampai kamu lupa untuk meminumnya."

Lera mendengus, "Iya Kak."

Mobil Nadden sudah memasukki kawasan sekolah. Namun tak sempat melewati gerbang utama, Lera menyuruhnya untuk menurunkannya di pinggir gerbang dengan alasan yang cukup masuk akal.

"Apa kamu tak mau aku antar sampai ke depan gedung?" Tanya Nadden gelisah.

Lera menggeleng, lalu dia mendekatkan wajahnya ke jendela yang dibuka oleh Nadden.

"Hei kau." Lera melihat ke bangku belakang.

Benar, Lera berbicara kepada gadis yang dititipkan oleh Lataza. Memerhatikan dengan rinci wajah serta perawakan gadis itu, rambut berwarna hitam pekat dengan pita di rambut kanannya, bahkan riasan tipis yang dipakainya benar-benar menggambarkan keanggunan.

š˜šš˜¢š˜Æš˜Øš˜¢š˜µ š˜®š˜¦š˜®š˜¢š˜“š˜¶š˜¬š˜Ŗ š˜µš˜Ŗš˜±š˜¦ š˜Ŗš˜„š˜¦š˜¢š˜­š˜Æš˜ŗš˜¢, pikir Lera.

Sewira mengangkat wajahnya, menoleh ke Lera yang menengok dari jendela terbuka.

"Kau bisa turun di dalam sekolah bersama Nadden dan..." Lera melirik gerbang sekolah.

Lalu tatapannya kembali melirik Sewira, "š˜Žš˜°š˜°š˜„ š˜­š˜¶š˜¤š˜¬." Lanjutnya.

Setelah berkata seperti itu, Lera mengacungkan jempolnya kepada Nadden dan bergegas pergi. Nadden memerhatikan Lera yang berjalan di depan mobilnya, melihat wajah datar Lera dari dalam mobil.

"Wanita merepotkan." Lirih Sewira.

Pria yang berada di bangku kemudi secara jelas mendengar apa yang diucapkan Sewira, wajahnya menoleh menatap si empu yang memasang wajah seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Nadden yang tak ingin berlama-lama akhirnya menancapkan gasnya untuk memarkirkan mobilnya.

š˜ˆš˜¬š˜¶ š˜µš˜¢š˜¬ š˜µš˜¢š˜¶ š˜¢š˜±š˜¢ š˜ŗš˜¢š˜Æš˜Ø š˜„š˜Ŗš˜±š˜Ŗš˜¬š˜Ŗš˜³š˜¬š˜¢š˜Æ š˜°š˜­š˜¦š˜©š˜Æš˜ŗš˜¢. Batin Nadden.

FĪ›DĪ£āœŽ

Setelah sampai di kawasan gedung sekolah, Lera yang sedang berjalan kaki ke dalam sekolahan dengan airpods yang sudah terpasang di telinganya.

Kaki jenjang gadis itu melewati lobby sekolah memasuki kawasan yang familiar baginya, merasakan keramaian yang memenuhi halaman sekolahnya bahkan hampir menutupi jalan masuk.

"Apa seksi keamanan tidak mengerjakan tugasnya?" Gumam Lera geram.

Akhirnya Lera menerobos masuk, membelah lautan manusia di depannya dengan mudah. Saat gadis berambut hitam itu berhasil melewati keramaian, tiba-tiba serangan yang berupa pelukan menyambar dirinya dari belakang dan membuat tubuhnya hampir terangkat.

"RARA!" Teriakan itu membuat gendang telinga Lera berbunyi.

"Jerim!!" Pekik Lera memukul-mukul tangan pria yang memeluk pinggangnya.

Suara teriakan yang tadi terdengar adalah suara dari seorang pria yang sepantaran dengan Lera, dia biasa dikenal dengan Jerim atau Jerimov. Lera dan Jerim adalah sahabat karib sejak gadis itu menginjak Sekolah Dasar, mereka berdua bersahabat sudah lama bahkan Jerim mengetahui identitas Lera yang sebenarnya.

"Kenapa kamu hari ini terlambat? Apa Kak Nadden telat bangun lagi?" Tanya Jerim masih memeluk erat pinggang ramping Lera.

Lera menggerutu sebal, "Apa kamu tak ingin melepas tangan panjangmu dari tubuhku? Apa mauku potong saja?" Ancamnya.

Jerim cengengesan, "Kamu hangat, enak."

Lera yang sudah terlanjur sebal akhirnya menggunakan sikutnya untuk memukul lengan kekar Jerim. Pria yang menerima serangan dadakan itu seketika melepaskan pelukannya pada pinggang Lera.

"Kamu gak bisa lembut, Rara." Ringis Jerim mengelus lengannya.

Lera membenarkan posisi ranselnya, "š˜ š˜„š˜°š˜Æ'š˜µ š˜¤š˜¢š˜³š˜¦, š˜£š˜¢š˜“š˜µš˜¢š˜³š˜„." Dengusnya.

Jerim tersenyum datar, "š’šŽ š„š•šˆš‹!" Rengeknya.

Lera hanya menanggapi pria itu dengan tatapan datar. Langkah jenjang Lera kembali bergerak menuju ke dalam lorong sekolah dengan Jerim yang mengikutinya dari belakang.

Namun sekarang Lera merasakan banyaknya pasang mata yang sedang memerhatikannya atau lebih tepatnya karena pemuda yang sedang berjalan di belakangnya sekarang.

š˜‘š˜¦š˜³š˜Ŗš˜® š˜“š˜Ŗš˜¢š˜­š˜¢š˜Æ, pikirnya.

Gadis itu menggaruk tengkuknya merasakan bulu kuduknya merinding, dengan terpaksa dia melambatkan langkahnya dan membiarkan Jerim mendahuluinya.

"Ra š˜¤š˜°š˜®š˜¦ š˜¤š˜­š˜°š˜“š˜¦, jangan jalan di belakang." Ucap Jerim.