Chereads / Flawed Destiny / Chapter 4 - II. Keyakinan bertahan hidup.

Chapter 4 - II. Keyakinan bertahan hidup.

"Sepertinya aku baru mencium aroma ini. Apa ini aroma lavender bercampur dengan ageratum?" Lataza mengendus aroma yang melewati indra penciumannya.

"Jangan dekati dia, saya mohon, Tuan." Pinta Tezeo terbata-bata karena aroma menusuk yang menahan pita suaranya.

Pria yang sedari tadi berdiri di hadapan Tezeo adalah 𝐋𝐚𝐭𝐚𝐳𝐚, penguasa dari 𝐄𝐚𝐫𝐭𝐡𝐨. Tezeo tak memiliki kekuatan untuk memberontak karena kekuatan yang dimiliki oleh 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐌𝐮𝐥𝐢𝐚-nya sangat lah berbanding terbalik darinya, tentu dia menyadari kalau dirinya bukanlah tandingan untuk seorang Lataza.

Lataza tersenyum miring. "Apa menurutmu aku adalah orang yang dapat menuruti kata-kata orang rendahan sepertimu?"

Tezeo merasakan lesatan panah menancap jantungnya. Kata-kata Lataza memang sangat pantas untuknya, rendahan.

𝘚𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘫𝘢𝘮, batin Tezeo menggeram.

Lataza semakin dekat menuju ke tempat Lera terduduk, lalu mengintip ke tempat di mana Lera sebelumnya bersembunyi. Tetapi dia tidak menemukan sosok Lera di sofa itu, sorot matanya memantau setiap sudut Toko.

Lataza mendecih, dia dipermainkan. "Apa kau tak ingin bertemu denganku, gadis kecil?" Lataza mengeluarkan tongkat sihirnya.

Tezeo terbelalak, dia tak sadar bahwa Lataza akan mengeluarkan benda terlarang yang tak seharusnya dibawa ke dunia manusia, Lataza telah melanggar perjanjian.

"𝐌𝐎𝐍𝐒𝐓𝐄𝐑!" Pekik orang-orang yang melihat perubahan Lataza.

Lataza berbalik menatap manusia-manusia yang memandang waspada kepada dirinya. Mengingat dia sedang di dunia manusia, pria itu mengubah kembali dirinya ke setelan manusia.

"CEPAT KALIAN KELUAR." Teriak Tezeo dengan sisa tenaganya.

Lataza terkekeh, "Keluarlah gadis kecil, apa kau mau kehilangan Pamanmu yang baik hati ini?" Lataza menodongkan tongkat sihirnya ke leher Tezeo.

Di lain tempat, ada gadis kecil yang sedang bersembunyi bersama dengan seorang pemuda yang mendekap mulutnya. Pemuda itu tak membiarkan Lera berbicara sedikit pun dikarenakan jika Lataza mendengarnya, maka Lera dipastikan tidak akan selamat.

"Tenanglah, kamu tak akan kehilangan apa-apa jika terus diam." Ujar pemuda itu menenangkan Lera.

Lera menahan dirinya agar tak mengeluarkan sedikit pun ringisan karena air matanya yang terus turun. Pemuda yang bersama dengan gadis itu dapat melihat betapa menyakitkannya air mata yang berjatuhan di tangannya.

"Maafkan aku, ini tak akan berlangsung lama, kita harus menunggu 𝐝𝐢𝐚." Pemuda itu mendekap pelan tubuh mungil Lera.

Perasaan khawatir semakin memuncak dikala dia melihat keadaan Tezeo dari sela-sela, harapan agar Lataza tak menyakiti Pamannya terus menguat.

𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴𝘬𝘶 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯? 𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘶. Batin pemuda itu gelisah.

Perlahan sinar matahari tertutup oleh awan mendung yang datang dengan cepat menutupi setiap cahaya yang dipantulkan oleh sinar mentari. Berbeda dengan keadaan di luar, keadaan yang berbanding terbalik sedang terjadi di dalam sebuah Toko dengan plang yang bertuliskan Toko Cakeree.

Aura gelap yang menusuk, aroma yang mencekat, emosi yang mendidih, kemarahan yang mendominasi, senyuman yang sudah berganti menjadi jejak darah.

"Sudahku bilang berapa kali untuk berkata jujur, Tuan Terio." Suara Lataza semakin memberat karena emosinya.

Sebuah tongkat dengan ujung yang dipoles hingga tajam hampir mengenai leher seorang Tezeo. Dengan mati-matian, Tezeo tetap tak ingin membuka suara karena dia dapat merasakan aura kekejaman yang tak tertahan dari Yang Mulia-nya itu.

"Apa kau tetap tak ingin membuka suaramu?" Lataza semakin mendekatkan tongkatnya.

Namun bukannya semakin takut, Tezeo dengan beraninya mengatupkan bibirnya agar dia tak membalas pertanyaan Lataza yang semakin memojokkan dirinya.

"Baiklah jika itu maumu, aku tak akan bertanya lagi." Lataza menarik kembali tongkatnya.

Tentu pria tinggi itu tak memiliki niat untuk berhenti sampai di situ. Lataza memang menarik kembali tongkatnya, namun setelah itu dia melemparkan tongkatnya asal hingga tongkatnya melesat dan tertancap di salah satu lemari yang cukup besar.

"Kau tak kunjung membalasku, aku yang akan mencarinya sendiri." Lataza bertekat serius.

Tezeo terdiam, menolehkan wajahnya ke arah tongkat milik Lataza, melihat bagaimana tongkat Lataza menghancurkan pintu lemari itu. Tezeo meneguk ludahnya kasar, berpikir kalau ini adalah akhir hidupnya.

Sedangkan di tempat berbeda, Lera dan pemuda yang bersamanya dapat melihat betapa tajamnya tongkat yang melesat ke atas mereka. Pemuda itu dapat meyakinkan bahwa tongkat yang tertancap di atasnya tak lain adalah milik Lataza.

"Maafkan aku, sepertinya Tuan Lataza mengetahui keberadaan kita." Bisik si pemuda tepat di telinga Lera.

Lera mengangguk pelan, "Tidak apa kak, ini juga bukan salahmu." Dia merasa pasrah.

Terdengar suara langkah sepatu yang semakin dekat ke tempat mereka berada. Lera meremas tangan pemuda yang sedang bersamanya sekarang. Dengan hati-hati, pemuda itu melepas cengkeraman tangannya yang menahan tubuh Lera.

Lera menoleh, melihat manik mata pria di sampingnya. "Terima kasih sudah membantuku, Kak?"

Pemuda di sampingnya tersenyum. "Kamu bisa memanggilku Nadden."

Lera tersenyum diiringi sisa-sisa air matanya. "Senang bertemu denganmu, Nadden."

"Maafkan aku, sepertinya kita akan berpisah di sini, semoga kita bisa bertemu di lain waktu." Pemuda bernama Nadden tersenyum melihat Lera.

Lera mengangguk, "Terima kasih sekali lagi, Nadden." Cicitnya.

Sebelum Nadden sempat berbicara, sebuah tendangan membobol pintu lemari yang mereka tempati, siapa lagi yang akan tega menendang pintu hingga hancur selain pria bertubuh tinggi bernama Lataza. Dapat melihat dengan jelas betapa sangarnya wajah Lataza yang sedang menatapnya dingin dengan amarah membara.

"Apa yang kau lakukan di sini, Devar?" Suara Lataza terdengar sangat dingin.

Nadden bertekuk lutut dengan cepat menghadap Lataza. "Saya mohon ampun, Tuan Lataza."

Pemuda itu tak berani mengangkat wajahnya, dia tetap diposisi menunduk. Lera heran mengapa Nadden begitu patuh terhadap orang besar di hadapannya. Berniat membantu Nadden, Lera merasakan tusukan yang menjanggal di jantungnya, sebelum dia sempat menyentuh punggung Nadden.

"Kau harus tau posisimu, 𝐂𝐡𝐢𝐦𝐞𝐫𝐚." Lataza menatap tajam gadis yang meringkuk di depannya.

Tak kuasa menahan perih yang menyerang tubuhnya, Lera benar-benar kesakitan. Tubuh mungil gadis itu menampakkan bercak-bercak merah seperti cacar. Walaupun begitu, Lataza hanya diam dan memerhatikan betapa sengsaranya Lera ketika bercak-bercak merah itu menyerang tubuh gadis itu.

"Sakit, sangat menyakitkan." Lera meringis memukul-mukul dadanya.

"Kau pantas menerima itu, gadis pembawa sial." Lataza dengan sadisnya membiarkan Lera dalam kesengsaraan.

Melangkah pergi meninggalkan Lera yang sedang kesakitan dan juga Nadden yang perlahan meneteskan air mata kala mendengar rintihan demi rintihan yang keluar dari bibir Lera, Lataza benar-benar Raja Iblis.

"Maafkan saya, Tuan Lataza." Suara parau Lera membuat langkah Lataza terhenti.

Lera terus memohon, bahkan saat tubuhnya semakin terasa menyakitkan. Suara gadis itu semakin menyelekit jika didengar, dua orang yang tak tega mendengarnya hanya bisa tertunduk karena pengaruh Lataza. Sedangkan Lataza masih terdiam di tempatnya, dia tak menengok sedikit pun bahkan saat Lera meneriaki namanya, dia tetap tak menggerakkan bibir maupun langkahnya.

"Apa Anda berniat mengulangi kesalahan yang sama, Yang Mulia?" Suara dingin seorang wanita muncul dari arah pintu dengan pedang yang bertengger di punggungnya.

𝘈𝘬𝘩𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨. Batin Nadden.

Lataza menatapi wanita yang sedang berjalan ke arahnya. "Seriza?" Lirihnya.

Seriza atau yang dikenal sebagai 𝙈𝙖𝙡𝙖𝙞𝙠𝙖𝙩 𝙈𝙖𝙪𝙩 oleh Bangsa Eartho, dia adalah pengawal pribadi atau bisa disebut asisten khusus Lataza.

Seriza menghela pelan, "Anda harus jujur pada diri sendiri, Anda ingin menolong gadis kecil itu bukan?" Tanyanya selagi menatapi Lera yang keadaannya semakin memburuk.

Lataza tak membalas perkataan Seriza, seakan-akan Seriza mengetahui perasaannya. Wanita itu paham dengan perubahan raut wajah Tuan-nya pun langsung berjalan ke tempat di mana Lera meringkuk menahan rasa sakit yang terus menusuk-nusuk tubuhnya.

"Apa yang ingin kau lakukan, Seriza?" Tanya Lataza tanpa menoleh.

Seriza tersenyum tipis, "Melakukan apa yang sebenarnya ingin Anda lakukan."

Seriza kembali berjalan tanpa memedulikan tatapan sinis dari Lataza. Saat Seriza sudah sampai di depan tubuh Lera, dia melepaskan sarung tangan kanannya dan mendekati telapak tangannya ke pucuk kepala Lera.

"𝘓𝘢 𝘚𝘪𝘳𝘦 𝘛𝘰𝘮𝘦." Seriza mengucapkan kata-kata yang berisikan mantra.

Seketika suara keras terdengar karena tabrakan antara tubuh Lera dengan kayu lemari yang memang cukup rapuh. Seriza mengangkat tubuh mungil Lera dengan hati-hati, wanita itu menatapi wajah sayu Lera yang memucat.

Seriza menundukkan wajahnya menatap Nadden yang masih bersimpuh.

"Apa kau tak kunjung berdiri juga, Nadden?"

Nadden yang tersontak kaget pun menatap wajah dingin Seriza yang memiliki luka sayatan di daerah alis kirinya. Sesaat setelah Nadden memandangi wajah Seriza, dia dibuat kembali tenang dikala Seriza mengacak rambutnya.

"Kau tak bersalah di sini, lebih baik kau cepat berdiri sebelum dia marah lagi." Peringat Seriza dengan berbisik.

Nadden dengan kewaspadaan-nya langsung melirik Lataza yang tak kunjung menoleh. Nadden semakin gugup, sedangkan Seriza membawa tubuh mungil Lera dalam gendongannya dan berjalan menghampiri Lataza yang masih setia berdiri di tempatnya.

"Apa Anda tidak lelah berdiri di sana, Yang Mulia?" Seriza berdiri di samping Lataza yang sedang termenung.

Karena suara Seriza yang memasuki indra pendengarannya, Lataza sedikit melirik Seriza masih dengan tatapan dinginnya.

"Dia seorang Chimera." Lirih Lataza.

Seriza menundukkan kepalanya, menatap wajah Lera yang terlihat masih menahan rasa sakit.

"Apa maksudmu gadis kecil ini?" Tanya Seriza senantiasa menatapi wajah mungil Lera.

Lataza mengangguk kecil.

"Apa dia seperti ancaman bagimu?" Seriza mengetahui niat Lataza.

Lataza terdiam, namun setelahnya dia berdehem meredakan kecanggungan.

"Dia seorang Chimera, dia hidup saja sudah menjadi ancaman." Ucap Lataza menatap jendela.

Seriza mengulurkan tubuh Lera yang awalnya berada di dekapannya, sekarang berada di hadapan Lataza. Wanita itu bersikap seperti itu untuk memastikan kejujuran dari seorang Lataza.

"Kenapa kau memberikan tubuh pembawa sial itu?" Ucap Lataza penuh kebencian.

Seriza mendecak sebal, "Apa dia memiliki bom ditubuhnya? Dia bukan racun ataupun bom pemusnah."

Lataza mengatupkan bibirnya, dia menatapi tubuh Lera yang disodorkan oleh Seriza ke hadapannya. Pada akhirnya, Lataza meraih tubuh Lera serta mengangkatnya dan dia tak lupa memerhatikan setiap inci tubuh Lera.

"Apa sekarang kau percaya?" Tanya Seriza.

Lataza menunjukkan raut kebingungan. "Apa dia masih hidup?" Tanyanya yang tak melihat adanya kehidupan di wajah Lera.

Seriza mengernyit tak paham, "Dia masih hidup, kondisi jantungnya juga normal, tapi dia memiliki beberapa luka ditubuhnya." Jelasnya detail.

Lataza tertegun, dia membuka jaket yang menutupi tubuh Lera. Bukannya mendapat apresiasi, Lataza mendapat pukulan dipunggung tangannya.

Lataza meringis pelan, "Kenapa kau memukul tanganku?"

Seriza mengambil alih kembali tubuh Lera, memberikan tatapan sinis kepada Lataza yang notabenya adalah Raja-nya. Kening pria itu mengerut, tak paham mengapa Seriza menatapnya sinis.

"Mesum." Lirih Seriza yang terdengar sampai ke telinga Lataza.

Lataza dengan wajah cengonya, merasa bahwa dirinya seperti orang brengsek sekarang. Lataza menggaruk lehernya, seketika dia menjadi canggung.

"Maafkan aku." Gumam Lataza.

Seriza tersenyum mengejek, "Apa nanti akan ada kabar penguasa dari dunia Eartho mencabuli anak di bawah umur?" Seriza meledek Lataza.

Lataza terpaku, dia tak lagi membalas perkataan Seriza. Wanita dengan wajah dingin itu berdalih menatap Tezeo yang masih tersimpuh dengan lututnya sebagai penyangga. Seriza menyenggol lengan Lataza, mengisyaratkan sesuatu lewat tatapan matanya.

"Kau kenapa?" Tanya Lataza menatap tingkah aneh asisten nya.

Seriza menghela pelan, "Apa kau sekejam itu untuk membunuh dia?" Seriza menatapi tubuh Tezeo yang bergetar.

Lataza memiringkan kepalanya, "Dia pengkhianat." Balasnya.

Seriza menendang betis Lataza. "Apa kau tak punya perasaan hah?" Kesal nya.

Lataza meringis, dia berpikir bahwa pengawalnya ini sangat lah tidak sopan padanya. Akhirnya karena paksaan dari Seriza, Lataza membersihkan aroma yang dikeluarkan olehnya sedari tadi, walau masih ada aroma yang tersisa dalam ruangan itu.

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Seriza mempererat pegangannya pada tubuh Lera.

Lataza melirik wajah pucat Lera, "Sepertinya kita harus menyembuhkannya terlebih dahulu."

Seriza ikut menatap wajah Lera, "Dia butuh penanganan segera."

Lataza mengangguk kecil. "Ya, kau benar."

Sedangkan Tezeo yang sedari tadi terbatuk-batuk karena dirinya yang tak kunjung dapat bernapas lega pun memerhatikan kedua orang yang sedang berbincang dengan wajah datar yang terpasang berada di depannya.

"Apa Paman baik-baik saja?" Tanya Nadden yang tak enak hati melihat keadaan Tezeo.

Tezeo menatap wajah khawatir Nadden. "Aku tak apa, bagaimana dengan Lera?" Tezeo perlahan bangun dari simpuhannya.

Nadden memerhatikan betapa berusahanya Tezeo untuk bangkit, perlahan dia membantu Tezeo untuk bangun. Nadden memegangi lengan Tezeo agar si empu tak terjatuh saat berdiri.

"Dia baik-baik saja." Ujar Nadden.

Tezeo tersenyum tipis, "Syukurlah dan terima kasih sudah membantuku, anak kecil."

Nadden ikut tersenyum, dia membantu Tezeo dengan menjaganya dari belakang. Sekarang pria dewasa itu berjalan mendekati Lataza dan Seriza yang belum berhenti berbincang, dia hanya memikirkan keadaan Lera. Dengan kepekaannya yang kuat, Lataza merasakan kehadiran Tezeo yang semakin mendekat.

"Berikan Lera kepadaku." Tezeo merentangkan kedua tangannya.

Lataza mengangkat satu alisnya, "Apa maksudmu?"

"Aku adalah walinya, kalian tak boleh menyentuhnya tanpa seizinku." Jelas Tezeo.

Lataza tertawa remeh, "Apa yang kau maksud? Kau sudah gila?" Lataza menatap rendah Tezeo.

Tezeo terkekeh sini, "Berikan tubuhnya."

Lataza berjalan mendekati Tezeo yang berdiri tak terlalu jauh darinya. Menatapi Tezeo seperti menatap sesuatu yang sangat kotor, senyuman licik terpampang di wajah datarnya.

"Dia adalah pembawa sial, dia akan diamankan." Ucap Lataza.

Tezeo tertegun, "Apa yang Anda maksud? Dia masih di bawah umur." Tezeo tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Apa kau masih tak mengambil pelajaran setelah hidup beratus-ratus tahun lamanya?" Tanya Lataza masih dengan argumennya.

Tezeo mengepalkan tangannya, dia kesal dengan tindakan sepihak yang dilakukan Lataza. Pria dengan kedudukan tinggi yang dipanggil penguasa itu memang dikenal dengan kekejamannya, ketegasannya, kelicikannya, kepintarannya, dan juga kelincahannya. Dan jika masalah yang bersangkutan dengan Chimera, maka Lataza tak akan tinggal diam.

Tezeo tertunduk lemas, "Apa kau masih ingin terus membunuh para Chimera? Bahkan jika mereka masih bayi?" Tezeo ingin mengetahui inti permasalahannya.

Lataza berjalan mundur kembali ke tempatnya.

"Kalian tak akan paham dengan apa yang akanku lakukan kepada semua Chimera, kalian hanya tau bahwa Chimera yang semuanya ku bunuh hanya lah karena kebencianku pada Chimera, tapi intinya bukanlah itu." Balas Lataza menjelaskan.

"Semuanya ku lakukan karena aku sudah pernah melalui kegelapan dalam hidupku saat dikelilingi oleh para Chimera tak hanya satu kali, tetapi berkali-kali aku terus bertemu dengan Chimera bahkan mereka lebih licik daripada yang ku kira." Lanjut Lataza menceritakan masa kelamnya.

Lataza berbalik menghadap Tezeo, "Bahkan dengan teganya mereka menikam ibuku tepat di hadapanku, apa menurutmu aku bisa melupakan semuanya begitu saja? Mereka benar-benar hama bagi kehidupan siluman maupun manusia." Ungkap Lataza.

Lataza mencengkeram tongkatnya, "Aku tak akan semudah itu memaafkan mereka."

Tezeo senantiasa mendengarkan alasan yang Lataza ungkapkan perihal pemusnahan Chimera. Sekarang ia mengerti kenapa Lataza bisa sebenci itu dengan Chimera, namun tetap saja tak semua Chimera sama dengan yang Lataza temui di masa lalu pria itu.

"Tapi dia berbeda." Ujar Tezeo.

Lataza mengernyit tak paham, "Apa yang berbeda? Dia sudah menyandang status Chimera di dadanya, tak ada yang membedakan setiap Chimera."

Tezeo melangkahkan kakinya mendekati Seriza yang masih mendekap tubuh Lera di gendongannya. Tezeo merampas tubuh Lera dari tangan Seriza, untungnya wanita itu tak keras kepala seperti Lataza, dan membiarkan Tezeo mengambil alih tubuh Lera.

Tezeo menunjuk tulang selangka Lera, "Apa Anda lihat tanda ini?"

Lataza melihat sebuah gambar yang terlihat seperti ukiran di tubuh Lera. Pria itu tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Tezeo, dia masih menunjukkan raut kebingungan.

"Apa Chimera yang kau temui terdahulu memiliki tanda yang sama seperti gadis ini?"

Lataza menyadari sesuatu, dia kembali memutar memori ingatannya, tapi saat dia berfokus pada ingatannya yang mulai ia teliti satu persatu tulang selangka dari para Chimera yang pernah dia jumpai. Namun tak satu pun Chimera yang ia temui memiliki tanda yang sama seperti Lera.

"Aku benar bukan?" Tanya Tezeo yang melihat perubahan raut wajah Lataza.

Lataza terbelalak, "Namun Chimera tetaplah Chimera."

Melihat wajah datar Lataza yang masih tetap dengan opini nya, entah kenapa membuat Tezeo (Terio) merasa lebih kesal.

𝘈𝘱𝘢 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘨𝘶𝘯𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘬𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘪𝘧𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢? Pikir nya.