Chereads / Flawed Destiny / Chapter 3 - I. Bertahan Hidup

Chapter 3 - I. Bertahan Hidup

Pada tahun 2134, tahun di mana teknologi sudah lebih berkembang. Semuanya hidup dalam kedamaian, namun dibalik itu umat manusia harus hidup berdampingan dengan para siluman yang memiliki daya tahan tubuh, fisik, serta perubahan emosi yang berbeda dari manusia pada umumnya. Para siluman memang bisa mengubah wujud mereka seperti manusia, tetapi mereka harus meminum atau mengonsumsi rutin obat yang diracik langsung oleh kerja sama dari para tetua siluman dan manusia.

Pada umumnya manusia memiliki hasrat untuk berhubungan intim dan dilakukan saat mereka memiliki pasangan. Bedanya dengan siluman adalah mereka memiliki masa-masa atau waktu tertentu yang biasa disebut oleh manusia š˜”š˜¶š˜“š˜Ŗš˜® š˜¬š˜¢š˜øš˜Ŗš˜Æ dan dikenal di dunia medis sebagai š™Žš™šš™ š™Ø.

"Apa itu heat, Paman Eri?" Pertanyaan dari seorang gadis kecil membuat beberapa pasang mata beralih menatapnya.

Seorang pria yang duduk di sebelahnya menatap lembut gadis kecil yang menggenggam tangannya. Senyuman tak kunjung lepas ketika gadis di sampingnya menatap sebuah mading yang terpajang berseberangan dari tempat mereka duduk.

"Apa yang ingin kamu ketahui, Lera?" Tangannya mengelus lembut rambut pendek si gadis mungil.

Gadis kecil yang bernama Lera itu pun tersenyum lebar. "Rara hanya ingin belajar mengenai hal-hal yang belum Rara ketahui, Paman." Berucap sembari memainkan kakinya yang menggantung ke bawah.

"Kamu belum cukup umur untuk mengetahuinya, Lera." Ucap si pria dengan lembut.

Lera mendengus kesal, "Aku sudah berumur 10 tahun, Paman."

Pria dewasa yang dipanggil Paman itu pun hanya bisa menahan kegemasannya.

"Tuan Tezeo!" Panggil perawat yang keluar dari ruangan.

Tezeo atau Paman dari Lera pun menggandeng lembut tangan gadis kecil di bawahnya yang masih terpaku menatap mading di depannya. Jari-jari Lera membalas genggaman Tezeo dengan erat, si gadis kecil mengikuti langkah besar Tezeo yang susah untuk diimbangi kaki pendeknya.

"Apa kamu mau digendong saja, Lera?" Tanya Tezeo berniat menggoda Lera.

Lera mendecak sebal, "Tidak usah, Rara bisa berjalan dengan benar." Tolaknya dengan bibir manyun.

Tezeo menahan tawanya saat dia melihat raut kesal dari gadis di genggamannya. Mereka berjalan memasukki ruangan yang dipersilahkan oleh perawat yang tadi memanggil namanya. Namun sebelum melangkah lebih ke dalam, Tezeo berjongkok agar menyamakan tingginya dengan gadis kecil di depannya.

Menyentuh lembut pundak kecil Lera. "Apapun yang terjadi di dalam, Lera tidak boleh berteriak ataupun menangis agar Lera tidak dikatai pengecut dan lemah oleh teman-teman sekolah Lera nanti."

"Apa Lera mengerti apa yang Paman katakan?" Lanjutnya.

"Kenapa Lera tidak boleh menangis?" Tanya Lera memiringkan kepalanya.

Tezeo terkekeh pelan, "Kalau Lera menangis, Paman tidak akan memberikan Lera permen manis lagi." Ucapnya.

"Jangan, permen yang Paman berikan sangat manis, Rara mau permen manis." Lera membujuk dengan mata berbinar.

"Baiklah jika seperti itu, Lera harus mengikuti apa yang paman katakan, setuju?" Tezeo menjulurkan kelingkingnya.

Lera mengaitkan kelingking kecilnya, "Rara setuju."

Tezeo tersenyum diiringi dengan tangannya yang sudah bersarang di surai hitam Lera. Kembali menggandeng tangan Lera dan membiarkan Lera berjalan mengikutinya.

"Selamat datang, Tuan Tezeo." Sapa Dokter yang sedang fokus pada layar komputernya.

Tezeo menarik kursi yang berada di depan meja dokter yang tak meliriknya sedikit pun. Dia mengangkat tubuh kecil Lera dan mendudukkan-nya di kursi yang berada di sampingnya.

"Ada keluhan apa yang bisa saya bantu?" Dokter tersebut membuka kacamatanya.

Namun tak berlangsung lama setelah Tezeo membuka tudung jaket milik Lera, Dokter yang melihat hal tak terduga di hadapannya pun hanya bisa menatap dengan wajah datarnya serta alis yang sudah mengkerut.

"Apa saya bisa meminta suplemen yang sudah disediakan oleh Rumah Sakit ini?" Tanya Tezeo tanpa basa-basi.

"Bagaimana Anda bisa datang ke Rumah Sakit manusia?" Tanya Dokter yang masih tak paham.

Tezeo menghela pelan, "Apa menurut Anda saya bisa membawa seorang siluman ke tempat lain selain Rumah Sakit manusia?"

Tak terima mendengar pernyataan Tezeo, Dokter itu menggebrak kuat mejanya.

"Apa menurut Anda ruangan saya adalah tempat bermain?" Ucapnya serius.

"Saya tak bisa membawanya ke Rumah Sakit khusus kaum siluman, apa kalian tak bisa membantu saya sedikit saja?"

"Hanya kali ini saya membutuhkan suplemen untuk menahan perubahan wujudnya. Saya mohon, akan saya bayar berapa pun harganya." Lanjut Tezeo nanar.

"Bagaimana ini Dokter Guro?" Perawat di sampingnya bertanya.

Guro yang berstatus Dokter di situ pun harus dibuat berpikir karena masalah seperti ini. Pada akhirnya karena dorongan yang harus membantu pasiennya pun, ia memberikan beberapa obat serta suplemen khusus yang memang disediakan oleh Rumah Sakit khusus untuk para siluman dalam situasi darurat.

"Saya hanya memberikan beberapa obat dan suplemen, jika Rumah Sakit ini mengetahui kedatangan siluman sepertinya maka Rumah Sakit ini akan terancam. Saya hanya membantu sebisa saya." Guro menyodorkan selembar kertas yang berisikan resep obat.

"Terima kasih banyak." Tezeo menundukkan kepalanya sopan.

Tezeo bangkit dari duduknya, mengajak Lera yang sedari tadi terdiam dengan wujud silumannya. Tezeo menggandeng tangan mungil Lera, namun sebelum Lera benar-benar keluar, gadis itu membungkukkan tubuh kecilnya.

"Terima kasih, Paman Dokter." Ucap Lera diakhiri senyuman manisnya.

Guro yang melihatnya pun hanya bisa terdiam, namun jari-jarinya sudah meremas celananya di bawah sana. Perawat yang ditugaskan bersama dengan Guro pun bisa melihat pria itu yang berusaha kuat menahan kegemasannya hingga tak segan-segan meremas celananya sendiri.

"Apa menurutmu gadis kecil itu akan baik-baik saja?" Tanya si perawat mengalihkan topik.

Guro melirik sekilas perawat di sampingnya, "Apa yang harus ku katakan? Aku tidak bisa menjamin keselamatannya yang berstatus sebagai siluman langka, kamu juga menyadarinya kan suster Jisa?"

Perawat Jisa yang melihat perubahan raut wajah Guro pun menepuk pelan pundak partnernya itu.

"Sekalipun dia siluman, kau masih ingin membantunya. Kau sudah bekerja keras sejauh ini, Dokter Guro." Jisa menyemangati Guro yang terlihat memelas.

Guro tertawa getir, "Semuanya akan terasa tidak adil di dunia ini."

Jisa menganggukkan kepalanya menyetujui perkataan Guro.

FĪ›DĪ£āœŽ

Siang yang begitu terik ditemani sinar matahari yang mengikuti setiap pasang langkah di atas trotoar. Bayangan yang tidak lepas dari setiap pasang langkah pun juga tak kunjung menghilang dikala sinar mentari semakin menyengat dan membuat beberapa orang terpaksa membuka payung untuk melindungi diri mereka dari teriknya seinar matahari.

"Paman, apa isi dari plastik yang Paman pegang itu?" Tanya Lera dengan rasa keingintahuan-nya.

Tezeo memerhatikan gadis kecil yang berada di gandengan-nya sekarang, terlihat begitu menggemaskan. Pria memakai coat itu mendekatkan kantong plastik yang berlogo kan Rumah Sakit Hudeli ke dekat wajah Lera. Dengan teliti, penglihatan Lera menyipit berusaha membaca tulisan kecil yang tertera di plastik yang sedang dilihatnya.

"Apa itu supresan, Paman?" Lera menunjuk tulisan kecil yang tertera.

Tezeo tersenyum tipis, "Supresan itu obat untuk meringankan gejala batuk, Lera tau kan apa itu batuk?"

Lera mengangguk, "Rara tau, saat Rara makan chiki atau minum es pasti besoknya Rara uhuk uhuk." Lera memperagakan bagaimana saat dia sedang terbatuk-batuk.

"Itu yang namanya batuk kan, Paman?"

Tezeo mengacak-acak rambut Lera gemas. Bagaimana bisa gadis kecil yang berada di genggamannya bisa selucu ini, pikirnya.

"Apa Lera ingin makan pancake?" Tanya Tezeo saat mereka melewati Toko yang menjual berbagai macam pancake.

Lera meloncat-loncat girang, "Rara mau pancake, pancake yang lucu."

Tezeo terkekeh gemas, "Baiklah, Paman akan membelikan beberapa pancake lucu untuk Lera."

Ingin beranjak meninggalkan Lera, namun sebelum dia dapat melangkah lebih jauh, beberapa jari mungil menahan peacoat-nya. Tezeo menolehkan wajahnya, menatap ke bawah, dia bisa melihat raut sedih yang ditunjukkan oleh Lera.

Tezeo merendahkan tubuhnya agar dia bisa melihat wajah Lera. "Kenapa wajahmu terlihat kecut begitu, Lera?" Tanyanya.

Wajah gadis di hadapannya terangkat. "Rara maunya makan langsung, Rara gak mau makan di rumah." Cicitnya.

Tezeo mengangguk paham, tetapi tersirat kekhawatiran di manik matanya.

"Ya sudah kalau Lera ingin makan di tempat, kita akan makan langsung di sana." Tezeo menggandeng kembali tangan mungil Lera.

Lera tersenyum senang, menggenggam balik tangan Tezeo dengan erat. Dia sangat bahagia berkat Tezeo yang mengajaknya ke Toko pancake kesukaannya. Tezeo dan Lera masuk ke dalam Toko pancake diiringi bunyi lonceng kecil saat mereka mendorong pintu Tokonya.

"Sepi." Gumam Tezeo.

"Selamat siang, selamat datang di Toko Cakeree." Sapa seorang wanita penjaga kasir.

Mendengar sapaan dari arah kasir membuat pria itu tersenyum dan membalas sapaan nya. Tezeo mendekat ke meja kasir diikuti oleh Lera yang sedang terpesona dengan dekorasi lucu yang terpajang di setiap titik yang ada di Toko itu.

"Tolong buatkan saya pesanan."

Penjaga kasir di seberang meja sudah siap mengetikkan pesanan Tezeo.

"Saya pesan 1 strawberry smoothie, 1 americano, dan 1 pancake spesial." Tezeo menyebutkan pesanannya.

"Apa Anda ingin mengambil promo khusus christmas?" Tawarnya sembari memencet menu yang ada di tablet Tokonya.

Tezeo menggeleng, "Itu dulu saja."

"Baiklah, totalnya jadi 45.000."

Tezeo mengeluarkan dompetnya, namun saat dia mengecek dompetnya tidak dapat ia temukan satu pun lembar uang.

"Maaf, apa di sini bisa pakai kartu debit?" Tezeo merasa gugup.

Penjaga kasir itu tersenyum, "Kita bisa pakai kartu debit untuk pembayarannya."

Penjaga kasir itu mengangkat mesin untuk pembayaran via kartu debit. Tezeo mengecek kembali dompetnya, namun dia tak bisa menemukan kartu kredit yang biasa dia gunakan di saat-saat genting.

š˜šš˜Ŗš˜¢š˜­, š˜£š˜Ŗš˜“š˜¢-š˜£š˜Ŗš˜“š˜¢š˜Æš˜ŗš˜¢ š˜¬š˜¦š˜µš˜Ŗš˜Æš˜Øš˜Øš˜¢š˜­š˜¢š˜Æ. Rutuk Tezeo membatin.

Tezeo menghela kasar, "Maaf, saya hanya ada kartu ini untuk sekarang." Ia mengeluarkan kartu hitam pekat yang berbalut emas di pinggirannya.

Penjaga kasir pun terdiam menatapi kartu yang baru saja Tezeo keluarkan, seketika kartu itu bersinar seakan-akan benda itu sangat mewah. Dengan hati-hati wanita itu mengambil kartu dari jari-jari pria di seberang mejanya, namun menurut Tezeo tingkah dari penjaga kasir sangat lah aneh.

"Apa ada masalah?" Tanya Tezeo bingung.

"Aaah bukan bukan." Perempuan itu merasa gugup saat tatapan Tezeo berubah.

Tezeo mendecak pelan, "Apa prosesnya masih lama?"

"Aw." Ringis Tezeo pelan.

Tezeo melihat ke Lera, pelaku yang mencubit pinggangnya.

"Paman harus sabar, jangan buat kakak penjaga kasirnya gugup." Sebal Lera.

Tezeo mendengus sebal, tatapannya beralih ke perempuan di belakang meja kasir.

"Maaf, saya akan melakukannya dengan cepat."

Penjaga kasir itu langsung buru-buru menggesekkan kartu Tezeo di mesin kartu.

Menangkap gelagat aneh yang ditunjukkan oleh penjaga kasir, diperhatikannya setiap jengkal kelakuan yang mencurigakan menurutnya.

š˜’š˜¦š˜Æš˜¢š˜±š˜¢ š˜§š˜Ŗš˜³š˜¢š˜“š˜¢š˜µš˜¬š˜¶ š˜µš˜¢š˜¬ š˜¦š˜Æš˜¢š˜¬? Pikir Tezeo.

"Pembayaran sudah berhasil, kartunya saya kembalikan. Terima kasih." Penjaga kasir itu mengembalikan kartu milik Tezeo dengan perlahan.

Tezeo mengambil kembali kartunya dengan kasar sampai membuat wanita penjaga kasir yang melihatnya pun dibuat terpelongo.

š˜ˆš˜Æš˜¦š˜©, batin Tezeo.

Membalikkan tubuhnya menjauh dari meja kasir, tak lupa dengan Lera yang masih berjalan di sampingnya. Tezeo serta Lera berjalan mencari tempat duduk yang nyaman dan juga dekat dari jendela yang menampakkan kegiatan orang-orang di luar sana.

"Di sini sangat indah, Paman." Puji Lera melihat taman yang terpampang jelas di penglihatannya.

"Apa kau senang, Lera?" Tanya Tezeo dengan senyum hangatnya.

Lera tersenyum hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Rara benar-benar senang karena Paman."

Memerhatikan wajah lucu gadis di hadapannya sembari menopang dagunya dengan telapak tangan, menatapi manik amber Lera yang berbinar. Tezeo dapat menggambarkan betapa bahagianya Lera hanya dengan melihat tatapan gadis itu.

"Apa aku sudah berhasil menjaganya?" Gumam Tezeo pada dirinya sendiri.

Ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri, dia merasa bersalah hanya dengan melihat kebahagiaan dari tatapan gadis kecil yang sedang bersamanya sekarang.

"Pesanan Anda." Suara pelayan Toko membuyarkan lamunan Tezeo.

"Yey sudah datang!" Riuh Lera.

Pelayan toko pun menurunkan pesanan Tezeo ke atas meja dengan hati-hati. Sedangkan Lera memandangi pancake nya dengan air liur yang sudah ingin menetas. Pelayan toko mengangkat napan nya dan menunduk sopan setelah menaruh pesanan Tezeo.

Merasakan ada aroma yang aneh, ia menatap hidangan yang tersaji di hadapannya sekarang.

"Sepertinya aku tidak memesan tambahan pancake." Lirihnya bingung.

Lera menarik sepiring pancake yang cukup jauh darinya, namun sebelum sampai di hadapannya terlebih dahulu, penciuman Lera menangkap aroma yang membuatnya menutup hidung rapat-rapat.

Melihat gelagat Lera, Tezeo merasa ada yang aneh dengan tingkah Lera yang tak biasa. Masih dengan tatapan intensnya memerhatikan dengan teliti setiap hidangan yang disajikan.

"Paman, baunya sangat menyengat sangat mengganggu pernapasanku." Eluh Lera masih berusaha menutupi hidungnya.

Tezeo bangkit, beranjak duduk di samping Lera yang sekarang sedang berusaha sekuat tenaga menahan aroma yang terus menusuk hidungnya. Dengan cepat ia mengeluarkan sebuah gumpalan kain yang berisikan wewangian dan memberikannya kepada Lera.

"Kamu hirup kain ini, kain ini bisa membuat kamu tidak lagi menghirup aroma yang menyengat."

Lera mengangguk paham, "Terima kasih, Paman." Lera menutup hidungnya menggunakan kain yang diberikan Tezeo.

Perasaan kesal memuncak, Tezeo bangkit dari duduknya, melirik tajam piring yang berisikan pancake di hadapan Lera. Dengan menggebu-gebu, dia mengangkat piring yang seharusnya menjadi santapan Lera, memerhatikan piring tersebut dengan cermat memikirkan apa yang aneh dari pancake itu.

Tak mendapatkan jawaban yang tepat, Tezeo kembali mengecek sekelilingnya. Namun bukannya dibuat senang, dengan luapan emosinya, ia menarik satu-satunya kain yang dialaskan di bawah piring pancake.

š˜šš˜¶š˜„š˜¢š˜© š˜¬š˜¶š˜„š˜¶š˜Øš˜¢. Batin Tezeo dengan menyeringai.

š‚š‘š€š’š‡!

Perhatian beberapa pelayan Toko tersita karena keberisikan yang dibuat oleh Tezeo, namun hanya ada satu pelayan yang menikmati kejadian itu dengan senyuman kecil di wajahnya.

Para pelayan menatapi serpihan piring yang berserakan di lantai, serta pancake yang sebelumnya didamba-dambakan Lera sudah tidak berbentuk.

"ADA APA INI?" Pekik manajer Toko.

Tezeo menatap dingin manajer toko yang berjalan mendekatinya. Diliputi perasaan kesal, ia melempar kain yang dipegangnya, manajer toko serta para karyawan pun menatap bingung kain yang dilempar Tezeo.

"Apa maksud Anda menghancurkan Toko kami?" Tanya manajer toko yang sudah terlanjur emosi melihat tingkah Tezeo.

Terkekeh mendengarnya, Tezeo melangkahkan kakinya di atas pecahan piring yang membuat siapa pun mengernyit nyilu. Tatapan datar diarahkan ke orang-orang yang berada di hadapannya sekarang, namun mereka tidak menunjukkan tampang-tampang merasa bersalah.

"Apa yang Anda bilang? Menghancurkan?" Tanya Tezeo mengintimidasi.

Manajer toko itu merasa ada yang tak beres dengan Tezeo dan menyuruh karyawan yang lainnya untuk memanggil security.

"Anda sudah merusak suasana di Toko kami." Ucap manajer toko.

"Apa yang sudah saya rusak?" Tezeo kembali bertanya.

"Anda merusak kenyamanan para pekerja."

Tezeo mengambil kembali kain yang dilemparnya. "Anda menaruh racun dikain ini." Ujar Tezeo kesal.

Manajer toko tersentak kaget, dia merasa tertuduh dengan ucapan Tezeo.

"Apa yang Anda katakan? Toko kami sangat dikenal degan kualitasnya." Bantah manajer toko.

Tezeo dapat melihat kejujuran dari manik mata manajer toko di hadapannya. Tangannya membuang asal kain yang beraroma menyengat itu, sorot matanya mengintai setiap orang yang ada.

"Ternyata tebakan saya benar." Suara berat seorang pria membuat Tezeo terpatung.

Suara langkah demi langkah terdengar sampai ke telinga Tezeo, merasakan adanya aura yang mencekam dan juga menekan kuat mana miliknya. Tezeo tak dapat menggerakkan tubuhnya, terus merasakan aroma yang menekan pergerakannya.

"Apa saya benar, Tuan Terio?" Suara pria itu semakin memberat seiring auranya yang menajam.

Seketika lutut Tezeo kehilangan tenaga dan terjatuh dengan tumpuan pada lututnya.

"Apa kau mendengarku, Terio?" Tanya pria itu mengacungkan tongkat nya.

Tezeo menunduk lemah, "Anda benar, š˜”š˜ŗ š˜”š˜¢š˜«š˜¦š˜“š˜µš˜ŗ."

Pria itu menendang pecahan kaca yang berada tepat di depan Tezeo, perasaan muak menggerogotinya setelah mendengar suara racau Tezeo.

"Apa yang kau katakan? Kau rasa masih punya kedudukkan untuk memanggilku seperti itu?" Tanyanya penuh tekanan.

Tezeo kembali merasa didorong jatuh, "Maafkan saya, Tuan Lataza."

"Apa aku bisa menganggapmu sebagai pengkhianat di sini?" Lataza melangkah mendekati tempat duduk Tezeo sebelumnya

Tezeo gelisah, khawatir dengan keselamatan Lera yang sedang berada diposisi terancam. Lataza memegangi ujung sofa yang di mana menjadi tempat duduk Lera.