Di sebuah ruangan yang terasa tenang dan sunyi, tanpa adanya gangguan dari segala macam suara. Namun tanpa diharapkan terdengar bunyi yang sangat keras dari balik tubuh seorang wanita yang sedang mengayun-ayunkan keranjang bayi nya.
Wanita itu dapat melihat bagaimana pintunya terbuka lebar dengan seorang gadis yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Melihat wajah sumringah dari gadis yang menendang pintunya tersebut, ia hanya bisa memasang senyum datar, bersamaan ketika melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis itu.
"ENERY!" Teriakan seorang gadis menggelegar.
Enery terkejut, sorot matanya langsung menatap si empu yang membuat bising di kamarnya.
"Apa kau tidak bisa pelan sedikit, Elata?" Bisik Enery sebal.
Si empu yang dimaksud hanya bisa cengar-cengir tak jelas. Gadis bernama Elata itu berjalan mendekati ranjang bayi Enery dengan kaki jenjangnya.
"Apa bayimu baik-baik saja, Kak?" Tanya Elata menatapi keranjang bayi di depannya.
Dengan cekatannya ia menahan pergerakan Elata yang semakin mendekat ke keranjang bayinya. Pergelangan tangan gadis itu tertahan karena Enery, dia memang berniat untuk mengangkat kain halus yang menutupi keranjang bayi itu.
Alisnya mengerut, Elata merasa aneh dengan tingkah Kakak iparnya itu.
"Ada apa denganmu, Kak?" Tanyanya melepaskan tangan Enery.
Menyadari gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Enery. Helaan napas keluar dari bibir Elata, dia sudah lelah dengan sikap Enery yang menurutnya terlalu berlebihan akan menyikapi sesuatu.
"Tidak perlu menutupinya lagi, bayimu adalah Chimera kan? Aku dapat mencium aromanya yang berbeda."
Enery terdiam, menatapi manik coklat milik Elata. "Ya, kau benar, dia seorang Chimera." Suaranya mengecil.
Melihat wajah murung Kakak iparnya, tangannya mengarah ke surai kemerahan Enery dan mengacaknya.
"Kau tak bisa menutupinya dariku, Enery." Gemas Elata.
Kekehan geli keluar dari bibir Enery ketika melihat wajah Elata yang sedang menahan kegemasannya, pola wajah yang mirip dengan suaminya. Gadis di sampingnya itu menarik kursi yang tersedia di dekat ranjangnya.
"Lalu, apa lataza sudah mengetahuinya?" Tanya Elata sembari menyenderkan punggungnya di kursi.
Enery menatap muram ke arah keranjang bayi nya. "Jika dia mengetahuinya, aku sudah dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya."
Elata dapat melihat kekhawatiran dari wajah Enery, sosok keibuan yang terpancar dari sanubari wanita itu. Namun peraturan tetaplah peraturan, Lataza sudah membuat ketentuannya sendiri.
"Apa kau akan terus berniat untuk menutupi semua dari Tuan Lataza? Jika dia mengetahuinya, bisa saja kau dianggap pengkhianat olehnya." Ungkap Elata mengingat pengalaman dari sebelum-sebelumnya.
Enery tak berani melihat keseriusan yang terpancar dari wajah Elata, dia merasa tak kuat jika harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Melihat betapa seriusnya Elata dari cara duduknya yang sudah berbeda, dengan tangan yang disilangkan di depan dada, serta kaki kanan-nya yang menyilang di paha kirinya.
"Apa yang harusku perbuat selain menyembunyikan putriku?" Suara wanita itu terdengar pasrah.
Elata memikirkan sesuatu yang terlihat serius. "Bagaimana jika kau mengirim putrimu ke bumi manusia setelah umurnya cukup untuk hidup di dunia luar?" Usul nya.
Enery memikirkan usulan Elata, "Lalu bagaimana dengan perkembangannya saat dia tidak bersamaku?"
"Aku yang akan mengambil alih pengawasan untuk perkembangannya."
Suara seorang pria mengejutkan Enery dan Elata yang sedang melempar pandangan. Wajah Elata terlihat gugup setelah mendengar suara berat khas dari seorang pria yang dikenalnya.
"Terio?" Gumam Enery.
Pria yang dipanggil Terio oleh Enery, mulai berjalan memasukki ruangan Enery dengan tubuh tegapnya. Tubuh tingginya berdiri di samping ranjang wanita itu, namun berbeda dengan seseorang yang sedang duduk dengan pandangannya yang tak terlepas menatap tubuh tegap Terio dengan senyum kecil yang tidak terlihat.
"Apa yang kau maksud dengan ucapanmu tadi, Terio?" Enery bertanya, dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Anda tidak salah mendengar, aku yang akan menjaga putri Anda jika dia dipindahkan ke bumi." Ulang Terio dengan sorot mata penuh keseriusan.
Wajah Enery tertunduk, "Aku tak menyangka bisa dikelilingi oleh orang-orang seperti kalian." Ia terharu.
Sedangkan di ambang pintu, seorang pria bermanik coklat sedang memerhatikan raut sedih Enery. Pria dengan status Enery yang tak lain adalah Ebion, ia hanya bisa memantau, tidak berani melihat air mata istrinya yang terlihat begitu menyakitkan baginya.
Tetapi sebagai seorang pemimpin keluarga dan sosok pemimpin bagi kaum siluman serigala. Ebion melangkah masuk dengan aura mendominasinya yang meraup ke dalam kamar Enery.
"Salam hormat, Tuan Ebion." Terioa membungkukkan tubuhnya sebagai tanda salam.
Tersadar adanya aura yang bertabrakan dengannya, Elata langsung bangkit dari tempat duduknya. Dengan tubuh semampainya, Elata mengarahkan kepalan tangan kanan nya di depan dada kiri nya.
"Salam hangat kepada Alpha dari para Serigala." Sopan Elata dengan mata terpejam.
Ebion sedikit menundukkan kepalanya, membalas salam yang dilontarkan untuknya. Melihat suasana damai yang ada di dalam ruangan itu membuat Ebion tersenyum hangat, secara tidak langsung memecahkan keheningan serta mencairkan suasana yang jadi tegang akibat kedatangannya.
"Lanjutkan obrolan kalian, aku tak ingin mengganggu." Ujar nya mendudukkan dirinya di sofa yang terdapat di ujung kamar.
Elata kembali duduk di kursinya, sedangkan Terio berdiri tegap di samping Elata. Begitu pula Enery yang kembali memikirkan solusi untuk kehidupan putrinya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Elata terlihat bingung.
"Kita belum menemukan nama yang cocok untuk putriku." Ujar Ebion.
Ebion memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya, kaki jenjangnya berjalan menuju ranjang Enery. Wanita itu memandangi betapa tegas dan juga gagahnya tubuh Ebion yang berjalan mendekatinya.
"Ya itu benar, aku belum menemukan nama yang serasi untuknya." Ucap Enery yang sudah jauh lebih tenang.
Ebion mulai berpikir, mengingat betapa cantik paras putrinya dan juga aura yang dikeluarkan oleh putri mungilnya itu. Memikirkan nama yang cocok untuk putrinya , mengingat bahwa putrinya memiliki energi kuat.
"Dia harus memiliki margaku, aku menyarankan La Xe." Usul Ebion.
Ebion melirik wajah istrinya. "Bagaimana dengan kamu, Enery?"
"Aku sangat menyukai Xeyreta." Ucapnya diakhiri senyuman.
Ebion tersenyum dikala dirinya melihat bibir tipis istrinya terangkat membentuk senyuman. Namun berbeda dengan dua orang yang sedang termenung sembari menatapi pasangan siluman di dekat mereka.
"Apa saya boleh memberikan usulan?"
Enery dan Ebion secara bersamaan menoleh ke Terio yang tiba-tiba bersuara.
Ebion mengangguk, "Aku ingin mendengarnya." Balasnya memberikan izin.
Tidak hanya Ebion dan Enery yang memerhatikan Terio. Namun Elata yang sedang duduk di sampingnya ikut menaruh perhatian pada pria itu.
"Leyaxe Ze Enela."
Tatapan kagum diarahkan untuk Terio, hanya satu orang yang berani menatap Terio seperti itu. Kekaguman yang memuncak saat melihat pria tersebut, walaupun hanya dia yang merasa bahwa pria itu sangat keren. Sedangkan di lain tempat ada yang sedang memerhatikan Elata dengan tanda tanya yang memenuhi kepalanya.
"Usulan yang bagus Terio. Aku sudah menemukan nama yang cocok untuk putriku." Ebion mendekati istrinya.
Enery melihat wajah bahagia dan juga pancaran aura kebahagiaan yang dikeluarkan oleh Ebion. Jari-jari panjang mengelus lembut pipi bayi mungil itu, pipi merah yang menambahkan kegemasannya.
"𝘓𝘦𝘳𝘢𝘹𝘦 𝘓𝘢 𝘝𝘶𝘭𝘭𝘰𝘶 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘢." Ebion memutuskan nama untuk putrinya.
Senyuman kebahagiaan melimpah di dalam ruangan tersebut. Melihat Ebion yang mengangkat tubuh mungil putrinya setelah menentukan nama untuk putri kecilnya.
"Baiklah, aku akan memanggilnya.." Enery menggenggam jari-jari mungil putrinya yang berada di gendongan suaminya.
Ebion yang sadar memberikan tubuh mungil putri mereka ke Enery, membiarkan wanita itu mendekap lembut tubuh bayi mungil mereka.
"𝙇𝙚𝙧𝙖." Enery mengusap lembut pipi merah putrinya.
Ebion duduk tepat di samping istrinya, melihat air mata yang mengalir di pipi istrinya. Enery menangis bahagia karena melihat putri mereka tersenyum lebar hingga pipinya memerah bagaikan bunga mawar.
Pria tinggi itu merengkuh tubuh Enery dan juga putri mereka, mengecup lama pucuk kepala Enery untuk mengutarakan betapa bahagia dirinya sampai membuat pria berjiwa keras itu meneteskan air mata.
"Kakak ternyata bisa menangis juga." Gumam Elata.
"Tuan masih memiliki perasaan." Ucap Terio yang muncul berdiri di samping Elata.
"ASTAGA!" Pekik Elata terkejut.
Pria yang mengagetkan Elata melirik wajah gadis itu yang sudah memerah, ia mengetahui alasan pipi gadis itu memerah adalah dirinya.
"Kau mengagetkanku, apa muncul tiba-tiba adalah kebiasaanmu? Setidaknya berikan sedikit suara saat kau melangkah." Keluh Elata.
"Apa kau lupa jika aku adalah ular?" Terio menatapi wajah kesal Elata.
Gadis itu geram ketika melihat wajah datar Terio. "Apa kau tak bisa menyantaikan sedikit urat-urat wajahmu itu?"
Terio mengernyit, "Apa yang salah dengan wajahku? Apa wajahku mengganggu penglihatanmu?" Masih dengan wajah datarnya.
"Kau benar-benar.." Elata menahan emosinya, jari-jari nya sudah mengepal kuat.
Terio tersenyum miring, dirinya ke-asikan sendiri melihat gadis di sampingnya kesal karena dirinya.
"Apa kalian tidak bisa berteman sebentar? Aku sudah muak mendengar keributan kalian." Geram Ebion.
Dengan bersamaan Terio dan Elata menatap Ebion yang tertegun karena pergerakan tak sengaja dua sejoli itu. Tak lama gelak tawa pecah, tentunya dari pria bernama Ebion itu.
Elata menatap kesal Kakaknya yang sedang asik tertawa. "Apa yang sedang kau tertawakan hah?" Kesalnya.
Terio hanya terdiam sembari menatapi Kakak beradik yang sering bertengkar di hadapannya itu.
Ebion menyeka sedikit air mata yang keluar akibat tawaannya. "Apa kau tak bisa menurunkan volume suaramu? Di sini ada putriku." Tegurnya.
Tidak ingin mendengarkan lebih lama lelucon yang dikeluarkan oleh Kakak nya, langkah Elata melaju cepat melewati Ebion yang berdiri dengan kekehan dikala melihat gadis itu. Namun sebelum dia benar-benar melangkah keluar dari kamar Enery, tangannya mencengkeram pundak Kakak laki-lakinya.
"Jika kau meninggalkan setitik luka pada tubuhnya, kau akan habis di tanganku Kak." Ancam Elata berbisik.
Seketika bulu kuduk Ebion menegang setelah mendengar ancaman dari Elata. Sedangkan Enery yang melihat wajah gelisah Ebion membuatnya terkekeh, dia tahu apa yang Elata ucapkan pada suaminya.
"Apa dia mengancammu lagi, sayang?" Tanya Enery mengecilkan suaranya.
𝘚𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨? Batin Ebion berdebar.
Manik mata Ebion melirik wajah istrinya. "Bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Nery?"
Enery menahan tawanya, "Wajahmu berubah setelah Elata membisikkan sesuatu padamu, aku hanya menebak apa yang dia katakan." Tebakan nya tepat sasaran.
Pria itu mengelus tengkuknya, "Kata-kata dia sangat menakutkan di telingaku." Ebion merinding.
Enery tertawa. "Elata akan waspada jika itu sudah menyangkut dirinya." Lirikannya mengarah ke Terio.
Dengan tampang polosnya, Terio hanya memasang wajah datarnya seperti tak menanggung beban di pundaknya.
Ebion menepuk pundak Terio. "Baiklah, kita kembali ke pembahasan baru."
Enery menatap heran suaminya, "Apa lagi yang akan kita bahas?" Tanyanya tak paham.
Ebion menatap serius manik istrinya. "Tentang kelangsungan hidup putri kita."
Mendengar ucapan Ebion membuat Terio yang mendengarnya terkejut, namun dia dengan mudahnya menutupi keterkejutannya hanya dengan wajah datarnya.
"Kita tidak bisa terus membiarkan putri kita dalam posisi terancam, Nery." Ebion berucap dengan nada lembutnya.
Enery terdiam, dia tak tahu harus membalas apa. Menyadari tatapan kosong istrinya, ia merasa tak enak dengan istrinya karena dia harus segera mengambil langkah cukup jauh.
"Maaf Tuan sebelumnya, apa saya bisa memberikan saran?"
Perhatian Ebion tergantikan setelah mendengar apa yang akan Terio sampaikan.
"Katakan saja," ujarnya.
"Bagaimana jika Nona Lera dikirimkan ke bumi manusia untuk perlindungannya?" Saran Terio.
Ebion terkekeh sinis, "Apa yang kau maksud dengan mengirimkannya?"
Terio meneguk ludahnya kasar ketika melihat tatapan menusuk yang ditujukan untuknya.
"Saya menyarankan agar kehidupan Nona Lera tidak selalu diawasi oleh Tuan Lataza, kehidupan di bumi cukup bagus untuk perkembangan Nona Lera karena lingkungannya yang terjamin aman."
"Apa di bumi benar-benar aman untuk dirinya?" Tanya Enery ingin tahu.
Terio menatap ubin yang ia injak. "Sekarang di bumi manusia bukan hanya ada manusia normal pada umumnya sesuai pemantauan saya, di sana juga banyak siluman langka yang disembunyikan atau di buang di sana. Kemungkinan Nona Lera bisa hidup dengan damai di sana." Jelas Terio.
"Berapa skala kemungkinannya?" Pertanyaan mendesak dari Ebion.
Terio dengan tegasnya berkata, "Jika dibandingkan dengan 100 persen, skalanya adalah 84 persen."
"Apa aku bisa memberikan semua tanggungannya padamu?" Ebion menguji kesetiaan Terio.
"Saya akan melindungi nyawa Nona Lera dengan seluruh kehidupan saya sebagai seorang siluman ular." Terio meyakinkan Tuannya.
Ebion menghela pelan. "Baiklah, saya akan kabarkan kembali tentang rencana ini."
Terio menundukkan tubuhnya hormat. "Terima kasih, Tuan."
Tubuhnya kembali menegap, langkahnya berjalan keluar setelah mendapatkan izin dari Ebion untuk keluar dari kamar Enery. Manik merah serigala Ebion menatap nanar pintu ruangannya, mendapati jejak-jejak bekas langkah Terio yang baru saja melewati pintu ruangan.
"Aku bisa mempercayainya."