Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 18 - A little fall back

Chapter 18 - A little fall back

Zain melihat kakaknya terjatuh setelah berhasil mendorong makhluk itu ke dalam portal aneh miliknya. Ia menggunakan semua kekuatannya yang Ia miliki saat itu untuk berlari ke arah tubuh Eideth yang tak bergerak. "Kak, apa kamu baik-baik saja, apa Kakak mendengarku, tolong bangun Kak" Zain menggerakkan tubuh kakaknya yang sedikit dingin. 

Ia segera mengecek tanda vital seperti denyut nadi, pernafasan, dan mendengarkan detak jantungnya secara langsung. Ia bersyukur kakaknya tidak mati, matanya sedikit terang bagai diberi harapan. Ia menggotong tubuh Eideth dengan bahunya dan membawa tubuhnya kembali ke kastil.

Disepanjang jalan yang gelap itu, Zain mencoba mengobrol pada Eideth berharap Ia bangun. Zain mencoba bergegas namun tubuhnya juga mendapat luka dalam, Ia tak bisa terlalu cepat membawa Eideth tanpa memicu lukanya memburuk. "Kak, tenang saja, kita akan segera sampai di rumah, kamu bisa bangun setelah itu, anggap saja ini hadiah karena kamu berhasil mengalahkan makhluk tadi" ujarnya dengan putus asa. 

Zain tidak yakin apa Eideth bisa mendengarnya tapi Ia tidak peduli. Ia sangat sedih karena kondisi kakaknya menjadi seperti ini karena Ia tak cukup kuat, "Kak, maaf Aku lemah" tangisnya. Zain berjalan dalam kegelapan mencari sumber cahaya dari kota, Ia terus berjalan mengikuti jalan tanah setapak yang bisa Ia bedakan hanya dengan kakinya berkat rumput rindang disampingnya. Ia mulai merasa dingin, tangan dan kakinya menggigil tanda tubuhnya berjuang keras untuk tetap hidup. Setelah mendekati pemukiman, Ia membuka mulutnya dan mencoba memanggil bantuan, tapi suaranya tak bisa keluar, hanya rintihan kecil yang dapat terdengar, "tolong siapaa… saja…" kata-kata terakhirnya sebelum terjatuh.

Zain merasakan benturan keras diwajahnya, tapi tubuhnya tak bisa merespon, Ia terkapar disana dengan pandangan mulai kabur. Tanah itu terasa keras dan kasar, tubuhnya terasa berat dan tak memiliki kekuatan lagi, tubuh Eideth terkapar di sebelahnya sebelum matanya terpejam.

"Kakak!!!" teriak Zain terbangun di kamarnya, tubuhnya sudah dibersihkan dan Ia mengenakan pakaian yang nyaman. Diatas kasur itu Ia coba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Setelah terjatuh, Zain benar-benar tak sadarkan diri. Untungnya ada seorang warga yang menemukan mereka dan segera meminta pertolongan. Para penjaga segera datang ke tempat itu dan melihat kedua anak dari Count Raziel penuh luka dan tak sadarkan diri. Mereka segera membawa Zain dan Eideth kembali ke kastil, karena guncangan itu Zain sedikit tersadar dan membuka matanya sedikit.

"Tuan, bangun Tuan" panggil seorang penjaga, "bagaimana kondisi mereka" tanya prajurit lain. "Mereka berdua aman, namun tanda vitalnya sangat lemah, Tuan Eideth tak sadarkan diri dan Tuan Zain setengah tersadar" jelasnya, "kita bawa mereka ke kastil terlebih dahulu" ujar rekannya itu. Seorang warga meminjamkan mereka sebuah kereta kuda yang mana sangat membantu para prajurit itu.

Zain yang setengah tersadar menyaksikannya semua, wajah khawatir keluarganya ketika mereka kembali. Ayahnya segera memanggil Clergy itu memberi mereka perawatan penuh, bahkan jika harus menggunakan sihir penyembuh. Eideth terbangun waktu itu dan mencoba membuka mulutnya, Agareth mencoba memahami apa yang dikatakan Zain tapi tak mendapat apa-apa. Zain memberinya sepotong kain dari pakaiannya yang basah karena darah kepada ayahnya, kemudian Ia tak sadarkan diri lagi hingga sekarang.

Zain segera keluar dari kamarnya mencari keberadaan kakaknya, luka-lukanya sudah tertutup dan dibalut dengan perban, pasti berkat sihir penyembuhan pikirnya. Ia sampai ke kamar kakaknya, Ia mengetuk pintu itu kemudian masuk. Ia bertemu Irena di lorong kastil yang langsung khawatir melihat kakaknya keluar dari tempat tidurnya, "Kakak, apa yang Kakak lakukan" tepat setelah Irena memarahinya, tubuh Zain sudah tidak kuat lagi dan jatuh terkapar.

Zain kembali bangun diatas ranjang kamarnya, kali ini dengan seluruh anggota keluarganya menemani di sebelahnya, semua kecuali kakaknya Eideth. "Kamu sudah bangun Zain" tanya ibunya. "Ibu, Ayah, Irena, …" Zain jadi terpikir tentang kakaknya, Ia menutup mata dengan tangannya jelas-jelas sedang merajuk. Melihat hal itu, rasa malu, kesal penyesalan semuanya tertumpuk seketika, Ia mengumpulkan tekad untuk bertanya sambil terus menutup matanya. "bagaimana keadaan Kak Eid". 

Suasana jadi diam, mereka tak bisa langsung menjawab, Agareth yang pertama membuka mulut "Eideth baik-baik saja, kondisinya stabil, hanya saja", Zain menyela dengan nada kesal "hanya saja apa Ayah". Nada sedih bisa terdengar dari kata-kata Agareth namun Ia menahan perasaannya, "hanya saja Ia tak bisa bangun".

Kekesalan dan penyesalannya semakin besar mendengar kondisi kakaknya namun Ia makin tak mampu menunjukkan wajahnya. "Ini semua karena…", Lucia memotong perkataannya "tidak Zain, ingat peraturan kita, tidak boleh ada percakapan sedih". Zain menghentikan perkataannya lebih lanjut, "Kakak ingin sesuatu" tanya Irena untuk meringankan suasana.

Zain diam sebentar memikirkan jawabannya, Ia membuka matanya dan menatap keluarganya dengan tekadnya selagi berkata, "Ayah, Ibu, bisakah Aku memakai sihir penyembuhan, ada yang ingin kulakukan". Mereka mengerti niat Zain sepenuhnya, keluarga Raziel biasanya menggunakan sihir penyembuhan hanya untuk penanganan, dan membiarkan tubuh mereka sembuh dengan sendirinya. "Aku ingin mencari cara membangunkan Kak Eid, setidaknya itulah yang bisa kulakukan" ujar Zain. 

Agareth menepuk kepala Zain memberinya izin, Ia menatap Lucia yang juga mendapat tatapan memelas dari kedua anaknya, Lucia benar-benar kalah jumlah. "Ha… jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri, walau lukamu sembuh dengan sihir penyembuhan, tubuhmu masih perlu istirahat, jadi tidak boleh ada latihan untuk beberapa waktu, mengerti" Lucia memberi izin selagi mencubit pipi Zain dan Irena karena kesal.

"Terima kasih Ibu" balas Zain sambil menggosok pipinya sehabis dicubit. Mereka meninggalkan Zain sendirian untuk membiarkannya beristirahat, Lucia membuat Zain berjanji agar tidak kemana-mana hingga Clergy dengan sihir penyembuh datang kalau tidak Ia takkan mendapat sihir penyembuhan yang Ia minta.

Zain mencoba berbaring sesantai mungkin menghadap langit-langit, Ia jadi berpikir tentang hidupnya ini dengan serius untuk pertama kalinya setelah sekian lama. "Teman lama, harus bagaimana Aku agar jadi sepertimu" renungnya. Zain mulai mengingat ingatan masa lalunya, dahinya mengkerut selagi bernostalgia seperti hidup di waktu itu kembali.

Ia dulu seorang penyihir dengan kemampuan yang biasa-biasa saja, Ia senang dengan kehidupan biasa miliknya sebelum musibah menimpa keluarganya. Ayah dan Ibunya jatuh sakit dan Ia mati-matian mencari obat. Ia terus menerus mendapat kesulitan karena tak satupun obat yang Ia buat bekerja, Ia mulai putus asa tapi tak mampu menghentikannya untuk mencoba lagi.

Suatu hari Ia didatangi seorang peri, peri itu menawarkan bantuan, sebuah kontrak katanya. Peri itu membuat sebuah portal, darinya keluar seseorang dengan tubuh tembus pandang seorang Jiwa gentayangan. "Apa-apaan, Hei kembalikan Aku" bentaknya. Peri itu menjentikkan jarinya dan tiga buah kertas kontrak muncul diantara mereka. Peri itu menawarkan dirinya seorang jiwa pelindung yang dapat membantunya, dengan balasan Ia harus menjalankan sebuah misi. 

Ia menyetujui kontrak itu tanpa pikir panjang, tapi [Jiwa yang dipanggil] itu menolak, "Aku tidak pernah setuju untuk ini, apa peduliku, Kamu juga tidak bisa menandatangi ini" tolaknya. Ia melihat kepada peri itu, "Dia benar Penyihir, walau Aku memanggilnya kesini, Aku tidak bisa memaksakan pilihannya" jelas peri itu.

Ia memohon pada [Jiwa] itu, berkata Ia ingin menyelamatkan orang tuanya, Ia menambahkan Ia belum dapat membahagiakan mereka, Ia masih ingin berbuat lebih banyak lagi. "Apa kamu yakin tentang itu" tanya [Jiwa] itu, dirinya terdiam dan [Jiwa] itu menambahkan, "mereka juga akan meninggal suatu hari nanti setelah Kamu menyembuhkan mereka". Pertanyaan itu mengguncang pendiriannya, tapi Ia membalas, "Aku tidak akan menyesal nanti, karena setidaknya Aku sudah membahagiakan mereka". 

Akhirnya [Jiwa] yang dipanggil itu setuju berkat bujukannya, "Kalau begitu kontrak ini selesai dibuat dan sah, bekerjalah dengan keras Penyihir" Ia menjentikkan jarinya kembali dan kontrak yang sudah ditandatangani itu menghilang beserta dirinya. 

"Jangan menyesal sekarang, kamu akan dihantui diriku seumur hidupmu" ujar Jiwa itu. "Tolong bantuannya, Tuan Jiwa", [Jiwa] itu tak senang dengan panggilan itu dan memotong perkataannya, "panggil saja Aku…".

Zain menyadari dirinya disebelah tempat tidur Kakaknya untuk menjenguknya. Itu sudah ketiga kalinya Ia mengingat ingatan itu, Ia juga mengingat ingatan itu saat disembuhkan oleh para Clergy. Itu adalah ingatan yang terpendam dalam jiwanya, Ia sama sekali tak bisa melupakan itu bahkan di kehidupannya ini. 

Zain mendengar diagnosa dari dokter bahwa Kakaknya dalam kondisi yang aneh, tubuhnya tak memiliki luka apapun dari malam itu seperti sembuh dalam semalam, namun Ia tak bisa merespon apapun seperti setengah mati.

Zain memanggil teman dekatnya, "Nona peri, tolong datanglah, Aku memerlukan bantuanmu". Seorang Wanita datang dari portal kecil, Ia memakai jas hitam modis dengan rok pendek, Ia keluar dari portal itu sambil melipat tangan didepan dadanya. "Ada apa, [Penyihir] Zain" tanya Wanita itu dengan ramah.

"Nona Loefel, Aku akan langsung saja, bisakah Kamu membantuku membangunkan Kakak, seperti yang [Ia] lakukan dulu" ujarnya. Wanita itu melihat Eideth yang terbaring layaknya koma, Ia menghadap Zain kembali dan menolak permintaannya, "Maaf [Penyihir] tapi itu tidak mungkin". 

"Apa? Kenapa" tanya Zain, Wanita itu menambahkan, "Anda tahu sendiri, Anda adalah relawan, tidak seperti [dirinya], ada batas karena Anda sendiri yang menawarkan diri, kasus [dirinya] itu spesial". 

Zain memikirkan apa yang akan [pria] itu lakukan di posisinya, Ia bertanya kembali "Apa tidak ada yang bisa kamu lakukan, setidaknya saran darimu akan sangat membantu" Ia berlutut dengan kedua kakinya dan memohon. Melihat itu Loefel memberinya sebuah saran, "saat ini Kakakmu sedang terpisah dari tubuhnya, tubuhnya masih hidup tandanya Ia masih berada diluar sana, Aku tidak bisa menjelaskan lebih dari itu". "Terima kasih sarannya Nona Loefel, tunggu kak, Aku akan mencari cara membawamu kembali" Zain pergi setelahnya. 

Setelah panggilannya selesai Loefel tidak langsung pulang namun menunggu di sana sebentar, yakin bahwa Zain sudah sepenuhnya pergi, Ia membuka mulutnya, "senang bertemu denganmu lagi rekan lama, sayang pertemuan pertama kita seperti ini, Aku yakin kita akan bertemu lagi setelah Linzy menaikkan beberapa pangkatnya, sampai jumpa".

Zain segera pergi ke perpustakaan karena Saran dari Loefel, Ia mencoba mengartikan saran dari Loefel, "karena Nona Loefel adalah kontraktor dunia lain, Ia tak bisa terlalu ikut campur, namun sarannya sangat bisa dipercaya, terpisah dari tubuhnya… masih di luar sana… Aku mengerti". 

Ia mencari sebuah buku, buku yang dapat memberinya cara ataupun sebuah petunjuk untuk menyadarkan kakaknya. Setelah beberapa jam Ia menemukannya, Ia mulai membaca buku itu dengan seksama, "alam di luar dunia, alam konsep yang tak dapat ditafsir oleh akal sehat, saat tubuh terpisah dengan ikatan duniawi (fisik), mereka akan berpindah ke alam konsep".

... 

Eideth terbanting ke atas sebuah tanah, tanah itu memiliki tekstur dan suhu yang aneh, kering, panas, anehnya lembut. Ia berguling karena permukaan yang tidak rata hingga Ia terhenti menabrak sebuah batu yang cukup besar. Eideth mencoba bangun secepat mungkin untuk melihat lingkungan sekitarnya. Betapa kagetnya Ia dihadapkan dengan pemandangan dunia lain itu. Bongkahan tanah yang melayang di udara yang tidak memiliki dasar, langit berwarna pelangi karena paduan berbagai cahaya, Eideth bahkan tak bisa menentukan yang mana atas maupun bawah.

"Tempat apa ini" tanya Eideth melihat pemandangan itu. Ia melihat sebuah siluet dengan tubuh raksasa, Ia tak dapat melihat seluruh wujudnya namun satu hal yang menarik perhatian matanya. Tangan kiri berwarna putih karena terbuat dari tulang belulang, itu adalah tangan yang Ia lawan. Disebelah makhluk itu terlihat bekas portal kecil yang semakin mengecil kemudian menghilang.

Makhluk raksasa itu melihat Eideth dengan mata murka, Ia menggenggam tangan kirnya yang kesakitan dan berteriak kesal, "dasar serangga, beraninya kamu menggagalkan rencanaku, AKAN KUBUNUH KAU".

Eideth berlari secepat yang Ia bisa, Ia tak peduli arah mana selagi menjauhi makhluk tersebut. Karena tahu Ia takkan bertahan lebih lama, Eideth menjerit sekuat tenaga, "TOLONG, siapa saja, Tolong Aku". Itu adalah jeritan putus asa pada kekosongan dihadapannya

Makhluk itu menendang Eideth dengan kaki besarnya, Eideth berhasil menahan serangan itu dengan tangannya tapi Ia tetap terpental ke belakang. Eideth kembali berdiri setelah menerima serangan itu, "hanya itu yang kau punya" ledeknya. Untungnya kemampuan tersembunyi Barbarian menyelamatkannya.

[Rage,

Dalam pertarungan, Kamu bertarung dengan kebuasan primitif. Saat mengamuk, kamu;

Punya diuntungkan dalam guliran dadu berkaitan dengan kemampuan kekuatan,

Punya bonus +2 kerusakan untuk serangan jarak dekat,

Punya resistensi dari luka; sayatan, tusukan, benturan tumpul.]

[Eideth 

Wizard 1, Barbarian 1

Hit Point: 1/17 (-11).]

'Gila, tendangan tadi membuat HPku satu point, masa serangan tadi 22 kerusakan, itu serangan tanpa senjata, kalau tidak ada resistensi pengurangan kerusakan, pastinya Aku sudah mati' pikirnya dalam hati. Eideth sudah tidak bisa menerima serangan lagi, Ia sudah terlalu beruntung hari ini, Ia merasa kalau Ia mati, Karma akan menimpanya karena semua keberuntungan tadi. Ia mulai memuntahkan darah dari mulutnya, itu pertanda tak baik buatnya.

Eideth lanjut melarikan diri, Ia benar-benar tak punya harapan bertarung dengan makhluk itu. Ia dapat lompatan jarak berkat terpental tadi, tapi itu tak bertahan lama. Makhluk itu dengan cepat mengejarnya kembali, Ia hendak menangkap Eideth. Sebuah suara ledakan terdengar dari belakang dan hawa dingin, Ia berbalik dan melihat sebagian tubuh makhluk itu membeku tertutup es. 

Ia melihat ada seorang Wanita terbang melayang, Ia tidak bisa melihat dengan jelas dari kejauhan tapi, Wanita itu berpakaian serba putih, dibaliknya sebuah pasukan dari berbagai jenis makhluk yang tak pernah Ia lihat sebelumnya. "Beraninya kamu menyusup kemari untuk pergi ke Artleya dasar Iblis" teriak Wanita itu. 

"Dasar pengganggu, Ini semua karenamu, kalau Aku harus kembali ke Neraka itu, kamu juga harus ikut bersamaku Manusia" kesal dirinya ketahuan, makhluk itu berniat membawa Eideth sekali lagi. Eideth bersiap untuk yang terburuk, menutupi kepala dan organ vital dengan tangannya.

"Berhenti disitu" ujar Wanita putih itu yang seketika muncul diantara mereka. Hanya dengan kata-kata itu, Ia membekukan makhluk itu dalam sekejap dengan es miliknya. "Terbakarlah dan kembali ke tempatmu berasal" makhluk itu kemudian terbakar walau diselimuti es dan mulai menghilang.

"Terkutuk kau manusia, rencanaku berantakan karena serangga sepertimu, Aku akan membalasmu, Aku akan membalasmu" itulah kata-kata terakhirnya selagi tubuhnya di lahap api. Eideth terjatuh ke tanah dengan perasaan lega, Ia benar-benar lelah dengan satu HP. Namun terlalu cepat untuk bersantai, Wanita itu berbalik menghadap Eideth tergeletak lemas di atas tanah.

"Siapa Kamu anak muda, apa hubunganmu dengan iblis itu" ujarnya, Wanita itu menunjukkan dengan ekspresi serius. Eideth mengangkat kepalanya dengan sekuat tenaga, Ia benar-benar lemas setelah berbaring itu. Eideth melihat wajah Wanita itu dan ingatan mengalir melewati matanya, Ia benar-benar tak percaya bibirnya bergetar selagi berkata, "P-p… [Paladin], apa itu kau, apa itu benar-benar dirimu". 

Ia mencoba berdiri mendekati Wanita itu, seorang bawahan menghentikan Eideth dengan menaruh pedang di lehernya. "Beraninya Kamu mendekati Nona" Eideth berhenti, Ia sangat kebinguangan menyadari kondisinya sekarang di kerumuni makhluk berbentuk aneh yang menhunuskan pedang mereka di lehernya.

"Turunkan senjata kalian" perintah Wanita itu, mereka semua mengikuti perintahnya tanpa terkecuali. Eideth berdiri dan melihat Wanita itu lebih dekat, untuk mendapati perawakannya hanya terlihat mirip dengan rekan lamanya dulu. Wajah Eideth berubah dari senang menjadi bingung, "karena kamu sudah yakin, sekarang katakan apa hubunganmu dengan Iblis itu" tanya Wanita itu. 

Mendapati dirinya mendapat tatapan sinis dari pasukan Wanita itu Ia segera menjawab tanpa basa-basi selagi mencoba melarikan dirinya. "Tidak ada… kenapa kamu bertanya, sebelum datang kesini Aku bertarung dengan makhluk itu, Ia mencoba membunuhku dan adikku, Aku melawan balik dan ditarik kemari olehnya, karena pekerjaanku selesai, Aku akan kembali" pamitnya.

Pasukan Wanita itu memberinya jalan, Ia melihat ke arah portal itu terbuka, atau setidaknya terbuka sebelumnya. Ia bingung melihat arah Ia datang menghilang tanpa bekas, Wanita itu melihat raut wajah Eideth dan berkata, "Tidak ada yang bisa kembali dari limbo semudah itu", "Apa, tidak… tidak, Aku harus kembali" potong Eideth

"Apapun alasannya, tak ada jalan kembali, bagaimanapun itu" Wanita itu berbalik pergi dengan pasukannya meninggalkannya sendiri. "Pastinya ada jalan kan, jalan untuk kembali" Eideth bertanya pada Wanita itu. Ia hanya melirik Eideth sesaat tanpa berkata-kata, kemudian Ia dan pasukannya pergi.

Eideth mencoba mengejar Wanita itu kembali, "hey aku tak selesai berbicara denganmu" teriaknya. Pengikut wanita itu sontak menghentikan Eideth, Wanita itu melihat keributan yang Eideth perbuat. Seorang pengikut yang termakan amarahnya menghunuskan senjatanya ke leher Eideth, tapi Ia terlambat untuk berhenti. Senjatanya itu menyayat sedikit leher Eideth melukainya. "Oh sial" itulah kata-kata Eideth sebelum Ia terkapar jatuh layaknya mati ditempat.

Wanita itu melihat si pengikut, "Aku tidak melakukan apa-apa Nona, Aku bersumpah, senjataku hanya menggoresnya sedikit" jelasnya. Wanita itu mengecek kondisi vital Eideth, jantungnya berhenti berdetak. "Ini aneh" ujarnya, "jantungnya berhenti berdetak karena goresan kecil tadi, Ia sudah mati, tapi masih hidup?" ujarnya kebingungan.

"Bawa Dia ke domainku" Wanita itu menunjukkan ketertarikan terhadap Eideth. Pengikutnya segera mengangkat Eideth kemudian mereka pergi, "Manusia beruntung, kalau bukan karena Nona, Ia pasti sudah dimakan makhluk buas di sekitar sini" gerutunya.

"Kak, bangun" Irena berteriak, "huh, apa" Zain terbangun kebingungan dengan liur keluar dari mulutnya. "Ibu memanggil untuk sarapan, Kakak bergadang lagi ya" tanya Irena, Ia melihat kakaknya tertidur diatas sebuah buku dengan liurnya mengalir seperti Sungai. "Tidak baik terus-terusan seperti ini, Kakak juga akan merusak bukunya, ini pinjaman bukan" tegur Irena.

Zain meminta maaf atas kecerobohannya, "padahal kakak langsung pergi ke kota lain setelah hari itu, berkata mendapat ide untuk membangunkan Kak Eid, sebenarnya apa yang kakak rencanakan" terdengar sedikit rengekan dari nada bicara Irena. "Maafkan Aku, Aaku tidak bisa memberitahu siapapun rencanaku karena Aku sendiri tidak yakin dengan caranya, Aku hanya minta percaya denganku, oke" Zain meyakinkan adiknya untuk tidak khawatir.

"Berjanjilah itu bukan rencana yang berbahaya" Irena membuat Zain berjanji untuk tidak membahayakan dirinya untuk membangunkan kakaknya. "Tidak akan, Aku berjanji", "Kalau begitu cepatlah siap-siap" ujar Irena pergi meninggalkan Zain.

Sudah empat hari, Zain mempersiapkan rencana ini selama empat hari hampir tanpa tidur. Tiga hari pertama Ia lakukan dengan mencari semua buku yang Ia perlukan untuk rencananya, bahkan pergi ke Kota lain karena perpustakaan kota Raziel tidak memiliki buku yang Ia butuhkan. Zain bangun dari kursinya melihat kamarnya berantakan dengan buku-buku dan kertas bertebaran dimana-mana. Ia mencoba mengumpulkan dan merapikan kekacauan itu secepat yang Ia bisa, Ia pergi mandi kemudian menemui keluarganya untuk sarapan.

Saat sarapan, Zain memaksakan dirinya untuk makan agar tubuhnya mendapat asupan nutrisi. Kantung matanya sangat besar dan matanya merah, walau sudah mandi Ia terlihat lelah. Keluarganya jelas khawatir, "Zain, ibu ingin bilang", "Aku tidak apa Ibu, Aku memang tidak terlihat baik belakangan ini, tapi jangan khawatir, Aku berjanji akan memperhatikan kesehatanku dengan baik" potong Zain. "Setidaknya istirahat dulu untuk satu hari, kamu sudah empat hari seperti ini terus" tegur Agareth karena khawatir. 

Zain tersenyum dan berkata "tidak apa Ayah, Aku baik-baik saja, Aku masih belum bekerja keras seperti Ayah dan Ibu yang juga mencari pertolongan untuk Kak Eideth, dan juga menjenguknya setiap malam, tolong biarkan Aku membantu juga". Agareth dan Lucia tak bisa membalas, merasa Ia menghantam sebuah saraf. "Aku juga punya Irena yang membantu dan menjagaku jadi Ayah Ibu tidak perlu khawatir" ungkapnya.

Mereka semua jelas menahan kesedihan mereka tapi mereka bersikap kuat untuk satu sama lain. "Ibu berharap rencana kalian berhasil, jadi jangan menyerah oke", "ya, kalian semua anak Ayah yang pintar, kalian pasti bisa melakukannya" Agareth dan Lucia memberi dukungan pada Zain dan Irena untuk upaya mereka, "tapi ingat istirahat tetap penting" Lucia menambahkan. "Baik Ibu" ujar Zain dan Irena.

Selesai sarapan, Zain dan Irena kembali melakukan pencarian mereka, mereka masuk ke kamar Zain. Irena duduk di sebuah kursi dan mulai membaca buku, sedangkan Zain memperhatikan catatannya. "Kakak benar-benar yakin tentang ini, sebuah mantra untuk memanggil jiwa kak Eideth" tanya Irena masih tak percaya. 

Zain sudah menjelaskan pada Irena kondisi Eideth, kondisi vegetatif itu dikarenakan jiwa Eideth terpisah dengan tubuhnya, untuk membangunkannya mereka harus memanggil jiwanya kembali. "Kalau jiwa Kak Eid terpisah dari tubuhnya, bukankah artinya Kak Eideth sudah mati, tapi detak jantungnya masih ada" ungkap Irena. "Aku juga tak mengerti kenapa, tapi Kak Eid itu spesial, tubuh Kak Eid tidak punya mana didalamnya kau tahu, tapi Ia tetap bisa merapal mantra dan menggunakan teknik sihir dan itu meningkat setelah Talent miliknya bangkit, Kak Eid itu lebih kuat dariku" jelasnya.

"Jadi bagaimana Kakak akan membangunkan Kak Eid, Kakak tidak berpikir untuk memisahkan jiwa Kakak untuk menjemput Kak Eid bukan" tanya Irena. "Tidak, Aku tidak merencanakan apapun seperti itu, sebelumnya" gerutunya di akhir. "KAKAK" Irena hendak memarahi Zain, "dengarkan dulu Aku sampai selesai, ehem, niatnya Aku ingin melakukan itu tapi Aku tahu Ibu dan Ayah apalagi Kak Eid akan marah jika Aku melakukannya jadi Aku memikirkan rencana lain" Zain menambahkan.

Zain mencari sebuah perkamen dari tumpukan kertas di mejanya dan mulai menjelaskan sedikit pengetahuan tentang sihir, "Apa kamu tahu Irena tentang atribut sihir". "Atribut sihir, seperti api, air dan angin" jawab Irena. "Benar seperti itu, namun mereka lebih dalam lagi, Talent milik kakak adalah [Starlight Magic], secara singkat artinya Kakak bisa menggunakan sihir beratribut cahaya, tapi bukan itu saja, apa kamu tahu apa saja atribut dari cahaya" tanya Zain kembali.

"Atribut cahaya, menyinari, hangat mungkin" terka Irena, Zain menyambung "benar, tapi apa gunanya itu, alasan kita menggunakan mantra sihir adalah untuk memanfaatkan atribut ini, dengan mantra dan teknik sihir, kita bisa mengembangkan sihir dari Talent kita diluar bayangan kita, itulah kenapa Kita disuruh belajar prinsip mantra dan teknik sihir" jelasnya.

"Coba kamu bayangkan atribut dari api", Irena menjawab "panas, terang, membakar", "apa kamu tahu kalau ada seorang penyihir api yang menggunakan mantra untuk menyembuhkan luka, tergantung pemanfaatannya, sihir bisa digunakan untuk bermacam macam" jelasnya.

"Lalu semua penjelasan ini untuk" Irena tampaknya sudah dapat ide besarnya dan bertanya apa tujuan kakaknya. "Jadi inilah rencanaku" Zain menunjukkan rancangan perkamen sihir yang Ia buat. "Aku masih mencari komposisi mantra untuk menciptakan mantra baru ini, setiap kali Aku mencobanya, keseimbangannya kacau dan mantranya gagal" ujarnya. 

Irena memperhatikan mantra itu dan menggunakan Talent miliknya untuk membuat perhitungan, "jelas saja ini gagal, banyak sekali kesalahan di mantra ini" jelas Irena. "Karena itu Aku perlu bantuanmu", setelah itu Zain dan Irena bekerja sama untuk menyelesaikan mantra itu secepat mungkin. "Kenapa Kakak tidak minta bantuan Ayah dan Ibu, mereka pasti punya kenalan penyihir hebat, Bibi Eziel mungkin bisa menyelesaikan ini lebih cepat dari kita" tanya Irena. 

"Aku ingin melakukannya sendiri, Aku yang membuat Kak Eid jadi seperti ini, jadi tolong jangan bilang siapa-siapa ya" bujuk Zain. Irena mengerti perasaan kakaknya, Ia bisa membayangkan dirinya di posisi kakaknya dan akan melakukan hal yang sama.

"Tunggu Aku Kak, setelah mantra ini selesai, Aku akan langsung membangunkanmu" Zain berbicara pada dirinya sendiri, "hey, bukannya ketika Kita selesai dengan mantra ini, Kita akan membangunkan Kak Eid" tegur Irena. "iya… iya, maaf, Kita akan membangunkan Kak Eid" bujuknya.