Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 17 - Storm after the calm

Chapter 17 - Storm after the calm

Keesokan harinya, hari dimana senjata Fritz diperagakan telah datang. Ia segera menjumpai Fritz dan rekannya untuk mendiskusikan rencana mereka, Fritz terlihat sangat gugup, Yuna dan Louis menghabiskan waktu sepanjang pagi menenangkannya. Seorang prajurit datang menghampiri mereka dengan membawa sebuah kota berisikan senapan yang sudah dirancang oleh Fritz kemarin. Eideth melihat senjata itu dalam kualitas baik walaupun baru dibuat dalam semalam, kemampuan pandai besi Barak tidak bisa disepelekan. Fritz memastikan bahwa semuanya sudah lengkap, Ia memberitahu Eideth bahwa Ia sudah siap.

Eideth memanggil semua orang untuk menyaksikan peragaan tersebut. Setelah semua berkumpul, Ia berdiri diatas sebuah panggung kecil dan mulai memamerkan senapan tersebut. "Prajurit, terutama Ranger, Kalian pasti sadar, dari ekspedisi terakhir kita, Aether menjadi semakin kuat dan buas, setiap anggota pasukan sudah mendapat kesulitan baru dari pertarungan terakhir, Ranger, bantuan kita dari jarak jauh, tombak rahasia kita, kewalahan menghadapi Aether dengan perisai yang lebih kuat. Karena itu demi memperkuat para pasukan satu persatu, kita akan mengembangkan daya serangan jarak jauh kita. Saya persembahkan, sebuah Senapan"

Ada beberapa tepuk tangan mengikuti tapi seperti yang di duga para Ranger tidak terlalu senang. Eideth sudah siap dengan respon itu, "ehem… untuk memperlihatkan kemampuan dari senjata api ini, kami sudah mempersiapkan beberapa demonstrasi", seorang Ranger yang tak senang mengangkat suaranya, "Ini adalah penghinaan". Teriakan itu menarik perhatian semua orang, pendapat tentang senapan itu semakin terlihat membelah penonton menjadi dua pihak.

"Semuanya tolong tenang, Kamu, Ranger yang disana silahkan maju dan ungkapkan pendapatmu" sesuai perintah Eideth, prajurit itu maju ke depan dan melewati Fritz, Ia dengan jelas menunjukkan ketidaksukaannya. Ia berkata, "Senapan ini adalah aib untuk kita sebagai seorang Ranger, melepaskan panah dan busur kita yang sudah kita latih selama bertahun-tahun untuk sekedar senjata besi ini agar bisa menembak lebih cepat, dimana rasa cintamu pada busur dan panahmu".

Eideth mengerti ketidakpuasan mereka, Eideth telah melihat mereka berlatih panah sedari Ia kecil. Ia bahkan mengagumi kemampuan mereka dalam memanah, walaupun begitu Ia tetap menyarankan hal ini. "Kalau begitu bagaimana jika kita buktikan saja kemampuan senapan ini dibandingkan kemampuan memanah kalian" saran Eideth. 

Beberapa target sudah dipersiapkan di lapangan latihan, berbagai macam target sudah disiapkan, bahkan ada semacam simulasi pertarungan nyata sudah dipersiapkan untuk demonstrasi ini. Eideth membujuk Eziel dengan sangat keras semalam, tak satupun tahu apa yang Eideth korbankan untuk mempersiapkan arena ini. Berkat Talent milik Eziel, [Formulation], Eziel bisa menciptakan mantra dari beberapa paduan mantra yang Ia miliki, pengetahuannya yang tinggi dalam mantra sihir membuat arsenal mantra yang Ia punya tak dapat dihitung dengan jelas.

Berkat Talent tersebut, Eziel dapat memodifikasi mantra telekinesis untuk bekerja sendiri sesuai perintahnya, membuat target tersebut bergerak-gerak, muncul tiba-tiba, dan banyak lagi. Untuk ini, Eideth membayar Eziel dengan kupon khusus bertuliskan "Penjelasan rahasia sihir Eideth selama satu jam". Eziel menerima itu dengan senang hati mengetahui Talent milik Eideth sangat unik mempengaruhi sihir miliknya. 

Ranger itu mengambil giliran pertama, bersiap dengan busur dan tas anak panah dipunggungnya, Ia bersiap digaris awal. Setelah aba-aba diberikan, Ia segera berlari memasuki jalur rintangan. Eideth sangat bersemangat menjadi komentator tersebut, penonton juga semakin semangat menonton. Ranger itu berhasil menghindari berbagai perangkap yang sudah di persiapkan, tanpa tahu informasi apapun tentang lapangan, hanya berpegang pada insting dan refleknya. Ia tak melewati target satupun, bahkan target yang terhalang juga berhasil Ia tembak tepat di tengah sasaran. Eideth membacakan hasil akhirnya, "18 tepat sasaran, 2 kena, dan 0 meleset, dalam waktu 2 menit 30 detik", Ranger itu kembali dengan bangga pada grupnya.

Sekarang giliran Fritz, Ia gugup bukan main, Ranger itu menunjukkan berbagai trik seperti tembakan ganda dan beruntun dengan teknik sihir. Tak seperti busur, senapan belum punya teknik sihir yang signifikan, Ia hanya bisa menunjukkan kemampuan kasarnya saja. Eideth menepuk pundak Fritz memberinya semangat, "tak perlu khawatir, lakukan saja yang terbaik" ujarnya.

Fritz berdiri di garis awal menunggu aba-aba, kemudian Ia berlari, memang Fritz tak memiliki fisik layaknya prajurit Raziel, tapi Ia cukup cepat, suara tembakan pertama terdengar keras dan peluru itu mengenai sasarannya. Dibandingkan si Ranger, Fritz memang lebih lambat, namun waktu bidikan dan tembakannya jauh lebih cepat. Penonton tidak bersorak namun memperhatikan pertunjukan senjata itu dengan baik. Fritz yang tenang semakin terbantu karena tak ada suara sorakan yang mengganggu. Sesampai garis akhir, Fritz terjatuh pada lututnya kelelahan mengambil nafas. Eideth pun membacakan hasilnya.

"16 tepat sasaran, 4 kena, dan 0 meleset, waktu 2 menit 32 detik" walau tak mengalahkan skor sebelumnya, Fritz mampu mengejar waktu milik Ranger. Tepuk tangan mengiringi hasil fenomenal tersebut, Ranger itu mengakui kemampuan Fritz mengejarnya. Layaknya atlit yang sportif, Ia mendatangi Fritz dan menjabat tangannya, Ia memuji kehebatan Fritz mengendalikan senjatanya. 

Performa senapan itu tampaknya diterima dengan baik, tapi Eideth yang berdiri diatas podium masih bisa melihat ketidaksetujuan dari beberapa orang. "Ehem, itulah akhir dari demonstrasi hari ini" penonton bertepuk tangan. "Itulah yang harusnya Saya katakan" ujar Eideth mengambil sebuah busur dan senapan yang sudah terisi penuh. Ia memberi tanda pada Eziel untuk mengambil alih. Eideth berdiri dibelakang garis awal.

"Bersedia, siap, mulai" lewat aba-aba, Eideth mengangkat senapan itu dan membidik sasaran paling jauh di ujung lapangan dibelakang garis mulai. Ia menembakkan tiga tembakan kemudian lari masuk ke dalam jalur rintangan, Eideth memamerkan kemampuan menembaknya lewat senapan dan panah, Ia meniru trik dari Ranger itu, tembakan beruntun yang cepat menggunakan senapan walau harus menarik tuasnya mengganti peluru satu persatu. Eideth bahkan belum sampai garis akhir, telah menembak semua target miliknya.

Eideth mengumpulkan nafas setelah melewati garis akhir, menyapu keringat di dahinya menunggu bibinya membacakan hasilnya. "Ehem… Eideth; 19 tepat sasaran, 1 kena, 0 meleset, dalam waktu 2 menit 10 detik", "Whoa… *(suara tepuk tangan meriah)" sorakan terdengar begitu hasilnya dibacakan. Eideth mendominasi jalur rintangan tersebut dengan memakai dua senjata. 

Eideth berdiri kembali ke podium dengan keringat membasahi kepalanya, "terima kasih semuanya, sekian demonstrasi dari kami, seperti yang sudah kalian lihat, peningkatan yang didapat dari senapan itu bukanlah hal yang bisa disepelekan, Saya tidak meminta para Ranger untuk melepas busur dan panah mereka, melainkan untuk menambahkan senapan ini dalam arsenal kalian untuk meningkatkan kemampuan kita" ujar Eideth sambil mengangkat sebuah busur dan senapan dengan kedua tangannya. Sorakan dari prajurit terlihat setuju dengan usulan tersebut. 

Eideth senang semuanya berjalan baik, Fritz mendapat banyak pujian dari para Ranger, Eideth cukup lelah karena mengeluarkan semua kemampuannya pada demonstrasi itu. Ia kembali ke kamarnya untuk beristirahat, rencananya berjalan baik, membantu Fritz, memperkerjakan Louis, secara tidak langsung membantu Yuna. Ia bisa bersantai hingga Ia siap pergi berpertualang.

Semua rencana Eideth telah selesai sebelum Ia pergi, Ia menyerahkan sebuah kontrak pada Gerard untuk diisi oleh Louis saat Ia kembali sehabis mengantar temannya. Setelah mendapat uang yang dijanjikan untuk senapan, Louis dan rekannya pergi keesokan harinya. "Apa kalian sudah membawa semua bawaan kalian" tanya Agareth, "sudah Tuan, kami sudah membawa semua bawaan kami, terima kasih atas bantuannya selama ini" Fritz dan rekannya menunduk berterima kasih. "Semoga perjalanan kalian lancar" salamnya, Yuna berpamitan pada Eziel sambil berterima kasih atas ajarannya, Louis melihat Eideth sekilas lalu mengangguk menandakan Ia akan kembali. 'Maaf Louis, tapi Aku takkan menyambutmu lain kali' ujar Eideth dalam hatinya. 

Hari itu, Eideth memastikan Ia tak berhutang pada siapapun jadi Ia memanggil Irena untuk latihan, Eziel juga datang untuk menagih penjelasan Eideth mengenai Talent miliknya. Irena yang juga berada disitu ikut mendengarkan, "bibi tahu buku mantra milikku ini bukan" ujar Eideth menunjukkan ponselnya.

"Sihir yang kugunakan waktu itu adalah sihir dari buku ini, kita panggil saja buku ini ponsel, sihir yang kurapal dari ponsel ini memiliki batasan khusus, Aku hanya bisa menggunakan beberapa mantra dari ponsel ini dalam sehari, Aku belum dapat menggunakan semua mantranya karena persyaratannya sangat sulit, Ini bisa bibi lihat" Eideth menyerahkan ponselnya pada Eziel. Eziel mencoba keras membaca tulisannya, tapi Ia tak memahami bahasa tersebut, yang membuat Eideth lega, Eziel mengembalikan ponsel Eideth dan Ia melanjutkan.

"Talent milikku memberiku beberapa kemampuan khusus, mantra unik ini contohnya, bisa kugunakan selama mengikuti aturan, Aku tidak bisa menggunakan sihir jika mantra milikku habis, itulah Talent milikku" jelasnya. Eziel dan Irena mendapat gambaran bagaimana cara kerja Talent milik Eideth.

"Jadi, Talent milikmu ini berjenis apa ya, apa Skill" pikir Eziel, Irena tak setuju dan berkata, "itu tak mungkin, Skill tidak membatasi pemiliknya seperti itu, rasanya Ability lebih cocok". "Aku pun tak tahu, Bi, apa sih perbedaan Talent tipe Skill dan Ability" tanya Eideth.

"Talent tipe Skill, biasanya kumpulan kemampuan yang memiliki waktu istirahat, seperti Talent milik Kak Vinesa dan Zain, selagi ada mana disekitar, mereka bisa terus menggunakan talent skill itu, namun ada jeda diantara pemakaiannya. Talent tipe Ability, kemampuan yang didapat karena memenuhi persyaratan, seperti Talent bibi dan Irena, kami memerlukan pengetahuan khusus untuk mengaktifkannya, Irena harus tahu semua informasi untuk melakukan perhitungan, bibi harus tahu berbagai macam mantra untuk membuat mantra baru, tipe Stat adalah yang paling sederhana, kemampuan mengubah Stat, seperti itu" jelas Eziel.

Eideth berpikir Talent miliknya memiliki semua itu, guliran dadu mengatur kemampuannya, mantra sihir yang Ia pakai terbatas, dan beberapa kemampuan dari beberapa kelas yang memiliki waktu istirahat selama satu hari, Ia terpikir apakah Talent miliknya tipe Unique. Pengetahuan tentang Talent masih sangat minim di dunia ini, tidak ada metode khusus untuk melatihnya, setiap orang yang memiliki Talent harus mengembangkannya dengan cara mereka sendiri. Untungnya berbagai macam prinsip bisa mereka terapkan untuk mengembangkan Talent tersebut, itu mengurangi banyak sekali waktu.

Eideth menunggu dengan sabar hari itu, Eziel dan Vinesa akan kembali ke ibukota kerajaan untuk mengirimkan laporan mereka pada Raja, dengan bantuan ponselnya satu hari terasa begitu cepat tanpa Ia sadari. 

Pagi hari itu, tibalah saatnya Vinesa dan Eziel untuk pergi. Semua anggota keluarga Raziel ada disana untuk mengantarkan mereka, "jangan lupa untuk latihan setiap hari Irena" ujar Vinesa, "jangan lupa dengan pelajaranmu" Eziel menambahkan. Irena sedikit senang bibinya masih memberinya saran sebelum mereka pergi, seperti biasa, mereka semua berpelukan sebelum pergi, walau keluarga itu memiliki kebiasaan yang kurang normal, saat berpelukan bersama, mereka terlihat seperti keluarga biasa pada umumnya.

Spew terlihat sedikit sedih karena harus pergi, Ia sudah biasa bermain dengan Eideth dan saudaranya dan hubungan mereka sedikit erat. Eideth, Zain, dan Irena harus memberi Spew pelukan dan mengobrol dengannya sedikit agar Ia tidak merengek, "Spew, jadilah anak baik dan ikuti perkataan bibi, oke" ujar Irena. Mereka memberinya elusan terakhir sebelum Vinesa dan Eziel naik keatas punggungnya, dan menungganginya pergi.

Mereka semua kembali mengurus urusan mereka masing-masing, Zain tidak seperti biasanya, langsung ke lapangan latihan dan mulai berlatih. Eideth dan Irena tahu itu tidak biasa karena Zain melanjutkan pelajarannya di kamarnya. Kedua saudara itu menegur Zain, namun Ia hanya membalas dengan senyuman kemudian lanjut berlatih. Keduanya berpikir, latihan intens seperti itu bukannya tidak biasa, lebih baik jangan mengganggunya lebih jauh. Eideth hari ini tidak perlu latihan karena Ia harus bersiap untuk pergi berpetualang, Irena meninggalkan Eideth untuk melanjutkan pelajarannya kembali. 

Setelah ditinggal oleh semua orang, tak terasa Eideth merasa sangat sepi, bukan kesepian, hanya saja Ia tak pernah memiliki waktu luang terlalu banyak seperti ini, bisa dibilang ini kali pertama Eideth malas-malasan. Karena Ia tak bisa mencari pekerjaan untuk menyibukkan, Ia akan melakukannya sendiri. Eideth kembali ke kamarnya dan membongkar kembali tasnya untuk memastikan Ia punya semua yang Ia perlukan. 

Setelah semua itu, Eideth menyiapkan tas miliknya, "pakaian, belatiku, apa lagi yang kurang ya". Eideth juga sudah mendapat senjata baru dari Barak, senjata tumpul yang dibuat khusus untuknya. Barak menyimpannya dalam sebuah kotak dan menyuruh Eideth untuk membukanya di rumah. Eideth membuka kotak itu perlahan dan melihat tongkat itu. Sebuah tongkat yang terbuat dari material unik, Eideth menyentuh permukaannya mencoba menebak material yang dipakai oleh Barak untuk membuatnya. 

Tongkat itu sangat ringan saat diangkat namun saat Ia mengayunkannya tongkat itu seperti bertambah berat, Eideth tidak yakin bagaimana cara kerjanya tapi Ia tidak peduli. "Aku punya senjata baru" teriaknya dengan gembira. Itu adalah senjata paling aman dan bisa berbahaya jika Ia mau, Eideth ingin memberinya nama tapi tak ada inspirasi di kepalanya. "Ayolah kepala pikirkan sesuatu, Bonkers? Punisher? Ayolah ide original muncul" Ia berjalan-jalan dalam kamarnya yang berantakan untuk memikirkan ide.

Eideth menaruh penamaan senjata dalam ruang tunggu untuk sekarang, Ia membuka paket kedua yang Ia dapat. Sebuah tongkat kecil yang lebih kecil terbuat dari kayu dengan pegangan yang cocok untuk di genggam. Itu adalah tongkat sihir yang Eideth pesan, tongkat khusus yang Ia desain dengan meniru bentuk pena putar. Menonton video internet telah membuat pengaruh pada Eideth, dan Ia tak membantahnya. 

Walau Eideth hanya menjelajah internet untuk hiburan, menambah pengetahuannya tentang perfilman dan games, dan mencari tahu lebih banyak tentang TTRPG. Namun Ia hanya menggunakannya untuk itu, walau Ia menemukan beberapa artikel pengetahuan menarik, Eideth merasa pengetahuan itu tidak terlalu relevan di dunia sihir. 

"ya, kembali pada tongkat sihir, ini lebih bagus dari yang kukira" ujarnya. Eideth mulai menguji tongkat tersebut dengan mencoba trik pena putar yang Ia tonton, Ia merasa sangat nyaman memainkannya, Eideth mulai memberi komentar layaknya pro, "tongkat ini luar biasa, ringan, keseimbangannya bagus, wow, aku tidak percaya ini tongkat sihir". 

Alasan Eideth menyiapkan tongkat sihir karena sihir TTRPG sangat jelek dalam sisi material sihir. Sihir TTRPG memerlukan material khusus untuk merapal mantranya, namun dengan tongkat sihir Ia tidak perlu menyiapkan material tersebut. Batasan itulah yang menurutnya sangat menghalanginya. "Aku tidak bisa bayangkan harus memegang kotoran kelelawar untuk merapal bola api, tidak terima kasih". Tak hanya itu, material yang dibutuhkan untuk beberapa mantra tak bisa didapat dengan mudah, Eideth tidak bisa bergantung dengan tidak pasti seperti itu.

Ia mencoba merapal sebuah mantra sederhana, Ia membuka ponselnya dan merapal Cantrip "… [Dancing Lights]". Empat buah cahaya muncul seketika di depannya, Ia menggerakkan tongkat sihirnya dan cahaya itu merespon mengikuti arahannya, Ia menggerakkan cahaya itu ke sekeliling kamar menerangi bagian bayangan dari kamarnya yang tidak terkena cahaya matahari. Ia juga mencoba memadu mereka menjadi satu cahaya berukuran sedang sebesar manusia biasa.

Ia tak percaya Ia melakukan sihir itu sesuai deskripsi yang tertera di ponselnya. Ia cukup bangga dengan pencapaian itu dan mulai merapikan kamarnya (berlatih) dengan menggunakan [Mage Hand]. Walau mantra buatannya sedikit garing, Ia terus mengucapkan mantra itu setiap kali memindahkan barang dengan [Mage Hand].

Butuh waktu 10 menit untuknya merapikan kamar itu hanya dengan sihir [Mage Hand], walau Eideth bisa melakukannya dalam lima menit menggunakan tangan dan kakinya, Ia menjawab komentar sindiran pada dirinya sendiri itu, "Sihir supremasi" teriaknya. Mulutnya hampir kering karena membaca tersebut terus-menerus.

Tak terasa waktu sudah malam saat Ia selesai bermain dengan peralatan barunya, Eideth mengingat untuk tidak menyia-nyiakan mantra miliknya karena Ia hanya punya dua mantra untuk seorang penyihir level 1. Eideth masih belum bisa memilih level selanjutnya, pilihan itu sangat berat untuk Ia pilih sembarangan. Eideth bingung bagaimana Ia akan pergi nanti, haruskah Ia kabur atau menunggu hingga esok pagi. Ia melompat keluar dari jendela kamarnya dan memanjat tembok kastil, Ia memanjat ke kamar ayah dan ibunya melihat jendela balkonnya terbuka.

Orang tuanya terdengar sedang membicarakan sesuatu, Ia memutuskan untuk menguping dari balik pintu jendela. "Jadi besok Eideth benar akan pergi ya" tanya Lucia, "Kamu masih khawatir bukan" siluet Agareth mendekati Lucia diatas ranjang. "Kita sudah membicarakan ini Eideth akan baik-baik saja, Aku tidak akan bertemu denganmu kalau Aku tidak pergi, kamu pasti tau kenapa" Agareth memeluk Lucia dari samping. Eideth bingung apa maksud ayahnya dan lanjut menguping.

"Ayolah, itu hanyalah takhyul, tidak mungkin Ia tak dapat jodoh jika tidak bertualang setelah kedewasaannya, itu tidak berlaku pada Kak Vinesa dan Eziel" keluh Lucia. "Ini mungkin penting untuk Eideth, Ia akan lebih mandiri dengan melakukan ini, anak-anak kita lebih penurut dibandingkan anak-anak lain, Ia bahkan tidak pernah keluar tanpa izin dari kastil walau Ia mau". Mendengar perkataan ayahnya, pernyataan itu menusuk hati Eideth, walau benar Ia jarang keluar karena kemauannya, dia seperti di cap sebagai pemalas. 

Agareth terus memberi Lucia bujukan untuk meluluhkan hatinya menggantikan Eideth, "terima kasih Ayah" ujarnya sambil menggigit kepalan tangannya karena terharu. "Baiklah, baiklah, Aku mengerti, Aku tidak akan khawatir lagi" jawab Lucia meminjam bahu Agareth dengan manja. Agareth tersenyum dengan riang, Ia menoleh ke arah cermin melihat pantulan Eideth dan memberinya tanda kedipan. Eideth tidak menyangka Ia ketahuan oleh Ayahnya dan mendapat bantuan seperti itu. Eideth memberinya jempol lalu pergi dari sana turun dengan memanjat tembok yang sebelumnya Ia lewati. 

Merasa lega bahwa Ia takkan terkendala besok pagi membuatnya memutuskan untuk tidak kabur dan melakukan perpisahan dengan benar. Walau Ia tidak pernah menyukai perpisahan, tapi Ia serius akan ini. Ia mendapat perasaan ingin mengobrol dengan saudaranya terlebih dahulu jadi Ia pergi mencari Zain.

Eideth mengetuk pintu kamar Eideth tak mendapat balasan, Ia membuka pintu itu dan benar Zain tak berada di kamarnya. Eideth kemudian pergi mencari Zain, Ia tahu kalau Zain tak ada di kamarnya, kemungkinan besar (pasti) Ia tengah berlatih di suatu tempat. Setelah mencari di setiap sudut kastil, Eideth memutuskan untuk bertanya dengan penjaga, mereka sama sekali tak tahu apa-apa membuat kecurigaan Eideth benar. Ia berkata pada penjaga bahwa Ia keluar untuk mencari Zain, jika ada yang mencari dirinya.

Eideth membawa sebuah kuda dan segera pergi ke hutan secepat yang Ia bisa, bagian hutan yang jarang dikunjungi orang-orang, tempat rahasia lain dimana keduanya berlatih. Eideth mulai memasuki tepi hutan, suasana yang gelap membuatnya turun dari kuda dan menyalakan lentera yang Ia bawa. Ia memastikan untuk mengikat kuda itu pada sebuah pohon sebelum Ia masuk kedalam.

Dalam hutan itu, suasana sangat sunyi, cahaya bulan tak dapat menembus rindangnya dedaunan di atas pohon. Satu-satunya sumber cahaya yang Ia punya hanyalah lentera yang Ia bawa. Pohon-pohon seperti bergerak setelah Ia melewati mereka, meskipun begitu Eideth tidak merasa tersesat sedikitpun. Jalan setapak yang sudah tak ditumbuhi rumput karena sering di lewati itulah yang menjadi indikator untuknya. Eideth hafal jalan tersebut seperti telapak tangannya sendiri, "kuharap" ujarnya melihat perjalanan itu sedikit lebih lama dari biasanya. Ia sedikit gelisah karena Ia tak kunjung sampai walau tetap mengikuti tanda-tanda yang biasa Ia lewati.

Suara tebasan terdengar dari kejauhan, angin yang terbelah oleh potongan pedang itu memecah keheningan hutan malam disekitarnya, Eideth keluar dari pepohonan dan memasuki padang rumput ditengah hutan tersebut. Cahaya bulan menyinari tempat itu tanpa halangan sama sekali, Eideth masih kagum melihat keindahan itu sampai sekarang. Ia mengeluarkan ponselnya untuk mengambil beberapa foto sebelum mendekati siluet orang yang tengah berlatih itu.

"Kau terlihat lelah Zain" ujar Eideth, Zain berhenti untuk menyapa kakaknya. "Kak Eid" ujarnya sambil menyapu keringat di dahinya, sinar rembulan meneranginya dan hebusan angin bertiup, seperti fenomena langka, alam mempersembahkan salah satu ciptaan terbaiknya. Eideth sedikit kesal dengan pencahayaan dan kejadian latar belakang itu, entah karena iri atau murni tidak suka. "Ada apa Kak" ujar Zain memecah perkataan Eideth dalam hati. 

"Tidak ada, aku hanya…" sebelum Eideth bisa menyelesaikan perkataannya sesuatu berlari cepat ke arah mereka tanpa keinginan untuk berhenti. Eideth mendorong Zain lalu menghindari lewat arah sebaliknya, Ia menghunuskan senjatanya dan bersiap. Benda itu terjatuh di tanah dan mengeluarkan suara berdengus, "oink!!" dengusnya dengan keras. Itu sebuah babi hutan liar, entah kenapa hewan itu berlarian pada malam hari seperti ini. 

Eideth dan Zain seketika menjauh darinya dan kembali waspada, babi itu diterkam sebuah siluet aneh yang cukup besar. Ia panjang dan bentuknya sebesar balok kayu raksasa yang mengapung di udara, diujungnya terdapat jari-jari dengan banyak mata dan sebuah mulut di telapak tangannya, ujung lengan itu terdapat sebuah portal kecil yang mengeluarkan sinar yang aneh.

"Zain, waspada, itu makhluk yang aneh, Ia terlihat berbahaya" ujar Eideth. Setelah sinar bulan menyinarinya secara menyeluruh, wujud makhluk itu terlihat dengan jelas. Tangan itu terbentuk oleh mayat-mayat hewan yang menyatu, kulit dari berbagai jenis hewan menyatu dengan aneh, terdapat banyak sekali mulut-mulut disisinya. Suara teriakan hewan-hewan terdengar dari kulit makhluk itu seperti mereka masih hidup. 

Eideth menjaga ketenangannya melihat makhluk menjijikkan itu, Ia melihat makhluk itu menggenggam babi liar tadi dengan tangannya, Ia memeras babi itu hingga terdengar teriakan dan suara tulang-tulang patah selagi darah menetes dari sela-sela jarinya. Babi itu terlihat menyatu dengan lengan itu membuatnya semakin besar lagi. Sebuah mata besar muncul ditengah telapak tangannya dan menatap kepada Eideth dan Zain. 

"Ah… Manusia… sudah berapa lama ya" suara itu membawa tekanan berat, kaki mereka membeku tak mau bergerak. "Haa… lihatlah diri kalian, ada apa dengan wajah itu, tidak bisa bergerak" makhluk itu menertawai mereka berdua. 

Eideth dan Zain mencoba tetap tenang, memikirkan strategi mereka selanjutnya, mereka mencoba sebaik mungkin mengulur waktu tanpa memancing monster itu. Mereka tak punya info apapun tentang makhluk itu, dari gerakan mana disekitarnya, makhluk itu bukan Aether maupun makhluk dunia lain. Ia adalah makhluk dunia ini, tapi apa itu pikir Eideth. 

"Tubuh kalian sangat cocok untuk menambah koleksi tubuh mayatku ini, jangan banyak melawan dan Aku berjanji akan membunuh kalian dengan cepat" ancamnya. Makhluk itu mendekati Eideth dengan tangan terbuka, Ia bersiap untuk menerkam Eideth seperti babi itu sebelumnya. Eideth menelan ludahnya, tubuh makhluk itu memiliki bau seperti bangkai namun mulut-mulut hewan itu masih bergerak dan mengeluarkan nafas. 

Sesaat sebelum Ia diperas, Eideth menggerakkan pedangnya menebas jari-jari makhluk itu dan melempar lentera yang Ia punya padanya, mulut makhluk itu berteriak kesakitan namun tidak terganggu sedikitpun. Ia juga melompat mundur kebelakang tepat sebelum jari itu menyentuhnya dan menabrak Zain, membuat mereka berdua terlepas dari mantra aneh itu. 

Mereka dapat menggerakkan tubuh mereka kembali karena mantra pengekang itu sudah menghilang, namun mereka belum bisa bersantai. Tepat setelah tahu mereka bisa terkena mantra itu kembali, Eideth dan Zain memutuskan untuk melarikan diri. Makhluk itu melayang di udara, entah karena sihir atau apa tapi mereka sama sekali tak punya kesempatan melawan benda itu secara langsung. "Kak Eid…", Eideth menyela Zain sebelum Ia berkata-kata lebih jauh, "jangan berpikir untuk melawan makhluk itu, makhluk itu menggunakan sihir untuk mengangkat tubuhnya, dan kamu lihat portal yang terhubung dengan sikunya itu, makhluk itu memiliki sihir level tinggi, kita bisa mati kapan saja, jadi lari".

Mereka terus berlari di hutan yang gelap itu, mereka tak bisa melihat apapun karena sangat gelap namun mereka tak punya pilihan selain terus berlari, hanya dengan mengandalkan suara langkah kaki satu sama lain, mereka berhasil keluar dengan selamat. Eideth kehabisan nafas dan berganti menjadi berjalan karena Ia harus terus bergerak. 

"Kak cepat" teriak Zain. Eideth tak tahu apa ini karena Stat Agility miliknya yang rendah akibat Talent miliknya, tapi Ia tak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Sekiranya mereka sudah aman, mereka pun berhenti untuk mengambil nafas.

Eideth mendengar jeritan seekor kuda membuatnya terpikir dengan kuda yang Ia bawa sebelumnya, "makhluk itu, *Ha… pasti *Heok… sudah mendapat kuda kita, kita harus cepat" ujar Eideth dengan nafas terengah-engah. Zain tak tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, biasanya Ia takkan kelelahan hanya karena berlari seperti ini, Ia hanya beranggapan fisik Eideth sedang lemah mungkin sakit.

Zain mengulurkan tangannya membantu kakaknya berdiri, namun pengejar mereka telah sampai di samping mereka. Zain menarik tangan kakaknya dan melemparnya ke samping, Ia kemudian menahan serangan dari makhluk itu dengan pedangnya hingga terdorong mundur. Eideth kembali berdiri diatas kedua kakinya hanya untuk melihat Zain mati-matian menahan serangan makhluk itu. Ia menghunuskan kedua senjatanya, tongkat di tangan kanan dan pedang di tangan kiri, "Zain awas" teriak Eideth. Ia menghantam makhluk itu dengan tongkatnya kemudian lanjut menusuk beberapa mata disisi tubuhnya dengan pedangnya.

Makhluk itu menjerit kesakitan tanda serangannya bekerja. "Zain serang matanya, kulitnya terlalu keras untuk di potong" teriak Eideth. Zain memahami perintah Eideth dan menyiapkan serangannya, mereka berdua tak perlu berbicara untuk tahu niat satu sama lain. "Selama Zain merapal mantranya, Kau harus bermain denganku" ujarnya dalam hati. 

Eideth sama sekali tak punya kekuatan dalam serangannya, serangan sebelumnya adalah seluruh kekuatan terakhir yang Ia punya. Cukup sia-sia pikirnya karena senjata barunya tak begitu memberi dampak yang besar. Namun Eideth menjadi lebih terbiasa menggunakan tongkat itu. Tanpa banyak kekuatan Ia dapat menghalau serangan yang datang padanya dan melindungi Zain selagi Ia merapal mantra.

Serangan makhluk itu tidak terlalu sulit dihadapi, walau terpukul mundur Ia juga mendorong balik monster itu. "kak, minggir" Eideth membuka kepalan jari yang menutupi telapak tangannya dengan pukulan vertikal dari tongkatnya, mengekspos mata utama nya tanpa penjagaan. "[Starlight Magic: Radiate]" sebuah ledakan cahaya menyilaukan keluar dari pedang Zain. Dalam sekejap, pedang itu menyinari sekitar layaknya siang hari. Mata makhluk itu yang menatap langsung cahaya teriak kesakitan selagi kehilangan pengheliatan.

Mereka tak membuang kesempatan emas itu dan menyerang balik. "[Starlight Magic: Twilight Flash]" Zain dengan cepat menebas semua mata disekeliling tubuhnya, Ia berteriak kesakitan dan mencoba melarikan diri tapi Eideth menahannya. Eideth melompat ke atas makhluk itu dan menusuk sekuat tenaga dengan pedangnya, teknik Explode dari Vinesa benar-benar berguna mengisi aspek kekuatan miliknya yang kurang. Serangan itu membuat tubuh makhluk itu jatuh ke tanah walau melayang karena sihir, Eideth mencoba sebaik mungkin menahan makhluk itu agar tidak kabur.

Serangan Zain mulai mencabik-cabik makhluk itu, kulit yang sangat keras terasa lembut jika diserang dengan serangan dialiri sihir. Perlahan Zain mulai memotong bongkahan daging dari makhluk tersebut, pedang Eideth yang patah karena menembus tubuh makhluk itu tak dapat menahannya lebih lama. Eideth beralih pada belati miliknya, mengerahkan sisa kekuatan yang Ia punya walau baru terkumpul sedikit, berusaha menusuk punggung tangan (kepala) makhluk tersebut mengincar matanya dari belakang.

Makhluk itu menjadi mengamuk karena diperlakukan seperti samsak beberapa waktu yang lalu, melepas ledakan energi sihir dari tubuhnya. Tubuh hewan-hewan itu ikut meledak menyisakan monster dari tulang, anehnya kulit luarnya hanya seperti pembungkus tulang yang sangat besar didalamnya. Tulang-tulang dari hewan-hewan yang menyatu dengan paksa dengan bentuk tak teratur adalah deskripsi yang tepat untuk wujud makhluk itu sekarang.

Eideth dan Zain terpental karena ledakan itu, semakin putus asa melihat perubahan wujud makhluk itu. Tulang-tulangnya menyatu sangat rapat tanpa celah yang normal, tubuh berbentuk tangan itu dibungkus daging yang terbuat dari mana membuatnya mengeluarkan aura yang lebih mencekam, Ia membentuk kembali mata di telapak tangannya. 

Zain berusaha sekuat mungkin untuk segera berdiri tapi Ia tak cukup cepat. Makhluk itu menyerbu ke arahnya dengan kecepatan tak masuk akal, dengan mengepalkan jari-jari miliknya. Ia menghantam tubuh Zain dengan tinjunya. "ZAIN" Eideth berusaha berdiri diatas kakinya secepat mungkin untuk menyelamatkan Zain, "humph" Eideth memuntahkan sedikit darah dari mulutnya. Kekuatan yang coba Ia kumpulkan seketika hilang dan Ia mencoba bertahan dengan tongkatnya.

'Sial, sial, Aku tidak bisa membiarkan Zain mati disini, yang harusnya mati itu Aku' ujar Eideth dalam hatinya. Ia mulai mempertanyakan semuanya selagi Zain disiksa oleh makhluk itu didepan matanya. Ia sudah tak punya kekuatan dan saudaranya akan mati didepan matanya, itu adalah perasaan putus asa bercampur dengan kebencian, perasaan yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya. Ide terlintas dari benak Eideth, "Akulah yang lelah dengan hidup, jangan coba-coba kau mengambil Zain lebih dulu dariku" gerutu Eideth selagi Ia membulatkan keputusannya. 

[Eideth

Wizard 1 (???), manusia, bangsawan.

Satu level tersedia]

[Level yang bisa diambil; Wizard, Barbarian, Fighter, Ranger.]

[Kelas apa yang Anda akan ambil untuk level selanjutnya?]

"Barbarian" jawabnya. Eideth mendapat sebuah dadu jatuh ke telapak tangannya, Ia tak tahu bagaimana itu terjadi tapi Ia tak punya waktu. Ia melempar dadu itu ketanah dan berharap yang terbaik. [d12/ 11] Eideth bisa merasakan ledakan kekuatan mengisi tubuhnya, luka-luka yang diterimanya tidak terasa terlalu sakit lagi.

[Dalam saat kritis, Eideth membangkitkan darah seorang barbarian yang tertidur dalam tubuhnya. Keluarga Eideth yang merupakan keturunan dari ras barbarian yang terkenal dengan kekuatan mereka. Kakek moyangnya memanggilnya untuk menerima kekuatan miliknya yang terpendam yang hampir terlupakan] Zatharna terdengar membacakan sebuah monolog selagi Eideth menerima kekuatan baru itu.

[Eideth Raziel

Wizard 1, Barbarian 1

Hitpoint: 12/17 (d6+d12)

…]

Eideth merobek baju yang Ia pakai menyisakan celananya saja, otot Eideth terlihat sedikit membengkak walau tidak sebesar itu. Karena Talent miliknya adalah TTRPG, sebuah notifikasi muncul karena aksinya, [Anda tidak memakai pakaian dan tubuh atas Anda terbuka. Syarat "Unarmored Defence" dipenuhi]. "Aku akan mengamuk" teriaknya menyerbu kearah makhluk itu, ["Rage" diaktifkan].

Makhluk itu merasa sangat puas menyiksa Zain yang tak berdaya, tampak puas bermain-main Ia mengangkat Zain menggunakan jari kelingking miliknya yang tersangkut dibawah pakaian Zain. "Hahaha… manusia, kalian pasti merasa dipenuhi harapan saat serangan kalian bekerja padaku, Aku sangat suka menghancurkan tatapan penuh harapan kalian itu, tapi Kamu sudah tidak menarik lagi, kuharap saudaramu bertahan lebih lama sebelum Aku merusaknya" cemooh makhluk itu sebelum menghabisi Zain. 

Tanpa Ia sadari, Eideth datang menghantamnya memakai tongkat miliknya dengan kekuatan penuh, terkejut Ia melepas Zain dan menghadapi Eideth yang mengamuk. Makhluk itu mencoba menyerang balik, dengan jari telunjuknya Ia membentuk tulang yang tajam dan menusuk bahu Eideth. Ia kaget karena Ia yakin Ia mengincar jantungnya namun Eideth secara insting mengalihkan serangan itu, Eideth bahkan tidak terhentak dan terus menyerang. Tongkat tumpul itu sangat efektif menyerang tubuhnya yang terbuat dari tulang.

Makhluk itu yakin semakin terpukul mundur oleh Eideth merasakan sedikit ketakutan dalam hatinya, ketakutan saat manusia kehilangan kemanusiaannya dalam amarah dan berfokus untuk membunuhnya. Perasaan yang tak pernah akan Ia rasakan, Ia menutup telapak tangannya menggunakan jari-jari berlindung dari serangan Eideth selagi Ia mempersiapkan sihirnya. 

Eideth yang masih dalam mode mengamuk itu membuka paksa kepalan dari jari-jari tersebut dengan kedua tangannya, [d20/4+1] pada percobaan pertama Ia gagal namun itu membuatnya semakin marah dan mencoba kembali. [d20/14+1] Eideth berhasil membuka paksa, "hahaha, kejutan" kelakarnya saat Ia menembakkan sebuah bola api tepat didepan wajah Eideth.

Eideth hanya berdiri diam, Ia tak terlihat dapat merespon kembali dan nafasnya pun berhenti. "Yahahaha… Dia mati, dasar manusia lemah, *ugh" Makhluk itu membuka pertahanan jari-jari miliknya mengira Eideth sudah mati dan mendapati matanya tertusuk oleh tongkat Eideth. "UAAAGGHH…!" jerit makhluk itu kesakitan, Eideth terus mendorong tongkatnya untuk menusuk semakin dalam. "ARRGHH…!" Eideth merasa tongkatnya telah menemukan sebuah ujung namun tak berhenti dan terus mendorongnya.

"Tidak mungkin, bagaimana kamu bisa sekuat ini, kenapa kamu tidak mati" teriak makhluk itu. Ia meronta-ronta tapi Eideth sudah menahan tubuhnya. Eideth melihat bahwa portal diujung sikunya terhubung ke tempat lain dan berniat untuk mendorongnya kembali. Suara dadu terdengar terus-terusan bergulir, ada beberapa langkah Eideth sedikit terdorong mundur tapi Ia membalasnya dua kali lipat. 

Zain tersadar dengan kepala sedikit pusing akibat serangan yang Ia terima, Ia seketika terjaga mengingat kehadiran monster itu dan mendapati kakaknya berhadapan dengan monster itu secara langsung. "Kakak…" rintihnya mencoba merangkak mendekati Eideth, Ia sama sekali sudah tak punya tenaga. Zain sangat kesal dengan dirinya yang lemah, apalagi setelah mengira kakaknya yang sedang lemah saat ini berjuang sekuat tenaga.

Eideth berhasil mendorong makhluk itu hingga ke pergelangan tangannya (leher), hanya dengan kekuatan fisiknya Ia berhasil menahan makhluk itu. Tapi itu saja, karena telapak tangannya terbuka, Eideth tak bisa mendorongnya lebih jauh. Eideth melihat kearah Zain karena mendengar panggilan darinya, Eideth tersenyum pada Zain, tanpa berkata-kata. "Kak, jangan lakukan" teriak Zain sambil berlari kearah Eideth berniat menghentikannya. Tapi sudah terlambat, Eideth menyongkel keluar mata milik makhluk itu dengan tongkatnya yang sudah tertusuk, tanpa kehilangan momentum Ia mendorong tangan itu dengan masuk kedalam genggamannya, mendorong makhluk itu dan dirinya ke dalam portal. 

Dalam portal itu, Eideth sudah pasrah dengan nasibnya. Portal itu kemungkinan membawanya ketempat asal makhluk tersebut, Ia tahu Ia takkan selamat ketika bertemu makhluk itu dalam wujud aslinya. Kenangan hidup Eideth terpintas di depan matanya. Ia mendapat kehidupan ketiga yang cukup memuaskan. Walau terdapat sedikit penyesalan, Ia senang bisa merasakan kasih sayang orang tua, menjadi seorang kakak, dan hidup yang nyaman tanpa banyak masalah. 

"Penyihir, Paladin, mungkin kita akan bertemu kembali" Eideth mengingat rekan-rekannya di kehidupan kedua, Ia sangat berharap dapat bertemu mereka kembali jika Ia punya kesempatan. Eideth mendapati perasaan aneh selagi melewati portal itu, seperti jiwanya meninggalkan tubuhnya.