Mereka bertiga mendobrak masuk mendengar teriakan dan melihat apa yang terjadi, ada tiga orang berdiri didepan meja tempat Barak melakukan perbaikan. "Pak tua Barak, apa yang terjadi" teriak mereka, ketiga orang itu berbalik dan mata mereka bertatapan. Barak melirik dari celah tubuh siluet itu, "jangan banting pintu itu tolong" bentak Balak.
"Kalian bertiga tunggu dulu sebentar, Aku sedang berurusan dengan pelanggan yang satu ini" tegas Balak. Mereka bertiga bernafas lega ternyata tidak terjadi apa-apa, mereka kemudian lanjut melihat-lihat senjata yang dipajang oleh Balak di tokonya. Irena dan Zain pergi melihat pedang dan belati, namun Eideth punya rencana lain di pikirannya.
Eideth melihat-lihat senjata tumpul seperti gada dan lainnya, Ia sedikit terinspirasi oleh Ayahnya. Apalagi ada alasan tersembunyi mengapa Ia tertarik dengan senjata tumpul, Eideth melihat sebuah senjata yang menarik perhatiannya. Ia memegangnya untuk memperhatikannya lebih baik, sebuah tongkat berwarna putih keperakan, tongkat itu dipenuhi ukiran-ukiran dan ada sedikit kaligrafi. Eideth mengayunkannya dan merasa cocok dan nyaman dengan beratnya, tidak terlalu berbeda dibandingkan pedang yang Ia biasa gunakan.
Ia menunjukkan tongkat itu pada saudaranya dan mendapat respon unik, "tongkat kak" mereka mempertanyakan pilihannya. Eideth sudah menduganya dan tidak berkomentar, Ia memilih itu karena itu adalah satu-satunya senjata yang tidak terlalu melukai orang lain. Benar, Eideth belum pernah membunuh orang lain secara langsung sebelumnya, walau Ia ada pengalaman tidak langsung, menjadi penanggung jawab atas mengambil nyawa orang lain belum pernah Ia pikirkan sebelumnya, Ia takut Ia belum siap. Ia lanjut menunggu antrian untuk membayar menghindari pertanyaan saudaranya.
Berdiri di belakang kelompok itu, Ia mendengar sedikit pembicaraan mereka. "Apa benar-benar tidak bisa pak" pinta salah seorang pemuda itu, Balak mengerutkan dahinya dan membalas, "maaf tapi benar-benar tidak bisa, ada peraturan untuk ini dan akan memakan waktu beberapa hari". Pemuda itu melihat pada rekan-rekannya lalu berbalik, "tolong beri kami waktu sebentar untuk mendiskusikan ini" Ia bersama rekannya mundur dari antrian dan berdiskusi di ujung ruangan.
Eideth bersama saudaranya maju dan meletakkan barang belanjaan mereka di atas meja, beserta surat dari Ayah mereka yang ditujukan pada Balak. Ia membuka stempel surat itu dan mulai membacanya, Ia menghela nafas berat dan menatap kedua pemuda Raziel itu dengan tatapan sedikit memarahi. "Kami benar-benar mencoba menjaga senjata kami kali ini" Eideth dan Zain beralasan, Irena terkikih sedikit sambil memalingkan wajah. Balak segera menyiapkan surat balasan dan melihat barang belanjaan Eideth.
Balak memegang tongkat itu dan melihat-lihatnya sebentar, Ia kemudian memperhatikan tangan Eideth yang tidak memakai sarung tangan yang biasa Ia pakai. "Jadi rumornya memang benar, selamat Tuan muda" ujar Balak menepuk lengan Eideth, Ia tertawa kecil sebentar tapi diam tiba-tiba. "Aku tidak bisa memberimu tongkat ini" ungkapnya, "kenapa" tanya Eideth.
"Ini adalah tongkat untuk ritual, ini adalah ukiran kurcaci, berisi cerita tentang keluarga kurcaci tersebut, ini tongkat peninggalan keluargaku, Liriene (istri Balak) pasti salah meletakkannya disana, aku lupa memberitahu saat Aku meninggalkan ini di meja kerjaku" jelasnya. Tolakan dari Balak menusuk keras di hatinya, tapi Ia tidak habis ide, "bisakah Kamu membuatkanku tongkat seperti itu, Aku menginginkan sebuah senjata tumpul" pinta nya.
"Sebuah tongkat khusus untuk orang keras kepala sepertimu, Aku jadi teringat sebuah ide, baiklah kuterima permintaanmu" jawabnya. Eideth tidak memperdulikan bagian lain selain jawaban iya dari Balak. Ia terkikih sedikit mengingat rencananya, Ia berbalik pada saudaranya, "sudah selesai" tanya Zain. Mereka hendak pergi namun ditahan oleh Eideth, Ia melihat sebuah benda yang menarik perhatiannya.
Di ujung meja Balak, sebuah senapan laras panjang dengan bentuk yang sangat dikenal Eideth. "Pak tua Balak, kupinjam sebentar ya" Eideth mengambil senapan itu dan mulai memperhatikannya dengan seksama. "Kak, itu tidak baik" tegur Irena, "akan kutunjukkan sesuatu yang menarik, lihat ini" jawab Eideth dengan percaya diri. Sebuah notifikasi muncul, [Anda ingin mengulir cek pertunjukan] tulisnya, "nonaktifkan Talent" ujar Eideth percaya diri, Ia ingin menunjukkan kemampuannya sendiri. Eideth mulai menunjukkan gerakan inspeksi senjata ala militer dunia lamanya, mereka sedikit tegang saat Eideth mulai melakukan gerakan melempar, takut senapan itu jatuh.
Selesai melakukan inspeksi senjata itu, yang menonton pertunjukkan Eideth memberinya tepuk tangan meriah. Mereka sedikit meragukannya di awal tapi Eideth menunjukkan yang terbaik. Kelompok itu juga melihat pertunjukkan Eideth datang menghampiri mereka, "itu tadi pertunjukan yang luar biasa, apa kamu pernah melihat senapan sebelumnya" ucap pemilik senapan itu. Eideth melihat kelompok itu sambil mewaspadai kemampuan mereka bertiga, Ia bisa merasakannya ketiga orang itu bukan orang biasa, Ia mencoba sebaik mungkin menghafal wajah mereka untuk berjaga-jaga. "Seperti yang kamu lihat, Aku bisa menangani senapan ini cukup baik, tuan...", "panggil saja saya Fritz" ungkapnya.
"Apa yang membuatmu datang ke Raziel tuan Fritz" tanya Eideth hendak memberikan kembali senapan Fritz, "kami sedang berkelana dan ingin menetap beberapa hari" jawabnya. Mendengar jawaban tidak memuaskan itu, Ia menarik kembali senapannya dan menodongkannya kearah kepala salah satu rekan Fritz. Fritz terkejut dengan perubahan sikap Eideth dan mencoba menenangkannya, "tuan, tolong hati-hati dengan benda itu" ungkapnya khawatir.
Rekan itu tak bergeming sedikitpun saat ditodongkan senapan, Eideth yakin rekan Fritz tahu kemampuan senapan tapi Ia tak menurunkan bidikannya. Ia benar-benar terpukau dengan ketenangannya dan berkata, "Kamu tidak bergeming sama sekali, mata itu bukan milik pengelana biasa". "Anda juga bukan orang biasa tuan" ujar rekannya itu menatap balik mata Eideth. "Tak perlu takut Fritz, jari miliknya jauh dari pelatuk" butuh beberapa detik agar Fritz menyadari detil itu. "Tapi aku masih penasaran kau tahu, alasan kalian datang ke sini, Raziel bukanlah wisata yang menarik, tapi Aku takkan menanyai lebih lanjut" akhirnya Eideth menurunkan senapan itu.
"Lain kali, jangan tinggalkan senjatamu terisi peluru" ujarnya sambil menarik tuas baut, mengeluarkan sebuah peluru yang masih terisi didalam senjata. Fritz meminta maaf atas kecerobohannya, untung saja Eideth mengosongkan senjata itu sebelum terjadi sesuatu. Karena urusan mereka sudah selesai, Eideth dan saudaranya menepi memberi Fritz dan kelompoknya jalan.
Fritz mulai membuka penawaran, "bagaimana kalau kami menjual cetak biru senapan ini, Aku juga akan memberi hak milik atas senjata ini" tawarnya sambil membuka lembar rancangan senapan itu. Balak mengerutkan dahinya, "itu adalah penawaran yang menarik, tapi tidak bisa, ada aturan yang harus diberlakukan untuk senjata ini, Aku tidak bisa membelinya" jelas Balak. "Kenapa tidak bisa" tanya Fritz, Eideth menyela sebelum Balak menjawab, "Karena tak ada aturan mengenai senapan di Raziel, lihat saat Aku menodongkan senapan itu pada rekanmu, senapan masih hal asing disini".
"Apa" Fritz terkejut mendengar kabar itu secara langsung, Ia kembali memutar otaknya. Rekannya mengajak Fritz untuk pergi saja, sudah tidak ada lagi yang bisa mereka perbuat. "Aku mengerti, namun kita memerlukan uang untuk perbekalan dan penginapan nanti, uang simpanan kita sudah habis dan perjalanan kita masih jauh dari sini" jelas Fritz. Rekannya juga paham kesulitan yang mereka hadapi tapi meributkannya ditempat umum bukanlah hal baik.
Melihat kelompok itu kesulitan, Eideth menyela dan menawarkan bantuan, "Ehem... bagaimana jika kalian menginap di rumah kami, Kami juga tertarik dengan rancangan senapan ini, kita bisa membahasnya ketika sampai dirumah, bagaimana". Fritz tampak ragu dan Ia masih kesulitan untuk memutuskan. Eideth menambahkan, "kalaupun pembicaraan kita gagal, kami tetap akan membiarkan kalian menginap".
Fritz dan kelompoknya menerima tawaran itu, dan mereka berjabat tangan. "Perkenalkan, namaku Eideth" ungkapnya. Mereka berpamitan dengan Balak dan meninggalkan toko itu, Fritz dan kelompoknya terkejut melihat sebuah kereta kuda mewah berhenti didepan mereka, Eideth tersenyum dan menjawab, "ayo naik". Kelompok itu sama sekali tidak tahu identitas asli penolong mereka, Eideth dan saudaranya memang memakai pakaian santai, mereka juga terlihat seperti orang biasa. Irena dan Zain naik terlebih dahulu dan tetap diam sepanjang jalan, mereka sengaja melakukan itu, mereka benar-benar menikmati tontonan menarik ini.
Sesampai di kastil Raziel, kekhawatiran menumpuk pada pundak Fritz. Ia mengira pada awalnya Eideth hanyalah orang kaya biasa, kemungkinan pedagang, namun bangsawan jauh dari perkiraannya. Eideth melihat raut wajah Fritz dan tersenyum lebih lebar, "ada apa" tanya Eideth pada Fritz dengan santai, "tidak ada Tuan muda" jawabnya.
Fritz mencoba menjaga ketenangannya selama mungkin seperti rekan-rekannya. Eideth melihat kelompok itu dari dekat semakin tertarik karena keunikan mereka. Gerbang kastil dibuka terbuka dan kereta kuda itu masuk kedalam dinding kastil. Mereka turun dari kereta dan disambut oleh para pelayan, "siapkan kamar untuk para tamu" ujar Eideth.
Irena dan Zain menatap Eideth tepat di kedua matanya, mereka melakukan percakapan batin itu. Eideth berkedip dan mengangguk mengizinkan mereka. Irena dan Zain meminta jubah dan perlengkapan dari Fritz dan kelompoknya seperti pelayan. Mereka membawakan peralatan tersebut dengan pelayan lainnya, Irena mendiamkan pelayan lain agar mereka tidak mengacaukan rencana mereka.
Eideth kembali ke kamarnya untuk melepas lelah, namun Ia merasa seperti melupakan sesuatu. Nafas Eideth tertahan tiba-tiba dan rasa sakit yang tertumpuk dalam tubuhnya bergejolak, Ia mengingat kelelahan sihir yang Ia terima kemarin malam, Ia benar-benar lupa dan itu menyerang balik dengan cepat. Eideth sedikit menyesal karena Ia terlalu berlebihan saat menemukan Ninsu dari anime dunia lamanya, Ia mencoba semua segel tangan dari anime tersebut mencari kombinasi jurus sempurna. Ia lebih kesal karena ini kondisi status yang berbeda selagi melihat layar notifikasinya.
[Kondisi: Kelelahan Magis
Beban fisik dari penggunaan sihir berlebihan. Status saat ini Tingkat 7/13.]
[Kondisi status diluar Talent, Conceptualize: TTRPG, tidak bisa disembuhkan oleh fitur Talent.]
Dalam TTRPG, saat Ia melakukan istirahat panjang (8 jam), fitur TTRPG akan aktif dan menyembuhkan semua kelelahan dan mengurangi status penalti. Namun karena Ia menonaktifkan Talent miliknya dan memutuskan untuk menggunakan sihir asli Artleya, Ia diluar perlindungan Talent miliknya dan menerima kerusakan seperti penduduk Artleya lain.
"Aku masih tidak tahu mana yang lebih baik" ujarnya pada diri sendiri. Ia mencoba mengendalikan pernafasannya yang membantunya mengurangi rasa sakit dari kelelahan sihir. Menghirup mana lewat hidungnya, menuju paru-paru dan menyebarkannya lewat peredaran darah dan jantung. Kelelahan sihir yang diakibatkan oleh mana dibantu dengan dinetralkan dengan mana.
Ia tak tahu seberapa kuat tubuh Eziel yang bukan petarung jarak dekat untuk memakai sihir level tinggi dengan santai, jika kelelahan sihir yang Ia rasakan dialami semua orang yang memakai sihir, Ia tidak bisa membayangkan seberapa kuat Eziel.
Orang-orang yang memiliki Talent memang tidak bisa memakai sihir umum, namun ada beberapa pengecualian karena pemilik Talent bisa mengadaptasi mantra dari sihir umum untuk digunakan bersama Talent milik mereka, sederhananya seperti membuat tiruan asli. Sihir umum hanyalah prinsip dasar mengenai mana dan mantra, mantra-mantra umum bisa diadaptasikan sesuai dengan Talent individu, namun tergantung pada kerja keras pemilik Talent itu sendiri.
Masih banyak yang harus Ia pelajari tentang Artleya, itulah yang membuatnya sedikit bersemangat untuk pergi bertualang. Itulah yang membuat Eideth memanggil Fritz dan kelompoknya terlebih dahulu. Ia penasaran apa itu petualang asli, dan ingin melihat mereka dari dekat. Ia mengganti pakaiannya dan pergi menuju lapangan, Ia tahu waktunya sudah tiba. Tidak mungkin Fritz dan kelompoknya melarikan diri dari tantangan duel dari Kastil Raziel. Ia menduga-duga siapa yang akan terpancing lebih dulu, Vinesa atau Zain, Eziel tidak akan mundur jika Ia mengetauhi salah seorang dari kelompok itu adalah penyihir.
Ia membuka pintu utama kastil dan berjalan menuju lapangan. Ia sudah bisa mendengar dentingan pedang dari kejauhan, Ia sudah sangat terbiasa dengan hal ini, hampir seperti tradisi menyambut tamu ala Raziel. Ia tak lupa melewati dapur sebelumnya untuk mengambil cemilan sambil menonton.
Sesampainya di lapangan, tebakan Eideth setengah benar. Kali ini yang "menyambut" tamu adalah Irena dan Eziel, pasangan yang sedikit tak terduga. Ia melihat keluarganya yang lain menonton dari pinggir lapangan, mereka membawa bangku untuk menonton pertandingan tidak resmi pertama Irena. Agareth dan Lucia juga berada disana untuk mengawasi, Ayahnya yang biasa sibuk juga ikut menyoraki Irena. Lucia disana untuk menjaga Agareth dan yang lain agar tidak berlebihan.
Begitu cukup dekat, Eideth menyadari kesalahannya. Ia membawa sekeranjang penuh cemilan untuk menonton pertandingan, ibunya yang tegas takkan membiarkannya lewat tanpa beberapa omelan. Ia memikirkan setiap perkataan yang akan ibunya omelkan padanya nanti. "Yaudah, yolo aja, akan kubuat senatural mungkin" ujarnya dengan yakin. Ia mengaktifkan Talent nya jika Ia memerlukan kekuatan dewa RNG.
"Hei Zain, kukira kamu ikut" sapa Eideth sambil duduk disebelahnya. Zain melihat keranjang yang dibawa Eideth dan dengan sinyal mata Zain mengikuti kakaknya. "Ya, Kak, Irena ingin mencoba duel pertamanya untuk melihat kemampuannya" jawab Zain sambil meminta sedikit cemilan untuknya. "Bagaimana dengan Fritz, dia sudah tahu identitas kalian" Eideth mencoba sesantai mungkin membagikan cemilan yang Ia bawa. Vinesa yang duduk disebelah Agareth dan Lucia coba menutupi keranjang Eideth sebaik mungkin, "Kamu harus lihat wajahnya tadi" kata Vinesa dan berkedip meng-kode Eideth tentang cemilan apa yang Ia mau.
Agareth diberi kode oleh Vinesa, Ia pun ikut bermain, "Aku juga cukup cemas melihat pertandingan pertama Irena, tapi Ia melakukannya dengan cukup baik" ujarnya dengan sepiring kecil puding coklat. Melihat semuanya sudah mendapat cemilan mereka, Agareth coba melempar minyak ke dalam api, Ia menatap Eideth dengan tampang memarahinya sedikit, dan kemudian melirik Lucia. Eideth sama sekali tidak kesal, malah Ia menantang ayahnya untuk melakukannya, "coba beri ibu puding itu sedikit" tersirat lewat pandangan matanya.
"Bagaimana menurutmu Lucia" Agareth menodongkan sesendok puding pada Lucia. "Aku juga khawatir melihat bayi kecilku bertarung disana, tapi Ia terlihat senang, oh, terima kasih sayang" Lucia memakan puding itu dan lanjut menonton pertandingan Irena. Sensasi manis dari puding membuatnya sedikit tenang namun tak lama Ia tersadar, Ia menoleh ke kiri dan melihat anggota keluarganya memakan cemilan sebelum makan siang. Ia segera sadar siapa pelakunya, "Eideth..." Ia menahan kemarahannya didepan para tamu. Agareth menyuapinya beberapa sendok puding mengurangi kekesalan Lucia. Eideth menyerahkan sepiring puding lagi untuk Ibunya sendiri sebagai bujukan.
Melihat pertarungan Irena, Ia menghadapi pemuda itu dengan cukup baik. Eziel disisi lain beradu sihir dengan rekan Fritz, wanita itu terlihat seperti penyihir dengan level yang cukup tinggi. Irena cukup terampil dengan sabit miliknya, Ia mampu menepis tebasan pedang dari pria itu. Talent milik Irena adalah Talent yang cukup unik, [Perfect Calculation] miliknya, membuatnya memperkirakan gerakan selanjutnya dari lawannya lewat postur tubuh dan gerak kaki. Walau hampir seperti penglihatan super, Ia tak bisa mendominasi lawannya. Pria itu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi, ketenangannya tak pecah sedikitpun, bisa terlihat dari pandangan matanya, Ia terlihat seperti hanya meladeni Irena.
Karena sudah ketahuan, Eideth memberi Fritz sebuah cemilan. "Terima kasih Tuan Muda" Fritz menahan keinginannya untuk berkata-kata tentang gurauan yang dilakukan oleh Irena dan Zain sebelumnya. Eideth hanya tersenyum senang dan kembali ke tempat duduknya.
Pertarungan Eziel adalah pertarungan antar penyihir, mereka saling memperhatikan gerakan satu sama lain, bersiap untuk bereaksi dengan mantra lawan. Setiap kali Eziel merapal sebuah mantra, penyihir itu segera menetralkannya, baik dengan [Counterspell] atau dengan merapal mantra yang berlawanan. Reaksinya cukup cepat untuk menetralkan mantra [Fireball] Eziel dengan mantra [Water Blast].
Sihir elemen adalah sihir yang cukup umum di Artleya dari pada sihir non-elemen. Ini dikarenakan kegunaannya dapat berguna di beragam situasi, apalagi rapalannya yang lebih cepat dibanding sihir non-elemen. Sihir non-elemen kurang terkenal juga dikarenakan mantra [Counterspell] yang membatalkan sihir yang dirapal memakan waktu cukup lama.
Prinsip sihir elemen cukup sederhana, api kalah melawan air, air kalah melawan tanah, tanah kalah melawan angin, angin kalah melawan angin. Adapun turunan dari empat elemen dasar tersebut yang bermacam-macam tetap mengikuti. Namun level sihir juga berpengaruh. elemen yang lemah terhadap elemen yang berlawanan biasanya memiliki rasio perlawanan 2:1 dinaikkan keatas. Jadi jika Mantra [Fireball] level 6 melawan mantra [Water Blast], mantra [Water Blast] itu setidaknya harus level 3 untuk menetralkan mantra level 6 [Fireball]. Jika sihir tanah berlevel 7 melawan sihir angin, sihir angin itu setidaknya harus level 4 untuk menetralkannya.
Eideth masih menertawainya sampai sekarang, metode yang terdengar sederhana ini, menetralkan sihir elemen dengan kelemahannya atau [Counterspell], dan menetralkan non-elemen dengan [Counterspell] atau teknik lainnya. Itu terdengar selalu sederhana, tapi secara tidak langsung sangat logis.
Irena semakin kewalahan melawan pria itu, tapi Ia kalah dalam pengalaman dan stamina. Nafasnya mulai terengah-engah, pertahanannya semakin terbuka, Ia bertahan cukup baik selama ini, Ia terus memikirkan kemungkinan untuk menyerah, bahkan bakatnya menunjukkan fakta itu. [Peluang kemenangan 23%. Stamina menurun. Tingkat reflek menurun] tulisnya di layar status yang menunjukkan kemampuan Talent miliknya. Irena juga tahu Ia semakin lelah, tapi Ia merasakan perasaan aneh. Ia semakin bersemangat, perasaan yang tidak pernah Ia mengerti, pandangan mata kakak-kakaknya saat berlatih mati-matian, Ia memahaminya sekarang. Ia tidak mau kalah.
Irena mencoba mengatur nafasnya selagi menghindari serangan pria itu, Ia terus menjaga jarak agar Ia punya waktu untuk bernafas. [Kalkulasi terganggu, variabel baru terdeteksi, mengkalkulasikan ulang]. Irena bisa merasakan adrenalin mengalir dalam tubuhnya, pergerakannya terasa lebih ringan. Ia melihat kemampuan Talent miliknya bekerja. Ia melihat semua serangan memungkinkan yang bisa Ia lakukan, Ia mulai merencanakan serangannya.
Irena mulai menebas menggunakan sabit miliknya dengan gerakan yang aneh, mengganti arah serangannya tiba-tiba, menggunakan tipuan dengan menyerang lewat bagian belakang bilah sabitnya, dan menggunakan momentum sabit untuk melakukan tendangan berputar. Pergerakan dan pola serang Irena menjadi dinamis dalam sekejap, membuat lawannya kesulitan untuk memperkirakan serangan yang selanjutnya.
"Bukannya itu..." Lucia menutup mulutnya terkagum, Ia mengenali gerakan kaki yang dilakukan Irena, itu adalah gerakan dansa yang Ia ajarkan padanya. Irena memodifikasi gerakan tari itu dengan teknik bertarung sabitnya, Ia merasa sedikit bangga dan lega disaat bersamaan.
Alasan Irena tidak berlatih sejak kecil tidak seperti kedua kakaknya, karena Lucia melihat Irena memiliki ketertarikan yang berbeda dari saudaranya yang lain. Berdansa, minum teh, ketertarikan seperti wanita bangsawan yang lain, sesuatu yang tidak Ia kira akan turun kepada anak perempuan berdarah Raziel. Namun beberapa tahun sebelumnya, Irena menjadi tertarik dengan bertarung dan latihan. Irena memastikan pada ibunya alasan dibalik perubahannya karena Ia merasa tertinggal dan ingin lebih dekat dengan kakaknya.
Melihat Irena menunjukkan dirinya sepenuhnya, Ia merasa sangat bebas, Ia melihat kesamping, senyuman di raut wajah ibunya membuatnya semakin percaya diri. Irena merasa bisa bertarung lebih baik lagi dan mulai menekan lawannya. Namun pria itu telah selesai bermain-main, Ia menepis sabit Irena dengan keras sampai Ia kehilangan keseimbangan. Ia melawan balik dengan kuat, tak memberi Irena kesempatan untuk mundur ataupun mengumpulkan momentum. Hingga akhirnya Irena terpojok di ujung lapangan, pria itu sama sekali tak memberinya belas kasihan. Walau tersudut, Irena masih mengenakan senyuman di wajahnya.
Eziel menembakkan bola api pada pria itu menghalau serangannya pada Irena. Ia melihat rekannya sudah dikalahkan dan sekarang terpojok dua lawan satu, seorang penyihir berlevel tinggi dan seorang gadis dengan sabit yang sulit diprediksi. Meskipun begitu Ia tetap tenang, Ia menguatkan kuda-kudanya. Para penonton tidak bisa memproses apa yang baru saja mereka lihat, gerakannya mematahkan serangan dari Irena, menebas sihir bola api dengan pedangnya yang dilapisi mana, Ia mengalahkan Irena dan Eziel dalam sekejap mata.
Eideth memulai tepuk tangan kemudian diikuti yang lain, pria itu membantu Irena berdiri dan Irena berterima kasih untuk sparring mereka. Eziel juga bersikap sportif dan memberi selamat pada rekan-rekan Fritz, Ia memuji mereka dengan berkata "seperti yang diharapkan oleh petualang aktif". Vinesa sudah tidak sabar ingin sparring dengan pria itu juga, Ia ingin tahu siapa lebih kuat secepatnya.
Vinesa segera menghampirinya dan mengajaknya berduel, Ia menodongkan pedangnya namun pria itu sama sekali tidak tertarik. Fritz menengahi mereka berdua dan berbicara untuk rekannya. "Nona, sepertinya rekan saya Louis lelah sehabis sparring tadi, Ia takkan bisa bertarung dengan baik" ujarnya, Vinesa sama sekali tidak mendengarkan, Ia hanya menerima kata-kata pria itu saat ini. "Saya lelah" ujarnya dengan singkat, Vinesa menjadi tak tertarik lagi, namun Ia tetap mengawasi pria itu jikalau Ia terlihat baikan.
Eideth menghampiri Irena dan membantu membawa sabitnya, Irena menghadap ibunya namun menundukkan wajahnya ke bawah. Ia ingin sekali memenangkan pertandingan tidak resmi pertamanya dan membuat ibunya bangga. Lucia mengangkat wajah putrinya dan tersenyum, Ia berkata, "itu tadi pertandingan yang bagus, Ibu bangga padamu", Ia lanjut memeluk Irena.
Irena melihat kearah kakak-kakaknya dan bibinya, memastikan realitas. Hatinya sangat bahagia, kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya untuk mengucapkan kegembiraannya. Selesai berpelukan Irena izin kembali ke kamarnya untuk beristirahat, Eideth menawarkan diri untuk menemani Irena kembali ke kamarnya.
"Rasanya aneh bukan" tegur Eideth, Irena mengangguk gembira. Eideth mengeluarkan koin miliknya, Ia mencoba menyembuhkan luka-luka Irena. Ia melempar koinnya ke udara, merapal mantra dan melihat koin yang Ia tangkap. Ia gagal dan Ia menyia-nyiakan mantranya, sedikit kecewa dalam hati Ia berniat mencobanya lagi. Pada percobaan kedua, Ia berhasil menebak koinnya. Irena merasakan perasaan aneh, mana terserap dalam tubuhnya dan meredakan rasa sakit pada memarnya.
"Bagaimana, merasa lebih baik" tanya Eideth memastikan, "itu sihir kakak" Irena tidak mempercayainya. Eideth belum memberitahukan Talent miliknya pada siapapun, bahkan keluarganya, Ia masih kesulitan menjelaskan Talent miliknya. "Itu sangat keren kak, kenapa Kak Eid tidak menceritakan apa-apa, Talent kakak bangkit" Ini berita baru untuk Irena. "Aku masih mempelajarinya" Eideth beralasan.
Sebelumnya, Eideth tidak bisa menggunakan sihir bahkan sebelum Talent miliknya bangkit. Entah karena status aneh miliknya, atau karena Ia tak punya bakat sama sekali. Selama bertahun-tahun Ia hanya mempelajari teori dasar dari sihir umum, untuk mengejar ketertinggalannya dengan Zain. Ia menggunakan pengetahuannya untuk menganalisa serangan sihir apapun yang Ia hadapi, membantunya membuat pilihan yang tepat untuk setiap jenis sihir.
Eideth sedikit menjelaskan bagaimana Talent miliknya bekerja secara sederhana, Talent miliknya yang membatasi berapa banyak mantra yang bisa Ia gunakan dalam satu hari, berbeda pada prinsip sihir umum Artleya yang memperbolehkan merapal sebanyak apapun mantra yang mereka mau selagi ada cukup mana di sekitar (dengan catatan kelelahan sihir).
Ada banyak jenis Talent di luar sana, pemiliknya terserah memilih jalur mana untuk mengembangkan Talent mereka menggunakan prinsip sihir atau prinsip teknik. Talent milik ayah Eideth, Agareth memiliki Talent bernama [Impact], dengan penggunaan prinsip teknik, Ia mengembangkan Talent miliknya agar mampu mengeluarkan kekuatan yang besar dalam sekejap. Eziel dengan Talent [Formulation], mencoba berbagai macam formula mantra dengan prinsip sihir, membuatnya merapal mantra-mantra unik dibandingkan penyihir lain. Talent milik Zain dan Vinesa menggunakan keduanya, tidak tahu seberapa besar kekuatan mereka.
"Aku penasaran Talent milikku cocok dengan prinsip mana" tanya Irena pada dirinya sendiri. Eideth sebagai kakak yang baik mendapat kode untuk melakukan pekerjaannya, ini adalah waktu yang Ia tunggu-tunggu untuk mendapat rasa kepercayaan diri seorang kakak dihadapan Irena. Ia yang dulunya tidak punya keluarga selalu penasaran bagaimana rasanya dipuji oleh seorang adik.
"Menurutku, Talent milikmu dapat menggunakan kedua prinsip yang ada" jawab Eideth. "Apa" Irena kaget dengan pendapat kakaknya. Eideth tersenyum dan membalas "Coba pikirkan, Talent milikmu adalah [Perfect Calculation] bukan, Kakak merasa kamu bisa memperkirakan serangan orang lain dengan kalkulasi milikmu seperti saat bertarung tadi". Irena mengangguk, Ia tidak tahu kakaknya begitu memperhatikannya. "Kalau begitu, pelajari keduanya dan terapkan dengan Talent milikmu, kakak tidak ingin membeberkannya tapi Kakak punya beberapa ide" ungkapnya.
Irena menjadi sangat tertarik untuk mengetahui ide yang dimiliki Kakaknya. Ia coba membujuk kakaknya untuk mengajarinya tapi Ia menggelengkan kepala. "Istirahat lah dulu, Ibu akan memarahi Kakak jika kamu tidak cukup istirahat, kita bicarakan lagi nanti" tegasnya, Irena mencoba menunjukkan Ia baik-baik saja berkat sihir penyembuhan Eideth, tapi tubuhnya berkata sebaliknya dengan rasa nyeri kejutan. Irena menunjukkan jari kelingkingnya pada Eideth dan berkata, "Kak Eid janji akan mengajariku, kan". Mereka akhirnya membuat janji jari kelingking agar Irena mau istirahat ke kamarnya.
Setelah Irena menutup pintu kamarnya, kesenangan dalam hati Eideth menghilang didorong perasaan tidak tenang, Ia menyadari waktunya untuk pergi bertualang semakin dekat. Perasaan ingin tetap tinggal agar bisa melindungi keluarganya, bukanlah perasaan yang Ia duga akan muncul. Ia mencoba menawar pada dirinya berkata Gerard bisa menjaga mereka selagi Ia pergi, tapi itu tidak cukup mengingat Ia memiliki 3 anggota keluarga lagi, Ia percaya Ayahnya cukup kuat, namun Ia khawatir dengan Irena dan Zain.
Ia berpikir sejenak dan ide cemerlang muncul dalam kepalanya, Ia tertawa kecil sambil mengusap tangannya dengan aneh. Ia beruntung kesempatan bagus itu datang padanya sendiri tanpa perlu Ia cari susah-susah. Ia menunggu kesempatan emas itu tiba dan bersiap menangkapnya dengan semua cara yang Ia punya.