Eideth bersiap dibelakang pasukan dengan Vivian dan Zain sesuai rencana. Kali ini Kaian dan Vivian ikut membantu, Agareth memberi mereka izin untuk memimpin pasukan untuk menggantikan posisi mereka bertiga.
Eideth sedikit gugup karena kali ini, Ia akan sepenuhnya bergantung pada RNG. Ia tak bisa selalu mengharapkan Zain akan melindungi punggungnya. Ia harus bersiap menanggung sakit yang akan terjadi. Sedari tadi saat bertarung, Eideth dibantu oleh Zain, walau Ia mendapat guliran dadu yang jelek, dengan bantuan Zain, fitur TTRPG "Help" membantunya mendapat keuntungan dalam guliran dadu, simplenya Ia menggulir dua dadu daripada satu, sedikit membantu saat Ia kesulitan. Terlebih lagi, Eideth sekarang adalah karakter, bukanlah pemain, jadi Ia juga tidak tahu kelas perisai yang dimiliki Aether.
Eideth mengingat Ia menjelaskan fitur TTRPG pada Zatharna sebelumnya. Kelas pelindung/perisai(armor), adalah kekuatan pelindung sebuah makhluk. Singkatnya seperti plot armor, saat karakter mencoba menyerang mereka akan menggulir dadu untuk serangan, jika nilai dadu lebih kecil dari kelas perisai, serangan mereka gagal, entah itu ditangkis ataupun menghindar. Sebelumnya saat bertarung, saat Ia gagal, Ia dibantu oleh Zain.
"Kak, apa yang kamu pikirkan, fokus" Zain meneriaki Eideth menyadarkannya. Eideth tersadar dan melihat Aether sudah mulai menyerang. Slasher dan Musket sudah mulai menyerang Vanguard yang berada didepan. Eideth terlalu memikirkan konsekuensi kalau Ia gagal dalam misi mereka nanti.
Para Vanguard membentuk formasi sesuai perintah Agareth, formasi kubah perisai, Eideth merasa sedikit nostalgia melihat formasi ini mirip dengan film kekaisaran di kehidupannya lalu. Vinesa, Zain dan Eideth berlindung didalam kubah itu selagi para Vanguard memberi mereka ruang untuk menyerbu pemimpinnya.
Tampak bala bantuan milik Aether datang, disamping Gigant itu muncul kumpulan Strider, segera mereka busur mereka dan membidik ke langit. Vinesa melihat hal tersebut segera memerintahkan para Vanguard yang melindungi mereka untuk kembali berkumpul dengan yang lain. Pasukan yang mereka tinggal kekurangan Vanguard untuk melindungi seluruh pasukan dari hujan panah Strider. "Cepat kembali" teriak Vinesa, mereka bertiga berpencar dari perlindungan Vanguard.
Eideth berlari secepat yang Ia bisa, Ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia membuang pemikiran tak pentingnya dan memfokuskan misinya. Mereka mulai mendekati pemimpin Aether tersebut yang memantau dari belakang. Eideth dengan cepat menyapu pedangnya ke samping dan menghempaskan dua Slasher, Zain tidak mau kalah dan membelah tiga Slasher di depannya. Mereka membelakangi punggung masing-masing karena terkepung di berbagai arah.
"Haha, kalian tidak takut kan" Vinesa tertawa melihat situasi mereka saat ini. Ini memang loncatan besar untuk mereka berdua, mereka berdua kewalahan melawan sebuah Strider beberapa hari lalu, dan sekarang mereka menghadapi empat di hadapan mereka.
"Kalau begitu mau taruhan Bi" Eideth masih bisa berpikir untuk membuat taruhan di situasi mereka itu, "apa yang kamu pikirkan" tanya Vinesa. Eideth tersenyum tak mengira akan menanyakan ini, "ajari Aku kemampuan baru kalau kami bisa mengalahkan dua dari mereka" ujarnya.
"Menarik, kalau kalian gagal, Bibi tambah jadwal latihan kalian nanti" Eideth menggeritkan giginya berpikir untuk membatalkan taruhan. "Yolo, ayo kita lakukan" Vinesa dan Zain sedikit bingung dengan apa yang baru saja Eideth katakan namun mereka mengerti maksudnya itu ya. "Hey, Aku juga ikut" ujar Zain. Mereka bertiga mengangguk dan tahu semuanya setuju tanpa menatap wajah masing-masing.
Mereka berpencar mengurus urusan masing-masing di depan mereka. Itu adalah ide yang cukup bagus karena Strider mulai menarik busur mereka, berkumpul di satu tempat hanya akan membuat mereka di hujani panah. Eideth dalam hati merasa ini bukan ide yang bagus, Ia memakai pelindung tubuh berbobot sedang. Itu adalah perlindungan yang cukup, namun Ia masih takut untuk menerima serangan.
Eideth mulai menyerang beberapa Slasher sambil memperhatikan Strider yang membidiknya. Eideth terus mendengar suara dadu bergulir saat Ia melancarkan serangan, beberapa kali serangannya meleset tipis tak mampu menghabisi Strider dengan satu serangan. Strider juga bergerak sesuai kemauan Eideth, ketika Ia ditembak oleh panah, Eideth menghindar ke samping dan panah tersebut mengenai Slasher yang Ia lawan. Eideth memanfaatkan sebaik mungkin strategi ini untuk keuntungannya.
Yah, itu sampai Ia gagal untuk menghindar, sebuah panah menyayat menembus pelindungnya. Ia tak bisa menghindari semua panah tersebut, hanya karena gagal sebuah guliran dadu. [Zatharna menunjukkan kekhawatirannya] tulisnya, Eideth tahu Ia akan terluka bagaimanapun caranya.
Hukum kesempatan adalah satu-satunya hal yang tak bisa Ia kendalikan dengan penuh. Bahkan dengan kelas armor 15 tak mampu melindunginya dari semua serangan, Eideth menelan rasa sakitnya dan terus bertarung.
Zain disisi lain menghabisi setiap Aether didepannya, Ia menggunakan Talent miliknya untuk memakai sihir lebih baik, melapisi pedangnya dengan sihir membuatnya lebih mudah menembus kulit perisai Slasher. Eideth sedikit melirik ke arah Zain sesekali dengan tatapan sedikit iri. Tak terasa, mereka sudah menghabisi semua Slasher yang mengganggu. Eideth dan Zain sekarang menghadapi tantangan yang sesungguhnya.
Empat Strider menarik busur mereka mengarahkannya pada mereka berdua, Eideth berlari maju sedangkan Zain menghindar ke samping. Zain mengira kakaknya menjadi gila untuk sesaat berlari maju menyambut panah-panah tersebut. Eideth hampir terkena beberapa panah, untung saja dadu bergulir untuk keuntungannya.
Dengan semua kekuatan yang Ia punya, dibantu dorongan yang Ia dapat dari berlari, Eideth menggunakan teknik menusuk barunya menembus kulit tebal Strider itu. Eideth tidak percaya dengan yang Ia rasakan, kulit Strider itu terasa sangat lembut. Eideth mendarat di kedua kakinya dan melihat kerusakan yang Ia berikan. Terdapat lubang besar di dada Strider itu dengan sebagian lengannya terlepas.
Eideth melihat ke samping membaca layar pesan, [Zatharna mengucapkan selamat, kamu mendapat 20] tulisnya. "Yang benar, Nat 20" ujarnya tak percaya. Kekuatan RNG membantunya kali ini, tapi masih ada 3 Strider yang tersisa dihadapan mereka. Eideth mundur ke belakang menghindari panah yang mengincarnya, sebuah panah berbentur dengan keras ditanah membuat ledakan yang cukup besar. Eideth terpental oleh ledakannya dan ditangkap oleh Zain.
"Kerja bagus kak Eid" puji Zain selagi menangkapnya. Eideth tidak menerima itu dengan baik karena Ia hampir saja meledak jika terkena panah itu. Eideth terus mendekati Strider tersebut dan Zain tidak paham jalan pikiran kakaknya. Zain tidak tahu tapi Eideth melakukan itu karena Ia memahami Talentnya, dalam TTRPG mendekati pemanah lebih diuntungkan.
Eideth selalu menempatkan posisinya untuk berlindung dengan tubuh besar Strider, sehingga Strider lain tak mampu membidiknya dengan baik. "Zain, bantu aku disini" mendengar ajakan kakaknya, Ia tak begitu peduli lagi, dan ikut menyerang mengikuti arahan Eideth.
Mereka bergerak dengan cukup baik dan mampu mendaratkan serangan efektif. Eideth mencoba mengintip hasil guliran dadu, 'Zatharna bisakah Aku melihat hasil guliran dadunya' ujarnya dalam hati. Untuk beberapa saat tidak ada respon oleh Zatharna, "hey, Aku ingin melihat guliran dadunya, apa Kamu bisa mendengarku" bisiknya pelan. [Zatharna mengiyakan, apa kamu memanggil sebelumnya?] tulisnya. Eideth lupa kalau Ia adalah kasus spesial, Zatharna tidak bisa membaca perkataan hatinya.
Eideth mulai menyerang Strider dengan pedangnya, [d20/5] Eideth meleset, Ia mencoba lagi [d20/12] dan gagal. "Yang benar saja, berapa besar kelas armor nya" Eideth mencoba mengincar tubuhnya, [d20/18, d6/4] Eideth mampu melukai kulitnya yang tebal walau sedikit. "Serius 4 damage" Eideth tahu settingan TTRPG seperti ini namun merasakannya langsung adalah hal yang berbeda. Tak seperti dirinya yang berlevel rendah [Wizard 1], Strider disini setidaknya peringkat tantangan 4. Eideth menelan ludahnya bersiap untuk yang terburuk.
Vinesa sedang bertarung dengan Gigant itu sambil mengukir senyum lebar di wajahnya. Sudah cukup lama Ia tidak bertarung dengan bebas, Ia melepas semua kekesalannya pada Gigant itu. Kulitnya cukup keras namun Vinesa mampu melukainya. Pedang besar itu diayunkan sangat cepat tak mempedulikan beratnya, kekuatan fisik Vinesa sangat tidak bisa dipungkiri. Gigant itu awalnya percaya diri dapat mendominasi Vinesa, namun keadaan berbalik. Vinesa lah yang seperti bermain-main dengannya, Ia bahkan tidak terlihat menggunakan Talent miliknya, hanya dengan kekuatan fisik dan teknik yang sudah di latih selama bertahun-tahun.
Dari kejauhan, hampir sulit memperkirakan apa Vinesa bertarung atau menyiksa Gigant itu. Vinesa selalu membuka pertahanannya memancing Gigant itu untuk menyerang, namun dengan satu tebasan Ia memotong tangan kiri Gigant itu. Melihat Gigant itu tak mampu melawan balik, Ia hendak menghabisinya dengan cepat.
Dalam keadaan terdesak, kekuatan aneh meluap keluar dari tubuh Gigant itu. Ia mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mengaburkan pengheliatan Vinesa. Begitu Vinesa mendapat pengheliatannya kembali, Gigant itu telah selesai bertransformasi. Lengannya yang terputus telah tumbuh kembali dan dua buah lengan muncul dari punggungnya. Semua luka-lukanya pulih dalam sekejap dan kulitnya terlihat lebih keras dari sebelumnya.
Gigant itu kembali memberi pandangan sombong pada Vinesa. Kepercayaannya kembali ketika kekuatannya bertambah, tapi itu hanya membuat Vinesa semakin semangat. Mereka mulai bertukar serangan namun Vinesa segera menyadari serangannya tak dapat melukai kulit baru Gigant itu yang lebih keras dari sebelumnya.
Vinesa akhirnya menggunakan Talent miliknya, itu bukanlah kekuatan yang terlihat memukau namun kekuatannya sangat jelas. [Perfect Cut] tebasan sempurna yang dapat memotong apapun yang Ia mau. Itu adalah Talent sederhana yang menggunakan mana disekitar untuk memperkuat dan mempertajam pedangnya ke tahap yang tidak dapat dibayangkan.
Pedang Vinesa berpijar mengeluarkan cahaya halus, Ia melancarkan serangan pada tangan kanan kedua Gigant itu. Gigant itu mencoba menangkis dan segera tersadar Ia melakukan kesalahan, tak sempat bereaksi tangan kanan keduanya itu terputus bersih. Kepercayaan hilang dari matanya melihat tawa menakutkan manusia kecil itu.
Kembali pada Eideth dan Zain yang melawan tiga Strider itu, mereka cukup kewalahan ketika dua dari tiga Strider itu mengganti senjata mereka dengan pedang dan tombak. Sekarang mereka berdua sibuk dalam pertarungan jarak dekat dan waspada akan panah yang membidik titik buta mereka.
Menyadari mereka dalam posisi tidak menguntungkan Eideth mengganti rencana mereka. Eideth menjaga jarak dan meminta Zain untuk membuat Strider itu sibuk. "Kak cepatlah Aku kesulitan disini" teriaknya, Eideth merapalkan mantranya dan merasakan mana sekitar terpanggil membentuk sihirnya, "bola sihir elemen, [Chromatic Orb]" Eideth menembakkan sebuah bola sihir berwarna kuning sebesar 4 inci kepada Strider yang tepat di depan Zain. [d20/16, 3d8/6+3+7] Eideth memberi 16 damage petir dalam satu serangan. Itu kerusakan yang cukup besar untuk sihir level 1. Tak berhenti disitu Ia merapal Cantrip [Fire bolt] pada Strider yang lain, [d20/13/13, 1d10/6/5] Eideth melihat kerusakan yang Ia timbulkan cukup signifikan. Eideth kembali membantu Zain dalam serangan jarak dekat, Ia membuka pertahanan Strider itu dan Zain menghabisinya dengan satu serangan.
Tersisa dua Strider lagi dan mereka tak berniat menyisakan satupun. Kali ini Zain ingin menunjukkan kemampuannya. Eideth memberinya waktu untuk menyiapkan serangan, melihat kakaknya maju ke depan membuatnya terpikiran sesuatu. Ia melihat siluet seseorang saat melihat punggung kakaknya, melihat itu Zain membulatkan tekadnya dan mengaktifkan mantranya. "[kawan], Aku akan bertambah kuat hingga Aku seperti dirimu, seorang pahlawan yang menyelamatkanku" dengan kata-kata penuh tekad Zain mengaktifkan Talent miliknya.
Zain sendiri masih tidak mengerti bagaimana Talent miliknya bekerja, yang Ia tahu kemampuannya hanyalah mengumpulkan mana membuat cahaya yang sangat panas pada pedangnya. Namun Ia dapat sedikit petunjuk berkat pengheliatannya barusan. Yang awalnya tertulis [???] sekarang berubah menjadi [Starlight Magic]. Mana berkumpul pada pedang Zain membuatnya menyala, Zain maju melihat kakaknya telah membuka pertahanan Strider itu, membelah tubuhnya menjadi dua tepat di tengah. Terlihat panas pedangnya membuat luka Strider itu terbakar.
"Wow, itu keren Zain, kapan kamu punya kemampuan itu" Eideth hendak memuji adiknya namun kehilangan fokusnya memperhatikan Strider yang tersisa. *Twang, Sebuah panah ditembakkan dengan kekuatan penuh menancap tepat di dada Zain, tebasan tadi membuatnya tak punya cukup kekuatan untuk menghindar. Eideth segera menyerang Strider pemanah itu untuk membalaskan Zain.
[Jika menonaktifkan guliran dadu, efek bonus tidak akan diperoleh dan harus berpegang pada kemampuan sendiri.]
Ia tak peduli dadu mengatakan apa dan menargetkan leher Strider itu, [Talent dinonaktifkan sementara oleh pemain], sebuah pop-up muncul namun Eideth tak memperdulikannya. Ia memenggal Strider itu dengan satu tebasan namun Ia tak merasa senang sedikitpun. Ia segera menghampiri Zain untuk melihat keadaannya.
Vinesa sudah berada disamping Zain terlebih dahulu, ketika Ia melihat Zain tertembak panah, Ia langsung menghabisi Gigant didepannya. Vinesa coba menahan panah itu memberi tekanan pada lukanya untuk menghentikan pendarahan, Ia ingin merobek sebuah kain untuk menahan sobekan lukanya namun kedua tangannya penuh. Eideth membuka ponselnya mengecek apakah Ia sudah mempersiapkan mantra sebelumnya, "Bi, tolong cabut panahnya perlahan" ujar Eideth.
"Apa kamu gila" teriaknya namun Ia melihat pandangan percaya diri Eideth. Eideth tahu Ia tak memiliki persyaratan yang diperlukan untuk memakai sihir penyembuh, namun Ia punya sebuah pengecualian.
[Penalti menggunakan sihir tanpa memenuhi persyaratan:
Tanpa Kelas: tingkat kegagalan pengaktifan, meningkat sebanyak 50%,
...,
Tanpa Material: tingkat kegagalan efek, meningkat sebanyak 50%.]
Untungnya mantra penyembuhan yang hendak Ia pakai tidak memerlukan sebuah material, namun Ia tidak punya tongkat sihir sebagai medium sihirnya. "Zatharna bisakah Aku menggunakan koinku untuk Spellcasting focus" tanya Eideth sambil menatap keatas langit. [Zatharna mengizinkan] tulisnya, Ia memiliki petunjuk bagaimana cara menggunakan koin itu medium mantranya. Eideth mulai merapal mantranya, "pulihkan luka dan darah yang hilang, [Healing Word]" Eideth melempar koinnya ke atas langit kemudian menangkapnya.
Eideth berharap kemampuannya belum menurun dan membuka tangannya, koin itu menunjukkan gambar kepala. Mana mulai berkumpul pada koin itu dan ditembakkan pada luka Zain. Vinesa melihat keajaiban itu dan mulai mencabut panahnya dengan perlahan sambil mengikuti dorongan lukanya yang menutup. Eideth terdiam menunggu respon tubuh Zain terhadap mantra penyembuhan miliknya, "ugh... kenapa ini, dadaku terasa sakit" ujarnya lemas.
Vinesa dan Eideth segera memeluk Zain yang masih lemas baru tersadar, "hey, apa yang terjadi" Zain kebingungan namun Ia membiarkan mereka, setelah berpelukan untuk beberapa saat, mereka hendak kembali dengan pasukan utama. Eideth membantu Zain berdiri, "bagaimana keadaanmu, apa kamu baik" tanya Eideth. Zain merasa dadanya sedikit kesakitan namun lebih baik dari sebelumnya, "Aku masih bisa Kak, terima kasih" ujarnya.
Mereka kembali berkumpul dengan pasukan utama dan menyerang musuh dari belakang, karena pemimpin mereka telah gugur, tidak ada yang memimpin mereka dan mereka dengan mudah di kalahkan.
Setelah menghabisi semua Aether, para prajurit akhirnya bisa bernafas lega. Vinesa membawa Zain untuk memastikan bekas lukanya pada Cleric. Mereka terkejut lukanya itu telah sembuh sepenuhnya tanpa meninggalkan bekas luka, namun mereka menemukan jejak sihir pada area itu, "sihir penyembuhan milik siapa ini" tanya mereka. Eideth mengangkat tangannya, tanpa peringatan mereka mulai menanyai mantra penyembuhan apa yang Eideth gunakan.
Eideth menghindari semua pertanyaan mereka dan menghampiri Ayahnya. Mard sudah hampir selesai melakukan ritual pemurniannya, mereka semua berkumpul disekitar menara untuk melihat keajaiban ritual. "..., dengan nama Joan, bebaskanlah tanah ini dari kutukan dunia lain" cahaya matahari seperti bersinar dengan kuat membawa kekuatan suci dari dewa Joan, menara itu mulai hancur menjadi debu perlahan-lahan. Itu adalah pemandangan luar biasa karena tak satupun bagian dari menara dapat dihancurkan oleh sihir biasa, walau dindingnya dirusak, kekuatan dunia lain masih melindungi menara itu dan mencemari sekitarnya.
Semua orang bisa merasakannya, hawa aneh dunia lain mulai menghilang dan perasaan sejuk akan dunia mereka kembali. Menara itu telah hancur seutuhnya, menghilang dibawa angin bak debu. Para prajurit bersorak gembira akan keberhasilan mereka, Agareth senang kerja keras mereka membuahkan hasil. Walau banyak pekerjaan yang menantinya setelah ini, matanya penuh dengan harapan.
"Dan Cut. Itu cukup untuk petualangan pertama" ujar Eideth pada Zatharna, [Zatharna mengucapkan selamat atas petualanganmu] tulisnya. Eideth kemudian menjelaskan beberapa detil penting pada Zatharna sebagai Game Master. [Zatharna mengatakan apa Anda ingin naik level?] tulisnya, Zatharna jatuh tepat ke perangkap Eideth, Ia sudah menduga hal ini dengan memancingnya pelan-pelan. "Iya, tapi akan kujelaskan nanti cara kerjanya" ujarnya.
Eideth sangat senang Ia dapat naik level langsung setelah melakukan petualangan kecil. Ia mulai memikirkan rencananya selanjutnya, namun tubuhnya menyuruhnya untuk beristirahat terlebih dahulu, Zain menangkap Eideth yang hampir saja terjatuh. "Kak Eid, kamu baik-baik saja" ujarnya khawatir, "tak apa, kakiku hanya kelelahan, bantu Aku duduk, tolong" jawabnya.
Setelah selesai melakukan ritual yang panjang, Mard hampir saja terjatuh karena kelelahan, untungnya Kaian dan Vivian segera menangkapnya. Agareth menghampiri pendeta Mard beserta saudari-saudarinya, "terima kasih pendeta, atas kerja kerasnya" mereka membungkuk hormat pada Mard. "Tidak perlu seperti itu Tuan Count, Kami hanya melaksanakan perintah Joan" ujar Mard sambil meminta Count dan saudarinya berdiri.
"Kami ingin memberi hadiah pada kalian bertiga setelah kembali ke Kastil nanti" ujar Agareth, para Raziel tidak suka berhutang pada orang lain dan akan membayarnya dengan segera. "Tidak perlu Tuan, kami benar-benar tidak memerlukan apapun" Mard menolak, Vivian hendak membuat permintaan namun dibungkam oleh Kaian dengan tangannya yang besar.
Setelah mengumpulkan semua prajurit mereka kembali ke kastil untuk merayakan kemenangan mereka, walau beberapa prajurit terluka tak ada satupun korban pada misi kali ini, membuat perayaan kali ini akan lebih meriah untuk merayakan rekor baru mereka.
Eideth dan Zain sangat mengantuk di perjalanan pulang, mereka menunggangi Spew si naga gurun sambil bersandar ke punggung Vinesa. "Kalian cukup hebat tadi, tak kusangka kalian bertambah kuat dengan sangat cepat selama dua hari, ehh??? Kalian tertidur" Vinesa hendak memuji keponakannya namun mereka terlalu lelah.
Setiba di Kastil, mereka berdua secara insting terbangun, Zain mengelap liur dari wajahnya yang bersandar di punggung Eideth, sementara Eideth hampir lupa cara membuka matanya. Mereka turun dari punggung Spew dan berterima kasih sambil mengelus kepalanya. "Kalian tidak berterima kasih dengan Bibi" ujarnya kesal, Vinesa meminta pelukan untuk ucapan terima kasih. Mereka berdua yang masih mengantuk belum terlalu tersadar dan melakukan yang Ia minta. Vinesa memeluk mereka dengan sangat erat membuat kantuk yang menahan mata mereka hilang dalam sekejap, "Bibi, SAKIT" teriak mereka.
Irena dan Lucia menyambut mereka setelah mendengar kabar keberhasilan misi mereka. Para pelayan segera membantu melepaskan perlengkapan mereka yang memberatkan, para prajurit segera kembali ke barak untuk merawat yang terluka lebih lanjut. Irena melihat kedua kakaknya berjalan pinjang dengan tubuh membungkuk, muncul perasaan bertentangan dalam hatinya, Ia senang kakaknya akur namun merasa tertinggal sendirian.
"Hahaha, lihat kalian itu" Irena menyingkirkan perasaannya untuk sesaat dan menertawai mereka. "Tunggu saja, kamu akan menjadi seperti ini juga suatu hari nanti" ujar Zain, Irena yang kasihan membantu membopong mereka dengan bahunya. "Irena, pakaianmu" tegur Lucia, Irena tidak khawatir dengan pakaiannya karena Ia juga latihan diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya, sekarang Ia punya alibi untuk mengganti pakaian (mandi).
Eideth kembali ke kamarnya dan melepas semua perlengkapannya, tubuhnya yang kelelahan bisa merasakan beban dari pelindung tubuh terangkat. Ia mulai mandi dengan air yang sudah disiapkan oleh pelayan, tak seperti biasanya Ia memutuskan untuk berendam dalam bak mandi.
Eideth memperhatikan koin Gerard yang telah sepenuhnya jadi miliknya, Ia memperhatikan kedua sisi koin itu dan membayangkan apabila Ia gagal mengaktifkan sihir penyembuhan. Itu adalah perjudian yang mempertaruhkan nyawa adiknya, walau Ia terbiasa di kehidupan sebelumnya bermain koin dan percaya akan kemampuannya, perasaan takut akan gagal itu tak bisa Ia bayangkan sepenuhnya.
Ia tahu kekuatannya memiliki batas, namun untuk berjudi pada takdir dimana nyawa seseorang menjadi taruhannya, membuatnya ragu kalau pilihan untuk bersandar pada kesempatan adalah pilihan terbaik. "Kalau tidak terpaksa, Aku tidak akan memakainya lagi" Eideth mulai terpikir untuk mengambil kelas ganda namun ada beberapa hal yang janggal di pikirannya, Ia hanya berharap itu bukan seperti yang Ia perkirakan.
Eideth keluar dari kamar mandi mengenakan handuk di pinggangnya, Ia mengambil ponselnya lewat layar otoritas dan mulai menikmati waktu luangnya. Menyalakan sebuah lagu selagi Ia memakai pakaian dan merapikan kembali perlengkapannya ke dalam lemari. Setelah memakai pakaiannya, Eideth mulai merencanakan kelas baru untuk diambil. "Tapi Aku tidak punya bukunya" walau Eideth punya file buku aturannya, hardcover itu penting. Demi jiwa gamer, Ia harus mendapatkan buku-buku itu pikirnya.
Ia membuka situs jual beli online, dan melihat harga bombastis dari sebuah buku. "Tunggu, sejak kapan buku jadi semahal ini, bukannya dunia itu sudah di masa depan sekarang" ujarnya melihat perhitungan biaya kirim lewat alamat buatan miliknya. Eideth mulai menghitung dengan jarinya berapa biaya buku tersebut dengan harga mata uang yang Ia pakai sebelumnya. "Ehhh...? Semahal itu?? Belum lagi, apa ini, biaya pengiriman" Eideth tidak terlalu melihat berita saat Ia bermain ponselnya sebelumnya, jadi Ia tidak terlalu tahu menahu bagaimana kondisi ekonomi disana.
"*Toktoktok, permisi Tuan, boleh saya masuk" Gerard berada didepan pintu tiba-tiba, Eideth tak tahu lagi harus kaget atau bagaimana, namun itu tak baik untuk jantungnya. "Ya, masuklah" Gerard masuk ke dalam kamar membawa beberapa obat dan perban, Eideth menatap Gerard dengan kesal dan Ia balas dengan tersenyum. "Kalau kamu mengagetkanku seperti itu terus, Aku akan mati sebelum kamu masuk tahu" ujarnya kesal. Gerard tertawa kecil, Ia mulai mengoleskan balsem obat untuk luka-lukanya.
Walau dilindungi oleh pelindung, tubuhnya penuh dengan memar. Walau Eideth sudah mengobati bagian dada, Ia kesulitan mengoleskan punggungnya. Setelah selesai memasang perban di tubuhnya, Gerard memberi Eideth sebuah obat untuk membantunya pulih lebih cepat. "Tuan, mata Tuan" Eideth seketika tersadar dari lamunannya, Mata Eideth terlihat kosong dan hampa dengan pupil yang hitam tak memantulkan cahaya. Eideth menggelengkan kepalanya, "maaf, Aku melamun barusan" ujarnya.
"Tuan masih belum menerimanya ya" tanya Gerard sambil berlutut di depan Eideth, Itu adalah salah satu kondisi tambahan yang Eideth dapatkan saat mencoba melakukan terapi untuk kondisi anehnya dulu.
Awalnya itu adalah karakteristik umum yang dimiliki keturunan langsung Raziel, namun Ia berkembang menjadi sesuatu yang lebih buruk ditambah dengan kondisi Eideth yang hampir seperti kutukan. Para Raziel, secara tidak sadar, hidup dalam takdir untuk bertarung. Beberapa dari mereka mendapat kegembiraan didalamnya, dan mendapat pandangan mata yang memperlihatkan ego mereka. Vinesa yang cinta pada pertarungan selalu memiliki mata yang berapi-api, Agareth yang penuh dengan tanggung jawab memiliki mata yang hangat namun tegas bila diperlukan, Eziel memiliki ketertarikan pada sihir memiliki mata yang terlihat cerah.
Namun Eideth, yang lahir dengan kondisi aneh, seumur hidupnya Ia tak bisa menyentuh sebuah benda tanpa bersiap untuk merasakan sakit. Bagai semua benda di dunia ini berduri untuk Ia pegang. Untungnya Ia menemukan kedamaian dalam sentuhan keluarganya, yang menenangkannya saat Ia kesulitan.
Eideth merasa beruntung kondisi statusnya telah sembuh, namun luka yang Ia alami selama 18 tahun belum sepenuhnya hilang. Semua penderitaan yang Ia pendam itu membentuk mata kosong miliknya. Mata itu pertama kali muncul dua tahun lalu, saat itu Ia latihan lebih keras dari sebelumnya dan menantang dirinya sendiri untuk melepas sarung tangan yang melindunginya. Awalnya Eideth tampak dapat mengendalikannya, namun saat sparring dengan Vinesa, terlihat jelas bahwa Ia terlalu memaksakan diri. Vinesa mendapat keringat dingin waktu itu saat melihat mata Eideth yang gelap seperti tak memiliki kehidupan. Untungnya Vinesa segera membuat Eideth tak sadarkan diri dengan cepat.
Kembali ke masa sekarang, Eideth tahu mentalnya sedikit tidak stabil namun Ia tak bisa membuat orang disekitarnya khawatir, "Aku baik-baik saja Gerard, sungguh" ujarnya. Gerard memikirkan apa yang ingin Ia katakan pada Eideth, "Tuan tahu kalau kehidupan ini bukanlah yang Tuan inginkan, namun cobalah bersenang-senang selagi melakukannya" Eideth tahu itulah yang ingin Ia lakukan namun mendengarnya langsung terasa sangat berbeda baginya.
"Terima kasih Gerard, kau benar" Eideth merasa lebih baik. Gerard kemudian permisi untuk kembali mengerjakan pekerjaan lain, Eideth membuka ponselnya dan menelpon seseorang. "Hey, Aku memerlukan sesuatu, datang kemari saat Kau luang" Eideth segera menutup ponselnya sebelum Ia dijawab.
Entah itu karena kekesalan, tapi Ia merasa sikapnya terlalu berlebihan. Tapi Ia tak boleh menunjukkan kelemahan, Ia adalah orang yang paling terakhir yang Eideth ingin temui. Ia tahu orang itu takkan datang segera, jadi Ia akan menyelesaikan masalah yang ada didepannya dahulu.
Eideth pergi ke kantor ayahnya, sesuai dugaannya Ia sedang membujuk Mard menerima hadiah untuk bantuannya. "Tidak apa Tuan Count, kami benar-benar melakukan ini tanpa mengharapkan apapun" ujar Mard. Mengetauhi sifat Raziel yang sangat tidak ingin berhutang budi, Eideth bisa mendengar ayahnya dari balik pintu. "Permisi, bisakah Aku masuk" begitu Eideth masuk, Ia bisa melihat Vinesa dan Eziel juga berada disana. Tanpa basa basi Ia langsung mengatakan tujuannya.
"Tuan Mard, Tuan Kaian, ada sesuatu yang ingin kusampaikan atas wahyu Joan" ujarnya. Semua orang terdiam mendengar apa yang baru saja Eideth katakan, "Kami tidak akan memaksa mu Tuan muda, itu adalah wahyu yang diberikan Joan padamu" ujar Mard. "Tidak apa, sungguh, Aku juga berniat memberitahu kuil cepat atau lambat" ujarnya namun Ia menatap Vivian dengan sangat jelas.
Eziel merapal sebuah mantra pengedap suara di ruangan itu sesuai permintaan Mard. "Aku sebenarnya tidak dibolehkan untuk mengucapkan secara langsung wahyu Joan, tapi Aku ada sebuah cara" ujarnya. "Apa kamu yakin dengan ini Tuan muda, melanggar perintah dari dewa dapat membawa murkanya" ujar Kaian. "Tenang saja" Eideth meyakinkan semua orang bahwa semua akan baik-baik saja.
Selesai merapal mantra [Voice barrier], Eideth terkagum melihat sihir itu tahu Ia juga punya mantra serupa dalam TTRPG. Vinesa dan Eziel menanyakan lagi pendapat Eideth tentang ini karena ragu, terakhir Agareth turun tangan sebelum Eideth membuat keputusannya. "Eideth, Ayah tidak tahu mengapa kamu melakukan ini, tapi Ayah mengerti niatmu, Ayah mempercayai keputusanmu dan berterima kasih telah membantu Ayah disini" ujarnya memegang bahu Eideth.
"Tidak apa Ayah, Aku juga tidak suka berhutang pada seseorang, Aku berjanji ini aman" Eideth duduk di kursi berhadapan dengan Mard, Vivian dan Kaian. Yang lain memutuskan untuk memperhatikan dari ujung ruangan, Eideth memikirkan bagaimana Ia merangkai perkataannya.
"Aku akan mulai, pertama, aku hanya akan memberi petunjuk tidak langsung dan itu tugas kalian untuk mengartikannya, kedua, kalian harus bersumpah atas nama Joan untuk tidak memberitahu siapapun wahyu ini hingga Joan mengizinkan, apa kalian mengerti" Eideth menjelaskan persyaratan yang Ia perlukan, Mard dan rekannya setuju dengan persyaratan tersebut.
Ruangan menjadi sunyi hingga Eideth membuka mulutnya, "Wahyu yang dijanjikan akan segera turun, persiapkan semuanya lebih awal dan lebih baik dari sebelumnya, itulah tugas kuil" ujar Eideth. Mard dan Kaian mulai menelaah maksud perkataan Eideth, hanya Vivian yang sedikit kebingungan. Mard dan Kaian tampak singkron menemukan jawabannya bersamaan, "karena itu, persiapkan semuanya, tak apa walau terlihat terlalu berlebihan, itu akan berguna" tambah Eideth, perkataannya itu membuat mereka yakin bahwa asumsi mereka benar.
Eziel membatalkan sihirnya dan suasana ruangan menjadi lebih lega, "dengan ini, Kami Raziel tidak berhutang apapun pada kuil, benar", "benar, terima kasih Tuan muda, Kami bersumpah atas nama Joan, yang kami dengar hari ini tidak akan pernah terbongkar hingga Joan mengizinkan" ujar Mard.
Beban tanggung jawab hilang dari bahunya, bibi-bibinya punya beberapa pertanyaan namun Eideth hanya menjawabnya dengan senyuman, tak seperti perwakilan kuil, mereka tak terikat dengan sumpah. Agareth mempersilahkan Eideth pergi daripada Ia terus ditanyai di kantornya.
Mard dan rekannya pun memutuskan untuk segera kembali, mereka berpamitan dan Agareth memberikan sebuah oleh-oleh untuk mereka dalam sebuah peti kecil. Eideth melihat dari atas tembok kastil kepergian mereka dan melambai begitu mata mereka bertemu. Hari mulai malam dan Eideth berkumpul untuk makan malam, Ia makan malam dengan cepat tanpa banyak berbincang kemudian kembali ke kamarnya. Setelah memainkan ponselnya selama beberapa waktu, akhirnya orang yang Ia tunggu datang.