Chereads / Let me be carefree, please / Chapter 11 - Tutorial Campaign

Chapter 11 - Tutorial Campaign

Eideth melihat tulisan di layar status itu dengan tidak percaya, Ia heran apa yang terjadi hingga bisa mendapat hasil seperti itu pikirnya.

[Conceptualize: TTRPG

Pengaturan format selesai.

Menjalankan versi 0.001 Alpha.

Perubahan yang terjadi:

...

GM: Zatharna, Dewi Takdir.]

[Format saat ini adalah format sementara.

Pengembangan lebih lanjut akan keluar secepatnya.]

Eideth membacanya dengan seksama selama lima menit hanya untuk mengerutkan dahinya kemudian. Ia bingung harus bereaksi seperti apa. "Format saran terbuka" Eideth membaca penjelasan formatnya. "Sederhananya format ini adalah pengenalan TTRPG untuk Zatharna sebagai GM. Ia sama sekali tidak tahu bagaimana TTRPG seharusnya di jalankan, dan meminta kerjasama denganku untuk hal ini" Eideth mulai mengartikan deskripsi yang Ia tangkap.

[Zatharna bertanya bagaimana pendapatmu]

Eideth dikejutkan dengan layar pesan muncul di depan wajahnya berkat lambang yang ditanam Zatharna. "Kamu menanyakan pendapatku" tanya Eideth.

[Zatharna mengangguk dengan harapan besar]

Eideth sama sekali tidak senang dengan layar pesan yang menjelaskan apa yang dilakukan Zatharna dalam sudut pandang orang ketiga. Ia merasa janggal dalam pembicaraan seperti itu. Namun yang lebih berat lagi adalah bagaimana Ia merespon pertanyaan Zatharna. "Ini... lumayan, cukup kreatif" Eideth berusaha memendam pendapat aslinya yang berteriak untuk keluar.

Eideth mencoba menunjukkan respon positif, selagi Ia merencanakan nakal di pikirannya. Pendapat kritik kerasnya ketakutan dengan rencana besar yang Ia pikirkan di kepalanya. Ia mencoba menahan raut wajahnya yang hampir mengungkapkan pikirannya. [Zatharna melihatmu tersenyum aneh] tertulis di layar pesan itu.

"Huh? Senyumku aneh, maaf, aku hanya takjub dengan ide milikmu yang tak terduga" elaknya. Eideth mendengar dadu bergulir sesuai permintaan di pikirannya, [Zatharna bertanya untuk apa itu tadi] tulisnya. "Oh, apa, Aku melihat perubahan formatnya bekerja dengan baik, aku bisa menggulirkan dadunya sekarang" Eideth tak tahu apa dadunya berhasil.

[Zatharna merasa senang kamu menikmati peningkatannya], Eideth senang Zatharna mempercayai itu. Ia mendapat garis besar bagaimana Talentnya bekerja, pikirnya seperti itu. [Zatharna bertanya apakah Eideth ingin melihat hasil guliran dadunya] tulisnya. Eideth baru menyadarinya, Ia sudah beberapa kali melakukan guliran dadu, Ia cukup beruntung mendapat angka tinggi. Tapi kedepannya tidak bisa seperti itu pikirnya. Ia merasa melihat hasil dadu sangat penting, "bagaimana kalau Aku saja yang menentukan kapan Aku ingin melihat hasilnya" sarannya.

[Zatharna mencatat saran tersebut] tulisnya. Eideth merasa di untungkan disini, Ia merasa bisa mengeksploitasi ketidaktahuan Zatharna untuk keuntungannya. Ia sadar bila ketahuan akan berakhir masalah, jadi Ia akan melakukannya sesedikit mungkin.

[Zatharna memintamu menunjukkan cara memainkan TTRPG] tulisnya, "oke, mulai dari sekarang akan kutunjukkan bagaimana cara menjalankan sebuah sesi" ujarnya. Eideth meminta Zatharna untuk mengawasinya secara langsung sepanjang hari ini. Ia tidak tahu berapa banyak yang dapat Ia ajarkan dalam satu hari, tapi kalau dasarnya saja mungkin bisa pikirnya.

Terdengar suara ketukan pintu tanda Gerard telah sampai didepan pintunya. "Sudah dulu ya" Eideth menggulir layar itu ke samping menyingkirkannya. Eideth membuka pintu tepat sebelum Gerard masuk, "Apa Kamu terkejut" tanya Eideth padanya. Gerard hanya tersenyum lalu meminta izin untuk masuk. Eideth tidak bisa menduga apa yang dipikiran Gerard dan tak memperdulikannya, Ia segera pergi mandi karena ada tugas besar yang harus Ia lakukan hari itu.

Setelah mandi, Ia menyantap sarapan kecil yang dibawa Gerard padanya, kemudian memakai perlengkapannya dan bersiap pergi. "Sebentar Tuan" Gerard membantu Eideth mengencangkan ikatan peralatannya, "hati-hati di luar sana Tuan" ujarnya. "Ini hanya tugas mengawal biasa, tidak akan terlalu berbahaya" Eideth tidak pernah melihat Gerard menunjukkan kekhawatirannya.

"Anda tidak boleh menganggap remeh tugas Anda sekecil apapun itu" tegasnya. "Kalau begitu, bagaimana kalau kau meminjamkan koin keberuntunganmu padaku" Gerard tak menyangka respon tersebut, Ia segera mengeluarkan koin keberuntungan dari saku miliknya kemudian memberikannya pada Eideth. Eideth merasa candaannya dibawa terlalu serius tapi Ia bisa melihat keseriusan Gerard. "Terima kasih, akan kukembalikan nanti" ujarnya, tapi Gerard menolak. "Itu milik Tuan sekarang" Eideth berterima kasih dan memeluk Gerard, mengetauhi betapa penting koin itu untuknya. Ia berjanji akan menjaga koin itu baik-baik, kemudian meninggalkan kamarnya untuk berkumpul di lapangan.

Eideth tiba paling akhir walaupun Ia merasa datang paling awal, Ia dikalahkan Zain lagi hari ini lebih cepat beberapa detik. Di lapangan terlihat rombongan kuil yang diisi Kaian, Vivian, dan Mard yang mengenakan perlengkapan terbaik mereka. Eideth terkejut pendeta Mard mengenakan baju besi tipe pelat yang terkenal berat, Ia bahkan menyapa Eideth dengan santai tidak terganggu dengan beratnya.

"Anda seorang Paladin pendeta Mard" tanya Eideth. Kaian dan Vivian segera menyerobot menyanyikan pujian tentang Mard, Mard malu dengan tingkah rekannya menghentikan mereka. Eideth tidak menyangka latar belakang Mard sebelum menjadi seorang pendeta. Vinesa yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka menjadi tertarik untuk berduel dengan pendeta Mard, untung Eziel dan Agareth menahannya.

Agareth menyampaikan pidatonya dimana mereka akan menambah wilayah mereka dengan memurnikan Sixen. Eideth sama sekali tak mendengarkan detailnya karena Ia mengobrol dengan Zatharna lewat layar pesan. [Zatharna melihat pasukan yang dipimpin Raziel sedikit terkagum] tulisnya. Eideth menyadari Ia bisa menulis saja untuk membalas pesan. Sebagian layar tersebut membentuk layar keyboard yang biasa Ia pakai di kehidupan lalu.

Jarinya sedikit kaku karena sudah terlalu lama di ingatannya dan Ia tak pernah menggunakan keyboard dengan semua jari-jarinya. [Zatharna setuju dengan pendapatmu] tulisnya, Eideth tampak yakin dengan perjalanannya kali ini. Ia ditemani seluruh keluarganya, beberapa orang kuil yang terlatih, dan pasukan di perbatasan yang sudah menunggu mereka.

Setiba di tembok perbatasan, Levyr dan Cloven telah menyiapkan pasukan untuk menemani mereka memurnikan Sixen. "Bagaimana pasukan kita" tanya Agareth kepada kedua kapten tim itu. "Semuanya telah siap Tuan, menunggu perintah Anda" ujar mereka. "Kerja bagus, Pasukan bersiap" perintahnya. Pasukan berkumpul sesuai perintah Agareth, sementara Eideth pergi mengendap-ngendap menjauhi kerumunan karena urusan lain.

"Sial, kertas karakternya masih kosong" ujarnya melihat Ia belum memasukkan data karakter pada layar itu. Eideth tidak habis pikir Ia akan teledor seperti itu, Ia mulai memasukkan data sesuai perhitungannya. "Phew, hampir saja, padahal ini bagian yang paling penting" Eideth mengusap keringat dari dahinya.

[Eideth Raziel

Wizard (???), Manusia, Bangsawan

STR 14 / DEX 14 / CON 14 / INT 14 / WIS 14 / CHA 11

Skill

Akrobatik +2

...

80% terisi]

Eideth masih menyisakan beberapa data kosong karena Ia tak terlalu mengingat kemampuan apa saja yang Ia miliki. "Aku harus mendapatkan buku-buku itu" pikirnya. Eideth tahu Ia tak mampu mengingat semua hal tentang TTRPG, walau Ia bisa membuatnya sendiri tapi Ia terlalu malas melihat pekerjaan besar itu. Ia memutuskan untuk memikirkannya nanti dan kembali ke barisan pasukan.

Dengan arahan Agareth, pasukan mulai berjalan menuju menara Sixen. Beberapa Aether yang mereka temui segera dihabisi oleh pemanah mereka dari kejauhan. Eideth merasa tenang bahwa Ia tidak akan dikejutkan oleh suara guliran dadu karena Ia dapat untuk mengendalikannya dalam format ini. Ia bisa santai tahu kalau pertempuran besar takkan terjadi. Tapi kedamaian yang Ia rasakan tak berlangsung lama.

Vivian sedikit melarikan diri dari rombongan untuk menghampiri Eideth. "Hey apa yang kau lakukan disitu" ujarnya. Eideth sedikit kaget karena Ia yakin tak merasakan keberadaan siapapun yang mendekatinya. "Apa yang kau mau" Eideth membalikkan pertanyaan pada Vivian. "Tidak ada, aku hanya melihatmu bertindak mencurigakan" Vivian beralasan, "itu tak ada urusannya denganmu" Eideth pergi kembali ke dalam barisan rombongan. Vivian masih saja penasaran dan mengikuti Eideth dari dekat, Ia bahkan sengaja menyenggol Eideth tanpa mengatakan apa-apa. "Ada apa sih" Eideth kesal dan bertanya tapi Vivian hanya diam tak mengatakan apapun. 'Wanita, tetap saja rumit, bahkan di dunia ini' pikirnya.

Setelah berjalan menuju Sixen, Agareth mengistirahatkan pasukan. Mard mendekati Agareth dan meminta waktu untuk berbicara dengannya berdua saja. Zain dan Eideth bertanya-tanya apa yang mereka berdua bicarakan, "apa kamu tahu Vivian" tanya Eideth. Vivian bingung bagaimana Ia masuk di percakapan itu.

"Aku juga tidak tahu" ujarnya. "Tidak membantu sama sekali" ledek Eideth. Vivian sangat kesal namun menahan tangannya, Eideth tidak memperdulikannya dan terus mengobrol dengan Zain. Eideth meminta Zain untuk sedikit melindunginya, Zain tidak menyangka Eideth akan membuat permintaan aneh itu, "percaya padaku" ujarnya.

Eideth melihat ke tanah, 'Zatharna, lempar dadu "survival" skill' ujarnya dalam hati. Guliran dadu terdengar, Eideth dapat menyimpulkan tidak ada jejak makhluk apapun disekitarnya. 'Apa Aku gagal' tanya Eideth sambil melihat layar pesan. [Zatharna mengatakan kamu mendapat 19, tapi tidak ada apa-apa disana]. Eideth malu karena Ia ingin mencontohkan cara menggunakan skill.

"Yah, tipikal Game Master" gelaknya. Zain dan Vivian yang melihat tingkah laku aneh Eideth kebingungan. Agareth memanggil kembali semua pasukan memerintahkan mereka untuk beranjak ke lokasi berikutnya.

Eideth dan Zain terpukau melihat dari pusat Sixen dari kejauhan, sebuah menara dengan bentuk arsitektur aneh dunia lain, terdapat lubang besar di menara itu yang membuatnya tampak miring. "Itu pasti kerjaannya bibi Vinesa kan" ujar Eideth sambil menoleh pada Vinesa dari kejauhan. Vinesa bisa merasakan tatapan panas di kulitnya, Ia tidak ingin menoleh karena tahu telinganya gatal.

Mereka mendekati menara itu dan aura yang keluar darinya semakin mencekam, para Raziel mudah hampir tidak percaya bahwa Ayah dan bibi mereka masuk kedalamnya dan membasmi semua Aether. "Kalian mau tahu fakta menarik menara Sixen ini" tanya Vivian. Eideth dan Zain jadi tertarik untuk mendengar cerita Sixen tersebut.

"Dahulu kala, terjadi perang besar antara ras tinggi dan ras biasa. Tirani kejam dari ras tinggi akhirnya jatuh, dan jumlah mereka berkurang drastis. Tidak terima ras biasa hidup bebas, mereka melakukan ritual terlarang. Mengorbankan jutaan orang untuk memanggil dewa-dewa dunia lain. Sixen ini milik dewa dunia lain Rhagul, sang pembawa kehancuran. Masih banyak Sixen lain milik dewa tak dikenal di luar sana, Sixen ini hanyalah cabang kecilnya saja" jelasnya.

"Ras tinggi, kukira itu hanyalah mitos" Eideth tak bisa mempercayai jenis ras tinggi itu benar-benar ada. Setahunya Ras tinggi adalah kumpulan ras yang merasa diri mereka sempurna dan melihat ras lain hanyalah hewan. Setelah mencerna dengan baik perkataan Vivian, sesuatu terlintas di pikiran Eideth. "Tunggu, ceritanya hanya itu? Ceritakan dengan jelas" ujarnya kesal.

Vivian terlihat lupa tentang detail lebih lanjut dari cerita tersebut, Ia coba membuat alasan, "itu ada sejarah lama, masa kalian tidak tahu sedikit pun" ledeknya. "Ya sudahlah, kalian akan diajari saat di Akademi, semua bangsawan seperti itu" Vivian menggaruk bagian belakang kepalanya dan melirik ke arah lain mencoba melarikan diri.

"Vivian, kemari sebentar" Kaian memanggilnya dari jauh. "Oh, sepertinya aku dipanggil, Saya pergi dulu Tuan muda" Vivian melarikan diri dengan cepat. Mereka berdua ditinggal lagi sendirian, "Akhirnya ketenangan" ujar Eideth lega. Zain sedikit kebingungan dengan kakaknya yang bertingkah sedikit berbeda dari biasanya.

"Ehem... Zain, apa Kamu bisa memakai sihir" tanya Eideth. "Iya Kak, tempat ini terasa penuh mana, Aku bisa merasakan sihirku ikut meluap" ujarnya. Eideth cukup senang mendengarnya.

Artleya adalah dunia yang penuh dengan mana, semua orang pada umumnya bisa merasakan mana dan menggunakannya. Namun, saat dewa dunia lain menjajah Artleya, mana di Artleya menjadi kacau. Ada yang mengatakan mana berkumpul kearah menara Sixen karena diserap olehnya, ada yang mengatakan mana tersebut melindungi Artleya seperti mekanisme pertahanan.

Sihir hanya bisa digunakan pada tempat yang memiliki mana, kalau tempat itu hanya memiliki sedikit mana, terbataslah sihir yang bisa dipakai. Para penyihir telah meneliti sihir bertahun-tahun, menyerah karena tak dapat melawan hukum ini.

"Sihir memerlukan mana. Tanpa mana, tak ada sihir" ujar Zain mengingat kembali pelajaran dari Eziel. Eideth juga memahami hukum ini, Ia dan Zain sudah merasakannya secara langsung saat berlatih dengan Vinesa dan Eziel.

Mereka mengingat ketika mereka dibawa berlatih ke atas gunung di utara berlimpah dengan mana, saking berlimpahnya mereka kesulitan bernafas. Mereka juga mengingat saat mereka pergi ke gurun selatan yang sangat kekurangan mana, perbandingannya sangat jauh menurut mereka.

"Apa kakak merasakannya juga" Zain menanyai Eideth yang tampaknya tidak terlalu peduli. "Hmm... Aku hanya merasakannya sedikit. Lagipula Talent milikku memiliki persyaratan aneh" ujarnya. Eideth menjelaskan pada Zain bahwa sihirnya tidak perlu mengkhawatirkan mana, namun Ia dibatasi berapa banyak mantra yang bisa Ia pakai satu hari. "Wow, Talent kakak luar biasa" ujar Zain terkagum-kagum. Sekilas, sihir Eideth terlihat melawan hukum dunianya, namun saat ini Eideth hanya bisa menggunakan sihir level 1 dua kali. Eideth berpikir keras bagaimana Ia akan menggunakan sihirnya,

Eideth mengeluarkan ponselnya dan mulai membaca-baca mantra yang sudah Ia persiapkan. Eideth tak khawatir lagi membuka ponselnya di depan umum. Keluarganya sudah tahu bahwa itu adalah buku sihir untuknya, dan juga Ia tak terlalu peduli dengan pendapat orang asing.

Mereka akhirnya tiba di kaki menara tersebut, pendeta Mard maju mempersiapkan ritual pemurnian. Kaian dan Vivian mengawal Mard dari dekat sementara Count dan pasukannya menjaga sekitar. Tepat saat Mard memulai ritual, suara hentakan kaki terdengar dari seluruh penjuru. "Pasukan bersiap" teriak Agareth, monster Aether perlahan mulai terlihat. Mereka benar-benar terkepung, Eziel terkejut gerombolan Aether tersebut dapat membuat strategi seperti itu.

Agareth memposisikan pasukan sesuai formasi, Eideth dan Zain memisahkan diri dari pasukan untuk memimpin di depan. Mereka berdua berdiri dengan teguh bersiap untuk melawan Aether yang datang. "Pasukan, lindungi pendeta Joan selama ritual, jangan biarkan mereka mendekat mengerti" teriak Agareth, para prajurit Raziel berteriak menjawab ya.

Para Vanguard bertahan didepan, Breaker dan Hunt bersiap di sayap kiri dan kanan perlindung utama, Catalyst dan Clergy bersiap mendukung dari belakang. Mereka membentuk formasi melingkar dengan mengelilingi menara Sixen yang telah hancur. Vinesa menjaga bagian utara, Agareth menjaga bagian timur, Eziel menjaga bagian barat, sementara Eideth dan Zain menjaga bagian selatan.

Aether mulai menyerbu dari setiap arah, dentingan pedang mendengung di telinga pasukan. Walau tidak sebanyak yang menyerang di perbatasan, mereka sedikit kewalahan karena harus membagi jumlah untuk empat pasukan.

Eideth dan Zain cukup handal menghadapi Aether yang berdatangan, kerja sama mereka cukup baik membuat mereka tidak kewalahan sebanyak apapun Aether yang mereka lawan. Tapi itu tak berlangsung terlalu lama. Gerombolan Aether yang tidak henti-henti setelah 30 menit tanpa jeda membuat mereka berdua terengah-engah. Untung saja mayat-mayat dari Aether yang mereka kalahkan langsung menghilang terurai bagaikan debu, mereka tidak perlu memikirkan pijakan mereka di penuhi mayat yang dapat memperlambat mereka.

Sebuah teriakan memanggil para Aether tersebut untuk mundur sementara memberi pasukan Raziel waktu untuk bernafas. Agareth, Vinesa, dan Eziel terkejut melihat ini terjadi, mereka tak menyangka Aether dapat membentuk strategi. Dari kejauhan, Vinesa dapat melihat pemimpin Aether tersebut yang memanggil pasukannya. Bentuknya sangat mirip dengan rupa "Gigant" Aether jenis baru yang Ia lawan didalam menara. Vinesa memancarkan niat membunuhnya pada makhluk itu saat Ia menatapnya. Vinesa tidak habis pikir saat Gigant itu menatap balik dan menganggukkan kepalanya sedikit bagai menyengir.

Vinesa tahu itu bukan hanya di kepalanya, dan Gigant itu benar-benar membalas tatapannya. Ia segera menceritakan apa yang Ia lihat pada yang lain ketika mereka berkumpul memikirkan rencana. "Apa itu benar kak" tanya Eziel, "Aku juga berharap pengheliatanku yang salah, tapi Aku yakin Ia menyengir balik" jelas Vinesa. Eziel mengerutkan kepalanya melihat perubahan tak terduga ini, namun Vinesa tak bisa menahan kekesalannya. "Beraninya makhluk itu melihatku seperti itu, tatapannya itu adalah tatapan remeh, darahku mendidih ketika mengingatnya" kesalnya.

Eziel terus berpikir berbagai macam situasi dimana mereka kewalahan dan dibantai habis oleh para Aether tersebut. Ia tak bisa memutuskan pikirannya untuk bertahan atau mengambil kesempatan menyerang balik. Agareth menyerahkan keputusan strategi pada Eziel karena Ia pergi membantu menyembuhkan prajurit yang terluka, Eideth dan Zain juga ikut membantu ayah mereka.

Agareth membantu sebanyak yang Ia bisa untuk menyembuhkan luka-luka pasukannya sebaik mungkin, mulai dari mengikat perban dan memberi minum ramuan penyembuh. Para prajurit mencoba menolak bantuan dari pemimpin mereka, tapi Agareth mengancam dengan perintah. Bagi Agareth, para prajurit itu adalah rekannya, para pria yang mendukungnya mempertahankan perbatasan selama bertahun-tahun. Ia merasa memiliki tanggung jawab atas mereka semua yang berada dibawah perintahnya. Ia bahkan belum memperhatikan luka-luka yang Ia sendiri terima.

"Ayah, tolong minum ini, luka Ayah semakin lebar" ujar Zain menyerahkan sebotol ramuan. "Tidak apa, ini hanya luka kecil, lebih baik digunakan untuk prajurit lain" tolaknya. Para Clergy disekitar yang ikut menyembuhkan prajurit lain pun ikut memohon untuk Agareth menyembuhkan sedikit lukanya. Butuh bujukan dari seluruh peleton yang terluka untuk membuatnya meminum sebuah ramuan, itupun belum menutup lukanya dengan menyeluruh, Ia kembali mengurus yang terluka.

"Kenapa Ayah berjuang begitu keras" gerutu Zain dengan pelan. Agareth mendengar itu dengan tidak sengaja dan Ia mengusap kepalanya, "Karena Ayah adalah seorang pemimpin, dan Ayah berniat untuk setiap prajurit untuk dapat pulang ke keluarganya. Jadi kalian bertarunglah sekuat tenaga, dan jangan terluka jika tak ingin memberatkan ku, kalian dengar" teriak Agareth. "Ya TUAN...!" jawab para prajurit dengan lantang, moral pasukan jadi naik dan itu memberik mereka sedikit harapan.

Eideth hanya bisa melihat dari jauh dan berpikir pada dirinya sendiri, menilai apa yang Ia lihat, selagi membantu mengobati yang terluka. Ia sedikit mempertanyakan impiannya untuk hidup santai, Ia bertanya apakah Ia munafik untuk menginginkan kehidupan damai tanpa harus berlatih dan bertarung setelah menjalani kehidupan seperti itu selama hidupnya kali ini.

Pemikirannya terpotong ketika Eziel datang setelah memutuskan rencana mereka, Ia dan Vinesa menghampiri Agareth untuk membahas rencana mereka, Ia juga memanggil Kaian dan Vivian untuk mendiskusikan sesuatu.

"Kita punya waktu sekitar 15 menit lagi hingga Mard selesai melakukan pemurnian" ujar Kaian, sedari tadi pendeta Mard tidak henti-henti melakukan ritual pemurnian. Walau menara Sixen telah jatuh, kekuatannya tidak akan hilang sebelum dilakukan pemurnian, apalagi Aether di sekitar masih kuat seperti sebelumnya.

"Sepuluh menit" ujar Vinesa, "apa" yang lain kebingungan mendengar perkataannya, "beri Aku sepuluh menit, akan kuhabisi pemimpinnya" ujar Vinesa dengan yakin. Agareth memikirkan ulang tentang mengirim kakaknya masuk sendiri ke gerombolan musuh. Eziel coba meyakinkan Agareth sambil mengingatkannya mereka tidak punya banyak waktu. "Ayah, biar kami membantu Bibi dari samping" saran Zain, Eideth juga ingin membantu.

Agareth membulatkan pikirannya dan setuju dengan saran Eziel, Ia segera mempersiapkan pasukannya untuk serangan berikutnya. Eideth dan Zain menghampiri Vinesa untuk menanyakan rencananya, "rencana, kalian tahu Bibi kalian tidak memerlukan itu" ujarnya. Eideth dan Zain tidak percaya bibi mereka masih bersikap seperti itu.

'mungkin ini waktu yang tepat' pikir Eideth, "Kalau begitu Bi, Bagaimana kalau kami mengurus anak buahnya sementara Bibi mengambil kepala pemimpinnya" saran Eideth, Eideth bisa mendengar suara dadu bergulir. Vinesa memikirkannya untuk sejenak dan mereka mendapat persetujuannya. Vinesa pergi bersiap sambil memantau keberadaan Gigant itu, Zain mengikuti di belakangnya. 'Tadi itu namanya Skill check' jelas Zain lewat , [Zatharna mencatat apa yang baru saja Ia pelajari] tulisnya.

Eideth merasa senang Ia mendapat guliran dadu yang cukup bagus belakangan ini, tapi Ia tak menurunkan kewaspadaannya. Walau hanya 1/20 kesempatan buruk dapat terjadi, Ia coba menyiapkan diri sebaik mungkin.

Eideth mengejar Vinesa dan Zain untuk bersiap dalam posisi. Dia menunggu dengan tenang perintah ayahnya untuk menjalankan rencana. Saat itu Eideth mendengarnya lagi, guliran dadu menandai guliran inisiatif. Pertarungan fase dua dimulai.