Eideth tak menyangka akan menuliskan kertas karakter TTRPG bagai menulis data dirinya. Karena Ia tak bisa memahami bagaimana layar status Talent miliknya bekerja, Ia memutuskan untuk menuliskannya sendiri lewat aplikasi TTRPG di ponselnya. Itu hanyalah aplikasi catatan yang biasa dipakai pemain TTRPG untuk mencatat, itu juga memiliki beberapa fitur yang berguna menurut Eideth, karena itu Ia memakainya. Setelah menuliskan data-data penting seperti skor kemampuan, Eideth melihat kembali deskripsi Talent miliknya, membacanya secara menyeluruh sebaik mungkin.
[Conceptualize: TTRPG
GM: Zatharna Dewi Takdir
Kamu memiliki kekuatan untuk melakukan apapun yang kamu mau, namun keberhasilanmu ditentukan oleh hasil sebuah dadu.
Jika memakai Skill Talent tanpa menggulir dadu, hasil otomatis adalah 10, tidak akan mendapat efek dari hasil dadu. Adapun penalti bila tidak memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menggunakan skill; tingkat kegagalan pengaktifan, tingkat kegagalan akurasi, tingkat kegagalan kerusakan, tingkat kegagalan efek, meningkat sebanyak 50%.
Jika menonaktifkan guliran dadu, efek bonus tidak akan diperoleh dan harus berpegang pada kemampuan sendiri.]
Eideth ingin muntah melihat banyaknya penalti untuk Talentnya tersebut, "Ini pasti dimanipulasi" ujarnya kesal. Eideth bisa membayangkan 16 skenario dimana Ia hanya berhasil melakukan skillnya satu kali. "1 banding 16 itu bukanlah kesempatan yang bagus" Eideth menyadari kelemahan dari Talentnya sendiri, bukan hanya Ia harus mengikutinya secara menyeluruh, satu kesalahan tidak diperbolehkan. "Terlalu banyak persyaratan untuk menggunakan satu skill, apa ini sepadan" tanya dirinya sendiri.
Eideth mencoba kembali menggunakan mantra sihir karena kelas penyihir yang Ia miliki. "Mari kita lihat, bahan yang diperlukan, rapalan, gerakan tangan, dan material setetes air" Eideth sadar Ia tak memiliki air sedikit pun. "Bagaimana aku bisa memakai mantra ini" teriak Eideth kesal.
Eideth sama sekali tidak bisa membiarkannya, TTRPG punya aturan yang ketat untuk mantra, penyihir punya kemampuan memakai sihir sangat terbatas, walau itu berkembang menjadi lebih baik seiring waktu, penyihir level rendah sangatlah lemah. Eideth menyerah dengan sihir level satu dan pindah ke mantra level 0 sederhana saja.
Sihir pada TTRPG dibagi menjadi 10 level dengan 0 paling rendah dan 9 tertinggi, sihir level 0 adalah yang paling mudah dan tidak memerlukan begitu banyak usaha, namun efek kerusakannya sangat kecil. "Tapi itu hanya di awal level" Eideth mulai berbicara dengan dirinnya sendiri. Eideth berniat menguasai sihir karena sihir di Artleya sangatlah unik. Ia tahu sendiri dari bibinya sebagai contoh, orang-orang dengan sihir bisa memakai seluruh sihir mereka dengan santai dan bisa mendapat energinya kembali dalam sekejap. Eideth tidak bisa mencapai itu dengan Talent miliknya.
"Jadi pilihan terakhir hanya ada Cantrip" Eideth mulai membaca persyaratan sihir dari buku panduan yang Ia unduh di ponselnya. "Hanya perlu rapalan dan gerakan tangan, tapi bagaimana cara memakainya" Eideth sangat marah dengan Talent nya hari ini. Ia mulai menonton video penjelasan TTRPG sambil berbaring di lantai. "Bahkan penjelasannya ambigu, apa maksud kata-kata yang membangkitkan sihir, postur tangan apa yang harus kupakai" keluh Eideth.
Eideth mematikan ponselnya lalu menutup matanya dibawah langit. Eideth menyadari dimana Ia salah, Ia memainkan TTRPG sebagai pemain yang menggerakkan karakter, bukanlah karakter yang hidup di dunia fantasi. Ia mendapat sebuah ide konyol tentang bagaimana Ia membangktkan sihir untuk merapal mantra.
"Ayo kita coba dari sini. Majulah [Mage Hand], Za Hando" Eideth membuat pose menunjuk dengan memiringkan tubuhnya. Eideth merasakannya, secara insting sihir berjalan sesuai perintahnya, sebuah tangan tak kasat mata mengangkat ponselnya yang Ia taruh di lantai, meletakkannya di kedua tangannya. Eideth senang karena Ia berhasil menggunakan sihir, "tapi masa harus dengan gaya seperti itu" Eideth malu pada dirinya sendiri memakai pose "anime" dunia lamanya.
"Aku harus memikirkan cara yang lebih baik dari ini" ujar Eideth. Ia akhirnya memahami hal-hal dasar untuk memakai sihir lewat Talent miliknya, rapalan hanya ucapan untuk memanggil sihir, gestur tangan untuk menggerakkannya, kalau mantra tersebut memerlukan material, Ia harus memiliki material tersebut. Hal paling memukau yang Ia temukan adalah, Skill sihir miliknya tidaklah kaku, Ia bisa mengucap beberapa kata saja, menggerakkan sedikit tangannya, itu sudah mampu untuk mengaktifkan mantra. Masalah material, Ia putuskan akan menyelesaikannya nanti.
Eideth menyadari aturan dasar Skill Talent miliknya, aturan TTRPG yang sangat fleksibel memperbolehkannya untuk berkreasi sebanyak yang Ia mau, namun semakin tidak seimbang kemampuannya semakin banyak aturan yang harus Ia lalui.
"Berarti di level satu, Aku hanya memiliki hanya bisa memakai mantra sebanyak dua kali, tapi bukannya ini curang" Eideth menyadari dirinya yang seorang Wizard bisa memakai banyak sihir, namun ini sedikit mencurangi aturan TTRPG. "Penyihir level satu hanya bisa mengetauhi 6 mantra level 1 saja, tapi aku punya ponselku"
[TTRPG
Mantra yang tersedia: 520/+
Mantra yang diketahui: 6
Mantra yang dipersiapkan: 6
Slot mantra: 1/2.]
Eideth tidak memiliki buku mantra seperti kelas Wizard pada umumnya, namun Ia punya ponsel sebagai penggantinya. Ia punya buku mantra yang tak dapat hancur dan ekslusif untuknya. "Apa ini satu-satunya cheat milikku" tanya Eideth. Namun Eideth belum puas sampai disitu, Ia mencoba memuaskan keingintahuan miliknya.
[Smartphone yang dimiliki oleh [Authority] tidak dapat dijadikan Spellcasting Focus, bila melanggar, penalti Talent akan dikenakan.
Berikut daftar penalti bila tidak memenuhi persyaratan:
Tanpa Kelas: tingkat kegagalan pengaktifan, meningkat sebanyak 50%.
Tanpa Rapalan: tingkat kegagalan akurasi, meningkat sebanyak 50%.
Tanpa Gestur: tingkat kegagalan kerusakan, meningkat sebanyak 50%.
Tanpa Material: tingkat kegagalan efek, meningkat sebanyak 50%.]
"Kalau aku tidak memiliki Kelas yang dibutuhkan sihirnya, mantra akan gagal 50/50" Eideth tersenyum melihat daftar penalti tersebut. "kalau begitu aku hanya tak perlu Gagal, aku suka peluang itu" Eideth tertawa merasakan jiwa Gamblingnya bangkit.
Eideth tak merasa keberatan sedikitpun dengan persentase kegagalan penalti itu, malah membuatnya lebih bersemangat. Sekarang yang membuatnya kepikiran adalah mekanisme guliran dadu. Ia tak bisa melihat hasil dadu dan hanya dapat menerka gulirannya saja untuk sekarang. Ia mencoba waspada untuk tidak memicu guliran dadu seminim mungkin.
Eideth telah puas bereksperimen dengan Talent miliknya malam ini, dan memutuskan untuk beristirahat. Ia kembali ke kamarnya dan melompat ke atas tempat tidur. Eideth merasa senang bahwa Ia memiliki sedikit harapan sekarang. Eideth juga tidak melupakan untuk mempelajari dunia lamanya, satu-satunya sumber yang Ia miliki hanyalah ponselnya. Hanya setelah itu Ia bisa tidur.
Keesokan harinya, Para Raziel bersiap menyambut tamu mereka. Eideth tanpa sadar mengenakan sarung tangan "Pelarasan" miliknya benar-benar kebetulan. "Hei Kak, bukannya kamu sudah sembuh dari status itu" tanya Irena. "Iya, Aku juga baru sadar, sudah jadi kebiasaan" jawab Eideth sembari tertawa kecil. "Kakak ada-ada saja" Zain tidak menyangka sikap teledor kakaknya.
"Stt... Tamu nya sudah tiba" Vinesa mendiamkan keponakannya. Tepat setelah teguran Vinesa penjaga mengumumkan kedatangan tamu mereka tersebut, generasi muda itu terpukau dengan indra milik bibi mereka yang tajam.
Gerbang besar kastil dibuka oleh beberapa penjaga dan sebuah kereta kuda masuk. Kereta kuda itu berwarna putih dan dihias cukup megah, kuda yang menarik kereta tersebut terlihat kuat dengan otot mereka yang membengkak. Pintu kereta kuda itu terbuka dan dua siluet keluar dari dalamnya, Seorang Pria dan Wanita.
Pria itu mengenakan jubah luar ruangan biasa, sedangkan itu mengenakan jubah terbuka dengan pakaian yang cukup ringan dengan sebuah armor pelindung. Yang paling mencolok ada kusir yang mengendalikan kuda tersebut, Ia memakai armor tebal yang besar sesuai dengan tubuhnya yang besar, Ia juga membawa sebuah perisai besar dan tombak disebelah tempat duduknya.
"Tuan Kaian, kenapa anda memaksa untuk melanjutkan membawa kereta hingga ke kastil, saya kan bisa menggantikan Anda untuk beristirahat" ujar wanita itu. "Tidak apa-apa, kapan lagi Aku dapat memanjakan calon junior ku" jawabnya sambil menepuk kepala wanita itu.
"Kalian berdua, tolong jaga tata krama kalian di depan Count, maafkan ketidaksopanan kami Tuan Raziel" Pria itu meminta maaf atas nama rekannya. "Tidak apa, Tuan Guinevere" jawab Agareth dengan ramah, "tolong, panggil saya Mard saja" jawab pendeta itu.
"Kalian pastinya lelah dari perjalanan panjang, tolonng ikuti pelayan kami menuju kamar yang sudah kami persiapkan, kita bisa membicarakan pekerjaan esok" Agareth memerintahkan beberapa pelayan untuk membawa mereka ke kamar tamu. "Tidak perlu bersusah payah tuan Count, sambutan Anda sudah cukup bagi kami" utusan kuil tersebut mencoba menolak tapi Agareth mampu meyakinkan mereka. "Tolong terima saja pelayanan kami ini, setidaknya hanya ini yang dapat kami berikan pada tamu kami", "Kami berterima kasih atas keramahannya" Mard tidak bisa lagi menolak dan menerimanya saja.
Pelayan mulai membawakan jubah mereka ataupun peralatan lain, "Nyonya, tolong biarkan kami membawakannya" ujar seorang pelayan. Gadis itu sedikit ragu untuk menyerahkan peralatannya dengan alasan itu sama sekali tidak memberatkan. Mard menasihatinya untuk menerima keramahan dari Tuan Count sehingga Ia menurutinya. "Hati-hati ini sedikit berat" ujarnya sambil melepas pelindung tangan lengan, pelayan sedikit terkejut dengan berat sebuah pelat pelindung tangan yang wanita itu kenakan sedari tadi.
Pelayan pria yang diutus Agareth sedikit tertegun untuk meminta peralatan yang dibawa kesatria besar itu. Ia mengikuti perintah pendeta Mard dan hendak menyerahkan senjata dan pelindungnya. Ia menahan perisainya yang besar dengan satu tangan sebelum pelayan coba mengambilnya. Beratnya yang tidak masuk akal membuat pelayan itu memanggil bantuan pelayan lain untuk mengangkat perisai itu.
Para tamu akhirnya tiba di kamar mereka dan terpukau dengan kemegahannya. Setelah tamu beristirahat di kamar mereka, Raziel melakukan kumpul kecil di tengah lorong. "Bagaimana menurutmu" tanya Eideth pada Zain, "Aku yakin gadis yang bersama mereka itu adalah petarung yang kuat" ujarnya. "Aku juga merasa kalau kakak yang tadi itu kuat, peralatannya saja sangat berat seperti itu" jawab Irena. Zain bingung dari mana Irena mengikuti obrolan mereka, "kenapa Kamu disini" tanya Zain pada Irena.
"Aku juga ingin ikut dong, Kak Eid dan Kak Zain selalu berkumpul berdua dan aku ditinggal sendiri" ujarnya. "Itu benar, kalian tidak boleh meninggalkan adik kalian seperti itu, bibi lebih penasaran dengan kesatria penjaga itu, dia terlihat menarik untuk dilawan" Vinesa menyerobot masuk mengikuti pembicaraan. Kakak beradik itu kaget, "bibi penasaran dengan pendeta itu, Ia memiliki energi sihir keluar darinya" Eziel yang tidak pernah berkerumun seperti ini pun ikut masuk. Kerumunan mereka membuat keributan ditengah lorong.
"Ehem... Sudah, jangan berkumpul ditengah lorong seperti itu, kenapa kita tidak berbicara di ruang keluarga huh" Agareth hendak memindahkan keluarganya dari lorong sebelum Lucia memukul pinggangnya dengan sikunya. "Kamu juga mau bergabung tadi kan" Lucia meledek suaminya, "tiidaaak... ehem, Aku masih memiliki kendali diri ya" Agareth beralasan.
Mereka akhirnya pindah ke ruang keluarga, ruangan yang paling jarang mereka datangi sekeluarga, lapangan latihan dan ruang makanlah tempat favorite di kastil itu. Para Raziel cukup moderat tentang kebangsawanan mereka, namun mereka lebih dekat dengan rakyat.
Kali ini mereka berkumpul dalam acara spesial, Irena menjelaskan "Bagaimana cara menahan diri selama ada tamu" rencana yang Ia buat karena Ia yang paling logis. "Pertama, bibi Vinesa tidak boleh terlalu dekat dengan tamu" pernyataan Irena di setujui oleh yang lain. Mereka mengingat insiden yang dialami tamu mereka sebelumnya, mereka lanjut merencanakan rencana mereka.
Setelah itu, mereka kembali mengerjakan urusan mereka masing-masing, Eideth dan Zain berniat kembali berlatih, mereka menarik Vinesa untuk melatih mereka agar tidak mengganggu para tamu. "Pengorbanan kakak akan selalu ku ingat" Irena memberi hormat pada Kakaknya selagi mereka meninggalkan kastil.
Eideth dan Zain menangis dalam hati, namun mereka tak keberatan. Mereka telah menelan fakta bahwa mereka lemah, mereka hendak setidaknya mengejar ketertinggalan mereka. Mereka melakukan latihan rutin untuk membentuk otot mereka. Vinesa benar-benar mendorong mereka pada batas mereka, hanya setengah hari mereka pulang dengan memakai tongkat untuk membantu mereka berjalan.
Irena melihat mereka pulang dengan kondisi itu tertawa keras, mereka melihat siluet Irena diatas kastil menertawai mereka sedikit kesal. Mereka tidak kesal karena adik mereka menertawai, tapi kondisi mereka yang sekarang tidak layak untuk menyalahkan siapapun kecuali diri mereka sendiri.
Eideth kembali ke kamarnya, dan menjumpai Gerard yang telah menyiapkan bak mandi untuknya. Ia hanya melewati Gerard sambil mengucap terima kasih dan langsung masuk ke kamar mandi. Eideth memasuki bak mandi dengan perlahan dan pelan-pelan merasakan sensasi nyaman dari air tersebut, air tersebut cukup dingin namun Ia tak peduli. Baginya, mandi setelah latihan seperti saat ini adalah yang terbaik.
"Coba lihat apa yang terjadi di internet saat ini" Eideth mengambil ponselnya dan mulai memainkannya di dalam bak mandi. Ia menghabiskan beberapa waktu menonton video sambil duduk didalam bak mandi senyaman mungkin. "Eh... ehh..." tangan Eideth terselip, ponselnya pun terjatuh ke dalam bak mandi. Ia segera mengambil ponselnya, melompat dari bak mandi hanya untuk hampir terpeleset. Ia mengambil handuk yang paling dekat dengannya untuk mengeringkan ponselnya segera. Ia sangat panik untuk beberapa saat hingga Ia sadar. Ia mencoba membuka ponselnya dan itu masih dalam keadaan baik.
[Authority: Modern Age
...
Tidak dapat rusak,
...]
Deskripsi "tak dapat rusak" menyelamatkan kewarasannya, sekiranya ponselnya adalah ponsel biasa, komponen elektronik ponsel itu akan rusak. Ia menyelesaikan mandinya dengan pikiran lega. Ia mengenakan pakaiannya dan berniat untuk jalan-jalan mengelilingi kastil.
Ia mulai berjalan, melewati lorong satu per satu, Ia mengunjungi ruang sepen untuk menyimpan makanan, sampai Ia tertangkap oleh seorang pelayan. "Tuan Muda, bagaimana Anda bisa ke sana" tanya pelayan itu. Eideth tak bisa mengatakan Ia malas dan memutuskan untuk jalan-jalan, "Aku sedikit lapar, apakah ada sedikit cemilan? Aku tidak menjumpai satupun pelayan dari tadi" ujar Eideth mencoba membohongi pelayan tersebut. Eideth mendengar suara dadu bergulir di kepalanya, terdengar suara lonceng besi di kepalanya.
"Benarkah? Kalau begitu saya akan menyiapkan sesuatu untuk Tuan, tolong Tuan duduk terlebih dahulu" ujar Pelayan itu. Eideth terkejut dengan respon pelayan itu, namun Ia lebih terkejut lagi dengan suara lonceng besi seperti menandakan sesuatu. Eideth duduk disebuah kursi menunggu pelayan itu sambil memikirkan makna lonceng tadi. "Apa jangan-jangan itu Nat 20" ujarnya.
Nat 20 atau natural 20 adalah guliran nilai dadu tertinggi, yang mengartikan usaha yang sangat sukses. Adapun Nat 1 berarti kamu gagal sangat buruk dalam usaha itu.
Eideth menyimpulkan bahwa teorinya itu benar setelah Ia melihat pelayan itu membawa sebuah hidangan cemilan yang cukup mewah, sebuah fruitcake yang berisi berbagai buah. Ia menyantap fruitcake itu dengan bahagia walau Ia berpura-pura lapar. Setelah makan, Ia berterima kasih pada pelayan itu, namun keberuntungan Nat 20 tak hanya sampai disitu. Eideth diberi sebuah keranjang berisi berbagai cemilan oleh si Pelayan. Eideth menerimanya dengan senang hati walau bingung bagaimana Ia akan menghabiskan semua makanan itu, "Terima kasih sudah menyiapkan semua ini" ujarnya pada pelayan.
Ia melanjutkan jalan-jalannya yang sempat tertunda, Ia mengunjungi rooftop rahasia kastil untuk menghirup udara segar sekaligus merencanakan tujuannya selanjutnya. Disana, Eideth menjumpai Irena yang tengah berlatih dengan Vinesa. Eideth terkejut bukan kepalang melihat mereka berdua di rooftop itu, ternyata bukan hanya Ia yang mengetauhinya.
"Kak Eid" ujar Irena yang terkejut akan kedatangan Eideth. Irena yang tengah sparring dengan Vinesa mengalihkan perhatiannya, Vinesa menyapu kaki Irena membuatnya terjatuh. "Kamu mengalihkan pandanganmu, jangan lakukan itu lagi" ujar Vinesa mengulurkan tangannya membantu Irena berdiri, "Maaf Bi" Irena mengambil kembali sabit miliknya yang terjatuh.
"Bagaimana latihannya" Eideth menghampiri mereka berdua. "Ini semua karena Kakak" Irena menyalahi Eideth yang memecah konsentrasinya. "Bagaimana kamu bisa kesini, bibi tak pernah mengajakmu kemari" Vinesa menanyai Eideth. Ia menceritakan bagaimana Gerard membawa Eideth kemari sebelumnya. "Gerard, pelayan mu itu misterius sekali" ujarnya, "kenapa Bi" tanya Irena.
"Gerard itu orang yang kuat, Bibi bisa merasakannya, Bibi pernah coba untuk sparring dengannya tapi Ia menolak, Bibi tak tau bagaimana ayah kalian bisa memperkerjakannya" ujar Vinesa. "Kak, apa yang Kakak bawa itu" tanya Irena, Eideth menunjukkan cemilan yang Ia bawa dalam keranjang itu. "Bagaimana kalau kalian istirahat dulu" Eideth membentangkan sebuah alas untuk mereka duduk. Ia mengeluarkan beberapa cemilan kecil dan sebotol minuman. Ia terkejut hasil sebuah Nat 20 sangat diluar dugaan.
"Apa pelayan itu berpikir Aku selapar itu" pikirnya. Irena membasuh keringatnya dengan handuk kecil yang sudah Ia siapkan, "Bibi curang sekali" ujar Irena melihat Vinesa yang sama sekali tidak berkeringat. Eideth juga kagum Vinesa masih memiliki banyak Energi, Ia sudah melatih Eideth dan Zain di pagi hari sebelumnya.
Vinesa ikut duduk menyantap cemilan yang Eideth bawa, karena Vinesa sudah lumayan santai, ini kesempatan Eideth untuk bertanya. "Bibi, apakah ada cara Aku bisa lebih kuat" pertanyaan yang sudah Ia tanyakan berkali-kali. "Kamu sudah tahu jawabannya Eid" ujar Vinesa tapi Eideth langsung memotong. "Bukan begitu maksudku Bi, kurasa teknik yang bibi ajarkan pada kami terlalu berat buat kami sekarang" ujarnya.
"Menurutmu Bibi tidak memikirkannya? Bibi tahu teknik "Explode" milik Bibi memang membebani tubuh kalian, tapi manfaatnya akan kalian rasakan nanti" jelas Vinesa. Eideth sedikit tidak terima dengan penjelasan bibinya dan Vinesa memahaminya.
"Baiklah Bibi beberkan sedikit, alasan Bibi mengajarkan "Explode" pada kalian adalah untuk menguatkan tubuh kalian sekira kalian berganti teknik, perkembangan teknik "Explode" lebih besar dibandingkan teknik lain. Itulah cara melatih tubuh tercepat yang Bibi tahu, teknik lain memiliki awal yang terlalu stagnan setelah Bibi amati" Vinesa menjelaskan alasannya secara penuh kali ini.
Eideth merasa sedikit senang bahwa tujuan cerah menantinya di ujung jalan, "Terima kasih bibi sudah memberitahuku" ujar Eideth dengan senang, Vinesa ikut senang melihat keponakannya tersenyum, "semoga Bibi cepat dapat pasangan" Eideth keceplosan. Begitu Ia sadar, Ia melihat Vinesa tersenyum dengan urat-urat di kepalanya. "Maaf, Bi, Aku berniat baik, jujur" Eideth perlahan mundur. "Irena tolong Aku" Eideth di tarik oleh Vinesa ke tengah rooftop, "maaf Kak, Aku harus menghabiskan ini dulu" Irena melambai-lambai.
Eideth dipaksa sparring sekali lagi hari ini, beberapa menit berlalu, tangan Eideth sudah sangat lemas memegang pedangnya menangkis serangan Vinesa. Ujung pedangnya terlihat bergetar tak bisa diam, "sudah lelah" tanya Vinesa sarkas tertawa melihatnya. Eideth memperbaiki pernafasannya dan mengembalikan ketenangannya, tangannya tak lagi bergetar. "Bibi bercanda, ini baru saja semakin seru" ujar Eideth dengan semangat.
Vinesa memandang Eideth sambil membuat senyum yang lebar, keduanya senyum satu sama lain dengan lebar menggeritkan gigi mereka. Irena yang menonton di pinggir sambil mengunyah cemilannya ikut merasakan keseruan sparring mereka tersebut.
Vinesa bergerak maju sangat cepat, 'ayo kita mainkan sedikit fitur TTRPG, [Dodge]' ujar Eideth dalam hati. Begitu Vinesa melayangkan serangan Eideth melompat menghindarinya. '[Disengage]' Eideth mundur perlahan sambil menepis serangan yang diarahkan padanya. '[Ready an Action]' Eideth menyiapkan sebuah rencana selagi berbenturan serangan.
Eideth menunggu dengan perlahan selagi Vinesa mendominasinya, Ia menunggu momen yang tepat untuk melawan balik. Vinesa melayangkan tebasan menukik dari atas dan Eideth sudah menyiapkan reaksinya, Ia menepis pedang Vinesa dengan sangat tipis dan mencoba melucutinya dengan menyerang jarinya. Pedang yang mereka pakai tidak memiliki pelindung tangan yang menyeluruh sehingga mampu ditargetkan Eideth.
Vinesa dengan reaksi luar biasanya merelakan senjatanya, malah Ia menyerang balik dengan tangan kosong mengincar dagu Eideth. 'apa-apaan' pikir Eideth selagi menghindar dengan memiringkan kepalanya. Namun bukan itu yang Vinesa incar, Ia meraih kerah di belakang leher Eideth, berbalik dengan cepat dan membanting keponakannya menggunakan satu tangan.
Eideth dibanding dengan keras ke lantai batu yang panas dijemur matahari itu, Ia terjatuh punggung lebih dulu yang membuat suara hantamannya cukup keras. Irena hampir tersedak mendengar suara benturannya. Eideth tergeletak lemas di atas lantai menatap ke atas langit, memandang Vinesa dari bawa mencerna apa yang terjadi barusan.
"Yo kamu sehat" tanya Vinesa menunduk ke bawah melihat Eideth. "Apa itu sarkas, setelah membanting keponakanmu sendiri" Eideth mencoba bangun dengan kedua tangannya. "Kak, Kakak baik-baik saja" Irena datang dan menanyai keadaan Kakaknya. "Apa sekeras itu suaranya" Eideth bertanya pada Irena, Irena mengangguk.
Mereka kemudian mendengar langkah kaki mendekat, mereka spontan berpura-pura piknik di rooftop itu karena mereka tak bisa lari kemana-mana. Pintu masuk ke rooftop terbuka dengan keras dan Lucia keluar darinya, Ia melihat mereka duduk memakan cemilan namun itu tak cukup untuk menipu Lucia.
"Kalian tadi latihan lagi ya" tanya Lucia. Mata Lucia jeli memperhatikan sekitar melihat tanda-tanda mencurigakan. "Kami sedang piknik disini Ibu" Eideth mencoba sejujurnya namun guliran dadu tetap terdengar. Lucia sama sekali tidak menerima itu dan mencari petunjuk apa yang terjadi.
"Ada apa Bu?", "Ibu mendengar sebuah dentuman dari atas sini, Ibu segera berlari dari lantai dasar untuk memeriksanya" ujar Lucia. Eideth dan Irena yang mendengar itu terpukau. "Ibu berlari dari lantai dasar kemari secepat itu, bagaimana bisa" ujar mereka berdua terpukau. Lucia tersipu malu karena pujian anak-anaknya namun Ia segera tersadar, dan anaknya segera menyadari kesalahan mereka.
Lucia memarahi mereka karena membuat keributan di atas, Vinesa juga tak bisa kabur dari kemarahan Lucia. "Kalian tidak boleh latihan lagi diatas sini", "tapi Bu", "tidak ada tapi-tapi" Lucia telah membuat keputusannya.
"Ibu, kumohon" Eideth memelas, Irena juga ikut, dan Vinesa tidak mau kalah. Lucia menghela nafas karena Ia tak bisa menolak anak-anaknya, "tidak boleh latihan terlalu keras di rooftop kastil atau kalian akan merobohkannya, mengerti, ini berlaku untukmu Kak" Lucia menatap Vinesa. Mereka kemudian berpelukan untuk berbaikan.
Sebuah pelayan kemudian datang menghampiri mereka, "permisi Nyonya, Tuan, pendeta Joan ingin bertemu dengan Tuan Eideth" ujar pelayan itu. Eideth terkejut kalau Ia akan dipanggil secepat itu, apalagi Ia sudah mengungkapkan kalau status miliknya sudah hilang.
Ia meminta waktu untuk mempersiapkan diri dulu untuk mengganti pakaiannya, pakaiannya menjadi kotor setelah latihan. "Tolong cepat Tuan" itulah yang Eideth dengar sebelum Ia berlari menuruni tangga, Ia tak tahu harus berbuat apa di hadapan perwakilan sebuah kuil yang datang menemuinya.
"Kuil Dewa Joan ya" Eideth mencoba mengingat kembali pengetahuan apa saja yang Ia telah pelajari selama ini lewat buku. Eideth mendengar suara dadu bergulir selagi Ia mengingat pelajarannya, "salah satu dari 5 Dewa Dewi kuno, Joan Sang Belas Kasih" Eideth dapat mengingat beberapa yang pernah Ia tangkap. Itu tak banyak tapi itu cukup ujar Eideth dalam hatinya.
Ia masuk ke dalam ruang kerja Ayahnya setelah diarahkan oleh pelayan, didepan pintu besar itu Eideth mengetuk. "Masuk" jawab Agareth, Eideth membuka pintunya dan melihat tamu mereka sedang menunggu kedatangan Eideth dengan sabar.
"Anda pasti Tuan Eideth ya" tanya pendeta itu. Eideth duduk di sofa berhadapan dengan para tamu, "ya, Saya Eideth, Anda memanggil saya" Eideth melihat Kesatria Kaian dan gadis yang dalam pelatihan itu menemani pendeta Mard.
"Saya akan langsung saja pada intinya, Dewa ingin menemui Anda" ujar pendeta itu dengan santai. Eideth mencoba mencerna apa yang baru saja Ia dengar. "Maaf, tolong katakan sekali lagi" Eideth mengusap dahinya dengan tangannya. "Ini memang terdengar aneh namun Dewa ingin menemui Anda" pendeta itu menjelaskan ulang.
"Tapi saya bukan penganut ajaran Joan" ujar Eideth. "Itu tak apa, Dewa kami ingin berbicara denganmu itu saja" ujar Mard dengan tenang. Eideth tak mengerti kenapa Joan ingin berbicara dengannya, Ia sama sekali tak punya hubungan dengan Joan untuk meminta penganutnya bertemu dengannya.
"Kami mendapat wahyu ini tepat kemarin, jadi kami bergegas kemari" Mard menjelaskan. Eideth pasrah dan mengikuti saja permintaan Mard, Kaian tampak senang Eideth menerimanya dengan mudah, namun gadis itu tampak memiliki kekesalan. "Kenapa dia yang tidak menganut ajaran Joan yang dipanggil" teriak gadis itu.
Mereka terdiam mendengar perkataan gadis itu. "Vivian, tolong jaga perkataanmu" Mard terlihat menahan kemarahannya di depan Count Agareth. Eideth memahami perasaan gadis itu, "Nyonya Vivian bukan? Aku mengerti kekesalan anda, dan Aku juga bingung dengan apa yang terjadi, tapi jangan ubah ketidaktahuanmu dengan kemarahan, Aku yakin Joan punya maksudnya" ujar Eideth pada Vivian. Mendengar perkataan Eideth, Joan mengakui kesalahannya, "Maafkan ketidaksopananku Count, Tuan muda" Vivian meminta maaf.
Mard dan Kaian terlihat kagum dengan kebijaksanaan Eideth mengingat Ia masih berumur 18 tahun. "Baiklah, bisakah kita mulai ritualnya" ujar Mard, "ada ritualnya" tanya Eideth. "Dikarenakan Anda bukan pengikut Joan, kita tidak bisa memakai cara biasa, tenang saja ritual ini tidak berbahaya" Mard meyakinkan.
Ia dibawa ke sebuah ruang, lebih tepatnya ruang sidang dengan singgasana untuk Count dan Countess duduk menyambut tamu, ruangan paling luas di kastil tersebut. Mereka jarang memakai ruangan tersebut karena sulit untuk latihan sparring disana, walaupun luas terdapat banyak sekali furnitur dan ornamen yang antik disana. Lucia akan marah sebesar-besarnya jika mengetauhi mereka latihan di tempat itu.
Mard meminta izin untuk melakukan persiapan ritual di ruang sidang itu, Agareth mengizinkannya. Mard mulai meletakkan lilin di berbagai tempat dan menyuruh Eideth duduk ditengah ruangan. "Tolong anggap saja ini seperti bermeditasi dan biarkan efek dari ritualnya membawa Anda" jelas Mard. Eideth tidak terlihat begitu yakin dengan ini dan melihat ke anggota keluarganya untuk dukungan.
Agareth, Vinesa, Eziel, Zain, dan Irena mengacungkan jempol mereka ketika Eideth menoleh. Anggota keluarga yang lain melihat ke arah Lucia untuk ikut bergabung mengacungkan jempolnya, Lucia hanya mengikuti dengan pasrah.
Melihat keluarganya mendukungnya, Eideth mengikuti apa yang pendeta Mard arahkan sebaik mungkin. Ritualnya dimulai dan tampak sihir aneh mulai bereaksi, Eziel terpukau dengan aliran sihir itu yang terasa sangat murni.
Eideth perlahan terhanyut dalam meditasinya selagi ritualnya berjalan, Ia tersadar lantunan doa dari pendeta Mard telah menghilang. 'apa hanya itu' pikirnya, Eideth tidak merasakan perubahan apapun. Ia coba membuka matanya.
Eideth menjumpai dirinya melayang di ruang hampa, sebuahnya serba putih sejauh mata memandang. "Halo..." Eideth mencoba memanggil seseorang di kekosongan itu. "Joan, apa Engkau ada disana, halo" Eideth mencoba memancing balasan. Ia mendengar seorang memanggil namanya namun tak ada seorang pun disana. "Halo Eideth" Eideth menoleh ke arah suara itu, 'jadi itu wujud dewa' ujar Eideth dalam hati.