Eideth berjalan di lorong kastil yang sepi, Ia menemukan ketenangan yang tak Ia rasakan seperti medan pertarungan di tembok perbatasan. Suara dari kesunyian yang begitu merdu di telinganya, tanda angin bergerak di lorong kosong tersebut. Namun semakin Ia memikirkannya, Ia juga paham kalau terlalu lama menyendiri juga tidak menyenangkan. Ia menyadari kepentingan dari keseimbangan.
"Wow, siapa sangka kau bisa jadi lebih bijak saat kau menyendiri" ujar Eideth pada dirinya sendiri. Ia terus berjalan dan akhirnya Ia menabrak Irena di perjalanannya. Irena memakai sebuah jubah bertudung menutupi kepalanya, saat menabrak Eideth Ia menjatuhkan benda yang dibawanya. Irena mencoba menangkap benda itu sebelum jatuh namun refleksnya kurang cepat. *Krang, suara dentangan besi terdengar walau diredam kain yang menutupinya.
Eideth melihat benda itu jatuh ke lantai dan wajah Irena yang membuat ekspresi bingung tak tahu harus bagaimana. Eideth mengingat jam berapa sekarang tahu niat dibalik semua ini. Ia segera berakting, "ada suara, aku salah dengar ya, Cuma aku sendiri disini, pasti salah dengar" Eideth berpura-pura tidak melihat Irena.
Irena yang paham maksud kakaknya mengangguk, Ia mengambil kembali benda itu dan langsung berlari seperti melarikan diri dari sesuatu. Eideth melepas nafas beratnya melihat sikap adik bungsunya itu, tak lama kemudian seorang pelayan datang menghampirinya dari arah Irena datang. "Tuan Eideth, apa Anda melihat Nona Irena" tanya pelayan itu, Eideth hanya menggelengkan kepalanya. Pelayan itu permisi pergi dan kembali mencari Irena. Eideth menghadap ke belakang kearah Irena pergi dan bergumam pada dirinya sendiri. "Sabit ya, semangat Irena" ujarnya.
Eideth bertabrakan lagi dengan seseorang di perjalannya, kali ini Ia menabrak Gerard. Gerard terkejut namun postur tubuhnya sangat kokoh, bahkan nampan yang Ia angkat dengan telapak tangannya tetap seimbang seperti tak terjadi apa-apa. "Haa... Tuan sudah bangun" Ia mencoba menaikkan nada suaranya seperti terkejut, Eideth yang sudah terbiasa dengan Gerard tidak terlalu menanggapinya.
"Tuan pasti lapar setelah beristirahat, makan malam masih beberapa jam lagi, saya membawakan tuan cemilan untuk anda makan, ayo kita ke ruang makan" Eideth tidak bisa melihat cemilan apa yang dibawa Gerard karena ditutupi tudung saji besi diatasnya. Eideth hanya bisa mengikuti dengan diam dibelakang Gerard.
Begitu mereka sampai di ruang makan dan tidak sendirian kali ini, Zain juga berada disana. Namun wajahnya lebih cerah daripada Eideth, tanda Ia mendapat cukup istirahat tidak seperti Eideth. Zain melihat wajah kakaknya yang sedikit musam tanpa warna. Kelopak mata Eideth lah yang menangkap perhatiannya. Ia malah memenuhi kepalanya dengan pikiran yang tak perlu. Eideth bisa melihatnya karena Ia mengenal Zain dengan sangat baik.
Eideth duduk di kursinya dan Gerard meletakkan piring yang sudah Ia bawa sedari tadi di depannya. Gerard membuka tudungnya dan memperlihatkan sepotong pie daging dengan kentang dan kacang merah panggang. Aroma lezat itu menusuk hidung Eideth menambah nafsu makannya. Gerard juga tidak lupa menyediakan minuman, Ia mengeluarkan segelas jus lemon entah dari mana. Eideth sudah tidak peduli lagi bagaimana Gerard mengeluarkan jus lemon hingga saat ini.
Eideth makan dengan lahap sambil memperhatikan tata krama nya. Didikan kebangsawanan yang tidak Ia sukai sudah terukir padanya, namun Ia takkan ragu untuk makan seperti biasa jika tak ada orang. Eideth sangat suka ketika Ia mencampur semua rasa dari makanannya didalam mulutnya, daging yang kenyal, campuran kentang dan kacang merah gurih berpadu semakin Ia mengunyahnya. Tak terasa Ia telah menghabiskan makanannya, gigitan terakhir tepat didepan wajahnya saat Ia tersadar.
Ia memastikan untuk membersihkan piringnya, gigitan terakhir dengan semua campuran. Ledakan rasa dari suapan tersebut membuat Eideth senang, "hingga gigitan terakhir" gumam Eideth. "Makasih Gerard, kamu menyelamatkan ku" Eideth terlihat sangat puas setelah perutnya penuh, Gerard diam sejenak sebelum membalas, "sama-sama tuan" Ia tersenyum.
Sudah bertahun-tahun Gerard menjadi pelayan pribadi Eideth karena kondisi spesialnya, Eideth mengenal Gerard dengan sangat baik. Gerard adalah orang yang tidak bisa simpatik, Ia tidak merasakan perasaan sama seperti orang lain. Ia kadang terlihat lambat merespon dengan ekspresinya dan selalu mengobservasi sekitar. Eideth tidak masalah dengan Gerard yang seperti itu, hubungan mereka sudah terjalin cukup baik selama bertahun-tahun itu.
Eideth malah senang melihat reaksi Gerard, Ia juga selalu mengobservasi Gerard selayaknya Gerard mengobservasi Eideth. Tanpa terasa, Ia sudah membentuk jarak hubungan yang nyaman dengannya. Hal itu semakin diperkuat dengan apa yang telah mereka berdua di masa lalu.
Gerard mengambil kembali piring Eideth sehabis makan dan bersama dengan pelayan itu mereka keluar dari ruang makan, meninggalkan Eideth dan Zain berdua disana. "Ha... Syukurlah" ucap Eideth selagi meminum jus lemon miliknya. Walau itu tidak bisa dibilang cemilan ringan, Eideth senang Ia tak lagi merasa kelaparan. Ia kembali mengingat kehidupannya yang dulu selagi menyeruput minumannya.
Ia sendiri di ruangan itu, memasak air dengan panci kecil, dan memasak mie instan. Keadaan ekonomi memaksanya untuk menghemat uang makan agar dapat membayar sewa ruangan. Terkadang Ia juga makan dengan teman sekamarnya, walau hanya mie instan, semuanya terasa enak saat lapar.
"Kak, bangun" Zain meneriaki kakaknya. Zain mengira kakaknya mulai mengantuk selagi minum. "Ya" Eideth menjawab selagi membuka matanya, lamunannya pecah karena Zain. Eideth melihat muka adiknya yang flustrasi ingin menanyakan sesuatu, "tidak jadi, jangan tidur lagi, kamu hampir tertidur saat minum" Zain menahan keinginannya.
Hubungan Eideth dengan Zain bisa dibilang baik diluarnya, namun mereka berdua seperti menahan sesuatu. Eideth sudah tahu semua itu, hanya saja Ia terlalu malas untuk memaksa Zain mengatakan pikirannya. Lagipula Ia juga punya pemikiran dan rahasianya sendiri, Zain juga tak pernah memaksakannya. Hubungan senggang ini sering mereka buang ketika berlatih bersama, mereka mengenal satu sama lain lebih baik hanya saat berlatih, tidak lebih dari itu. Sudah bertahun-tahun ketika mereka mengobrol dengan puas bersama.
Eideth bangun dari kursinya dan hendak keluar dari ruang makan, "kalau begitu Aku akan kembali ke kamar dulu" ujar Eideth. Zain yang masih bersikeras dengan pikirannya tak dapat menjawab. "Ayo barengan" kata Eideth sambil tersenyum. Mereka berdua akhirnya meninggalkan ruang makan bersama.
Mereka berdua bejalan di lorong bersama, Zain memasang wajah flustrasi bingung ingin bertanya atau tidak. Ia selalu mencoba mencuri pandangan pada wajah kakaknya, membaca pikiran Eideth. Eideth yang menyadari itu sudah kesal dengan sikapnya, Ia memulai inisiatif. "Katakan saja, kau memikirkannya terlalu keras" ujar Eideth.
Zain mencoba menyangkal, tapi Eideth mengancam akan main tangan memaksa pertanyaannya keluar. "Aku terus memikirkan tentang tugas kita" keluh Zain. Sedari tadi Ia terus berpikir tentang mereka menyerah begitu saja meninggalkan tugas ketika mereka tidak bisa bergerak lagi. Eideth hanya menghela nafas, memikirkan respon apa yang terbaik Ia berikan saat ini. "Kita lemah" jawab Eideth. Zain kaget mendengar jawaban kakaknya.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan, aku juga sama" ujar Eideth. Tidak sama sekali, mereka memikirkannya sangat berbeda. "Kita terlalu memaksakan diri kita, teknik dari bibi memang kuat tapi kita cuma mampu memakainya dua kali" Zain berpikir tentang apa yang sebaiknya Ia lakukan saat itu, sementara Eideth memikirkan omelan Vinesa nantinya.
"Kita tidak harus melakukannya sampai seperti itu, jika kita mengomando pasukan dengan lebih baik, kita tidak akan terlalu cepat lelah, kita terlalu rakus untuk mengalahkan Aether sebanyak mungkin untuk menghemat tenaga pasukan" Eideth terus mengungkapkan pikirannya sembari menyaring hal yang tidak perlu Ia sampaikan.
"Omong-omong berapa banyak Aether yang kamu kalahkan" tanya Eideth pada Zain. "Tadi itu 8 musket, 14 Slasher, dan 3 Strider, jadi 25 total, kakak berapa" Zain menghitung kembali Aether yang Ia kalahkan lalu membalas bertanya. "Yah... Sekitar segitu juga" jawab Eideth dengan rancu, 32 total Aether yang Eideth kalahkan, perbedaan mereka tidak terlalu jauh.
Mereka bercerita bagaimana mereka menghabisi Aether dan momen yang paling mereka sukai saat bertugas dan bertarung. Eideth merasa lega berbincang dengan Zain, namun Ia kembali mengerutkan dahinya ketika Zain mulai overthinking lagi. Ia memukul lengan adiknya menyadarkannya. "Tak perlu berpikir terlalu keras begitu, yang perlu kita lakukan sekarang adalah berlatih menjadi lebih kuat lagi" kata Eideth.
"Bagaimana dengan kakak, kakak seperti tidak memikirkannya sama sekali" Zain masih bebal dengan sikapnya. "Aku juga memikirkannya ya, hanya saja, aku tidak pemikir seperti mu" Eideth menyentil telinga Zain karena kesal. Mereka meninggalkan kesan baik pada satu sama lain setelah pembicaraan itu, mereka berpisah karena kamar mereka berbeda dan kembali ke kamar masing-masing.
"Heh, anak itu..." Eideth masih meledek Zain setelah sampai di kamarnya. Ia kemudian memikirkan kembali kenapa Zain seperti itu, mencoba memahami pikiran adiknya. Ia merasa tua walau berumur delapan belas tahun di Artleya karena ini kehidupan ketiganya. Ia tidak tahu apakah Ia dewasa atau kekanak-kanakan hingga saat ini. Yang Ia tahu adalah Ia akan melakukan apa saja yang Ia mau, dan mematuhi peraturan yang Ia buat sendiri.
Setelah perutnya kenyang, Eideth tanpa sadar menjadi seperti Zain dan ikut berpikiran. Betapa lemahnya Ia saat ini, walau Ia berniat hidup santai di kehidupan ketiga, kalau Ia terlalu lemah, Ia bakal kesulitan. Ia tahu Ia akan menjadi kuat bertahap selagi Ia berlatih, tapi Ia merasa takkan cukup.
Eideth memanggil layar status untuk membacanya kembali.
[Status: Otherworlder soul's rejection
Jiwa anda yang bukan berasal dari Artleya akan mempengaruhi beberapa benda yang dapat anda sentuh, bahkan ada beberapa benda yang tidak dapat anda sentuh sama sekali. Anda juga akan dibatasi dari benda-benda tersebut.]
Alasan Eideth tidak bisa memakai sihir adalah karena status ini. Ia tidak bisa menyentuh buku sihir berapa kalipun Ia mencoba, ditambah Ia tak punya Talent seperti orang lain. Zain mempunyai Talent bernama "Beloved by Magic" membuatnya mampu memahami sihir dengan mudah dan banyak kemampuan lain dari Talentnya itu.
Talent adalah berkah yang diturunkan oleh dewa kuno kepada setiap makhluk di Artleya, hanya pemiliknya lah yang paling memahami Talent mereka sendiri. Banyak penelitian dilakukan untuk memahami Talent namun itu hanyalah catatan. Eideth mengingat kembali apa yang Ia pelajari lewat buku. "Semakin sederhana nama Talent semakin kuat Talent nya, Pemahaman pemilik pada Talent nya menentukan batas kemampuannya" dari catatan tersebut Eideth mengetauhi sedikit pemahaman tentang Talent.
Ia pun mengutip kembali yang Ia pelajari, "Talent tidak dapat melawan hukum, namun Ia adalah perantara, dan jendela penggunanya melihat hukum" Eideth hafal sekali kutipan-kutipan yang Ia baca dari buku-buku itu. Namun dalam hatinya Ia kesal karena itu sama sekali tak berguna untuknya karena Ia Talentless.
Ia berlatih keras untuk memenuhi kekurangannya yang tak punya Talent, ditambah Ia memiliki status pembatasan. Ia bingung kembali merenungkan bagaimana Ia akan menjalankan kontraknya dengan semua kesulitan ini. Walau Ia dibantu karena punya otoritas, benda itu tak terlalu berguna ditambah itu juga dibatasi.
[Authority of MODERN AGE
Kekuasaan anda memperbolehkan anda untuk mengambil barang dari dunia lama anda ke dunia ini. Anda memiliki kuasa penuh atas barang-barang yang anda miliki. Barang dalam kuasa anda memiliki kemampuan;
Tidak dapat habis,
Tidak dapat rusak,
namun barang dengan kemampuan ofensif akan menerima penalty, kehilangan setengah dari seluruh kerusakan yang ditimbulkan kepada makhluk hidup.
...]
Ia memeriksa layar otoritas itu sudah sampai ribuan kali sekarang, Ia tahu takkan ada yang berubah tapi Ia terlalu buntu dalam pikirannya. Ia coba membaca kontrak yang Ia buat dan membawanya di kehidupan ketiga ini, kontrak dari sedikit mencurangi seorang penipu dan keadilan.
[Interdimensional Contract
PIHAK PERTAMA: God of Dimensions, Kepala IDC
PIHAK KEDUA: Eideth Raziel
PIHAK KETIGA: Pahlawan pertama, Pahlawan kedua, Pahlawan ketiga
PASAL1
...]
[Meringkas]
[Pihak pertama menempatkan Pihak kedua di Artleya sebagai orang ketiga yang bertanggung jawab atas pahlawan generasi ketiga. Pihak kedua diwajibkan membantu secara tidak langsung, dan jika terpaksa, membantu secara langsung Pihak ketiga.
Pihak kedua mendapat otoritas dari Pihak pertama seperti yang tertera, kehidupan akhir yang damai, dan Pihak kedua bebas melakukan apapun di kehidupan ketiganya selagi menjalankan kontrak.
...]
Seperti biasa, kontrak tersebut dibuat dengan sangat jelas dan terperinci. Eideth memiliki banyak wewenang di dalam kontrak tersebut namun hal yang tidak Ia perhitungkan terjadi setelah kontrak dibuat. [Otherworldly soul's rejection] adalah hal baru di dunia ini, Ia membaca berbagai buku pengetahuan medis dan berbagai catatan. Tak satupun kondisi ada yang seperti dirinya. Dialah orang dunia lain pertama di dunia itu, menurutnya sendiri.
Eideth teringat hal yang ingin Ia lakukan sebelum pergi makan tadi, Ia membuka layar otoritas dan mengambil toples kaca miliknya. Ia menaruh toples tersebut diatas meja dan kembali menyelidikinya. Eideth ingin coba menyentuhnya namun perasaan was-was melarangnya. Ia kembali mengingat hal aneh yang terjadi ketika Ia menyentuhnya. Setelah beberapa lama dan beberapa buku Ia buka, Eideth meyakinkan dirinya untuk menyentuh benda itu kembali.
Ia membuka tutup toples dengan perlahan dengan memakai sarung tangan "penyelarasan" cadangan miliknya, Ia mencoba melakukan ini seaman mungkin dan juga karena Ia juga tak punya sarung tangan yang lain. Benda itu tampak tenang sekarang, inti benda itu masih terus mengeluarkan energi dan membentuk sebuah bola semi transparan.
Eideth juga mengambil ponselnya, membuka kamera dan mulai merekam. Ia memasukkan tangan kanannya kedalam toples tersebut dengan perlahan, Rekaman Smartphone dengan kamera depan membuatnya dapat melihat apa yang terjadi dibalik tangannya. Tiba-tiba, benda tersebut bereaksi, energi dari benda itu meluap. Sarung tangan kanannya terbakar tanpa sisa namun Eideth tak merasakan panas. Eideth sedikit panik ingin menutupnya namun Ia menenangkan diri. Ia berhasil menyentuh benda itu lagi untuk kedua kalinya.
[▮▮▮▮ Seed
▮▮▮▮▮▮▮▮▮▮▮▮]
Eideth tak percaya Ia berhasil melihat layar status benda tersebut, namun kejutan masih menantinya. Benda itu menjerat tangan Eideth dengan jaring energi miliknya, Ia tak berniat melepaskan Eideth kali ini. Ia perlahan masuk kedalam telapak tangan Eideth, namun Eideth sama sekali tak merasakan sakit. Setelah benda itu terserap sepenuhnya, Ia mengeluarkan tangannya dari toples. Ia bingung apa yang terjadi dan mencoba mengingat ulang apa yang tertulis di layar statusnya. Yang Ia ingat hanyalah tulisan bahasa inggris dunia lamanya yang berarti benih. Ia tak bisa membaca sisanya.
Eideth mengecek tubuhnya, apakah ada sesuatu yang terjadi, dan sepertinya aman-aman saja. Setelah memasukkan toples miliknya kedalam layar otoritas, Eideth terjatuh ke lantai. Tubuhnya kesakitan luar biasa tiba-tiba tanpa sebab, sangat kesakitan sampai Ia tak bisa membuka mulutnya untuk berteriak. Tulangnya terasa remuk dan ototnya seperti dililit hingga terputus. Keringat keluar dari dahi Eideth dan nafasnya mulai berantakan.
Eideth seketika mengingat ajaran Vinesa tentang mengatur nafas, Ia perlahan mengendalikan nafasnya walau tubuhnya terasa sakit. Ia hanya bisa tersungkur di lantai itu, mencoba bernafas sekuat tenaga, dan berharap semuanya cepat berlalu. Diatas kepala Eideth terus bermunculan layar status yang tak berhenti, seperti sebuah spam.
[▮▮▮▮mulai beresonansi dengan Otherworlder soul's rejection]
[menulis ulang... 5%]
[menulis ulang... 46%]
[menulis ulang... 81%]
[Penulisan ulang selesai 100%]
Rasa sakit yang Eideth rasakan perlahan menghilang, Ia bangun dari lantai dengan perasaan bingung. Ia tahu tadi Ia kesakitan, namun kesakitan tersebut seperti tak pernah terjadi sama sekali. Apalagi Ia tak menemukan luka apapun disekujur tubuhnya.Eideth melihat dua layar status yang melayang diudara dengan tak percaya.
[▮▮▮▮Vessel
▮▮▮▮aakwjfkjsn▮▮▮▮]
[Otherworlder soul's Immunity
Berkat ▮▮▮▮, Otherworlder soul's rejection ditulis ulang menjadi Otherworlder soul's Immunity. Riwayat dari status sebelumnya telah direset, penalty status diterapkan. Anda memiliki kesempatan 50% untuk terkena penalti Otherworlder soul's rejection pada benda yang anda sentuh, tetapi anda memiliki peluang untuk menghilangkannya.
Ketika anda menyentuh benda dan terjadi penolakan, anda bisa tetap memegang benda tersebut hingga beberapa waktu dan membentuk imunitas, benda yang telah anda pegang dan memiliki imunitas tidak akan lagi membatasi anda.]
Eideth senang bukan kepalang melihat pembaruan dari statusnya. Memang benar Eideth harus masih akan terkena penalti status lamanya, namun jika Ia menghadapinya langsung, Ia akan kebal dan tak perlu mengkhawatirkannya lagi. Ini adalah berita bahagia kedua setelah memenangkan otoritas miliknya.
Eideth punya perasaan aneh yang tiba-tiba datang, Ia merasa sangat senang tapi instingnya mengatakan, hal baik takkan bertahan lama. Ia punya perasaan tak enak tentang ini... Tapi Ia tak peduli, Ia sangat senang dan mulai menguji kekebalannya pada setiap benda disekitarnya satu per satu.