Eideth bangun awal pagi ini untuk kedua kalinya berturut-turut. Ia merasa jadwal seimbang ini cukup nyaman dan membuatnya lebih semangat di pagi hari, entah kenapa insting Eideth mengatakan untuk berjalan dan membuka pintu, dan itupun yang dia lakukan. Ia membuka pintu sambil menahan kantuknya, dan melihat Gerard berada didepan pintu.
Postur tubuh Gerard terlihat ingin mengetuk pintu, namun matanya sedikit melotot karena terkejut. "Anda bangun pagi lagi kali ini Tuan" ujar Gerard kembali ke dirinya yang biasanya.
"Ya, Aku juga bingung, Aku akan cuci muka dulu, hoamph...." ujar Eideth sambil menutup mulutnya yang menguap. Gerard masuk ke dalam kamar Eideth dan melihat peralatan bertarung yang sudah Ia siapkan di atas meja. Gerard sedikit senang didalam hatinya pikir tuannya sudah semakin dewasa. Eideth berdiri didepan wastafel dan mencuci muka. Air dingin langsung mengembalikan pengheliatan dan kesadarannya setelah membasahi mukanya.
Ia mengusap wajahnya dengan handuk kecil, dan itu membuatnya pikiran terlintas dibenaknya. Ia melihat handuk besar yang biasa Ia pakai untuk mandi, dan pikiran itu muncul. Ia melihat bak mandinya yang senantiasa penuh dan dibersihkan oleh pelayan di malam hari, kini Ia tahu alasannya. Ia mengambil ember kayu kecil dan mencedok air dari bak itu, Ia melihat refleksi dirinya dalam air dan menteguhkan niatnya.
*SPLASH, air dingin mengguyur seluruh tubuhnya, dingin air tersebut menusuk masuk kedalam kulit dan berjalan di punggungnya ke seluruh tubuh. Eideth mengatur kembali nafasnya karena dinginnya air, dan kembali mengguyur tubuhnya. Ia melakukannya berkali-kali, Ia merasa seperti air tersebut ikut membasuh semua keraguannya.
Eideth keluar dengan handuk terikat di pinggangnya, Gerard yang sudah mengantisipasi telah merapikan tempat tidur dan meletakkan pakaian Eideth di atasnya. Selesai mengenakan pakaian, Eideth menyadari minuman yang Gerard bawa, dan seperti biasa, itu air lemon.
Eideth meneguk air lemon itu dengan cepat kemudian segera pergi ke ruang makan. Gerard mengambil gelas tersebut, dan merapikan kembali seluruh bagian kamar Eideth. "hanya akan beberapa saat lagi hingga aku akan berhenti membersihkan kamar ini" ujar Gerard selesai merapikan semuanya. "Raziel, kalian memang sesuatu yang menyenangkan untuk di tonton" Gerard tertawa kecil selagi meninggalkan kamar itu.
Eideth tiba sedikit lebih awal lagi dari kemarin dan kali ini Ia tidak sendirian, Ia bertemu Zain tak lama keluar dari kamar, berkumpul dengan Vinesa dan Eziel dengan wajah segar. Juga Agareth dan Lucia, sudah menunggu yang lain di ruang makan sedari awal. Yang terakhir untuk datang adalah Irena yang Ia sendiri pun terkejut karena Ia tidak terlambat sama sekali namun Ia yang terakhir.
Mereka menyantap sarapan mereka, koki menyediakan daging steak hari ini, dengan porsi sedikit lebih banyak. Dengan nafsu makan yang tinggi, mereka menyantap sarapan mereka. Setelah makan, Lucia menguak fenomena tak biasa ini. "Kalian semua pergi mandi tadi ya" Lucia memperhatikan para Raziel yang akan bertugas.
"Yah, ini bukanlah hal yang aneh, Ayah dulu juga seperti ini" jawab Vinesa. Eideth dan Zain sedikit kaget mengetauhi bahwa keinginan mereka itu bawaan dari darah mereka. Setelah makan, mereka semua yang bertugas segera mempersiapkan diri di kamar mereka, Eideth mengenakan pelindung tubuh miliknya dibantu oleh Gerard.
"Ini saatnya Gerard", "benar Tuan, semoga 5 dewi memberkahi perjalanan anda" ucap Gerard. Eideth juga sedikit kaget, Ia tidak tahu kalau Gerard memiliki sisi religius, namun Ia sadar itu hanya niat baiknya saja. Gerard bukanlah orang religius yang mengikuti ajaran 5 dewi, itu hanyalah alasan agar Ia bisa memberi semangat.
Eideth keluar menuju halaman kastil dan berkumpul dengan yang lain, walau memakai zirah yang hampir sama persis, Zain lebih menarik perhatian dengan karisma nya. Vinesa, Agareth, dan juga Eziel terlihat memakai perlengkapan terbaik milik mereka. Setiap inci dari peralatan mereka terlihat sudah disihir dengan mantra khusus, pasti peralatan mahal pikir Eideth dalam benaknya. Zirah Eideth juga tidak terlalu berat, hanya perisai kulit yang sudah disihir dengan chainmail didalamnya, Ia juga memakai beberapa pelindung tangan, pinggang, dan kaki.
Mereka melakukan briefing tentang tugas mereka selama raid ini, Vinesa menjelaskan kembali rencananya. "Baiklah, tiga orang akan menginfiltrasi Sixen, dan dua orang akan berjaga di perbatasan saat Aether mengamuk. Agareth bertugas sebagai Breaker, Eziel menjadi Reaper, dan Aku akan bertugas menjadi Hunt. Eideth dan Zain akan mengkomando pasukan di perbatasan, ada pertanyaan" Vinesa melihat keluarganya berkumpul dan menjawab dengan mata mereka.
"Ayo kita mulai Raidnya" teriak Vinesa lalu diikuti dengan yang lain menjawab yaa!
Mereka mulai menaiki tunggangan mereka yang telah disediakan. Vinesa dengan cepat lompat menaiki Spew, Agareth menaiki kudanya setelah dicium oleh istrinya mengucapkan selamat jalan, Irena melambai kepada kakak-kakaknya yang hendak pergi. Kali ini lebih banyak Raziel yang pergi bertugas ke perbatasan, Irena mendekat kepada ibunya dan menyenderkan kepalanya. "Jadi inilah yang Ibu lihat ya" Irena merasa ingin di manja oleh ibunya.
"Ya, nanti giliranmu akan tiba, dan kamu juga akan meninggalkan ibu" jawab Lucia selagi mengelus kepala putrinya. Irena tidak tahu harus merasakan apa mendengar perkataan ibunya. Dua perasaan aneh yang Ia tidak paham saling bertabrakan, untuk saat ini Ia pendam sendiri.
"Tapi lihatlah itu," ujar Lucia. Irena tersadar dari lamunannya dan melihat apa yang ibunya tunjukkan. Para Raziel pergi dengan tunggangan mereka menuju perbatasan, namun mereka semua berbalik dan melambai-lambai. Entah kenapa itu terlihat lucu di mata mereka berdua, melihat tingkah para Raziel seperti anak-anak. "Nanti kamu juga akan memiliki wajah seperti itu" ujar Lucia sedikit mencubit hidung Irena.
"Ibu..." Irena kesal diperlakukan seperti anak-anak. Lucia tidak sedikitpun mencoba mematahkan semangat Irena, Ia hanya memperlihatkan jati diri Raziel yang ada didalam hatinya.
...
Sesampai di perbatasan, ratusan pasukan dari kastil Raziel sudah bersiap siaga dengan kondisi terbaik mereka. Pemantau melihat kedatangan Raziel dan mengumumkan kehadiran mereka. Prajurit membentuk barisan dan menyambut mereka, setiap individu disana terlihat sangat terlatih dengan baik.
Raziel segera masuk kedalam tenda komando dan memanggil kapten unit menjelaskan rencana. Kapten Levyr dan Cloven adalah kapten regu penjaga perbatasan yang dipilih oleh Agareth sehingga kemampuan mereka telah teruji. Setelah mendengarkan arahan Vinesa, mereka berdua menghadap Eideth dan Zain. Mereka menghunuskan pedang mereka dari sarungnya dan memberi hormat pada komandan mereka.
Hal yang hanya disadari oleh Eideth menyadarkannya. Levyr dan Cloven melakukan hormat mereka tidak sepenuhnya menghadap Eideth dan Zain, lebih miring kearah Zain namun posisi mereka membuatnya tak terlihat terlalu jelas.
Eideth tahu ini akan terjadi, dan Ia mengendalikan ekspresinya pura-pura tak menyadari. Ia sendiri paham kalau mereka tidak ingin dikomando oleh bangsawan yang problematik, dan memilih Zain yang terlihat lebih dapat diandalkan.
Levyr dan Saath menjelaskan posisi mereka, "hormat komandan, saya Levyr, seorang Vanguard", "hormat komandan, saya Cloven, seorang Hunt". Kata-kata mereka dipenuhi kepercayaan diri dengan kemampuan mereka.
"berdiri" Eideth dan Zain mencoba menjawab bersamaan. Zain memperkenalkan dirinya kepada mereka berdua. "Zain Raziel, wakil komandan, seorang Breaker" Zain memperkenalkan dirinya sebagai wakil komandan tanpa peringatan. Eideth yang kaget dengan proklamasi Zain sebagai wakil komandan membuatnya harus mengambil posisi komandan.
Levyr dan Cloven terlihat kebingungan dengan situasi mereka. Mereka dengan sengaja memilih untuk hormat pada Zain agar jadi komandan mereka, namun Zain mengelak. Jadi Eideth harus maju dan mengambil tanggung jawab tersebut. "Eideth Raziel, komandan, seorang..." Eideth agak berhenti memikirkan jawabannya.
Sebelumnya, dalam perjalanan menuju ke perbatasan. Eideth sudah memikirkan perkenalannya nanti, hanya saja Ia bingung posisi apa yang harus Ia ambil. Ia tahu pengetahuan umum tentang posisi party atau pasukan.
"Aku tidak mau menerima serangan, jadi Vanguard ditolak. Aku tidak cukup kuat jadi Hunt, dan tidak punya kemampuan penyembuhan, jadi bukan Clergy, sihir, tidak Reaper, apa Rearguard atau Breaker, mungkin Catalyst"
"Seorang Breaker" jawab Eideth pada mereka berdua. Eideth tahu jawabannya akan mempengaruhi pandangan pasukan padanya. Namun karena Ia memimpin, Ia setidaknya harus terlihat dapat diandalkan. Rapat pun akhirnya selesai dan semuanya mulai menjalankan tugas masing-masing.
Vinesa, Agareth dan Eziel hendak meninggalkan gerbang tembok perbatasan. Agareth memberikan kata-kata semangat pada mereka untuk perkerjaan pertama ini. Eideth memimpin hormat kepergian tim raid menuju tujuan mereka.
Eziel merapalkan beberapa mantra untuk memudahkan perjalanan mereka, seperti [Haste], [Flight], [Presence Erase]. Mereka bertiga terbang mengikuti rute yang telah direncanakan. Beberapa pergerakan monster Aether yang tak diduga berhasil mereka lewati karena [Presence Erase] membuat keberadaan mereka hampir tak disadari. Mereka juga menghabisi beberapa Aether untuk mengamankan rute pulang mereka.
Mereka bertiga berhenti disebuah bukit, melihat pemandangan reruntuhan kota mati dengan sebuah menara aneh yang dikelilingi akar. Menara itu sendiri memancarkan energi asing, yang bukan dari dunia ini. "Itu dia, menara Sixen, tempat terbentuknya Aether" ujar Vinesa.
"Ingat, kita harus selesaikan dengan cepat karena begitu Sixen merassakan musuh, Ia akan memerintah Aether langsung, menara itu bagaikan makhluk hidup yang memiliki kesadaran sendiri, karya dari Outer Gods sangatlah membingungkan." Eziel mengingatkan Kakak perempuannya.
"Ayo kita hancurkan intinya, dan pulang" mereka bergegas berlari menuju Sixen agar menghemat mantra [Flight] untuk pulang nanti. Penjagaan Aether cukup kuat diluar Sixen, namun tak ada yang mampu menghadang mereka. Mereka menghadapi beberapa Aether tipe Slasher yang memiliki tangan sepasang bilah pedang, juga tipe Musket dengan ciri khas meriam besar dua tangan yang mereka bawa.
Aether adalah makhluk ciptaan dari dewa dunia lain, Outer Gods yang menjajah Artleya. Mereka hampir tidak bisa disebut makhluk hidup, kulit mereka yang merupakan pelindung alami, seluruh tubuh mereka seperti dibuat khusus untuk bertarung. Belum lagi, Artlean, penduduk Artleya yang terkena pengaruh energi yang terpancar Sixen akan berubah menjadi Aether, bahkan bertipe Khusus. Jika mereka mati, maka Sixen dapat menciptakan mereka kembali.
Ada teori yang beredar bahwa mereka yang berubah menjadi Aether akan terus dipergunakan oleh Outer Gods selamanya. Karena sihir Necromancy tidak dapat memanggil kembali jiwa mereka yang telah mati setelah menjadi Aether.
Tim penyerang telah berhasil membersihkan setengah dari keseluruhan lantai menara. Mereka berniat menghancurkan inti Sixen yang juga berfungsi sebagai pemancar yang berada di puncak. Di depan pintu lantai terakhir, Eziel mempersiapkan mantranya. Ia memasang beberapa sihir pendukung pada Agareth dan Vinesa yang bertugas sebagai penyerang utama. Begitu membuka pintu, mereka bisa melihat pasukan Aether telah menanti mereka. Terdapat puluhan Slasher dan Musket, namun kali ini mereka ditemani tiga Strider. Aether dengan tubuh setengah kuda yang membawa busur. Aether tipe khusus yang meniru bentuk Centaur.
Vinesa mulai memberi perintah kepada saudaranya, "Eziel, Kamu Reaper dan habisi keroco kecil, Agareth, Breaker dan bantu Eziel dahulu. Aku akan mulai Hunt-ing Strider itu" Ia terlihat seperti seorang kapten yang sesungguhnya. "Baik Kak", "cepat bantu Aku setelahnya, ayo pergi" mereka menerobos masuk melawan kerumunan tersebut.
Di tembok perbatasan, Aether mulai menyerang. Eideth dan Zain tahu kalau itulah tanda kalau tim penyerang telah menginfiltrasi Sixen. Eideth mulai memberikan komando sementara Zain ikut mengarahkan peleton satu dari depan sesuai perintah kakaknya. Mereka berdua melakukan tugas mereka dengan baik walau terpisah. Zain mendapat pengetahuan musuh yang berada didepan, sementara Eideth mampu mengarahkan pasukan bantuan sesuai posisi mereka ke tempat strategis karena memantau dari atas.
Kedua saudara itu seperti saling bertelepati walau tidak, mampu membaca makna perintah satu sama lain dan membaca perilaku musuh. Para Aether berhenti bermunculan dan gelombang pertama selesai dengan kerusakan minimal. Para prajurit bersorak merayakan kemenangan mereka. Eideth dan Zain menatap satu sama lain tanpa berkata-kata, namun bagi mereka itu seperti pembicaraan penuh. Eideth menarik kembali pasukan kedalam tembok untuk pergantian dan istirahat.
Gelombang pertama Aether yang mereka menangkan dengan cukup mudah menaikkan moral prajurit. Zain kembali ke atas tembok dan sorakan menyambutnya. Zain merasa sudah terbiasa dengan perhatian tersebut, Ia malah mencari Eideth dibalik kerumunan. Zain melihat Eideth dari kejauhan memanggilnya lalu masuk ke dalam tenda komando. Zain segera memisahkan diri dari kerumunan dengan alasan melapor kepada komandan.
Begitu masuk ke dalam tenda, Eideth melempar sebuah kantung air pada Zain, "kerja bagus wakil komandan" ujarnya. "Terima kasih Kak" jawab Zain setelah minum dari kantung tersebut.
"Kak, kak, jangan Kakak Aku, kamu mengambil posisi wakil komandan duluan" keluh Eideth. "Bukannya itu sudah jelas, Kakak harusnya menjadi komandan, Kakak harus menunjukkan pada mereka kehebatan Kakak" ujar Zain menyemangati Eideth.
"Yah, mengeluh saat ini pun tidak akan menghasilkan apapun, Aku akan menggantikanmu di garis depan, jadilah mataku diatas sana" Eideth mengambil pedangnya lalu mengikatnya di pinggang.
"Kakak jangan terlalu santai di bawah sana" sindir Zain. "Ya, ya, Aku akan serius" jawab Eideth meninggalkan tenda komando. Eideth menemui peleton dua di bawah tembok yang telah berganti peleton satu. Ia melihat mereka berbaris menunggu arahan pemimpin mereka. Eideth berdiri didepan mereka dan menyampaikan pidato nya.
"Peleton dua. Kalian mungkin punya keraguan pada diriku, dan Aku tidak akan menyalahkan kalian untuk itu. Namun, Aku minta kalian untuk melaksanakan perintahku di medan tempur. Jangan sampai kita gagal melaksanakan perintah Count sampai Ia kembali. Dimengerti"
"Siap komandan" jawab peleton dua dengan semangat. Eideth mulai memerintahkan peleton dua membentuk formasi. Cloven melapor pada Eideth yang sedang mengambil bagiannya dalam posisi. "Tuan, apakah sebaiknya anda berada di atas" kata Cloven. Itu adalah bendera merah yang besar, Eideth menyadari itu. "Cloven" suara Eideth membawa tekanan berat.
"Ya, tuan" Cloven menjawab dengan sedikit takut. "Aku hargai niat baikmu, tapi Aku harus menjaga pasukan kita, Aku akan lebih tenang bila Kamu tetap bersamaku menjaga peleton ini" Cloven terkejut Eideth tidak memarahinya. Ia jelas membuat kesalahan, namun Eideth berpikir lebih baik memaksimalkan moral prajurit saat ini. Memarahi atau menghukum Cloven tidak akan membawa hasil yang baik.
Eideth melihat kerumunan Aether mendekat dari kejauhan memperingati pasukan. Gelombang kali ini terlihat membawa beberapa Strider dengan mereka. Eideth memberi tanda pada Zain untuk mempersiapkan artileri dan menunggu aba-aba darinya. Eideth memerintahkan Vanguard untuk menyiapkan perisai mereka di garis depan, Ia juga mengarahkan Reaper dan Breaker untuk membersihkan sayap kiri dan sayap kanan. Zain menembakkan meriam dari atas tembok sesuai tanda dari Eideth menargetkan Strider. Jalan pertempuran berlangsung cepat dengan strategi Eideth, yang tersisa hanyalah beberapa Strider dan mob kecil yang ditahan Vanguard.
Sesuai perintah Eideth, para Catalyst merapal sihir mereka, melemahkan musuh dan memperkuat pasukan mereka. Serangan panah Strider sedikit melemah akibat efek debuff sihir Catalyst. Eideth pun melompat masuk di garis depan menghadapi Strider, "tuan" teriak Cloven mengkhawatirkan komandannya. Namun, itu sia-sia. Eideth menunjukkan kemampuannya saat melawan Strider, Ia cukup terampil menjadi Breaker dan membuka jalan untuk Hunt menghabisi mereka dengan cepat.
"Cloven, menunduk" Eideth berlari ke arah Cloven yang baru saja menghabisi Strider. Ia menebas panah Strider lain yang mengincar Cloven dari belakang. Prajurit lain pun menghabisi Strider tersebut sementara Eideth membantu Cloven berdiri. "kamu baik-baik saja kapten" ujar Eideth mengulurkan tangannya.
"Terima kasih komandan" Cloven pun berdiri dibantu Eideth. Sorakan kemenangan peleton dua tak kalah keras dengan peleton satu. Mereka berhasil menghalau gelombang yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka masuk kembali ke dalam tembok untuk berisitrahat. Untuk saat ini, mereka belum mendapati korban jiwa dan hanya beberapa yang terluka. Moral pasukan sedang tinggi-tingginya. Eideth merasa mereka mungkin dapat bertahan hingga tim penyerang kembali.
Di atas tembok, Eideth berkumpul dengan Zain hendak bertukar untuk gelombang ketiga. Menghadapi Strider bukanlah hal yang mudah dan cukup menguras energi miliknya. Zain yang sudah siap untuk terjun kembali ke bawah memanggil pasukannya untuk bersiap.
"SEMUANYA AWAS" Eideth dan Zain merasakan sesuatu dan mendorong orang disekitar menjauh. Sebuah ledakan terjadi di atas tembok, tidak ada korban karena remaja Raziel dengan cepat bereaksi. Mereka melihat tembok di atas gerbang hilang tak bersisa karena ledakan barusan.
"Vanguard keluar dan bentuk posisi bertahan" teriak Eideth memberi perintah kepada pasukan. Hal baik takkan bertahan lama pikir Eideth. Mereka melakukan tugas mereka dengan mulus namun ombak tak terduga datang. Serangan tiba-tiba dari Aether yang tak satupun dari mereka sadari. "Zain, siapkan peleton kedua segera, aku akan memimpin peleton pertama", "tapi Kak" Zain ingin ikut menolong tapi Ia segera paham dan mengikuti komando Eideth.
Eideth segera terjun ke garis depan melompat dari atas tembok, menuruni nya meluncur perlahan. Vanguard sudah menahan garis depan dan telah bentrok dengan Aether. Eideth tahu ini tidak akan mudah setelah melihat kerusakan yang terjadi pada tembok pertahanan. Dari kejauhan, Eideth bisa melihat sebuah Strider yang terlihat berbeda dari biasanya, tubuhnya dua kali lebih besar dengan kulit berwarna hijau cerah. "Sial" ujar Eideth melihat Strider yang sudah pada tahap Adept, sebuah jenis Alpha dari Strider.
Alpha Strider bukanlah hal yang begitu langka namun jumlah mereka yang sedikit diperkirakan karena bertarung satu sama lain dengan sejenis untuk memimpin. Mereka punya kemampuan tempur yang tinggi dan juga mampu menggunakan sihir Artleya dalam serangan mereka. Eideth memperkirakan bahwa Strider tersebut berelemen angin, yang sangat menguntungkan di medan tempur yang luas.
Eideth memeriksa kondisi peleton satu, mereka sedikit panik dan moral mereka terguncang. "Peleton satu, bertahan dan habisi Aether di depan kalian. Wakil komandan Zain telah menyiapkan rencana pembalasan. Beri mereka waktu, kalian dengar" peleton satu berteriak menjawab Ya. Moral pasukan berhasil diselamatkan karena yakin wakil komandan dapat menyerang balik. Tujuan mereka sekarang adalah menghabisi Aether kecil dan menyiapkan panggung untuk peleton dua.
Eideth berhasil memimpin pertahanan dengan baik, Ia memerintahkan yang terluka untuk segera digantikan ke belakang. Mempertingati pasukan akan serangan Alpha Strider dengan berganti arah, dan menghabisi para Slasher dan Musket yang mengganggu. Walau tampak berjalan dengan baik, peleton satu perlahan mulai kewalahan. Banyak Vanguard mulai mundur diganti dengan Rearguard. Hanya dengan anggota yang minim dalam menyerang, peleton satu hampir tak bisa bertarung lagi.
Eideth dan Levyr berada di garis terdepan menghabisi para Aether dan menarik perhatian Strider dari Vanguard yang melindungi tembok. "Kamu masih bersemangat kapten" tanya Eideth pada Levyr. "Ya, Komandan, saya akan terus bertarung di samping Anda sampai saya mati" jawab Levyr sambil terengah-engah.
"Kurasa itu takkan terjadi Kapten" Eideth melihat kebelakang dan Peleton dua menyerbu keluar. Clergy peleton dua segera membantu Clergy peleton satu menyembuhkan prajurit yang terluka, dengan meninum sebotol ramuan, energi mereka kembali dengan cepat dan bisa lanjut bertarung.
Eideth merasa lega melihat Zain berlari ke garis depan menyusul dirinya setelah melaksanakan perintah darinya. Eideth menyuruh Zain ketika di awal pertarungan untuk mempersiapkan peleton dua yang kelelahan secepat mungkin selagi Ia bertahan dengan peleton satu. Ia menyuruh Zain untuk mengambil simpanan ramuan milik mereka yang berada di penyimpanan. Akhirnya dana militer digunakan dengan baik pikir Eideth.
"Kerja bagus kak" Zain melempar beberapa botol ramuan pada Eideth dan Levyr. Eideth melihat kedua botol ramuan penyembuh dan ramuan energi ditangannya, meneguknya dengan cepat. "Senang kau bisa datang dik" wajah Eideth terlihat lebih segar seketika.
Mereka berempat berhadapan langsung dengan kawanan Strider tersebut. "Levyr, Cloven, bawa regu kalian menghadapi sayap kanan dan kiri, Kami akan menghadapi si Alpha", "Komandan itu berbahaya" ujar Cloven. Ia masih saja khawatir sampai saat ini.
"Kalau menurut kalian bahaya, bersihkan sayap dan segera bergabung kembali dengan Kami, mengerti", "SIAP, Komandan" beserta dengan dua regu prajurit berdua berpisah menjalankan perintah. Eideth dan Zain ditinggal sendirian menghadapi Alpha tersebut.
"Zain, ini tampaknya akan sulit" ujar Eideth menyiapkan posturnya. "Lebih sulit dari latihan Bibi Vinesa, Aku ragu" mereka berdua tertawa dengan lelucon tersebut. "Bisa kau jadi Hunt untukku. Aku akan jadi Breaker dan menarik perhatiannya" paham dengan rencananya mereka berdua maju menyerbu Alpha Strider tersebut.
Eideth memimpin didepan dan mulai mengayunkan pedangnya melemahkan pertahanannya. Zain dengan lincah bermanuver ke titik buta Strider tersebut melakukan serangan telak. Strider tersebut melawan balik dengan kelincahannya, tak sesuai dengan tubuh besarnya itu. Setiap serangannya dilapisi sihir angin membuat panahnya sangat cepat dan sulit di hindari. Ketika Strider tersebut mendapat bidikan mengarah pada Zain, Eideth langsung menghalanginya dan membuat kerusakan.
Strider tersebut mulai terpojok dengan kerja sama mereka, mulai mati-matian menyerang balik. Ia mengankat kaki depannya dan menghantam tanah dengan keras, sihir angin mendorong Raziel muda ke belakang. Berhasil membuat jarak, Ia tanpa henti menembakkan panah sihir angin lewat busur energinya. Eideth dan Zain berhasil menghindar dengan jarak sehelai rambut. Mereka berhasil membuat Strider itu membelakangi tembok perbatasan, sehingga tak perlu khawatir serangannya mengenai pasukan.
"Zain, bisa Kau pakai pedang dengan sihirmu seperti waktu itu padanya." Eideth membentuk rencana untuk menghabisi Strider itu dengan sekali tebasan. Zain langsung memahami rencana Eideth dan merapal mantra pada pedangnya. Untuk memberi waktu, Eideth melompat lurus ke depan Strider, menghindari beberapa panah dan memotong beberapa yang akan mengenai Zain.
Berhasil sampai tepat didepan Strider itu, Eideth mengingat kembali teknik yang Ia pakai saat latihan kemarin. Posisi kaki, putaran sendiri, ledakan otot, semuanya Ia pakai bersamaan menebas pertahanan Strider itu. *SLASH, serangan Eideth kena telak dan berhasil memotong kedua tangan Strider yang mencoba menangkis, namun pedangnya patah dengan bilahnya terlempar ke udara.
Tolak balik tekniknya membuat tubuh Eideth kaku kesulitan bergerak. Strider tersebut mencoba membalas dengan tendangan kaki depannya. Eideth tersenyum karena tugasnya selesai. Sekarang giliran Zain.
Zain tengah merapal mantra pada pedangnya selagi kakaknya maju membukakan jalan. Saat itu Zain berpikir pada dirinya. Ia mengingat bahwa Ia sangat kesal dengan hasil latihan tersebut karena Ia hampir kalah. Kedua pedang mereka hancur akibat tebasan satu sama lain. Sebuah ide terlintas di kepala Zain ketika memikirkan tebasan. "Mungkin Aku terlalu keras pada diriku" ujarnya pada dirinya sendiri. Selesai menyihir pedangnya Zain membuat kuda-kuda baru Ia menarik tangannya yang memegang pedang ke belakang dengan mata pedang mengarah kedepan. Sebuah kuda-kuda menusuk.
Zain berlari dengan sekuat tenaganya mengumpulkan momentum sebanyak mungkin. Ia melompat ke depan Strider, mengambil kesempatan yang sudah di buka kakaknya. Menusuk dengan kuat kedepan. Sihir Zain yang dikumpulkan pada pedang tersebut tertumpu pada mata pedang dan meledak ke arah Strider mengenainya tepat di dada. *Boom. Serangan telak mengenai tubuh Strider itu.