Dentingan pedang tak henti-henti beradu di tengah halaman kastil. Para penjaga kastil yang tidak bertugas malah berkumpul menonton latihan sparring kedua saudara tersebut. Mereka saling menyoraki keduanya hingga kedua tak henti-henti. Eideth yang lebih terampil dari Zain dalam berpedang sedikit kesulitan karena Zain mahir menggunakan sihir juga. Kemampuan Zain untuk menggunakan sihir dan berpedang sekaligus tidak boleh dianggap remeh.
Setiap kali Eideth mencoba menyerang, Zain menggunakan sihirnya untuk mendorong Eideth mundur. Namun Zain juga belum dapat melancarkan serangan ke kakaknya. Mereka berdua belum berhasil mengenai siapapun dan mulai kelelahan. "Kau belum lelah kan, Zain" tanya Eideth selagi mempersiapkan serangannya.
"Ayo kak, ini yang terakhir" Zain terlihat mengumpul energi sihir dan menyalurkannya ke pedangnya. Mereka berdua mengambil kuda-kuda dan penonton berhenti bersuara memperhatikan mereka dengan seksama.
Mereka berdua melesat maju dan pedang mereka berhantaman, *bang. Pedang mereka telah beradu dan sekarang membelakangi satu sama lain. Namun, pemenangnya masih belum ditentukan. Mereka dengan sigap berbalik dengan cepat mencoba meng-counter satu sama lain, *crack suara patah terdengar dari bentrokan mereka. Bilah pedang mereka berdua patah bersamaan, salah satunya tertancap ke tanah, sedangkan yang satunya terpental jauh ke arah kastil.
Eideth dan Zain terjatuh berdua ke tanah, kaki mereka sudah tidak punya energi lagi untuk berdiri. Para penonton bersorak melihat hasil menakjubkan mereka berdua. Namun, Eideth dan Zain tidak peduli. Mereka dalam pikiran mereka masing-masing saat ini.
'Sial, baru begini saja aku sudah lemas, apa Aku tidak bisa lebih kuat lagi' ujar Eideth dalam hati. Ia memikirkan bagaimana kedepannya Ia akan menghadapi tantangan yang lebih sulit, Ia mulai sedikit ragu apakah Ia mampu.
'Lagi-lagi... lagi-lagi aku hampir kalah, Aku bisa mendengar pedangku patah duluan walau sudah kuperkuat dengan sihir, Kakak masih lebih kuat, bahkan tanpa sihir dia lebih baik dariku' Zain disisi lain memiliki perasaan yang bertentangan tentang dirinya. Ia menutup mata dengan lengannya mencoba tak menunjukkan ketidakpuasannya. Eideth bangun lebih dahulu, "Zain, apa kau baik-baik saja" Eideth mengulurkan tangannya.
Zain melihat wajah kakaknya yang tersenyum menyampingkan dulu perasaannya dan menggenggam tangan Eideth membantunya berdiri. Zain merasakan tangan mereka berdua berjabat, dan tangan Eideth lebih kasar dari miliknya. Membuatnya semakin gusar. "Zain, kau oke?" tanya Eideth.
"ya gapapa." Zain tersadar kembali. Zain kembali memperkuat niatnya untuk menjadi lebih kuat untuk tujuannya.
Bulu kuduk mereka berdua merinding tiba-tiba. Indra mereka berteriak memperingati mereka namun tak cukup cepat, "hey, kalian berdua bersenang-senang" Vinesa datang dengan patahan bilah pedang kayu ditangannya. Patahan pedang yang terlempar jauh malah ditangkap oleh Vinesa.
Keringat dingin membasahi tubuh bagian belakang mereka berdua, ekspresi wajah Vinesa membuatnya semakin parah. "Karena kalian merusak pedang latihan, kita akan lanjut ke latihan kita yang biasa" ujar Vinesa tersenyum sinis.
Mereka berdua mencoba melarikan diri namun Vinesa lebih cepat. Ia membawa mereka berdua dipundaknya keluar dari kastil. Para penjaga hanya bisa merasa kasihan dan memberi jalan, mereka juga sedikit takut untuk berhadapan dengan Vinesa yang terkenal akan kekuatannya.
Kedua saudara itu pasrah bergelantung di pundak bibi mereka, mereka menoleh satu sama lain dan wajah mereka mengatakan semuanya. "Kita sudah tidak bisa lari lagi Kak" Zain mengerutkan alisnya. "Sampai jumpa lagi dik, semoga beruntung di bagian mu" Mereka mengeluh menggunakan ekpsresi wajah mereka untuk berkomunikasi sementara Vinesa bersenandung gembira.
Mereka berlatih melakukan apa yang biasa mereka lakukan. Berlari mengelilingi hutan, meditasi air terjun, sparing beladiri, dan bentuk latihan lainnya. Seperti biasa pula, mereka dipisah untuk diberi latihan spesial masing-masing oleh Vinesa. Tak lama kemudian, Eziel datang untuk menonton.
Di sisi lain hutan, Vinesa tengah berbincang dengan Eideth saat berisitirahat. "Apa yang ada dipikiranmu" tanya Vinesa. Entah kenapa mata Vinesa jeli sekali belakangan ini bisa melihat keanehan sikap keponakannya.
"Aku sedang bingung Bi, Apa Aku bisa menjadi lebih kuat, sampai sekarang aku bahkan tidak yakin bisa menghadapi Aether sendirian" Eideth berbaring tergeletak di tanah langsung terjatuh saat di izinkan istirahat.
"Kamu sudah cukup kuat" Vinesa mencoba menghibur Eideth. "Aku tahu maksud Bibi, tapi Bibi tau kan, Aku gak punya Talent, gak seperti Zain, Aku gak bisa memakai sihir, dan tubuhku juga sedikit aneh" Vinesa memahami maksud Eideth karena Ia paham situasi keponakannya.
"Untuk Bibi, saat Bibi ragu, Bibi akan berlatih lebih keras lagi, karena hanya itulah yang bisa Bibi lakukan untuk saat itu, karena jika kekuatan itu datang, Bibi akan siap" Vinesa mencoba menjawab semampunya walau Ia tahu itu tak terdengar memuaskan. Eideth menoleh kepada Vinesa dan berpikir sejenak.
Ia melompat bangun dengan kedua tangannya, "terima kasih Bi, itulah yang kubutuhkan" Eideth tersenyum kepada Vinesa dengan pandangan lega. Vinesa juga berdiri kembali dan mengambil senjatanya. "Ayo kita lanjut latihan lagi" teriak Vinesa menghampiri Eideth. "Tapi Bibi tahu apa yang Bibi butuhkan" bisik Eideth. Vinesa penasaran dan mendekatkan telinganya. "Bibi butuh seorang pasangan" Vinesa tanpa peringatan memukul Eideth karena kesal. Untung Eideth sempat menahan dengan kedua lengannya, Ia hanya terdorong jauh.
"Hei, itu tidak adil" teriak Eideth sambil melemaskan otot lengannya. "Makanya jangan ngomong yang tidak-tidak, latihannya akan Bibi tingkatkan" ujar Vinesa. Eideth menelan ludahnya menyadari Ia melempar minyak ke dalam api. "Heh, yolo" ucap Eideth selagi maju menghadapi Vinesa.
Zain tengah bermeditasi ditemani Eziel, setelah mengumpulkan kembali energi sihir miliknya, Ia berniat melanjutkan latihan sihir tapi sesuatu memberatkan pikirannya. "kenapa kamu berpikir terlalu keras seperti itu Zain" Eziel sontak menanyakannya.
"Hari ini Aku latihan dengan Kak Eideth, walau seri, rasanya Aku tidak bertambah kuat sama sekali, bahkan tanpa sihir, Kak Eid masih lebih kuat, AWH..." Zain mendapat pukulan di kepala dengan tongkat sihir Eziel. Zain melihat wajah bibinya dengan mata sedikit berkaca-kaca, Ia tengah emosional tapi bibinya tidak membantu sama sekali. Eziel disisi lain teringat sesuatu ketika melihat ekspresi Zain.
"Kamu mirip seperti ayahmu" ujar Eziel, Zain yang mendengarnya terkejut. Eziel duduk disebelah Zain dan mulai bercerita. "Kak Vinesa tidak terlalu berbakat dalam sihir, tidak seperti ayahmu yang mempunyai keduanya. Kak Vinesa selalu latihan dengan keras dengan paman kami, orang yang membuat bibimu menjadi dirinya yang sekarang, wanita yang kuat mengikuti jejak pamannya. Walau keduanya dilatih bersama Vinesa tetap lebih unggul satu lawan satu dengan ayahmu" Zain terus mendengar Eziel bercerita.
"Bahkan dengan bantuan sihir, Agareth hanya bisa seri dengannya. Namun saat bertualang bersama mereka menyadari, kalau peran mereka masing-masing berbeda, karena peran itulah mereka memenuhi kekosongan satu sama lain" cerita Eziel sedikit melegakan pikiran Zain. Ia mulai melihat arah tujuannya.
"Ayo karena energimu telah terisi, kita lanjutkan latihan" Eziel bangun diikuti Zain. "Baiklah Bi, tunjukkan padaku caranya" ujar Eideth siap untuk kembali latihan. Eziel menunjukkan kemampuan sihirnya yang lebih superior dan memunculkan mantra lingkaran sihir yang kompleks.
Matahari mulai terbenam dan latihan hari itu pun selesai, entah bagaimana mereka berdua selesai bersama. Eideth dan Zain yang senang bahwa latihan telah selesai berteriak kencang memperingati seluruh hutan. Bukan tanpa sebab, mereka benar-benar mendorong diri mereka hari ini.
Kembali ke kastil, para Raziel berkumpul untuk makan malam. Setelah membersihkan diri mereka, Eideth dan Zain bertemu di lorong kastil selagi dikawal dengan pelayan pribadi mereka. Zain terlihat lebih segar karena berpisah dengan Vinesa lebih dulu untuk berlatih sihir. Eideth di sisi lain, terlihat bertahan di ujung tanduk, tubuhnya sangat kelelahan dan hanya wajahnya yang terlihat cerah. Itu karena Eideth meminta Gerard untuk membuatkan perasan lemon paling asam yang bisa Ia buat. Tentu, Gerard tersenyum bahagia melihat Eideth meminumnya dengan lahap.
Pelayan mereka berpisah dengan mereka ketika memasuki ruang makan, Vinesa telah duduk disebelah tempat duduk Eideth. "Ayo duduk disini" Vinesa telah menyiapkan tempat duduk Eideth disebelahnya. Eideth menoleh ke arah Zain dengan tatapan kesal namun hanya Zain yang memahaminya. Ia duduk di kursinya dan diam menunggu makan malam di mulai.
Ketika semuanya sudah berkumpul di meja makan, makan malam pun dimulai. Vinesa sangat menikmati makan malam kali ini karena menu kesukaannya, Ia pun mulai membuka pembicaraan.
"Apa kalian tahu alasan Bibi datang berkunjung kali ini" Vinesa menyelesaikan hidangannya lebih cepat dari yang lain dan menepuk pundak Eideth. Tubuh Eideth berdenyut terkena tolak balik tubuhnya karena latihan. Mulut Eideth juga ikut berdenyut saat mencoba tersenyum kepada bibinya.
"Kami akan me-raid Sixen didalam korosi Murath besok" Eziel dan Agareth hampir tersedak makanan mereka mendengar Vinesa membeberkan rencana mereka. Eideth dan Zain jadi bersemangat, "tapi kami cuma akan pergi bertiga" kekecewaan bisa terlihat diwajah mereka berdua.
"Berita bagusnya, kalian akan memimpin penjagaan perbatasan murath, menyerang Sixen akan membuat para Aether mengamuk, kalian bisa melakukannya kan?" mereka tampak ragu pada awalnya namun keduanya telah membulatkan pikiran mereka. "Baiklah, istirahat yang cukup malam ini, hari esok akan berat" Vinesa pergi meninggalkan ruang makan, mereka semua tahu apa yang akan Ia lakukan.
Eideth dan Zain juga segera menyelesaikan makanan mereka. Irena melihat kedua kakaknya semakin akur namun Ia merasa sedikit muram jadinya. Tinggal tiga orang yang masih tersisa di ruang makan, Irena, Agareth, dan Lucia. Sudah cukup lama mereka tidak ditinggal bertiga seperti ini, Irena terlihat kurang nafsu makan menarik perhatian Agareth.
"Kamu tidak lapar Irena", "tidak apa-apa Ayah" jawab Irena dengan tersenyum kemudian Ia melanjutkan kembali lamunannya. "Ayah, apa Aku boleh ikut berlatih juga" Irena mencoba membujuk Ayah dan Ibunya.
"Apa kamu yakin itu yang kamu mau?" tanya Lucia. Irena tidak langsung menjawab tapi Ia mengangguk. Irena tahu bakatnya bukanlah yang terbaik untuk pertempuran namun Ia ingin mencoba. Agareth dan Lucia tersenyum karena ini bukan yang pertama kalinya anak-anak mereka bertanya pertanyaan tersebut. "Ayo kita pilih senjatamu besok" jawab Agareth selagi menepuk kepala Irena.
"Makasih Ayah, Ibu" Irena mendapat nafsu makan entah dari mana dan menhabiskan makanannya dengan cepat. Lucia dan Agareth ditinggal berdua di ruang makan setelah Irena pergi. Lucia mendesah selagi mengusap kepalanya, sedangkan Agareth hanya bisa tertawa kecil.
"Kenapa setiap Vinesa datang, kalian Raziel selalu seperti itu. Kukira Irena akan berbeda pada awalnya" keluh Lucia. Agareth hanya memegang tangan Lucia dan menatapnya dengan tatapan serius yang tenang. "Jangan beri aku tatapan itu" ujar Lucia ikut memegang tangan Agareth. "Bukannya itu yang membuatmu jatuh cinta padaku" goda Agareth. "Sudahlah, jika kau teruskan aku akan minta adik buat Irena" counter Lucia. Mereka berdua tertawa bersama, pasangan itu kian akur.
Setelah makan malam, Vinesa membawa Eideth dan Zain ke Pandai besi untuk mengambil peralatan mereka setelah perawatan bulanan. Vinesa memaksa untuk pergi naik tunggangan mereka sendiri daripada kereta kuda. Vinesa menunjukkan tunggangan peliharaannya sebuah Olix, naga gurun yang memiliki tekstur kulit yang keras seperti batu. Panjangnya hampir tiga meter dan beratnya sekiranya hampir satu ton.
Vinesa bercerita bagaimana Ia menemukan Spew si Onix saat menjalankan misi penangkapan pemburu hewan eksotik ilegal. Ia menyelamatkan Onix dan merawatnya untuk sementara waktu, Ia akan melepas lagi Spew ke habitatnya setelah misi ini.
Mereka bertiga menunggangi Spew pergi keluar ke kota, tak disangka dengan tubuhnya yang besar, Spew bisa berlari sangat cepat. Orang-orang langsung memperhatikan mereka menunggangi naga gurun tersebut, bukanlah Vinesa kalau tidak menarik perhatian orang-orang. Vinesa dengan santai meninggalkan Spew di luar selagi Ia masuk bersama Eideth dan Zain ke dalam workshop pandai besi. Orang-orang disekitar tidak dapat meengalihkan pandangan dari Spew yang menarik perhatian mereka, terutama anak-anak.
Toko itu memiliki banyak sekali senjata dipajang di setiap sisi. Mulai dari pedang hingga busur panah, semuanya terlihat memiliki kualitas tinggi. Di belakang terdengar dentingan palu yang menempa besi, tak disangka seorang wanita Elf yang keluar dari balik tirai.
"Oh, ada pelanggan. Sayang, mereka disini" teriak wanita elf itu. Seorang dwarf keluar dan menyambut Raziel dengan kata-kata pedas miliknya, "Maniak senjata dan bertarung akhirnya sampai juga, jagalah anak-anak kesayanganku dengan baik, kalian selalu merusaknya" keluh dwarf itu.
Ini bukanlah pemandangan yang tidak biasa di Artleya, sejarah yang panjang membuat berbagai ras hidup damai bersama satu sama lain, pernikahan antar ras dan anak ras campuran bukanlah hal asing.
"Sayang, jangan kasar dengan para pelanggan, maaf ya" elf itu menegur suaminya. "Jangan membela mereka Liriene, mereka itu keras kepala, kata-kata manis tidak akan bisa masuk kedalam sana" dwarf itu keluar dengan membawa beberapa senjata. Ia berjalan menuju sebuah meja dan meletakkan semua peralatan mereka yang selesai diperbaiki. "Senang kau sehat-sehat saja pak tua Balak" Vinesa yang sudah biasa dimarahi olehnya menyapa terlebih dahulu.
"Simpan saja kata-kata manismu, ambil lah ini" Balak menyerahkan kembali peralatan mereka. "Pak tua, kami butuh pedang kayu untuk latihan lagi" ujar Vinesa. Mendengar perkataannya itu, urat kepala Balak berdenyut keluar, "APA!!! Itu sudah yang ketiga bulan ini, siapa yang mematahkannya kali ini" tanya Balak dengan marah. Zain dan Eideth mengangkat kedua tangan mereka, Vinesa mencoba menahan tawanya namun terlihat sangat jelas. "Jangan kamu tertawa, kamu lah yang sering mematahkannya sebelumnya" ujar Balak.
"Terima kasih pujiannya pak tua." Vinesa membuat wajah senang bodohnya. "Kalian berlatih sangat keras ya" ujar elf itu. Selagi orang tua berbicara, Eideth mengambil belati khusus yang dibuat untuknya kembali. Ia melihat belati itu dan mengingat semua latihan yang Ia lakukan bersamanya. Balak menoleh melihat Eideth mengelus belati kesayangannya. "Kau merawat belati itu dengan baik" puji Balak.
"Huh? Iya" sontak Eideth tersadar dari lamunannya. "Apakah keadaanmu sudah membaik" tanya Balak. "Ya, aku sudah tidak terlalu dibatasi karena kondisi tubuhku, aku sudah bisa menyentuh lebih banyak benda tanpa dibatasi" Eideth menceritakan kondisi tubuhnya kian membaik.
Vinesa mengeluarkan sekantong koin emas sebagai biaya perbaikan. Dengan begitu, mereka berpamitan dengan Balak dan istrinya dan keluar dari toko. Begitu keluar dari toko, mereka bisa melihat kerumunan anak-anak bermain dengan Spew. Mereka sama sekali tidak takut dan Spew tampak senang bermain dengan mereka. Vinesa memasang wajah keibu-ibuan miliknya dan mengambil Spew kembali dari anak-anak. Eideth dan Zain yang melihat sikapnya tersebut, menatap satu sama lain seakan bertelepati, "andai saja Ia bisa seperti itu dengan seorang pria, kita mungkin akan punya sepupu baru" mereka berdua mengangguk bersamaan.
Setiba di kastil, Vinesa langsung memerintahkan keponakannya untuk istirahat bersiap untuk besok. Eideth kembali ke kamarnya dan mengunci pintunya setelah masuk, Ia melepaskan nafas berat dan bersandar dipintu. Ia melihat kembali tangannya dan mengingat kejadian di toko Balak, kemudian Ia memanggil layar transparan untuk melihat kondisinya.
[Status: Otherworlder soul's rejection
Jiwa anda yang bukan berasal dari Artleya akan mempengaruhi beberapa benda yang dapat anda sentuh, bahkan ada beberapa benda yang tidak dapat anda sentuh sama sekali. Anda juga akan dibatasi dari benda-benda tersebut.]
"Kenapa aku harus punya status aneh seperti ini" ujar Eideth pada dirinya. Ia menaruh peralatan bertarungnya di atas meja lalu duduk di atas tempat tidur. Ia terus memperhatikan peralatannya dan pikiran ragu memenuhi benakknya.
Senjata dan baju pelindung Eideth semua sudah di sihir "penyelarasan" dengan dirinya, tanpa sihir tersebut Ia hampir tak dapat menyentuh barang-barang apapun di dunia ini. Ia selalu mencoba menyentuh beberapa benda sebelum mengenakan sarung tangan "penyelarasan" khusus yang dibuat untuknya. Beberapa benda sudah mampu Ia sentuh karena terbiasa. Ia sendiri tak tahu mengapa.
Seluruh anggota keluarganya tahu tentang kondisinya ini, namun tidak tahu apa yang ditertuliskan di layar itu karena hanya pemilik lah yang dapat membaca tulisannya. Ia memberitahu keluarganya deskripsi status yang Ia buat-buat agar menjaga rahasianya.
Banyak sekali beban pikiran yang Eideth pikul saat ini membuatnya tak bisa tidur. Ia mengambil smartphonenya dari dalam layar status otoritas, dan mulai memainkannya. Ia bingung mau memainkan apa dan menjelajahi internet membuatnya semakin pusing, sehingga Ia memutuskan untuk mencari udara segar. Eideth keluar dan duduk sebentar di balkon kamarnya. Ia menatap dua bulan Artleya dan ide terlintas dibenaknya selagi membuka ponsel. Ia membuat akun sosial media yang cukup terkenal di dunia lamanya, dan memposting foto pemandangan malam Artleya dengan dua bulannya. Sedikit jahil membuat pikirannya lebih tenang, berpikir untuk menjalani hidup pelan-pelan saja.