Eideth mencoba mengembalikan ketenangan dirinya sebelum menoleh kembali ke layar tersebut.
[Authority of MODERN AGE
Kekuasaan anda memperbolehkan anda untuk mengambil barang dari dunia lama anda ke dunia ini. Anda memiliki kuasa penuh atas barang-barang yang anda miliki. Barang dalam kuasa anda memiliki kemampuan;
Tidak dapat habis,
Tidak dapat rusak,
namun barang dengan kemampuan ofensif akan menerima penalty, kehilangan setengah dari seluruh kerusakan yang ditimbulkan kepada makhluk hidup.
...]
"Penjelasan Otoritas ini sangat panjang tapi lebih baik aku pahami seluruhnya" Eideth mulai membaca dengan perlahan dan sedikit-sedikit memahami otoritasnya tersebut. Raut wajahnya kian menunjukkan berbagai macam ekspresi seperti espektasi, kekecewaan, kesal.
Setelah melihat keseluruhannya, Ia berbaring ke kasurnya dan mengumpat, "Sial, Otoritas ini sangat dibatasi. Apa Aku tidak bisa jadi karakter utama sekali-sekali, punya kekuatan keren gitu" ujar Eideth dengan kesal.
Namun, sesuatu menarik perhatian mata Eideth setelah Ia membaca keseluruhan deskripsi, Ia melihat tulisan "tekan aku". Layar tersebut mulai menunjukkan kata-kata baru.
[Tuan Eideth,
Kami meminta maaf atas kesalahan kontraktor kami pada kontrak pertama Anda, namun mengikuti regulasi, karena kontrak anda telah diteruskan tanpa izin dan proses yang telah berjalan, yang mampu kami berikan hanyalah konpensasi dan penulisan ulang kontrak.
...]
"ya, ya, Aku sudah tahu semua itu, apa yang ingin dikatakan kepada pak kepala? Aku tidak pernah mengira Ia orang yang suka berkata-kata seperti ini" keluh Eideth selagi melanjutkan membaca cepat melewati kata-kata tidak penting.
[...
Untuk itu kami telah menyediakan kepada anda pilihan untuk konpensasi, pilihan tersebut hanya sebatas formalitas karena Kami tidak dapat memenuhi permintaan anda yang sesungguhnya. Silahkan memilih pilihan di bawah ini.]
Sebuah layar baru muncul
[Senjata api dari bumi / sebuah "Wish" / Artifak Artleya]
[Saat menggunakan salah satu pilihan diatas, penalty otoritas akan diterapkan]
Pilihan-pilihan tersebut sangat menarik baginya, dan ini bukan hanya sekedar hadiah, melainkan membentuk otoritas khusus. Namun pikirnya, mendapat sebuah otoritas yang hanya akan dipenalty rasanya sia-sia. Setelah memikirkannya baik-baik selama beberapa saat, Ia menekan salah satu pilihan tersebut
Ia menutup matanya dan menunggu hadiahnya, betapa terkejutnya Ia melihat apa yang ada di genggamannya. Sebuah smartphone berwarna hitam. Ia menaruh smartphone itu perlahan-lahan ke kasurnya dan menjauh dari ranjang. Ia melompat gembira seperti ayam, dengan menahan suara teriakan Ia bersorak gembira.
Ia lompat ke ranjang dan mengambil ponsel itu, "Akhirnya, Aku bisa namatin wanpeace" ujarnya dengan mata penuh semangat. Bersembunyi dalam selimutnya Ia mencoba membuka smartphone itu dan merasakan kembali teknologi dunia lamanya. Betapa terkejutnya Ia melihat serial tersebut masih belum tamat setelah 1000+ episode.
"Gimana bisa blom tamat? Aku udah nunggu 18 tahun, yah secara teknis itu umurku disini, aku penasaran, bagaimana internet selama ini" ujarnya selagi Ia menggulir layar memeriksa perkembangan internet. "Wow, hmm, ahh!?" Ia segera menekan home untuk mengeluarkan semua aplikasi dan melepaskan ponselnya. "Banyak yang telah berubah sejak terakhir kali aku membuka internet" Ia mencoba mengambil kembali ponselnya, namun tangan kiri menahannya.
Ia melihat tangan kanannya yang sangat ingin mengambil ponsel tersebut, mengepalkannya dengan keras dan menghajar wajahnya sendiri. Ia mengingat kembali saat Ia mati pertama kali karena bermain ponselnya walau tidak seluruhnya benar. Keteguhan selama 18 tahun tanpa teknologi dunia lamanya membuahkan hasil.
Saat Ia mengambil ponselnya kembali, matanya dipenuhi kedewasaan, setidaknya selama tiga detik lalu Ia membuka internet kembali. "Sial, kebiasaan ini saat berbahaya, aku tidak bisa terus seperti ini" ujarnya selagi ibu jari terus mengusap layar. Ia membuka aplikasi alarm dan memasang timer. "Lima menit, dengan ringtone paling berisik di ponsel ini, ayo mulai" Ia menekan tombol start dengan percaya diri.
Pertama, Ia membuka internet untuk mencari tahu keadaan dunia lamanya saat ini, aplikasi kalender dan jam hanya menunjukkan waktu dan tanggal dunianya saat ini yang bernama Artleya. "Kalau Aku mati, saat itu sepertinya 2008 dan saat itu wanpeace masih episode... satu episode satu minggu... episode saat ini 1053... kurasa disana masih 2020-an" Eideth merasa teknologi dunianya harusnya sudah lebih maju namun mengingat ini kehidupan ketiga yang merusak perhitungannya.
"Setidaknya dari episode wanpeace, sekarang harusnya tahun segitu disana, Aku harus hati-hati di internet sekarang, ada sesuatu yang dipanggil spoiler, membocorkan cerita sebelum terbit, ugh... tidak terima kasih" Ia menaruh ponselnya dan berbaring lega mengingat dunia lamanya masih ada. Kehidupan masa lalunya bukanlah mimpi ataupun kebohongan.
"Yah, saatnya Aku memenuhi bagian dari kontrakku." Ia bangun dan pergi mandi. Entah kenapa air ini sangat menyegarkan pikirnya. Begitu keluar dari kamar mandi, Ia mendengar suara langkah kaki. Eideth melihat ponselnya masih di atas tempat tidur segera berlari untuk mengamankannya, dikarenakan kakinya yang licin Ia terpeleset jatuh, membuatnya kian panik. "Oh iya baju" Ia berlari membuka lemari dan memakai pakaian secepatnya. Melompat mengambil ponselnya.
*toktoktok. Ketukan dipintu memecah konsentrasinya dan Ia tak sengaja menekan tombol diponsel dan mengeluarkan bunyi. Ia dengan cepat mematikannya, Dengan cepat Eideth berlari membuka pintu tepat didepan Gerard.
'untung saja, ponsel itu adalah otoritas' ujar Eideth dalam hati sambil mencuri pandangan melihat layar transparan.
[Special Authority: Smartphone
Anda memiliki kekuasaan penuh atas Smartphone di dunia ini, anda juga dapat terhubung dengan "Internet" di dunia lama anda.
...]
kembali ke masa sekarang
Semua orang sedikit kaget mendengar perkataan Eideth, karena mengenal dirinya dengan baik.
Di meja makan tersebut ada lima orang termasuk dirinya, Ayah dan Ibu nya, Zain, juga adiknya Irena. Ayah Eideth bernama Agareth, dan Ibunya bernama Lucia. Agareth Raziel merupakan seorang Count dengan wilayah yang cukup luas, namun Count Raziel terkenal sebagai Count yang sederhana. Walau memiliki bisnis perdagangan yang besar, Count merupakan orang yang suka low profil di kalangan bangsawan lainnya.
Eideth telah memikirkan ini matang-matang, setidaknya selama perjalanan ke ruang makan. Berdiam diri di kediaman tak akan menyelesaikan kontraknya, mau gak mau dia sadar dia harus membebani dirinya dengan pekerjaan.
"Dikarenakan sekarang masih di tengah tahun pembelajaran, Aku berniat bertualang sebelum ke akademi" Eideth dengan teguh menyampaikan niatnya kepada keluarganya.
Ayah Eideth hanya diam saja untuk beberapa saat, kemudian menjawab. "Ayah akan menyiapkannya" Agareth mencoba menahan senyumnya saat menjawab, dan Ia berhasil menahannya sampai akhir.
"Terima kasih Ayah" Eideth duduk kembali dan menyelesaikan makanannya. Suasana ruang makan itu entah kenapa menjadi lebih ceria. Setelah selesai makan, Agareth mendatangi Eideth yang membuatnya kebingungan, "Bawa perlengkapanmu ke halaman" bisik Agareth.
Eideth merasa senang dan gugup, namun Ia segera berlari ke kamarnya untuk mengambil perlengkapan. Sesampai di dalam kamar, Gerard telah menunggu dengan siap sedia dan meletakkan semua perlengkapan Eideth di meja. Eideth kaget namun Ia dengan spontan memeluk Gerard, berterima kasih dan mengambil perlengkapannya, lalu pergi kembali.
Gerard yang masih sedikit shock tersenyum senang dengan wajahnya yang mengerikan, "Dia sungguh bahagia ya saat ini, umu" ujar Gerard. Eideth mengenakan perlengkapannya dengan terburu-buru sambil berlari ke halaman kastil.
Akhirnya Ia sampai didepan pintu utama kastil menuju halaman, pintu kayu mahoni setinggi dua meter dengan beberapa ornamen yang menghiasinya. Pintu itu cukup berat sehingga Eideth harus mengerahkan kekuatan untuk membukanya.
Udara pagi hari tercium di hidungnya, membuatnya menikmati diri untuk sejenak. Semuanya sedang berjalan sangat baik, Ia tahu bahwa itu hanya akan bertahan sebentar, "hidup tenang seperti ini enak juga" ujarnya dalam hati. Entah kenapa ada hembusan angin yang kuat menerpa nya, bulu kuduknya berdiri dan perasaan santai tersebut hilang.
Gerbang utama kastil terbuka dan penjaga mengumumkan kedatangan seorang tamu, Eideth tidak mendengar pengumuman itu terlalu jelas tapi instingnya memperingati. Eideth melihat situasi dan perlengkapan yang Ia kenakan, Ia kemudian tersadar apa yang instingnya coba beritahu. "Oh Sial" ujar Eideth tak percaya. Ia menarik kedua pintu tersebut kembali sekuat tenaga dan menguncinya. Agareth dan Zain melihat tingkah Eideth dari kejauhan kebingungan.
Eideth yang menyadari mereka berdua segera berlari ke arah mereka. "Ada apa Eideth, kenapa kamu menutup kembali pintunya" tanya Agareth melihat anaknya berkeringat dingin. "Ayah, Aku senang kita akan latihan bersama, berjanjilah padaku" Eideth memegang kedua tangan ayahnya.
"Iya, ada apa, katakanlah" Agareth sedikit bingung namun terus mendengarkan Eideth. "Apapun yang terjadi, Ayah hanya akan bersparing denganku seharian ini, tidak akan diganggu siapapun" ujar Eideth.
Beberapa pelayan mulai membuka pintu yang dikunci Eideth untuk membiarkan tamu itu masuk. Eideth yang melihatnya semakin panik, dan menatap ayahnya untuk membuatnya berjanji. Namun, sebelum Agareth sempat menjawab, pelayan telah membuka kunci pintu. Walau sudah tidak terkunci, *Bang, pintu itu ditendang terbuka oleh seseorang.
"Hai EIDETH... SELAMAT ULANG TAHUN" suara nyaring itu membuktikan kehadirannya. Eideth menggertakkan giginya, Ia tahu Ia takkan bisa lari. "Yaudah, kita yolo aja" Eideth melepas tangan ayahnya dan berbalik kepada tamu-tamu tersebut.
Agareth melihat dua sosok wajah yang tidak asing, lalu pergi dan menyambut mereka. "Kak Vinesa, Eziel, senang kalian bisa berkunjung kemari" Agareth menyapa kedua saudari perempuannya. "Ayolah, sejak kapan kamu mahir basa-basi seperti itu, bukan seperti kamu saja dik" seorang wanita tegar mengenakan zirah yang berkilau, memberi pukulan kecil kepada Agareth di lengannya. "Ho, ho... siapa yang sedang bersemangat ini" Vinesa menolehkan pandangannya kepada Eideth.
Dia adalah bibi Eideth, Vinesa, Seorang kesatria kehormatan yang diangkat oleh Raja sendiri, Ia memiliki sifat bebal dan keras kepala tak seperti wanita bangsawan lainnya, namun kemampuannya tidak bisa dianggap remeh. Anehnya Ia mampu melakukan pekerjaan Kesatria dengan sifatnya itu. Vinesa adalah guru Eideth sedari kecil, didikannya yang sangat ketat, dan selalu menorehkan kenangan setiap kali berkunjung.
Eideth masih ragu dengan rencananya, Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau Ia malas menghadapi Vinesa. Jiwa introvert Eideth menahan mulutnya sendiri, "Bibi, ayo latihan denganku" Eideth mengatakannya. Ia juga menatap mata Vinesa ketika mengucapkannya, hal yang Ia kira takkan pernah Ia akan lakukan.
Vinesa terdiam, berdiri di depan Eideth, tanpa berkata-kata. Eideth sangat gugup, namun Vinesa memecah keheningan duluan. "AWHH... Kamu sudah bersiap begini dan meminta bibi langsung latihan, bagaimana bibi bisa menolak" ujarnya dengan tangannya menyentuh pipi layaknya perempuan. Sifat feminimnya yang tidak sesuai waktu dan tempat itu adalah ciri khasnya.
Dengan menggandeng tangan Eideth, Vinesa pergi keluar bersamanya untuk latihan, "dadah semuanya, kami akan latihan dulu" kata Vinesa selagi pergi dengan santai. Seorang wanita berjubah memukul punggung Vinesa dengan sebuah tongkat, "Kak, jangan bercanda, kita punya misi, bersikaplah yang benar" Eziel bahkan menahan lengan Vinesa dengan tongkatnya.
Vinesa melihat Eziel dan mencoba membujuknya dengan membuat wajah sedih seperti serigala kecil. Namun itu tak mampu meluluhkan Eziel. Vinesa memegang wajah Eideth selembut yang Ia bisa, namun tidak terlihat begitu. "Bibi minta maaf Eideth, bibi ada pekerjaan, bibi Eziel mu itu tidak bisa membiarkan kakaknya bergaul dengan keponakannya" ujarnya pada Eideth.
Eziel kemudian menarik Vinesa pergi diikuti dengan Agareth dibelakang mereka, "Eideth, kita tunda dulu latihannya, bibi akan segera menyelesaikan pekerjaan bibiii..." teriak Vinesa selagi digeret Eziel pergi. Zain yang merasa takjub pada kakaknya pergi mendekatinya. "Kak, kupikir kau sudah gila saat meminta latihan padanya langsung... humph" Zain hampir tertawa keras melihat kakaknya bernafas lega dengan wajahnya yang pucat begitu bibi mereka pergi.
"Kau cukup berani kak", "coba katakan itu lagi, huh... Aku kira Aku akan benar-benar melakukannya, Bibi benar-benar butuh seorang pasangan" ujar Eideth. "Yah, kau benar, Ia semakin bersikap keibu-ibuan seolah seorang ibu karena umurnya, namun Ia masih bebal dengan seorang pria" Zain menyilangkan tangannya tak tau ingin berkomentar apa.
"Tapi, apa kamu melihat pedang bibi tadi" bisik Zain. "ya, Aku juga melihatnya, ikatan sarung pedangnya masih ketat, Ia pasti sangat sibuk dengan pekerjaan dan stress saat ini, untung saja aku berhasil selamat" Eideth merasa lega Ia tidak jadi menghadapi badai.
"Hei Kak, kita jadi latihan kan" tanya Zain yang juga telah mengenakan perlengkapannya. "Tentu saja" jawab Eideth sambil Ia membuka kembali pintu tersebut. Mereka berdua pun berlatih di halaman seperti yang direncanakan.
...
"APA!!! Raja memerintahkan apa tadi" Agareth tidak percaya dengan apa yang dikatakan kakaknya.
Vinesa membuat wajah kesulitan, tapi Ia tak bisa menahan senyumnya. "Bukankah menurutmu ini menyenangkan" komentar Vinesa terdengar antusias namun tak memikirkan pandangan orang lain. "Kak, kau harus serius tentang ini" Agareth mengomeli kakaknya.
"Perdana menteri teknologi Raja melihat perkembangan korosi di daerah dekat wilayah Count Raziel yang menunjukkan peningkatan lonjakan energi. Untungnya tidak akan ada ledakan energi yang akan memunculkan lebih banyak Aether dalam waktu dekat namun lebih baik untuk waspada dan memotong pertumbuhan korosi nya sekarang" Eziel menjelaskan tujuan rencana mereka.
"Tapi Eziel, ini akan lebih sulit dari yang kita kira, akan selalu begitu, kawasan kita berbatasan langsung dengan korosi Murath dan Kerajaan Trysa, kami kekurangan orang untuk menyelesaikan raid ini sekaligus menjaga perbatasan." Agareth menjelaskan situasi pertahanan Count Raziel. "Jadi begitu, walau kita bisa menyelesaikan raid, tidak akan ada cukup personil yang akan menjaga perbatasan" Eziel sedikit kebingungan dengan situasi mereka saat ini.
"Untuk apa dipikirkan terlalu sulit" kata Vinesa dengan santai. Agareth dan Eziel melihat Vinesa dengan tatapan tidak percaya, Ia bersikap terlalu santai dalam pekerjaan ini. "Kak, tolong jangan bilang..." sebelum Agareth sempat berkata-kata, Vinesa memotong perkataannya. "Ayo kita raid saja bertiga" Agareth mengusap keningnya. Eziel sudah menduganya dan menghela nafas.
"Aku tahu apa yang kalian pikirkan tapi dengarkan dulu" Vinesa mencoba meyakinkan saudaranya. Ia mengeluarkan beberapa berkas ke atas meja. Berkas tersebut berisi daftar jenis jenis Coroded Aether dan lokasi mereka pada sebuah peta. Kedua saudara tersebut terkejut kakak mereka membawa Persiapan.
"Aku telah meminta bantuan militer kerajaan untuk mengirimkan scout dan mengumpulkan data-data yang kuperlukan, Aku juga membawa beberapa alat sihir kerajaan yang sepertinya dapat membantu, walau aku gak mengerti cara menggunakannya" Vinesa menunjukkan sifat yang tak terduga dari dirinya.
Eziel dan Agareth menghampiri Vinesa kemudian memeluknya. Setelah di peluk, Vinesa bertanya kenapa namun mereka berdua hanya berbisik satu-sama lain. "Kau benar kak. Kak Vinesa harus menikah, secepatnya" bisik Eziel. Agareth mengangguk setuju, namun Ia kembali seperti biasa setelahnya. "Kalau begitu, apakah kakak punya rencana" Agareth menanyakan kembali kepada Vinesa.
Terdiam sejenak memikirkannya lalu Ia menjawab, "Kita akan melewati jalur dengan Aether paling sedikit dan paling aman menuju pusatnya. Hancurkan Sixen, lalu pulang" Eziel dan Agareth akhirnya menyetujui rencana tersebut dan mulai yakin dengan raid ini.
"Karena diskusi kita selesai, Eideth, Zain, ayo kita latihan" Vinesa berlari keluar sambil berteriak, saudaranya yang lain hanya diam saja melihat kakak mereka pergi. Sementara itu, Eideth dan Zain merasa bulu kuduk mereka menggigil tiba-tiba saat latihan mempertingati sesuatu. "Aku kok merasa gak enak tiba-tiba" ujar Eideth.