Langit senja yang diselimuti kehancuran terlihat dari setiap ujung mata umat manusia. Seluruh pedang raksasa kutukan surgawi keluar perkasa warna merah menggelegar turun serentak dari atas langit khatulistiwa.
Asyluminaz terkekeh lepas di atas udara seraya menyaksikan kegelisahan seluruh umat manusia yang melihatnya.
"Yyhahahhahhahahahahha ... Lihatlah ... Betapa agungnya kekuatan Dewa sejati ... Tidak akan pernah ada satupun umat manusia yang bisa menandingi kekuatanku. Raja iblis, Pahlawan, Kaisar, dan seluruh keberadaan yang berada di dunia ini tidak ada apa-apanya dihadapanku ... Yahahahhahahaha ...." Pedang raksasa kutukan surgawi terus melaju menyebar ke segala arah.
"Aku adalah Dewa kutukan kematian. Asyluminaz!. Penghuni lapisan ke 100 dunia tingkat tinggi ... Penguasa 3000 dunia multiverse ... Akan segera menghancurkan dunia sang pencipta Hukum Tarzatus atas kehendakku yang telah datang ke dunia ini. Sekarang, waktunya untuk menghancurkan segalanya!" Jawabnya menyeringai angkuh seraya membentangkan kedua tangannya.
"Gawat ... Pedang itu terus berdatangan. Apa yang harus kita lakukan, ketua?" Kata Sevila cemas.
"Aku tidak tahu. Sepertinya tidak ada cara lain ...."
"Leylia?. Tunggu ... Apa yang akan kau lakukan?!" Kevin bertanya.
"Diam ... Aku bisa menghancurkannya. Seharusnya kalian tahu ... Tidak ada gunanya menahan pedang itu selain menghancurkannya dengan kemampuan Hypergear milik kalian." Jawab Leylia seraya memejamkan matanya dengan partikel biru langit yang mulai keluar menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Ta-tapi ... Hypergear kita masih level 1. Tidak mungkin kita bisa mengalahkan pedang itu yang memiliki hukum keabadian. Pedang itu sendiri sudah sangat jauh dengan level milik kita ... Itu level 500, apa kau sudah gila?!" Jawab Sevila gelisah.
"Tidak, aku tidak gila ... Kau tanya kenapa?. Lihatlah Lucia ... Dia akan terus seperti itu jika tidak menghancurkannya ... Aku percaya dengan kekuatan yang aku miliki sekarang ... Jika kalian takut mati ... Kalian lebih baik melihat saja dari sini."
.
.
".... Aku tidak akan ... Pernah membiarkannya ...."
Lucia sangat terpukul dengan dorongan dahsyat yang membuat lututnya menyentuh tanah bersamaan dengan Ariel. Karena tubuh robot (Gundam) Ariel sendiri adalah cerminan dari Lucia yang telah membangkitkannya.
*KKrrrkkkKK!*
Pedang raksasa surgawi terus bertarung dengan perisai pelindung surgawi Ariel untuk bisa menembusnya.
"Dunia ini ... Kenapa, seluruh dunia harus tercipta dengan sebuah penderitaan dan rasa sakit karena kehilangan seseorang yang sangat kau sayangi ... Kenapa ... Kenapa, aku tidak pernah bisa mengejarnya ... Aku hanyalah seorang dokter biasa yang tidak memiliki apa-apa ... Lemah ... Tidak berguna ... Egois ... Cerewet ... Perempuan bodoh yang selalu mengaguminya ... Tapi ...." Perisai Ariel perlahan mulai hancur. ".... Aku mohon ... Ariel ... Aku tidak akan pernah—"
Tiba-tiba, tubuh Ariel bergerak dengan sendirinya. Partikel bintang pelangi bersinar keluar dari kedua tangannya seraya bangkit dari kegagalan menjadi sebuah keberhasilan yang menjadi kenyataan.
Pedang kutukan surgawi mulai terdorong, Ariel bangkit dan mulai melangkahkan kakinya seraya menahan pedang kutukan surgawi dengan kedua tangannya.
"Uh ...?. Ariel?. Apakah itu kau?"
Ariel mengulurkan tangan kirinya ke belakang kepada Lucia seraya menatapnya.
"Ariel ...?"
"...?!!"
Tiba-tiba, ingatan masa lalu Lucia muncul.
Ruangan putih yang dihiasi tabung kaca biru berjejer di setiap sisi tempat itu. Langit-langit biru yang melukiskan sejarah masa lalu terasa hening di dalam ruangan labolatorium.
Seorang pria tinggi berkacamata memasangkan kalung permata biru kepada Lucia yang berada di hadapannya dengan lembut.
Wajahnya berseri-seri karena bisa merasakan kebahagiaan yang selalu ia inginkan. "Apa ini?. Apakah ini hadiah untuk ulang tahunku?"
"Yahhh, bisa dibilang begitu. Aku tidak tahu harus mengatakannya bagaimana." Seraya menggaruk kepala.
"Hemmmmmm ...." Jawab Lucia cemberut.
"Jadi, ya. Selamat ulang tahun, Lucia-san. Aku sangat berharap kau terus hidup di dunia ini."
"Terima kasih ... Aku akan selalu menjaganya ...." Wajah manis tetapi tidak dengan pikirannya yang telah menyadari perkataannya. "Tapi ... Apa yang kau maksud dengan terus hidup di dunia ini?. Apa kau akan meninggalkanku?. Mengurus ini semua sendirian tanpa seorang profesor jenius sepertimu?!" Jawabnya kesal.
"Aku tidak tahu ... Itu adalah harapanku, aku ingin kau bisa terus hidup meskipun kematian sudah menentukan jalanmu ... Kau harus bisa melangkah maju meskipun kau hidup sendirian ...." Melihat liontin biru yang bersinar indah. "Apakah kau bisa merasakannya?"
"Merasakan apa ..?" Tiba-tiba, liontin pertama biru bercahaya bintik putih terang. ".... Eh ..?. Kenapa tiba-tiba aku bisa merasakan sesuatu. Dia seperti memanggilku ... Apa maksudnya?"
"Syukurlah jika kau bisa merasakannya. Sekarang aku sudah bisa merasa tenang saat kau mengatakannya seperti itu .... "Jawabnya dengan penuh senyuman lembut.
"Uhukkkk ... Uhukkk ... Kalau begitu. Aku mau kembali untuk memeriksa portal itu ... Mungkin dengan sedikit minuman susu hangat akan terasa lebih nyaman."
"Tunggu sebentar!!. Apa maksud dari perkataanmu itu?!. Jelaskan padaku. Jika kau sakit, jangan memaksakan dirimu seperti itu. Biar aku saja yang mengurus portal menuju dunia para Dewa itu ... Lebih baik, kau tidur saja"
Memegang kedua pundaknya.
Dia terlalu cerewet.
"Tidak ada apa-apa. Jangan khawatir ... Aku sehat, ini hanya batuk biasa. Aku bisa melakukannya sendiri, Lebih baik kau mengurus hal lain saja yang belum di selesaikan ... Kau mengerti?"
"Ta-tapi ... Bagaimana jika kondisimu tiba-tiba semakin parah karena terlalu memaksakan diri?"
Terkekeh pelan. ".... Apa yang kau bicarakan?"
"Apanya yang lucu?. Ini aku serius."
"Tidak, tidak. Mustahil ... Kau pikir aku akan bertarung dengan seseorang yang akan membuat sakitku semakin parah?. Tidak mungkin bukan?. Aku hanya akan memeriksanya sebentar. Jangan terlalu dipikirkan ... Gini-gini aku mantan pelari hebat, lho"
"Hemmmmmmmmmmm ... Memang benar, kau tidak akan bertarung dengan siapa-siapa ... Tapi!—"
"Sssttttttt ...." Jari telunjuk menempel pada bibir manisnya seraya dengan wajahnya yang saling berdekatan. "Sekarang kita tidak punya waktu. Kau mengerti, kan?"
Perasaan senang dan malu saling bercampur aduk yang membuat kedua pipinya merah merona.
Lucia hanya mengangguk.
"Bagus ...." Pat pat kepala Lucia lembut. "Kalau begitu ... Dahh ...."
Dia pergi meninggalkan Lucia sendiri.
Cemberut. "Hmmmmmm ... Kenapa dia melakukannya tidak lebih lama lagi sih. Kecewa ...." Lanjut batinnya. "Tapi, kalung ini terlalu indah untuk aku miliki ... Aku tidak pernah melihat batu pertama biru seindah ini. Ini terlalu istimewa bagiku ... Aku senang ... Terima kasih, Ariel-san ...."
Lucia pergi ke arah lain.
".... Uhukkk ... Uhukkk ..." Melihat darah di telapak tangan kanannya yang tersentak keluar. "Darah?. Ternyata benar, aku tidak punya waktu untuk terus berdiam diri. Ini sudah yang ke 7 kalinya ... Aku harus bisa menahannya ... Bagaimanapun, aku harus menyelesaikan portal itu sebelum tubuh ini hancur ... Tidak akan ku sia-siakan satu formula yang telah di berikan wanita itu kepadaku ... Ini harus segera selesai, bagaimanapun caranya!."
Beberapa hari kemudian ....
*BOMM!*
Ledakan keras terdengar di setiap sudut lorong labolatorium.
Sekumpulan pasukan teroris menyerbu tempat itu dengan cepat di tengah teriknya panas sinar matahari. Semua pasukan bergerombol memasuki labolatorium dari berbagai tempat layaknya semut.
Suara sirine langsung melolong dengan keras ke setiap sudut ruangan labolatorium.
"Cepat amankan dan kuasai tempat ini. Cari profesor yang bernama Ariel Lzefont!. Tanyakan kepada semua orang yang berada di tempat ini ... Jika mereka semua tidak bisa menjawabnya, Aku izinkan kalian untuk membunuh semua orang yang berada di tempat ini!."
"Okay!."
Suara langkah kaki pasukan teroris yang menggelegar merincuhkan tempat itu dengan cepat. Semua staff dan penjaga labolatorium panik kocar kacir seraya melarikan diri.
Ariel yang menyadari hal itu langsung berlari ke ruangan lain untuk menemui Lucia.
Ruangan hening, sejauh dari tempat ledakan itu terjadi. Lucia sedang terduduk manis seraya menuliskan formula di atas meja miliknya.
Pintu terbuka.
".... Lucia?!" Ariel menghampirinya.
"Ada apa?. Kenapa terburu buru seperti itu?. Ka-kau ... Rindu kepadaku, ya?"
Lolongan sirine terdengar.
"Kita tidak punya waktu. Ayo kita pergi dari tempat ini sekarang juga!"
"Eh ...?. Tunggu sebentar."
Ariel langsung menarik tangan Lucia dan membawanya pergi dari tempat itu. Mereka berdua terus melewati lorong panjang dan berbelok ke arah kanan.
*BOM!*
Seketika, langkah kaki mereka berdua terhenti sebelum berbelok ke arah kanan karena ledakan itu.
"Ahhhhh ...."
"Tolong jangan lakukan itu ...."
Semua staff lari kocar kacir terlihat dari arah sisi kanan. Lucia dan Ariel melihat kejadian itu di balik dinding lorong tembok.
"Aku mohon ... Jangan!."
Mereka lari dan mati tertembak oleh rentetan peluru yang membunuhnya dari arah belakang.
"Semuanya berpencar!. Cepat cari orang itu!"
".... Apa yang sebenarnya terjadi?. Kenapa para teroris tiba-tiba berada di tempat ini?. Apakah kita melakukan kesalahan besar yang membuat mereka melakukan hal ini?"
"Tidak, aku tidak tahu kenapa mereka tiba-tiba berada di sini ... Aku hanya melihat CCTV yang berada di gerbang utama. Semua ruang penelitian telah di hancurkan dan di amankan oleh mereka."
"Sigh ...." Lucia melihat ke arah teroris dari balik tembok. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Hmmmmmm ... Tunggu sebentar ...." Mengintip, melihat ke arah teroris yang sedang berjalan menelusuri lorong itu.
Lalu ....
Seorang perempuan dengan polos keluar dari arah pintu depan lorong tempat Ariel dan Lucia mengintip. Perempuan rambut pendek yang mengenakan kacamata bundar mata panda melihat Ariel dan Lucia tepat berada di hadapannya.
Perempuan polos yang baru terbangun dari tidur panjangnya.
Mengusapkan kedua matanya. ".... Eh?. Apa yang kalian lakukan?"
"Sena ... Bisakah kau pelankan suaramu itu?"
"Keras kan suaraku ...?"
"Pelankan suaramu ... Sssstttttt ...."
"Baiklah ...." Mengangguk, jawab nada datar. "Tapi, kalian sedang mengintip apa?. Kalian sedang main petak umpet, ya?"
Sena penasaran dan melangkah maju untuk melihat lorong yang berada di sebelah kanan.
"Eh ...?. Kenapa ada banyak pria yang mengenakan pakaian hitam dan senjata serbu?" Menunjukkan tangannya dan bertanya seraya melihat Ariel dan Lucia.
Dan ....
*BANG!*
Satu peluru melesat cepat mengenai kepalanya yang polos dengan tatapan mata melotot yang membawanya kepada kematian terlihat jelas di hadapan Ariel dan Lucia.
"Sena ...?" Ariel mengulurkan tangannya.
Disusul dengan rentetan peluru yang menghancurkan seluruh badannya secara mengenaskan.
"...!!!"
"Periksa tempat itu!. Sepertinya ada seseorang di sana!."
"Gawat ... Sepertinya kita akan ketahuan ... Ayo kita pergi!."
"Ta-tapi ... Sena ..?" Perasaan Lucia terkoyahkan dengan tatapan wajah melotot karena melihat sena mati dihadapannya secara mengenaskan.
Ariel langsung memegang wajahnya. "Apa yang kau pikirkan ... Sena sudah mati!."
".... Sena..?" Menunjuknya.
"Sigh .... " Ariel langsung membawa Lucia kabur dengan paksa meninggalkan sena yang telah mati.
.
.
**************