Chereads / Dalam Pelukan Sekretaris Tampan (BL) / Chapter 25 - 25. Usual Struggle (3)

Chapter 25 - 25. Usual Struggle (3)

"Mampir dulu di apotek," pinta Haris.

Namun Hasan malah mempercepat laju kendaraannya. Haris menghela nafas saat kendaraan yang mereka naiki, akhirnya memasuki kompleks apartemen dan berhenti di tempat parkir yang biasa.

"Ayo, turun," perintah Hasan dengan suara tenang. Sekaligus terdengar lebih seram di telinga Haris.

Haris yang malas bertengkar dan berbantah-bantah, menurut saja saat pemuda itu menggiringnya masuk.

Begitu pula saat di dalam apartemen, Hasan mengamati sambil terus menyuruh duda itu melakukan ini itu. Mencuci muka, tangan dan kaki. Lalu mengganti baju dengan pakaian yang nyaman.

"Berbaring," perintah Hasan, bahunya bersandar pada kusen pintu kamarnya yang didominasi warna biru dan hitam. Berbeda dengan kamar Niar yang dominasi putih dan biru pastel.

Haris naik ke atas kasur, dan membuat dirinya senyaman mungkin disana.

"Aku belum minum obat," ujar Haris saat Hasan akhirnya mendekat dan meletakkan telapak tangannya di dahi.

"Nanti saya belikan. Selain mual apa lagi?" nada Hasan berubah lembut, sangat berbeda dibanding saat mereka baru pulang.

"Nyeri," jawab Haris singkat.

"Baik. Sekarang Pak Haris beristirahatlah yang tenang." Sebelum pergi, Hasan menepuk pelan abdomen Haris.

Haris kembali menghela nafas panjang. Siapa mengira pemuda yang selalu tenang dan kalem itu juga bisa berwajah menakutkan.

Tidak, justru sebaliknya. Hasan sebenarnya tampak mengintimidasi dengan tubuhnya yang tinggi besar dan sorotan mata tajam. Hanya saja, sekretarisnya itu sering tersenyum dan bersikap ramah. Sehingga kegarangannya jarang terlihat.

Berbaring di kasur pada jam kerja membuat pikiran Haris melayang kemana-mana. Tentang sekolah Niar yang sudah dia pilih, tapi belum bicara langsung dengan staff disana. Tentang keadaan ibunya, sudah bisa duduk atau belum. Lalu tentang Hasan.

Hasan yang berubah dari sekretaris, menjadi sugar daddy. Hasan yang membuatnya lupa diri dan hilang kendali.

Qumar Siddik AlHasani...sebenarnya, apa yang kamu inginkan?

.

Sewaktu Hasan kembali setelah membeli obat, wakil direktur itu sudah terlelap. Dia pun meletakkan obat di meja kecil, di tepi tempat tidur.

Pemuda itu lalu menyiapkan panci dan air panas. Saat ini dirinya hanya sempat membuatkan bubur instan. Hasan juga menambahkan nasi, agar lebih padat dan tidak terlalu asin.

Bubur itu dia letakkan dekat kantong berisi obat, bersama sendok dan sebotol air minum.

Hasan hendak memeriksa lagi keadaan Haris ketika ponselnya berdering. Nama yang tertera di layar langsung merusak suasana hatinya. Dia menekan tombol silent sambil berjalan keluar kamar, terus ke ruang tamu.

Barulah dia menerima panggilan tersebut.

"Apa?" tanya Hasan ketus.

"Hasan... Ny. Husni memesan penerbangan ke Surabaya."

Jelas itu bukan jawaban yang Hasan inginkan.

"Hentikan dia, Dhika. Kamu tahu kalau Abi bisa marah," perintah Hasan sambil mempercepat langkahnya menuju parkiran.

"Pak Altaf sudah berusaha mencegah. Mereka bertengkar," ujar Dhika.

"Terima kasih, Dhika," ujar Hasan sebelum menutup telepon dan menghentakkan kakinya keras-keras. "Aargh!!"

Pria muda itu lalu masuk ke dalam mobil dan menyetir ugal-ugalan. Sebentar saja, dia sudah sampai di gudang yang harus diinspeksi.

Tujuan kali ini hanyalah untuk memastikan kalau salah satu aset bangunan mereka masih bagus dan layak pakai. Tentu saja termasuk memeriksa bagian-bagian yang rusak dan anggaran renovasinya sudah diajukan lebih dulu.

Meski selesai lebih awal dari perkiraan, tetap butuh waktu selama dua jam penuh. Saat Hasan melihat ke ponsel, sudah jam 4 sore. Dari tempatnya sekarang, masih tidak sempat untuk menjemput Niar.

Di dalam mobil, Hasan menghubungi nomor tempat penitipan.

"Halo, selamat sore. Saya Hasan, paman dari Niar," sapa Hasan. "Iya, Pak Haris sedang sakit dan posisi saya masih di Sidoarjo. Jadi baru sampai sekitar jam5 atau jam6..."

"Begitukah? Oh, baik. Baik, terima kasih banyak. Baik, Bu. Selamat sore," sapa Hasan lagi. Setelah menutup telepon, dia segera menghubungi ponsel atasannya.

"Hasan?"

"Pak Haris. Bagaimana keadaan Bapak?" tanya Hasan. Tangan kanannya menyalakan mesin. Kini, dia bisa mengendarai dengan tenang.

"Sudah lebih baik, tapi aku akan sangat menghargai kalau lain kali kamu..."

"Apa, Pak? Suara Pak Haris terlalu pelan," tanya Hasan dengan senyum lebar di wajahnya.

"Lain kali jangan melakukannya sampai kelewat batas!" bentak Haris.

Hasan tertawa kecil, dia bisa membayangkan, wajah pria itu yang merah karena kesal bercampur malu.

"Pikirmu ini guyonan, hah?!" bentak Haris lagi.

"Tidak, kalau Pak Haris sudah bisa teriak-teriak berarti memang sudah baikan," sahut Hasan dengan suaranya yang berat dan kalem.

"Oke..." sahut Haris pelan, dan ogah-ogahan. Berbanding terbalik dengan sebelumnya. Mungkin untuk menutupi perasaannya saat itu.

"Baiklah, saya tutup dulu teleponnya. Sebentar lagi masuk tol," ujar Hasan. Dia menunggu hingga telepon ditutup oleh Haris. Selanjutnya, dia menghubungi nomor yang lain.

Hasan hanya menunggu beberapa deringan sebelum ponselnya diangkat.

"Hasan!" panggil suara wanita di seberang dengan penuh antusias dan kegembiraan.

"Halo, Mi," sapa pemuda itu, diikuti helaan nafas panjang.

"Hasan..sayang... Mami kangen..."

Pemuda itu menutup mata sekejap untuk mengumpulkan ketahanan mental. Inilah salah satu sebab Hasan enggan tinggal di rumah.

"Bagaimana kabar Mami?" tanya dia semanis mungkin. "Aku juga sangat kangen Mami."

"Tidak bagus, Sayang. Jantung Mami sakit memikirkan kamu."

Jarang ada kesempatan dimana Hasan bisa merasa malu. Tapi setiap kali, Maminya selalu berhasil membuatnya kehilangan muka.

Hasan sudah akan menutup telepon kalau bukan karena ada perlu dengan beliau.

"Aku ada rencana pulang, akhir pekan ini. Mami ada di rumah 'kan?"

"Eerr.. sebenarnya Mami sudah beli tiket..."

"Bagus. Aku sudah kangen masakan Mami," potong Hasan. "Satu set masakan padang buat siang. Malamnya parata pakai gulai kacang hijau, kambing guling dan iga bakar. Buat sarapan, bubur campur madura. Mami bisa 'kan?"

"Itu.. "

"Baiklah. Makasih banyak, Mi. Aku tahu kalau bisa mengandalkan Mami. Aku akan pulang akhir pekan ini. Sampai jumpa." Hasan menutup telepon tanpa memberi Maminya kesempatan bicara.

Untuk sementara, urusan keluarganya beres. Sekarang dia bisa fokus pada seseorang yang sedang berbaring di apartemennya.

.

Sore itu, Haris sedang duduk di sebelah Niar yang belajar menulis di meja tamu. Sesekali, duda itu memberi contoh yang baik pada putrinya.

"Ikuti titik-titik kecil itu, biar tulisanmu rapi," saran Haris.

"Tapi banyak, Yah..." keluh gadis kecil itu.

"Tidak apa, kalau sering menulis, nanti Niar cepat ingat. Cepat membaca," dukung duda itu dengan senyum lembut.

Niar mengikuti perintah ayahnya dengan baik, meski bibirnya maju karena cemberut. Menuliskan angka yang sama berkali-kali sungguh membosankan. Dia ingin segera bisa membaca.

"Sabar, ya, Niar. Memang harus sabar kalau belajar. Atau coba Niar tulis disini," telunjuknya terarah pada tempat kosong diantara 'angka dengan titik panduan'.

"Niar tulis angkanya, ga pakai titik-titik. Nih, lihat, Ayah nulis angka. Mirip 'kan, sama contohnya? Sekarang, gantian Niar yang coba."

Gadis kecil itu mencoba dan terkejut karena tulisannya jauh berbeda dari yang diharapkan. "Kok gini..."

"Makanya, ayo tulis terus sampai mirip. Gini, ada caranya... Buat angka dua, Niar bikin mangkok yang tumpah. Isinya jatuh di lantai. Nah, sudah jadi angka dua!"

Hasan yang mendengar penjelasan Haris saat membuka pintu, geleng-geleng kepala. Sering kali orang bilang untuk membayangkan bebek saat membuat angka dua.

Tapi jika dipikir lagi, penjelasan Haris cukup masuk akal. Mungkin sulit, bagi seorang anak kecil memproyeksikan image bebek pada angka dua. Selain jarang melihat bebek secara langsung, juga terdengar seperti para anak kecil harus bisa menggambar bebek sebelum mahir menulis angka dua. Logikanya terbalik, dan tidak masuk akal.

"Hasan, kamu sudah pulang," sapa Haris ketika melihat pemuda itu.

Hasan berjalan mendekat dan menempelkan telapak tangannya di dahi Haris. Demamnya sudah turun dan kulitnya tidak berkeringat dingin seperti tadi. Saat Hasan perhatikan lagi, kaosnya juga sudah ganti. Mungkin basah kena keringat.

"Iya. Pak Haris mau makan apa nanti malam?" tanya Hasan sambil meletakkan barang-barang yang dibawa ke tempatnya masing-masing.

"Tidak perlu, aku masih tidak selera makan," tolak Haris halus.

"Hmm, kalau begitu akan saya buatkan mie kuah saja. Pak Haris harus cepat sembuh, oke?"

"Ayah sakit?" Niar berbalik ke arah ayahnya yang bersandar di sofa. Kaki dan tangan kecilnya memanjat tubuh Haris yang duduk lemas.

"Sebentar lagi sembuh," jawab duda itu.

Mata Niar lalu terarah pada Hasan yang masuk ke dalam kamar, untuk berganti baju. Gadis cilik itu lalu berbisik pada Haris.

"Ayah nanti bubuk sama Om Hasan lagi?"

Pertanyaan Niar yang tiba-tiba itu membuat Haris terkejut setengah mati.

"Eh, kenapa nggak sama Niar? Niar nggak mau bubuk sama Ayah?" tanya Haris berusaha mengalihkan perhatian.

"Kakek biasanya bubuk di luar, tapi pas Kakek sakit, biasanya bubuk sama Niar, sama Nenek di kamar. Dibawain makan ke kamar," lanjut Niar memberi penjelasan.

Haris memeluk anak gadisnya itu. Saat dia harusnya hanya belajar dan bermain, Niar sudah mengkhawatirkan keadaan orang-orang di sekitarnya. Mengkhawatirkan Kakek, Nenek, dan Ayahnya.

"Pak Haris nanti tidur sama Niar, soalnya bukan penyakit menular," sahut Hasan yang kini memakai kaos dan celana pendek. Menunjukkan bentuk tubuhnya yang semampai dan sangat sehat dengan otot-otot kuat.

"Jadi Om Hasan juga bubuk di kamarnya Niar buat jagain Ayahnya Niar, boleh?" tanya Hasan.

What?!?! Apa-apaan lagi Hasan ini?!

.

.