Hasan bermain aman pada hari-hari pertama dia bekerja. Seperti anggapan banyak orang lain, dunia kerja sangat berbeda dibanding dengan saat kuliah. Saat ini, dia sedang berjuang agar bisa melakukan tugas yang diserahkan padanya dengan baik.
Seperti membuat kopi instan pakai dispenser air panas, mengoperasikan mesin fotokopi sendiri. Membantu karyawan lain melakukan tugas mereka, input data, dan mencetak dokumen. Dan segudang hal lain.
Sebulan setelah bekerja, Hasan merasa dongkol karena gagal saat berusaha mendekati Haris. Bukan hanya jarang berada di kantor, atasannya itu selalu fokus pada dokumen yang menumpuk. Haris juga jarang makan siang bersama yang lainnya.
Jika ada yang mengajak wakil direktur itu bicara, hanya seputar pekerjaan. Sama sekali tidak ada celah baginya. Dedikasi Haris pada pekerjaannya, malah terlihat keren di mata Hasan.
Hari itu, saat jam kantor selesai, rekan seruangan mulai berpamitan satu demi satu.
"Kamu nggak pulang, San?" tanya Nisa sambil memakai tas ransel.
"Sebentar lagi," jawab Hasan sambil melirik ke arah Haris.
"Oke. Aku duluan," sahutnya sambil berlalu. "Pak Haris, aku duluan, Pak."
"Iya, Nisa. Sampai besok," jawab Haris.
Wanita itu spontan tertawa. "Yah, Pak Haris kalo mau kerja hari minggu, ajak yang lain aja, Pak. Saya ogah."
Nisa lalu melambaikan tangan sebelum menutup pintu ruangan di belakangnya.
"Hahahaha.." pria itu ikut tertawa kecil. Haris lalu menoleh ke ruangan yang mulai sepi. Matanya beradu dengan Hasan yang masih duduk di belakang meja. "Kamu nggak pulang juga?"
Hanya tinggal mereka berdua di ruangan itu.
"Ada data yang belum selesai saya masukkan," jawab Hasan.
"Nggak apa, malam minggu kerja lembur? Lewat jam 6 nggak ada uang tambahan loh." Haris meregangkan punggung dan tangannya yang pegal.
"Pak Haris juga masih disini," elak Hasan. Dia sedikit penasaran, bagaimana kelanjutan pertengkaran suami-istri hamster malam itu.
Namun mata Haris yang berbinar, membuat Hasan punya firasat buruk.
"Mumpung masih muda! Ayo kita kerja yang giat dan kumpulkan uang yang banyak!" seru wakil direktur itu.
Karena setelah itu perhatian Haris kembali ke pekerjaan, Hasan pun melakukan hal yang sama.
Jam 7 malam, Hasan yang sudah sangat penat, memutuskan berhenti.
"Pak, sudah jam 7. Pak Haris mau lanjut lembur atau pulang?" tanya Hasan, sekedar formalitas.
"Tidak ada bedanya mau pulang nanti atau sekarang," gumam Haris.
"Maaf, Pak?"
"Ah, bukan apa-apa. Kamu sudah selesai? Ayo, aku traktir makan malam." Haris merapikan mejanya dan mematikan komputer.
Hasan melakukan hal yang sama dengan lebih lambat. Badannya lumayan kaku. Karena sibuk dengan pekerjaan barunya, dia jadi jarang berolahraga. Dan berkumpul bersama teman-teman biasanya. Semua gara-gara Haris alHamster.
Jika ada satu hal positif yang Hasan dapat, hanyalah jumlah uang yang menumpuk. Sejak mempercepat studi dan bergabung di perusahaan ini, dirinya hampir tidak nongkrong. Semua uang sakunya di rekening, utuh tak tersentuh. Cukup untuk membeli sebuah rumah kecil yang imut di pinggir kota.
Hasan mulai berpikir kalau yang dia lakukan hanyalah kebodohan demi memuaskan ego. Selain bekerja keras dengan gaji rendah, Hasan tak juga mendekati tujuannya untuk menaklukkan Haris. Dia juga tidak tahu bagaimana membuat pria itu bertekuk lutut padanya.
Mungkin Hasan akan membuka jati diri sebenarnya, dan membuat pria membosankan itu menyesal tidak menjilat kaki Hasan lebih awal.
..
Pemuda berkulit eksotis itu tidak berharap banyak saat Haris mengajaknya makan malam di luar. Dia tidak yakin kalau makan angkringan pinggir jalan, bisa disebut sebagai makan malam.
"Bapak pelit juga, ya. Masak nraktir makan angkringan," komentar Hasan saat mereka akhirnya duduk di lesehan.
Haris tersenyum lebar. "Kenapa? Kan banyak pilihannya. Daripada masuk resto mahal tapi ga doyan makanannya."
"Lagipula, kamu juga nggak sungkan pesan ini itu," komentar Haris sambil menunjuk piring Hasan. Pria itu tidak menyangka intern baru itu pesan cukup banyak, hingga 2 piring penuh bakaran.
Hasan mulai melahap dari tusukan agar tidak usah membalas kata-kata atasannya. Perutnya juga sudah keruyukan sejak mencium aroma bakaran yang menggugah selera.
Setelah lambungnya sudah sedikit terpuaskan, Hasan mulai makan pelan-pelan. Sambil mengedarkan pandangan, ada banyak kelompok muda-mudi maupun keluarga yang makan bersama. Haris dan Hasan hanyalah dua orang yang berbeda, dengan kemeja dan sepatu pantofel.
"Istri Pak Haris nggak marah, pulang telat begini?" tanya Hasan. Dia masih penasaran dengan kelanjutan pertengkaran waktu itu.
Haris langsung mendongak dan menatap mata Hasan. Mulutnya yang masih mengunyah, gembung seperti hamster. Perlu cukup lama hingga pria itu menelan dan membuka mulutnya.
"Aku sudah pisah. Makanya tidak masalah mau pulang atau tidak," jawab Haris sedikit sinis. Jarinya memainkan tusuk yang kosong.
Awalnya Hasan tidak berniat apa-apa. Tapi melihat suasana hati Haris yang mendadak berat, dia jadi punya ide. Bukan sesuatu yang besar, tapi ini kesempatan bagus untuk tahu kelemahan pria yang duduk di depannya itu.
"Kalau begitu, habis ini Pak Haris ikut saya mau?" tanya Hasan.
Ketika Haris mendengarkan dengan penuh perhatian, pemuda itu melanjutkan. "Ke tempat saya biasa nongkrong."
..
Haris sedikit mental saat taksi yang mereka naiki berhenti di depan sebuah bar. Dia sempat berpikir kalau tujuan mereka ada di sebrang atau bangunan sebelah. Namun, saat Hasan melangkah ke pintu masuk, Haris menarik lengannya.
"Hei, kamu yakin ini tempatnya?" tanya Haris sedikit panik.
"Kenapa? Di dalam juga ada minuman non alkohol," ujar Hasan.
Haris memalingkan muka, "Aku nggak pernah ke tempat begini. Apa nggak mahal? Kita juga baru pulang kerja."
Dalam hati, Hasan tersenyum mendengar alasan Haris yang dibuat-buat itu. "Tadi saya sudah ditraktir. Gantian, saya yang traktir Bapak sekarang."
Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan untuk menggali informasi pribadi tentang pria itu. Dan menggunakannya di saat yang tepat.
Saat Haris masih tampak ragu, Hasan meletakkan tangannya di pinggang pria itu dan menuntunnya ke dalam. "Tidak apa. Ada saya juga."
Pikiran Haris tentang klub, agak berbeda dari tempat yang mereka masuki saat itu. Cahaya memang masih temaram, namun tidak ada musik berdentum dan orang yang berjoget di dalam kurungan yang digantung di langit-langit. Atau muda-mudi yang saling meraba sambil joget.
Hanya seperti kafe mahal dengan minuman bernama unik. Musik yang diputar pun jenis jazz yang menenangkan. Haris juga merasa nyaman duduk di sofa yang luas dan empuk, lokasi yang dipilihkan Hasan. Sementara pemuda itu ke counter untuk memesan minum.
"Permisi, apa Mas datang sendirian?" tanya seorang wanita cantik berpakaian seksi yang langsung duduk di sebelahnya.
"Oh, nggak. Sama teman," jawab Haris sambil menjaga jarak. Dia kuatir tangannya salah sentuh dan mengakibatkan masalah. Tapi wanita itu malah bergeser mendekat.
"Mau saya temani, Mas? Panggil aja saya Cici."
Haris jadi terpikir tentang film-film yang dia lihat. Dimana orang-orang dengan mudah merayu orang lain di klub atau bar, dan berakhir dengan one night stand.
"Maaf, Cici, tapi mungkin lain kali," ujar suara berat yang Haris kenal. Haris berusaha tidak membelalakkan mata saat Hasan menyelipkan lembaran merah di tengah lekukan dada wanita itu. "Kami ingin ngobrol santai berdua saja."
"Oh, okay, Mas Ganteng," sahut Cici dengan ceria dan segera beranjak dari sana.
Haris masih merasa canggung saat Hasan meletakkan beberapa jenis minuman di meja. Ukuran gelas bervariasi dan berwarna-warni, seperti produk yang dijual untuk anak-anak.
"Maaf agak lama. Saya nggak tahu selera Pak Haris," ujar Hasan yang kini duduk di tempat bekas Cici.
Mata Haris tertuju pada rambut Hasan yang sedikit acak-acakan dan kancing kemejanya yang dilepas sampai ke dada. Penampilannya yang lebih santai sekaligus garang, membuat Haris malah rileks.
Mungkin karena Haris merasa pemuda ganteng di sebelahnya terasa akrab. Aneh, padahal Haris jarang berkomunikasi dengan intern di ruangan kerja mereka.
.
.