Chereads / Dalam Pelukan Sekretaris Tampan (BL) / Chapter 34 - 34. Bias Pandangan (2)

Chapter 34 - 34. Bias Pandangan (2)

Dalam perjalanan ke bandara, Hasan kembali badmood.

Selama Haris sakit, Hasan sudah merawatnya dengan baik agar mereka bisa segera melanjutkan aktivitas malam hari. Tapi Niar malah menyuruhnya sejauh mungkin dari duda itu. Bahkan atasannya itu juga mengancam tidak mau tidur lagi dengannya. (*Haris tidak bicara begitu)

Dia kesal karena logika dan keinginan hatinya tidak sejalan. Mirip seperti waktu itu, ketika dia akhirnya memutuskan untuk membuat Haris membayar perbuatannya. Hanya gara-gara tidak mengenali Hasan yang sudah mengantarnya pulang setelah 4 jam perjalanan.

Hasan tidak tahu lagi harus berpikir bagaimana. Tidak ada yang beres dengan dirinya selama menyangkut wakil direktur itu.

Hal yang sama terjadi lagi. Pemuda itu bisa menyalahkan rasa frustasinya akibat jarang menyalurkan hasrat sejak bekerja disana.

Menyebabkan dia hilang akal saat melihat tubuh Haris dengan baju transparan akibat ketumpahan kopi. Dan saat dia membawa baju ganti di kamar mandi, badan Haris yang montok langsung memicu libidonya. Hingga dia lepas kendali dan masturbasi di atas pria itu.

Hilang sudah tujuan awalnya dulu mendekati Haris. Oh, Hasan masih ingin membanting pria itu, tapi di tempat tidur sebelum menghujamkan miliknya ke lubang belakang Haris. Lalu menyemburkan benihnya di bagian terdalam, agar wakil direktur itu tidak sampai lupa. Bahwa tubuhnya adalah milik Hasan.

Dan semenjak tinggal bersama, Hasan merasa seperti istri pencemburu yang selalu ingin ikut kemana suaminya pergi. Yang clingy dan selalu horny.

Hasan menghela nafas panjang sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dia merasa sangat buruk, tidak dapat mengendalikan perasaan dan pikirannya.

Disaat yang sama, sedikit takut jika Haris membenci dan memandang rendah dirinya yang seperti ini.

Bagaimana jika Pak Haris tidak mau bersama denganku lagi? Beberapa hari terakhir, beliau bahkan menghindar dengan selalu kerja lembur di rumah.

"Maskapai B-Air dengan nomor penerbangan JT-987 tujuan Lombok, NTB akan segera berangkat. Harap para penumpang-"

Hasan menengok ke arah antrian yang mulai terbentuk di salah satu pintu ruang tunggu. Jika bukan karena untuk mencegah kedatangan Maminya, Hasan sangat enggan pergi.

Namun dia harus melakukan ini. Lagipula, siapa tahu jika nanti atasannya itu akan (sangat) merindukan dirinya.

Dengan perasaan yang lebih ringan, Hasan melangkah ke ekor antrian. Sosoknya yang tinggi semampai dengan kaos turtleneck ketat hitam yang ditutup jas coklat, dan celana hitam, menjadikannya pusat perhatian. Senyum bahagianya, saat dia membayangkan Haris menantikan kepulangannya, membuat beberapa gadis klepek-klepek.

..

Seusai mendarat, malam itu juga Hasan menuju rumah peristirahatan yang ditempati keluarganya.

Sesampainya disana, suasana sudah sunyi. Hanya petugas security dan seorang pekerja yang membawakan koper Hasan ke kamar.

"Yang lain mana?" tanya Hasan.

"Bu Aaliya sudah istirahat duluan, Pak. Bu Husni dan yang lain juga," jawab pelayan itu sopan. "Apa ada lagi yang saya bantu, Pak?"

"Nggak. Sudah."

"Kalau ada apa-apa, saya di kamar dekat dapur," pamit pelayan itu sebelum pergi.

Hasan mengecek ponselnya. Tidak ada pesan dari Haris. Dia lalu melempar ponsel itu ke kasur sebelum melucuti pakaian dan berjalan ke kamar mandi.

Mumpung disini, dia ingin melepaskan kepenatan dan menikmati waktu dengan bersantai.

..

Sarapan hanya berdua dengan Niar, sedikit terasa aneh bagi Haris. Begitu pula saat tidak ada teman ngobrol di perjalanan menuju kantor.

Haris berharap dengan banyaknya dokumen yang perlu direview, rasa sepinya akan berkurang. Dengan kepercayaan diri yang baru, Haris duduk di kursi kantornya yang biasa.

"Hasan, apa bagian keuangan sudah ada laporan pajak yang siap di ajukan?" tanya Haris. Saat tidak ada jawaban, dia kembali memanggil sekretarisnya itu. "Hasan?"

"Hasan libur, Pak," jawab Ika.

"Oh, iya," sahut Haris sambil tertawa kecil.

"Hasan hampir nggak pernah libur, jadi rasanya aneh, ya, Pak?" Nisa berpendapat.

"Memangnya kenapa Hasan libur, Pak? Kayaknya kemarin masih sehat," sahut Ika yang ikutan nimbrung.

"Katanya ada urusan keluarga," jawab Haris.

"Apa liburan bareng yayangnya kali, ya? Apalagi kalau berangkat mulai jumat, ada waktu 3 hari," celoteh Ika.

Untuk alasan yang tidak Haris tahu, perkataan gadis itu seperti menusuk nalurinya.

"Iya, Ika. Aku biasanya juga ambil cuti sabtu, kan keitung cuma cuti stengah hari," imbuh Budi. "Jadi gaji nggak kepotong banyak-banyak."

Nisa tidak ikut berspekulasi, dia lebih tertarik melihat reaksi atasan mereka. Pria itu jelas sekali kalau memaksakan tersenyum. Mungkin hubungan keduanya lebih jauh dari yang Nisa kira.

"Kalau begitu, besok senin pas Hasan sudah masuk, ayo kita roasting bareng-bareng! Puhehehehe," lanjut Ika. Nisa geleng-geleng dengan tingkah temannya yang sok ikut campur urusan orang.

Mata Haris tertuju ke ponsel. Masih belum ada kabar dari pemuda itu.

..

Hasan mengetuk-ngetukkan jari di meja. Dia duduk di sudut ruangan sementara anggota keluarga perempuannya yang lain, sibuk berdandan. Pikiran pemuda itu tidak jauh dari tempat kerja dan atasannya.

"Urrgh, kalau kamu hanya akan mengganggu, kembali sana ke kamarmu!" protes Dhana, anak ke-3.

"Dhana, sudah bagus Hasan mau datang kesini, jangan diusir, ya," rayu Ny. Husni.

"Tapi dari tadi dia cemberut mulu, Mi. Pas sarapan juga," lanjut Dhana ketus.

Kali ini, dahi mulus Ny. Husni ikutan berkerut. "Dhana tidak sepenuhnya salah. Hasan, kamu minta dimasakin macem-macem sama Mami tapi kenapa makanmu tetap rewel?"

Dhana hanya menjulurkan lidah ke arah Hasan, saat adik lelakinya itu menatapnya jengkel. "Aku cuma agak ga selera aja, Mi. Mungkin jet lag."

"Naik pesawat sebentar aja pakai ngeluh jat lag segala," timpal Dhana berusaha memanaskan suasana. "Memangnya umurmu masih 5 tahun?"

"Mbak Dhana! Kalau nggak tahu apa-apa jangan ikut campur," sergah Hasan. Kata-katanya yang kasar mengejutkan Ny. Husni dan Dhana.

"Hasan, kamu boleh jengkel, tapi jangan bicara kasar sama orang yang lebih tua," tegus Aaliya yang dari tadi hanya mendengarkan.

"Iya 'kan? Makanya ajaib Mas Hasan belum keluar dari kerjaannya yang sekarang," kali ini giliran Jasmine, yang paling muda.

Meski matanya terarah ke ponsel, mulutnya tidak berhenti bicara. "Aku jadi penasaran sama tempat kerja Mas Hasan."

Hasan memutar mata sambil mendengus. Belum juga sehari dia sudah ingin pergi sejauh mungkin dari keluarganya. Orang-orang yang sok perhatian dan selalu ikut campur.

Dia berdiri dan berjalan keluar ruangan saat dia melihat sosok kakak laki-lakinya di luar sana sedang berbicara dengan Dhika, asisten utama keluarga.

Kaki Hasan langsung berbelok dan kembali ke tempat duduknya. Untung kakaknya, Ashraf, berdiri membelakangi. Sehingga pandangan mata mereka tidak sampai bertemu.

Di kursi yang dia duduki, Hasan berusaha agar tidak mencolok. Dan menekuk tubuhnya setinggi 183cm itu sekecil mungkin.

Ny. Husni hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah anak semata wayangnya itu. Wanita itu awalnya resah dengan perubahan mencolok pada Hasan setelah pertunangan Aaliya. Namun, Dhika yang mengikuti Hasan dari dekat, meyakinkan dirinya. Bahwa bahkan setelah bekerja, Hasan tidak lagi bergaya hidup hedon seperti saat kuliah dulu.

Aaliya juga mengatakan hal yang sama dengan Dhika, sehingga Ny. Husni lebih tenang. Tapi, pertanyaan lain muncul, karena Hasan begitu betah bekerja dengan gaji kecil dan jam kerja di luar nalar. Dan sikap baiknya di kantor langsung hilang begitu balik ke rumah.

Seolah-olah...

Seolah-olah Hasan sedang menjaga image di depan seseorang. Apa mungkin anaknya itu sudah menaruh hati pada rekan kerjanya?

Ny. Husni terkesiap.

Semuanya kini menjadi masuk akal.

Ibu dari lima anak itu tersenyum lebar. Sudah lama dia menantikan momen ini. Bocah badung itu bertahan bersikap baik selama bertahun-tahun..menunjukkan bahwa Hasan serius dengan kekasihnya sekarang.

Hasan melirik dari sudut mata, Asraf melangkah menuju tempat mereka berkumpul. Enggan berurusan dengannya, Hasan menuang teh dan segera meminumnya. Agar dia ada alasan untuk tidak menyapa atau bicara dengan Asraf.

"Hasan, kapan kamu mau kenalkan pacarmu ke Mami?" tanya Ny. Husni tiba-tiba.

Seketika, teh yang ada di mulut Hasan bingung mau masuk atau keluar. Akibatnya, sebagian tersembur keluar, sebagian lagi menyangkut di tenggorokan.

"Uhuk! Uhuk! Ughuk! Pacar apaan, Mi?!" teriak Hasan dengan wajah merah.

.

.