Ini bukan pertama kalinya bagi Haris untuk melepas celana di depan Hasan. Namun mood yang aneh diantara mereka, membuat Haris khawatir sekaligus lebih terangsang dari biasanya.
Mungkin karena mata hitam Hasan yang menatapnya lekat-lekat. Mengamati setiap senti tubuhnya dengan seksama. Dengan intensitas yang bahkan melebihi saat pemuda itu di kantor.
"Tidak apa," bisik Hasan sambil mengecup keningnya.
Haris menyandarkan diri di dada bidang pemuda itu. Bahkan seandainya Hasan berbohong pun, Haris akan tetap percaya padanya. Tubuh Hasan yang hangat dan kokoh, tak tergoncang oleh apapun.
Jika bukan karena tongkat milik Hasan yang berdiri dan menyundul pusarnya, Haris tidak akan tahu kalau pemuda itu juga sama terangsangnya seperti dia.
Wakil direktur itu pasrah saat tangan kiri Hasan memeluk dan menstabilkan tubuhnya. Sementara tangan kanan pemuda itu, jari-jarinya mulai memasuki lubang milik Haris.
"Sudah aku bilang nggak ada," gumam Haris di bahu Hasan.
"Hmm, mungkin kurang dalam," bantah Hasan yang terus meraba-raba bagian dalam Haris.
Duda itu menahan getar di tubuh, saat jari Hasan menyentuh titiknya berkali-kali. Dia bahkan tahu kalau penisnya sudah mengeras dan mulai menetes.
"Ma..u sebe..ra.pa ahn~ da..lam?" tanya Haris yang nafasnya mulai pendek-pendek dan tidak teratur. Kepalanya terasa ringan.
"Sampai Pak Haris keluar lagi," bisik Hasan. Suaranya berat, serak dan dalam.
"Ah! Tapi Hasan, aku-!" Kata-kata Haris menggantung di udara bersamaan dengan tubuhnya yang mengejang dengan enak. Kenikmatan yang membalutnya dari ujung kaki hingga kepala.
Saat kabut putih yang menutup indranya dari dunia luar mulai menipis, Haris mendapati lengan Hasan yang merangkulnya dengan erat. Ada sedikit kekhawatiran dalam batin duda itu dengan banyaknya jumlah skinship diantara mereka. Sampai-sampai Haris merasa kalau dekapan pemuda itu adalah hal yang wajar dilakukan.
Gerakan menyundul di perut, mengalihkan perhatian Haris. Hasan jr. masih berdiri tegak, memberi ide pada Haris.
"Kamu masih keras," komentar duda itu.
"Hmm mm," gumam Hasan dengan mata tertutup. Dia mundur selangkah saat Haris memainkan batangnya, dari bawah ke atas, lalu ke bawah lagi.
"Nggak kamu masukkan ke aku?" kejar Haris.
"Nanti perut Pak Haris kram lagi, gimana?" Hasan balik bertanya sambil mendesah. Pemuda itu bertingkah imut dengan menyandarkan kepalanya di atas kepala Haris.
"Asal nyodoknya nggak terlalu keras.." usul Haris dijawab denyutan bersemangat Hasan jr. di bawah sana.
"Gimana lagi, didalam Pak Haris sangat enak," ujar Hasan. "Saya juga sulit menahan diri sebenarnya."
Haris merasa wajahnya memanas dan jantungnya berdegup kencang saat memikirkan balasan untuk sekretarisnya. Dia pun berbisik pelan, "Aku juga."
Hasan yang tidak mendengar dengan baik karena gerakan tangan Haris yang tidak berjeda, membuka mata dengan malas.
"Hmm? Bapak bilang apa?" bisik Hasan.
Denyut jantung Haris makin keras saat dia memberanikan diri mengatakan perasaannya. "Aku juga enak waktu kamu ada di dalam sini."
"..."
Haris menunggu Hasan mengatakan sesuatu. Atau melakukan sesuatu, selain tongkatnya yang makin kaku dan besar. Tapi pemuda itu diam saja, sehingga Haris mendongakkan kepala untuk melihat wajah pemuda itu.
Haris separuh menduga kalau Hasan akan memandangnya dengan buas. Bukan sekali dua kali mata hitam Hasan tampak ganas saat dia terangsang. Tapi, mata hitam itu terlihat lebih seram saat ada seringaian di bibirnya.
Bajul! Aku sudah membangunkan buaya tidur!
"Ah! Badanku lengket semua, aku mau mandi dulu," seru Haris secepat mungkin sambil berusaha lepas dari pelukan Hasan.
"Pak Haris mau kemana?"
"Aku sudah selesai!!" teriak Haris sambil melepaskan diri.
"Mau kabur? Khehehehe...tidak semudah itu..." desis Hasan.
"Tidak! Aku bercanda! Lepaskan!"
"Hmm, setelah memprovokasi saya, jangan harap bisa kabur semudah itu!!"
"TidAAAAAaaaa~~~k!!!!"
..
Selagi menunggu Haris yang menghabiskan waktu dengan ayahnya, Hasan celingukan di dalam kamar. Tidak ada pekerjaan atau benda-benda yang bisa mengalihkan perhatian. Dia khawatir kalau sembarangan membongkar barang di kamar, akan memberi kesan buruk pada dirinya.
Hanya tinggal telepon genggam di tangan. Hasan lalu teringat dengan percakapannya dengan Dhika. Pria itu bukan sekali dua kali ini saja membantunya. Bahkan jika Dhika mengatakannya dengan ketus dan tegas.
Selain Dhika, orang yang bisa membantunya saat ini...
Hasan pun menelepon Aaliya dan menjelaskan sebagian persoalannya.
"Pertama, pastikan kalau dia benar-benar menyukaimu. Kalian sudah sejauh mana?" ujar Aaliya.
"Kami sudah tidur-"
"Oke, TMI," potong kakaknya.
"Tapi aku nggak yakin kalau dia tidur denganku karena terpaksa atau memang dia mau," lanjut Hasan tidak peduli dengan serangan mental yang diterima kakaknya.
"Duh! Kalau memang mau, ya mau! Kalau nggak, ya nggak! Nggak ada terpaksa mau kecuali kamu ngancam pakai anaknya!" Aaliya terdengar makin gusar.
Hasan tidak membalas karena dia memang setengah mengancam saat itu.
"Kalau kamu yakin perasaan kalian sama, kamu harus segera kasih kejelasan. Kalau kamu nggak segera memberi komitmen atau ikatan yang pasti, mereka nggak akan bertahan lama. Karena umumnya buat mereka, anak nomer 1."
Hasan tidak tahu komitmen macam apa yang bisa dia berikan. Mungkin dengan memastikan mereka tidak akan pernah kekurangan secara finansial.
"Mbak Aaliya, aku harus mandiri secepatnya. Aku juga yakin Papi dan Mami akan sulit merestui kami."
Di tempatnya, kepala Aaliya mendadak pusing. Hasan sering membuat masalah besar. Tidak peduli bagaimana Mami selalu menutupi kesalahannya hingga sekarang, Aaliya ingin mencuci tangan kali ini.
Adiknya itu tidak pernah seserius ini dalam mengejar sesuatu, dalam menjalani hidup dan pekerjaan. 4 tahun bukan waktu yang singkat. Aaliya juga tidak yakin obsesi adiknya akan berakhir dalam waktu dekat.
Tapi restu orang tua mereka juga hal yang sangat penting.
SANGAT PENTING!!
"Belajarlah ke Asraf. Buktikan kalau kamu bisa mandiri ke Papi dan Mami. Kalau kamu sudah jadi manusia yang lebih baik berkat pasanganmu."
"Tapi gimana aku bisa ngasih komitmen kalau harus belajar dari Asraf?! Itu berarti aku harus pergi?!" seru Hasan tidak terima.
"Itu...kamu pikirkan saja sendiri," sahut Aaliya yang lalu menutup sambungan.
"Hei! Mbak Aaliya! Mbak Aali-! Ah! Sialan!" Hasan melempar ponselnya dengan kesal.
.
Hasan memandang sosok Haris yang tengah tidur di sampingnya.
Pria yang telah mencuri perhatiannya dengan telak.
Tidak ada gunanya menyangkal dan membohongi perasaannya.
Bahkan suara dengkuran duda itu, terdengar manis di telinganya. Cuping hidung beliau yang kembang kempis tanpa sadar, atau seutas rambut tipis yang tumbuh di dagunya yang mulus. Semua tentang wakil direktur itu terlihat imut dan menggemaskan. Bahkan perutnya yang sedikit buncit karena tidak pernah berolahraga.
Hasan harus memastikan dahulu kalau pria di sebelahnya itu tidak akan kabur. Memiliki perasaan yang kurang lebih sama, dan punya komitmen yang sama tentang hubungan mereka. Dengan begitu, Haris akan mau menunggu kepulangannya.
Jika benar begitu, maka beberapa hari ini selama Niar berada di Malang, harus Hasan pergunakan baik-baik.
.
.