Ada rasa resah yang hilang saat Haris merasakan tangan Hasan di belakang kepalanya. Sentuhan yang familiar, sama familiar seperti gerakan lidah Hasan yang menjelajah sudut sensitif di rongga mulutnya.
Dan tangan lain yang tengah mendekap tubuh Haris erat-erat.
Semuanya itu, seperti sudah lama sekali sejak Haris merasakannya.
Wakil direktur itu lalu menarik wajahnya menjauh dari Hasan. Mata Hasan yang gelap, menatapnya dengan buas. Haris ingin ikut larut dalam panasnya nafsu yang terpancar dari mata Hasan.
"Nanti ada yang lihat," ujar Haris dengan hati yang berat seraya mendorong tubuh Hasan menjauh. Wajah dan tubuhnya terasa panas.
Kalau mereka ada di kamar Hasan, aku tidak keberatan menerkam- tidak! Tidak! Hentikan!! 😣
"Tapi saya masih kangen Bapak," rengek Hasan.
Sudut bibir Haris terangkat. Tidak menyangka hewan buas tadi bisa juga bersikap manja begini. Cute...
"Ehm, perjalanan masih jauh." Haris berdehem agar pikiran rasionalnya tidak mudah terpengaruh. Dia bahkan berbalik dan membuka pintu.
"Naiklah, biar aku yang setir," ujar Haris. "Barangmu cuma itu?"
Hasan mengangguk. "Minggu depan saya harus kembali lagi kesana."
Tidak berhasil merayu atasannya, Hasan pun menurut dan duduk di sebelah sopir. Tidak lama, mobil yang mereka naiki, kembali melaju di jalan tol.
.
Haris lega saat pemuda itu mau naik mobil dengan tenang. Dan tidak bertingkah aneh-aneh yang dapat mengganggu konsentrasinya.
Jantungnya masih berdebar kencang setelah ciuman panas di parkiran tadi. Untung saja, penerangan cukup remang-remang. Duda itu juga berharap tidak ada saksi mata yang mengambil gambar mereka lalu mengunggah ke sosmed demi sensasi.
Mata Haris melirik ke pemuda jangkung yang duduk di sebelahnya. Sesaat kemudian, pandangannya kembali terarah pada lalu lintas di depan.
"Keluargamu ruwet kenapa?" Ketika Haris sadar kalau pertanyaannya mungkin menyinggung, dia menambahkan, "Aku mungkin nggak bisa bantu banyak. Tapi aku bisa bantu dengar."
Hasan mengangkat kedua bahunya. "Saya hanya tidak cocok dengan mereka."
Jawaban Hasan terdengar seperti menutupi masalah besar. Berbagai skenario bermunculan, sebagian besarnya buruk.
"Apa kamu dibully saudaramu?" tebak Haris.
Hasan mengingat saudaranya yang berkomplot menggodanya habis-habisan tiap kali mereka berkumpul. "Mungkin...tidak," jawabnya ambigu.
Kekhawatiran Haris tampak jelas di wajahnya. Melihat hal itu, Hasan tersenyum kecil.
"Tidak seburuk kedengarannya, Pak. Lagipula saya baik-baik saja," ujar Hasan berusaha meyakinkan Haris.
Tapi kata-kata sekretarisnya itu malah membuat Haris makin khawatir. Dia pun mencoba mengalihkan topik. "Keluargamu pasti besar, acaranya sampai perlu persiapan berhari-hari.."
Hasan hanya menoleh pada atasannya. Maminya pasti butuh persiapan berhari-hari meski untuk acara sederhana. Dekorasi ruangan, mencocokkan pernak-pernik, belanja sovenir, pesan snack dan tester makanan, fitting pakaian..dan entah apa lagi..
"Siapa yang menikah?" tanya Haris lagi.
Kali ini Hasan tidak tahu bagaimana menjawab. Dia tidak mendengar tentang pernikahan..hanya anniversary.. mungkin sama saja..?
"Kakak no.1," jawab Hasan sekenanya.
"Aah..." sahut Haris. Masih ada banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan. Tapi dia lebih tidak ingin menyakiti Hasan kalau-kalau dia salah ucap.
Sambil menahan nafas lalu melepaskannya perlahan, Haris kembali memfokuskan matanya pada jalanan yang temaram.
..
Jam di dashboard mobil berpendar redup, menunjukkan pukul 8.20 malam. Haris melirik ke arah kaca spion tengah. Niar masih tertidur pulas di belakang mereka.
"Mau cari makan dulu?" tanya Haris sambil memperlambat laju kendaraan. Sebentar lagi mereka akan melewati gerbang tol terakhir. "Mumpung masih ramai. Di rumah sudah nggak ada orang jualan nanti."
"Iya, Pak. Saya sudah lapar," celetuk Hasan yang bersikap sok imut dengan menggosok perutnya. Pemuda itu puas saat tingkahnya membuat Haris tertawa kecil.
Mobil mereka berhenti di sebuah depot kecil. Haris menggendong Niar, sedangkan Hasan membantu menutupkan pintu.
Sosok Haris yang dengan telaten membangunkan Niar yang masih mengantuk, membuat Hasan kembali melek dengan realita. Bagi wakil direktur itu, Niar adalah poros kehidupannya. Saat menyuapi Niar yang rewel, Haris pun hanya sesekali saja mengajaknya bicara.
Hal itu tidak jauh berbeda dengan Haris yang meminta Hasan menjaga jarak, agar hubungan mereka tidak sampai diketahui gadis kecil itu.
Hasan ingin menepis kenyataan, tapi semua fakta mengarah pada satu konklusi itu. Bahwa dirinya jatuh cinta pada duda beranak satu yang duduk didepannya. Yang usianya 10 tahun lebih tua, dan punya banyak tanggungan.
"Kenapa nggak dihabiskan?" tanya Haris.
"Saya sudah kenyang," jawab Hasan dengan senyum dipaksakan. "Sini, saya bantu suapi Niar."
"Nggak," tolak Niar sambil menggelengkan kepala keras-keras.
"Hahaha, Niar mau manja sama Ayah, ya," ujar duda itu lalu berpaling pada Hasan. "Tidak apa, Hasan. Terima kasih."
Tidak ada yang dilakukan, pemuda itu pun mengeluarkan ponsel. Jarinya yang panjang men-scroll nama-nama yang ada di daftar kontak. Namanya terpaku pada asisten pribadi ayahnya.
Dia pun mengetik pesan untuk pria itu. "Dhika, bagaimana kalau pilihanku tidak disetujui Ay..." Hasan menghapus pesan itu. Lalu menulis ulang. "Orang yang aku suka, sudah punya anak."
Pemuda itu lalu melirik ke arah Haris yang tengah menghabiskan makan malamnya. Tampak jelas kalau atasannya itu kesulitan karena sambil memangku Niar yang masih ngambek.
"Gimana caranya biar dia suka aku?" ketik Hasan lagi.
Sesaat kemudian, muncul balasan dari Dhika. "Tanya Gugel saja, jangan tanya aku."
Hasan ingin melempar ponselnya ke sebrang ruangan, tapi menahan diri karena ada Haris disana. Dia tidak mau wakil direktur itu punya image jelek tentang dirinya.
Susah sekali kalau menyukai orang lain... 😩
..
Saat mereka tiba malam itu, suasana kampung sudah sunyi. Hanya ada suara serangga dan hewan lain yang terdengar di kejauhan.
Kendaraan diparkir di jalan gang. Hasan kembali membantu membawakan tas milik Haris. Hujan rintik-rintik membuat kedua pria itu berlari kecil di jalanan yang sempit.
"Ugh, dingin, Yah.." keluh Niar saat mereka sudah sampai di teras rumah.
"Ayo, Niar turun dulu," ujar Haris sambil mengetuk pintu depan. "Ayah! Ayah!"
Tok! Tok!
"Kamu mau langsung ganti baju atau mandi air hangat dulu, Hasan?" Pertanyaan Haris itu sedikit mengejutkan Hasan.
"Disini tidak sedingin di Batu, jadi mungkin kamu gerah setelah perjalanan seharian," lanjut Haris.
"Hmm, kalau begitu saya mandi air biasa saja," jawab Hasan. Saking buru-burunya dia mengejar penerbangan pesawat, sampai tidak sempat membawa baju ganti. Pemuda itu berharap baju lama milik Haris cukup untuknya.
Saat pintu dibuka, Hasan melihat orang tua yang sama seperti di rumah sakit. "Lho, cucu Kakek sudah datang!"
Niar berseru gembira dan langsung melompat ke arah kakeknya.
"Ayo masuk, sudah makan?" tanya pria tua itu.
"Sudah, Yah," jawab Haris sambil salim. "Ayah masih ingat Hasan? Dia sendirian di rumah, jadi aku ajak."
Tanpa ragu, Hasan mengambil tangan pria tua itu lalu mencium bagian belakang telapaknya. "Maaf saya nanti ngerepoti, Pak."
"Hahaha, repot apa. Teman Haris berarti sama kayak anak sendiri," balas ayah Haris, Pak Yono, ramah.
Rombongan kecil itu pun masuk ke dalam rumah.
"Kamu mandi saja dulu," ajak Haris yang menarik lengan Hasan ke arah kamar mandi. Dia juga membantu menyalakan lampu dan mengecek air. "Hmm, kami nggak ada sikat gigi baru. Sabunnya juga batangan."
"Tidak apa, Pak. Saya minta maaf sudah merepotkan." Hasan hanya merasa canggung karena berada di tempat yang baru. "Saya pinjam yang biasa Pak Haris pakai."
"Kalau begitu, aku ambilkan handuk dan baju gantinya dulu," ujar Haris yang mendadak merasa panas berada di ruangan gelap dan sempit, hanya berdua dengan Hasan. Dia pun segera kabur ke arah kamarnya.
Hati Haris menciut saat sampai di kamar yang lembab, berdebu, dan berbau jamur. Dia tidak keberatan tinggal disana, kamar itu sudah jadi miliknya sejak kecil. Tapi dia tidak yakin kalau Hasan akan nyaman disana. Sekretarisnya itu sangat mencolok, kentara sekali kalau dari keluarga kaya raya.
Mungkin Hasan sungkan untuk meminta tidur di hotel. Tapi Haris yakin kalau pemuda itu akan langsung setuju, setelah melihat kasur kapuk miliknya yang keras.
..
"Wakakakaka! Ka! Ka!" 🤣🤣
Tawa Haris langsung meledak saat melihat penampilan Hasan, begitu pemuda itu keluar dari kamar mandi.
"Jangan ditertawain, Pak," pinta Hasan sambil menarik kausnya ke bawah.
"Hahaha..! Maaf, maaf! Hahaha...!!"
Bukan hanya ketat, kaus Haris juga sangat pendek saat dipakai Hasan. Perutnya hampir tidak tertutup. Belum lagi celana training yang dipakainya.
Pemuda itu kembali masuk ke kamar mandi dan bersembunyi di balik pintu.
"Maaf.. maaf... Kamu yakin nggak mau pakai sarung saja?" tanya Haris berusaha mengendalikan tawanya.
"Nanti kelihatan lebih konyol, gimana?" Hasan menyuarakan kekhawatirannya.
Haris lama-lama merasa kasihan dengan obyek candaannya. Dia menengok ke belakang, masih belum ada tanda ayahnya berjalan mendekat. Duda itu lalu mendekati Hasan dan berbisik di telinganya.
"Sebenarnya kamu tidak kelihatan sekonyol itu. Perutmu juga bagus, nggak gembung kayak aku. Atau aku keluar cari baju? Mungkin sekitar satu jam. Kamu mau ikut?"
Hasan memikirkan lagi kata-kata duda itu sambil menengok ke bawah. Pakai celana 3/4 cukup nyaman juga, selama pria di depannya tidak menertawai dirinya lagi. Bagaimanapun, dia ingin tampil menarik di depan Haris.
"Tidak, Pak. Saya pakai ini saja," gumam Hasan, kembali menarik tepi kaos ke bawah.
Haris merasa lega dengan jawaban Hasan. Sekarang hanyya tinggal satu kekhawatiran duda itu. Dimana Hasan akan tidur malam ini.
.
.