"Ayah masih sakit, Niar bisa jalan sendiri!" seru Niar saat Haris membantu bocah kecil itu turun dari mobil.
"Tapi Ayah sudah sembuh," ujar Haris sambil mengelus kepala putrinya.
Bertiga dengan Hasan, mereka berjalan dari parkiran, melewati lorong.
"Ayah sudah sembuh?" tanya gadis itu sedikit skeptis.
"Iya, sudah sembuh." Haris mengulangi kata-katanya. Terkadang dia harus mengulang kalimat agar gadis kecilnya itu percaya padanya.
"Kalau gitu jangan bubuk di tempat Om Hasan lagi," protes Niar saat sudah sampai di depan pintu.
Haris yang sedang memasukkan kode, langsung membeku. Dia tidak mendengar apa yang dia pikir putrinya pikirkan, bukan?
Duda itu lalu cepat-cepat membuka pintu. Untung tidak ada tetangga mereka yang lewat, atau bisa menyebabkan salah paham.
"Kenapa nggak boleh?" tanya Hasan sambil menutup pintu di belakang mereka. Haris heran kenapa pemuda itu masih bisa tenang dalam situasi begini.
"Om Hasan selalu gangguin Ayah! Pasti waktu tidur juga digangguin 'kan?! Makanya Ayah sampai sakit," tuduh Niar sambil menggembungkan pipinya.
"Nggak, Niar. Bukan begitu." Haris berpikir keras bagaimana menjelaskan situasinya pada bocah 5 tahun.
Tanpa berbohong, tapi juga bukan kenyataan sebenarnya. Satu kebohongan Haris akan terekam sebagai perilaku wajar dalam otak Niar.
Keringat membasahi telapak tangannya karena nervous.
Apa yang akan dia katakan? Dan, sejak kapan Niar tahu? Sejauh mana Niar tahu? Hanya aku sekedar tidur di kamar Hasan 'kan? Apa mungkin Niar sebenarnya takut tidur sendiri, lalu keluar kamar dan mendengar..? Aaarghh!!!
"Ayah jangan bohong! Niar dengar sendiri, Ayah minta berhenti tapi Om Hasan malah ketawa," tuduh Niar dengan mata berkaca-kaca.
Otak Haris seperti korslet. Jelas-jelas putrinya itu mendengar saat dirinya bersama Hasan. Dia merasa telah gagal sebagai orang tua, gagal melindungi keperawanan telinga anaknya.
Di saat yang sama, duda itu merasa lebih baik kabur daripada harus menjelaskan 'permainan orang dewasa' pada Niar. Ketika dia menatap Hasan untuk minta bantuan lewat telepati, pemuda itu hanya mengangkat kedua pundaknya.
"Om Hasan, kalau Om Hasan sayang sama Ayah, ngapain sih pake gangguin Ayah? Sampe bikin Ayah nangis dan teriak-teriak?! Sebenernya Om Hasan sayang sama Ayah apa nggak, sih?!"
"Kalau nggak sayang, jangan peluk-peluk ayah! Jangan cium-cium ayah!"
Haris segera memeluk dan menenangkan Niar. Luapan emosi gadis kecilnya itu lebih penting dibanding rasa malu karena Niar mengetahui kebersamaannya dengan Hasan.
Belum lagi, hal pribadi yang harusnya diselesaikan antara dirinya dan Hasan. Telah menyebabkan Niar bingung dan panik.
"Shh, tenang, Niar. Ayah nggak apa-apa. Om Hasan dan Ayah cuma main sedikit. Ayah nggak beneran sakit kok.."
"Tapi badan Ayah sampai panas."
"Ayah kurang istirahat sama kurang makan, jadi sakit. Niar ingat kan, kalau Ayah sering libur waktu rumahnya habis kebakaran? Jadi kerjaan Ayah lebih banyak, buat ganti libur kemarin."
"...." Niar tidak lagi mengatakan apa-apa untuk membantah ayahnya. Tapi ekspresi gadis kecil itu menunjukkan kalau dirinya tidak setuju.
Hasan yang mengamati dari samping, kehabisan kata-kata saat mata bulat Niar terarah padanya. Pandangan penuh tuduhan sekaligus pertanyaan.
Pertanyaan yang Hasan sendiri tidak tahu bagaimana menjawabnya. "Mungkin Pak Haris temani Niar dulu sampai tenang. Akan saya siapkan makan malamnya."
"Maaf, ya, Hasan. Aku bantu cuci piring ya nanti," ujar Haris yang langsung menggendong Niar ke kamarnya.
Padahal Haris berniat bicara pada Niar saat suasananya tepat. Sejak tadi pagi, putrinya itu sudah antipati dengan Hasan. Sebagai seorang ayah, dia berharap apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Tapi kenyataan seringkali jauh dari harapan.
"Ayo, cuci tangan cuci kaki dulu. Habis ini, Ayah mau bicara sama Niar."
Niar masuk ke kamar mandi dan mencuci kaki tangannya tanpa banyak bicara. Haris pun membantu anaknya itu berganti pakaian yang lebih nyaman. Pria itu lalu mendudukkan Niar di atas tempat tidur. Sedangkan Haris menarik kursi dan duduk di sana, agar tinggi mata mereka setara.
Haris menghela nafas panjang saat dihadapkan dengan wajah anaknya. Kedua mata bulat yang balik memandang Haris dengan segala kepolosan dan kemurnian bocah 5 tahun.
"Niar.... Niar dengar apa waktu Ayah ada di kamar Om Hasan?" tanya Haris dengan hati yang berat.
.
Haris dan Niar keluar kamar untuk makan malam. Suasana meja itu tidak seperti biasanya, penuh tekanan dan hubungan yang dingin.
Hasan hanya perlu melirik ke wajah Haris untuk tahu kalau pembicaraan tidak berlangsung baik. Bahwa duda itu perlu waktu sebelum bisa mengatakan apapun pada Hasan.
Pemuda itu tidak terlalu khawatir. Hasan yakin semuanya akan baik-baik saja. Dia memberi dukungan dengan menepuk pelan telapak tangan Haris.
Bibir Haris sedikit terangkat, meski senyumnya tidak sampai ke mata.
.
Sambil bersandar pada hand railing teras, Hasan menghembuskan asap rokok dari celah bibirnya.
Pembicaraan antara Haris dan anaknya berlangsung lebih lama dari yang dia duga. Hasan juga tidak menyangka bocah kecil pemalu dan pendiam itu berani membalas tatapan matanya.
Hasan mengira semuanya akan sederhana saja. Wakil direktur itu tidak menanggapi rayuan gombalnya, tapi tidak keberatan membayar tempat menginap dan bunga utang, dengan sex.
Sangat disayangkan, namun Hasan tidak bisa mencegah kalau atasannya itu memilih tinggal di tempat lain. Karena tidak nyaman juga kalau mereka harus sembunyi-sembunyi, agar tidak ketahuan Niar.
Hasan selalu melakukan apa yang dia inginkan. Dia bisa berkompromi dengan keinginan orang lain, tapi dengan pak Haris...dia sudah terlalu banyak berkompromi. Mungkin sudah waktunya dia mencari sumber kesenangan lain.
Dia akan memikirkan hal itu lagi setelah urusan dengan keluarganya beres.
Kretek..
Pintu ke arah teras terbuka dan Haris melangkah keluar. Hasan menawarkan kotak rokoknya tapi ditolak pria itu.
"Bagaimana Niar?" tanya Hasan.
Haris ikut bersandar di handrailing. Angin sepoi-sepoi menggerakkan ujung rambut pria yang lebih tua itu.
"Dia sudah tenang. Ingat waktu kita perang air setelah teman sekantor datang? Dikira Niar, kita bertengkar sungguhan," ujar Haris dengan senyum kecil.
Hasan sama sekali tidak menduganya. Dia memandang atasannya dengan wajah tak percaya.
Kali ini Haris tertawa lepas. "Hahahaha! Makanya Niar tidak suka waktu kamu menggandeng aku atau semacamnya. Niar kira aku sedang dibully," lanjut Haris masih dengan senyum lebar.
Haris mendongakkan kepala, ke arah langit yang gelap. Warna hitamnya menenangkan. "Niar nggak bilang, tapi mungkin dia kesepian. Aku lebih sering tidur di kamarmu daripada di kamarku."
Tidak ada kata-kata yang ingin dia ucapkan, Hasan kembali menyesap batang rokok yang masih menyala.
"Aku..." ujar Haris ragu-ragu. Dia bingung bagaimana mengungkapkan pemikirannya. Terlebih, Hasan seolah tidak tertarik mendengarkan.
Karena itu, Haris meneguhkan hati sebelum menarik tangan Hasan dan kerah baju pemuda itu.
Mata Hasan melebar ketika bibir mereka bersentuhan. Haris sangat jarang memulai kontak lebih dahulu. Tidak berhenti di sana, tangan Haris mengusap-usap tubuhnya dengan tidak sabaran. Sementara lidah mereka menari, tarik ulur dari satu mulut ke mulut lain.
"Uughm," gumam Haris saat Hasan mengambil alih serangan dan melumat bibir mereka. Mencuri nafas duda itu hingga kepalanya terasa ringan.
Tidak lama, Hasan melepaskan mulut Haris dan berbisik di telinga pria itu. "Bagaimana dengan Niar?" Suara Hasan berat dan serak.
"Hm..." Haris memaksa otaknya bekerja sejenak diantara kabut nafsu yang mulai menguasainya. "Kita harus lebih berhati-hati. Atau..."
"Atau apa?" tanya Hasan. Bibirnya menghujani leher Haris dengan ciuman dan gigitan kecil. Tangannya meremas kedua pantat empuk atasannya.
"Atau... Kita harus memikirkan cara lain," ujar Haris yang berusaha melepaskan diri dari Hasan. "Aku tidak bisa kalau Niar sampai tahu."
Nafas duda itu sedikit terengah, namun dia pastikan memandang Hasan tepat di mata pemuda itu. "Atau kita harus mengakhiri ini."
Hasan mengatur nafasnya sambil mencoba memikirkan sesuatu. Tapi tidak ada sesuatupun muncul dalam pikirannya yang kosong.
.
.