"Bertemu Mamih"
Tak terasa hari sudah pagi.
saat kemaren malam kita pulang dari salon dan kita pergi kekamar masing masing untuk istirahat.
Zaki mengetuk pintu kamarku dan mengajakku berangkat ke rumah Mamih.
Rumah Zaki berada di kompleks perumahan kaum menengah ke bawah.
Sementara wanita yang harus selalu dipanggil Mamih itu berada di kompleks perumahan elit, yang letaknya nyaris berseberangan dengan kompleks perumahan Zaki.
Ternyata rumah Mamih itu ada salonnya yah salon yang kita kunjungi kemaren.
Ketika aku dan Zaki masuk ke dalamnya, Zaki langsung menemui seorang lelaki yang bertugas sebagai kasir salon. dan aku tak melihat keberadaan tante Santo. mungkin dia belum datang.
Zaki berbicara sebentar dengan lelaki itu. Kemudian lelaki itu menyerahkan sebuah amplop yang entah berisi apa.
Zaki pun menghampiriku sambil berkata setengah berbisik,
"Ayo ke laboratorium dulu. Untuk pemeriksaan kondisi darah loe.
" Aku mengangguk.
Lalu mengikuti langkah Zaki menuju mobilnya.
Di dalam mobil Zaki menyerahkan amplop itu sambil berkata,
"Sebenarnya isi amplop ini rujukan dokter langganan Mamih untuk laboratorium.
Ada beberapa hal yang harus diperiksa di laboratorium nanti.
Kita hanya akan menunggu dua jam di laboratorium, lalu langsung keluar hasilnya."
"Setelah keluar hasilnya, harus diserahkan kepada dokter yang mengeluarkan surat rujukan ini ?" tanyaku.
"Nggak usah. Mamih sudah mengerti arti semua yang tertera di hasil laboratorium itu nanti. Soal pembayaran di laboratorium, gak usah dipikirin. Gue yang akan bayarin. "
"Terima kasih Zak. Gue jadi ngerepotin terus sama loe ya. "
"Jangan mikir gitu. Kita kan temenan sejak kecil. Bukan baru kenal sehari dua hari. dan loe itu udah gua anggep kayak sodara sendiri" ucap zaki Setelah Sampai kita di laboratorium ...
Zaki mengajakku masuk dan setelah itu diambil darah dan menjalani pemeriksaan dengan beberapa alat, Zaki membayar biayanya, kemudian mengajakku makan di sebuah rumah makan yang letaknya di sebelah barat gedung laboratorium itu karena kita tadi belum sempat untuk sarapan.
Di rumah makan itu Zaki berkata,..
"Nanti setelah berada di dalam ruang kerja Mamih, ikutilah apa pun yang dikatakan olehnya. Jangan berbicara kalau tidak ditanya. "
"Iya, " sahutku,
"Tadi Mamih gak kelihatan. Apakah dia sedang keluar ?" tanyaku
"Dia di lantai atas, di ruang kerjanya. Dia memang jarang muncul di salon.
Ohya ... pasien salon itu pada umumnya wanita yang suka memesan brondong pada Mamih.
Jadi di salon itu pula tante - tante pada dirias, sambil bertukar pengalaman. " ucap zaki.
"Tadi belum ada pasiennya ya Zak. "
"Kan masih pagi.
Ohya, nanti setelah mempertemukan loe sama Mamih, gue langsung cabut ya.
Gue udah janjian mau kencan sama pelanggan gue yang paling setia. "
"Iya. Gue bisa pulang sendiri kok. Gampang ngingetinnya. Perumahan Mamih berseberangan dengan perumahan loe kan ? "
"Iya. Perumahan Mamih dan perumahan gue cuma dibatasi jalan raya aja. Jalan kaki juga bisa.
Tapi kalau males jalan, pakai ojek aja. Nih buat naik ojek nanti, " kata Zaki sambil memberikan selembar uang seratusribuan.
"Makasih Zak, " ucapku sambil memasukkan duit itu ke saku celana jeansku.
Celana pemberian Zaki beberapa hari yang lalu. Baju kaus biru muda yang kukenakan pun pemberian zaki. karena pakaianku semuanya sudah lusuh.
Di rumah makan itu kami ngobrol banyak. Zaki memfokuskan diri untuk menceritakan semua tentang Mamih, sebagai boss di dalamĀ "bisnis penyedia jasa" itu.
"Jadi nanti loe akan difoto dari semua arah, dalam pakaian lengkap mau pun telanjang. Loe jangan susah kalau disuruh telanjang nanti.
Soalnya pelanggan Mamih suka minta foto telanjang kita, " kata Zaki setelah kami cukup lama nongkrong di rumah makan itu.
Aku cuma mengangguk saja. Padahal aku belum pernah difoto dalam keadaan telanjang.
Tak lama kemudian, kami pergi meninggalkan rumah makan itu, kembali ke laboratorium utuk mengambil hasilnya.
Ternyata hasil pemeriksaan laboratorium itu sudah selesai dan diberikan padaku dalam sebuah amplop bertuliskan nama perusahaan laboratorium itu.
"Kelihatannya bagus semua Jon, Loe pasti nant diterima sama Mamih. " kata zaki.
"Mudah - mudahan aja diterima Zak. "
"Ohya, loe bisa nyetir ?" tanya Zaki.
"Bisa. SIM juga punya. "jawabku
"Koq loe baru ngomong Jon kalo bisa nyetir mobil, tau gitu kemaren maren loe aja yang nyetir mobil.
"Loe gak nanya sih zak,hehehehe"
"Kalau gitu loe aja yang nyetir. Biar gue buktiin sehalus apa loe bawa mobil, " kata Zaki sambil menyerahkan kunci Mobilnya.
Sebenarnya Mibil Zaki tidak ada kuncinya, hanya ada remote control bergantelan dompet kecil berisi STNK.
Kebetulan aku pernah nyoba mobil sejenis ini di kampungku. Sehingga aku tidak bingung setelah duduk di belakang sedan matic ini.
Cukup dengan menekan tombol di dekat batang setir, kemudian memijatnya lagi sambil menginjak pedal rem.
Ketika Mobil itu mulai kujalankan di jalan besar, Zaki yang duduk di samping kiriku berkata,
"Gak nyangka ... loe bisa nyetir sehalus ini. Bagus Jon. Nanti kalau sekali - sekali kita ke luar kota, kita bisa gantian nyetir. "
Aku memang punya bakat nyetir dan hafalin jalan. Dengan sekali jalan saja, tak mungkin tersesat.
Maka ketika aku nyetir dari laboratorium ke rumah Mamih, aku tahu pasti jalan mana yang harus dilalui, tanpa harus dibimbing oleh Zaki.
Hanya butuh setengah jam aku berhasil menjalankan dan menghentikan Mobil Zaki di depan rumah Mamih..
"Loe nyetirnya meyakinkan. Gue suka cara loe bawa mobil Jon." kata Zaki sebelum turun dari mobilnya.
Kulihat banyak mobil diparkir di depan rumah Mamih. Untuk mencapai ruang kerja Mamih ternyata harus melewati salon dulu.
Ibu - ibu yang sedang ngobrol di salon, spontan berhenti bicara. Karena memperhatikan kedatanganku bersama Zaki. Pandangan mereka semua tertuju padaku.
Mungkin karena aku orang baru di lingkungan mereka. Aku pun mengangguk sopan ke arah mereka.
Yang mereka sambut dengan senyum di bibir masing - masing.
Kemudian kuikuti langkah Zaki menuju lantai dua..
Setelah mengetuk sebuah pintu di lantai dua, terdengar suara dari dalam ruangan itu,
"Siapa ?"
"Zaki Mam !" seru Zaki.
. "Masuklah. "
Zaki membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang.
Setelah masuk ke dalam ruangan kerja itu, kulihat seorang wanita mengenakan gaun berwarna hijau tosca yang mengkilap, dengan belahan cukup panjang di kanan - kirinya. Ia berdiri di belakang meja tulisnya ketika melihatku.
Lalu menjabat tanganku tanpa menyebutkan namanya. Lalu ia duduk lagi sambil menoleh ke arah Zaki.
"Mamih ... Ini calon yang saya sebutkan tempo hari itu, " kata Zaki.
Wanita setengah baya yang dipanggil Mamih itu mengangguk,
"Siapa namanya ?"
"Namanya Joni, Mam" sahut Zaki.
"Sudah bagus namanya, dan tak perlu menganti namanya, " kata Mamih.
"Iya, dan ini hasil pemeriksaan dari laboratorium Mam, "kata Zaki sambil menyerahkan amplop dari laboratorium itu.
Mamih membuka amplop itu, lalu mengeluarkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium.
Ia memperhatikan hasil pemeriksaanku itu dengan seksama.
Mamih mengangguk - angguk. Lalu menoleh ke arah Zaki yang masih berdiri di sampingku.
"Bagus semua hasilnya, " kata Mamih,
"Tinggalkan saja Joni di sini. Kamu ada janji dengan Bu Nina kan ?"
"Betul, "Zaki mengangguk,
"Saya tinggalkan Joni ya Mam. " kata zaki.
Mamih mengangguk. Zaki menepuk bahuku sambil berkata,
"Gue pergi dulu ya. " ucap Zaki. .
"Iya, " sahutku.
Setelah Zaki keluar, Mamih mengunci pintu keluar, lalu kembali ke kursi ala direktur yang bisa berputar itu.
"Duduklah Jon, " kata Mamih sambil duduk di kursi itu. .
Aku pun duduk di kursi depan meja tulis Mamih.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih.
Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu.
"Umurmu berapa ?" tanya Mamih
"sembilan belas, " sahutku.
"Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
"Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... "
"Dengan perempuan nakal.. ?"
"Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. "
"Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?"
"Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur.
Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum.
"Kamu benar - benar berniat untuk menjadi seorang gigolo ?"
"Iya, saya berminat. " ucapku mantap.
"Apa yang mendorongmu ingin menjadi gigolo ?"
"Pertama karena saya butuh uang. "
"Kedua ?"ucap Mamih.
"Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal s3x. "
"Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Zaki. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti.
Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " kata Mamih.
"Saya siap Mam. "
"Coba kamu berdiri dan perlihatkan kont*lmu seperti apa. "
Sesuai dengan petunjuk arahan Zaki, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan.
Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
"Hmm ... kelihatannya panjang juga kont*lmu meski dalam keadaan lemas begitu.
Coba berdirinya di sini, " kata Mamih sambil menunjuk ke sebelah kanan meja tulisnya.
Aku pun melangkah ke sebelah kanan meja tulis Mamih.
Sambil memegang kont*lku yang masih lemas ini.
Mamih memutar kursinya, jadi menghadap padaku. Dan memegang kont*lku, sambil meremasnya perlahan. Kont*lku tetap lemas.
Mungkin karena masih punya perasaan segan kepada Mamih. Dan jadi panik ketika kont*lku dipegang olehnya.
"Bagaimana cara kamu supaya kont*lmu ini ng*ceng ?" kata Mamih sambil mengusap - usap mem*knya.
Jelas aku sangat terangsang menyaksikan mem*k Mamih itu.
Tapi batinku masih linglung, sehingga kont*lku hanya memanjang dan membesar, namun belum ng*ceng full.
Tampaknya Mamih benar - benar ingin menyaksikan seperti apa kalau kont*lku sudah ng*ceng.
Lalu ia duduk meng*ngkang di pinggiran meja tulisnya, sambil menarik kont*lku.
Dan mengoles- oleskan moncong kont*lku ke mem*knya ... !
Kini Batangku benar - benar ng*ceng dibuatnya. Terlebih setelah terasa mem*k Mamih jadi basah dan licin dan hangat.
"Wow ... setelah ng*ceng Batangmu gagah sekali Joni. Gede dan panjang sekali.
Coba dorong sampai masuk ke dalam mem*kku, " kata Mamih sambil mengangakan mem*knya dengan tangan kiri dan tetap memegang batangku dengan tangan kanannya.
Aku menurut saja apa yang diperintahkan oleh Mamih. Kudorong batangku sekuat tenaga. Tapi sulit masuknya.
"Uuuughhhh ...
susah masuknya ya .....
sebentar ...
kita pindah ke kamarku aja yuk, " ajak Mamih.
Mamih menjauhkan batangku dari mem*kya, lalu turun dari meja tulis sambil meraih celana d*lam putihnya dan menuntun tanganku menuju pintu yang di dekat sofa itu.
Aku mengikuti apa pun yang Mamih katakan, bukan semata - mata karena teringat pesan Zaki.
Tapi juga karena diam - diam aku merasa suka kepada Mamih yang bertubuh tinggi langsing tapi tidak kurus, Mamih yang berwajah manis dan berkulit putih bersih. Ternyata Mamih membawaku ke sebuah kamar tidur.
Di kamar ini ada sebuah tempat tidur berukuran lebar.
Sebuah lemari pakaian, sebuah meja rias yang berkaca cermin dan ada pula kamar mandi didalam..