Meski mata monster itu masih kabur karena cahaya, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih menakutkan. Dengan suara menggelegar, monster itu mulai bergerak tidak untuk menyerang Aria, tapi untuk melangkah mundur, menghindari serangan yang akan datang. Dan di balik kabut salju yang kembali menyelimuti, terdengar raungan lebih keras, lebih dalam, dan lebih mengancam. Sebuah suara yang bukan milik monster yang sudah berada di hadapan mereka.
Aria menahan napasnya. Sesuatu yang lebih besar... lebih kuat... sesuatu yang lebih mengerikan sedang datang. Firasat Aria terbukti benar. Tiba-tiba, raungan keras menggema di tengah area pertarungan, diiringi badai salju yang datang begitu mendadak. Angin kencang menderu, menggulung salju hingga membuat pandangan kabur. Aria berusaha berdiri tegak melawan terjangan angin, sementara suasana di sekitarnya berubah semakin mencekam.
Tak lama setelah badai mulai mereda, dari balik kabut salju yang tebal, muncul sesosok monster besar menyerupai naga. Aura kekuatan yang memancar darinya terasa begitu menekan, membuat udara di sekitarnya semakin dingin. Tubuhnya tinggi dan panjang, setiap gerakannya anggun namun penuh bahaya. Sayapnya yang lebar mengibas perlahan, menciptakan hembusan angin yang tajam. Sisik-sisiknya berwarna biru perak, memantulkan cahaya redup salju seolah terbuat dari baja yang tak tertembus.
Tanduknya menjulang panjang dengan ujung yang runcing, sedangkan ekornya yang kokoh melayang mengancam di belakangnya. Mata birunya yang tajam memancarkan intimidasi, mengawasi seluruh area dengan tatapan yang mampu membekukan siapa saja yang menatapnya. Lebih dari itu, tubuh naga tersebut diselimuti oleh perisai angin yang berputar seperti badai mini, melindunginya dari segala serangan yang mendekat.
Aria hanya bisa menggenggam pedangnya lebih erat, tubuhnya gemetar, baik karena dinginnya cuaca maupun tekanan dari sosok naga tersebut. "Makhluk macam apa ini...?" pikirnya, perlahan melangkah mundur sambil menyiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu monster ini bukanlah sesuatu yang bisa dia hadapi sendirian.
*********************
Monster itu menatap tajam ke arah Aria, seolah mengevaluasi ancamannya. Lalu, dengan satu kibasan sayapnya yang besar, angin kencang tercipta, menghempaskan Aria dan Mira dari tempat mereka berdiri. Kedua gadis itu terpental jauh ke arah tebing, melayang di udara sebelum kehilangan pijakan dan terjatuh menuju jurang yang menganga di bawah mereka.
Di tengah kekacauan itu, Mira dengan cepat mengeluarkan suar dari kantungnya. Dengan usaha terakhir, dia menembakkannya ke udara. Cahaya merah terang membelah langit malam, menjadi tanda peringatan yang jelas bagi semua Hunter di wilayah Frostspire Peaks. Mereka yang melihatnya pasti segera memahami bahaya besar yang mengancam dan akan meninggalkan area tersebut.
Saat tubuh mereka meluncur ke arah jurang, Mira dengan cepat mengambil longsword milik Aria yang terlempar bersama mereka. Dengan keberanian yang luar biasa, dia menancapkan pedang itu ke dinding tebing, menciptakan gesekan untuk memperlambat laju jatuh mereka. Suara logam yang beradu dengan batu menggema di tengah angin yang dingin, dan akhirnya mereka berhenti meluncur setelah beberapa meter.
Menggantung di tengah udara dengan tangan memegang erat pedang, Mira memindai area di bawah mereka. Matanya menangkap sebuah gua kecil yang terbuka di sisi tebing. Itu mungkin satu-satunya harapan mereka untuk selamat dari situasi ini.
"Aria, aku akan melepaskan pegangan kita. Percayalah padaku!" ujar Mira dengan nada tegas.
Sebelum Aria bisa menjawab, Mira melonggarkan cengkeramannya pada pedang dan membiarkan tubuh mereka terjun lagi. Kali ini, dia mengarahkan jatuhnya mereka ke dalam gua. Dengan sedikit keberuntungan dan perhitungan yang berisiko, mereka mendarat keras di dasar gua, namun berhasil selamat dari jatuh bebas itu.
Aria terbatuk, mencoba mengatur napas, sementara Mira perlahan bangkit, menepuk salju dari bahunya. Gua itu gelap dan lembap, dengan suara tetesan air yang terdengar samar. "Kita selamat... untuk saat ini," ujar Mira, pandangannya tajam menatap ke dalam kegelapan gua. Tapi jauh di dalamnya, terdengar suara gemuruh samar, seolah ada sesuatu yang menunggu mereka di sana.
Di dalam kegelapan gua, suara samar yang awalnya hampir tak terdengar kini mulai semakin jelas. Langkah-langkah berat bergema, membuat suasana menjadi lebih mencekam. Aria dan Mira saling bertukar pandang, waspada terhadap ancaman yang mungkin mendekat.
Mira segera meraba pinggangnya, berniat mengambil senjata, namun wajahnya berubah tegang saat menyadari bahwa senjatanya telah terjatuh ke jurang. Longsword milik Aria pun tertinggal jauh di atas tebing, tertancap di dinding saat mereka melambatkan jatuh. Tanpa persenjataan, mereka hanya bisa bergantung pada kewaspadaan dan keberanian mereka.
Suara itu semakin dekat, langkahnya berat dan bergema seiring waktu. Ketegangan kian meningkat, membuat Mira dan Aria bersiap untuk melarikan diri jika diperlukan. Namun, semua berubah ketika dari balik gelap, sebuah cahaya samar mulai muncul, menerangi lorong gua yang dingin.
Mira menghentikan langkahnya, mencoba mengenali sumber cahaya tersebut. Bersama Aria, mereka berdiri terpaku saat cahaya itu semakin terang. Dan akhirnya, dari balik bayangan, muncul Griffin yang membawa sebuah obor di tangannya, ditemani Kaiden dan Felyron miliknya yang berjalan di belakang.
Wajah Griffin menampakkan kebingungan, tapi juga sedikit kelegaan saat melihat Mira dan Aria. "Mira, Aria... Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya, suaranya memantul di dinding gua yang sunyi.
Mira menghela napas lega, tapi tak bisa menyembunyikan nada lelah di suaranya. "Griffin... syukurlah itu kau," ucapnya, pandangannya masih terpaku pada obor yang dibawa Griffin, yang menjadi sumber rasa aman di tengah kegelapan.
*****************
Setelah Mira dan Aria merasa cukup tenang, Griffin dan Kaiden bersama Felyron mereka memandu keduanya keluar dari gua. Dalam perjalanan, Mira dan Aria menceritakan apa yang baru saja mereka alami.
Mendengar cerita itu, Griffin mengerutkan alisnya, terlihat serius mencerna setiap detail. "Apa yang kalian katakan adalah hal yang sangat jarang terjadi. Frostgonga biasanya tidak berkeliaran sendirian, apalagi bertindak seagresif ini. Lalu ada deskripsi tentang makhluk bersayap besar itu... Jika tanduk panjang dan sisik biru perak yang kalian sebutkan benar, maka itu bukan sekadar Wyvern. Itu kemungkinan besar adalah Elder Dragon Vayron Daoragh, penguasa angin," jelas Griffin dengan nada khawatir. "Jika benar begitu, kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum situasinya semakin berbahaya."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, tanah di sekitar mereka mulai bergetar hebat. Suara gemuruh terdengar, diikuti oleh serpihan batu yang jatuh dari langit-langit gua. Getaran itu semakin kuat, dan mereka segera menyadari bahwa gempa itu berasal dari atas.
Keluar dari gua dengan tergesa, mereka disambut oleh pemandangan yang membuat mereka terdiam. Tepat di depan mata mereka, Vayron Daoragh terhempas jatuh ke tanah. Salah satu tanduknya patah, sisiknya yang biru perak tampak terkelupas di beberapa bagian, memancarkan kilauan redup di bawah sinar bulan.
Namun pemandangan itu tidak berakhir di sana. Tepat di belakangnya, Frostgonga muncul, melompat turun dengan tubuh penuh luka. Salah satu matanya berdarah, ekornya tampak terpotong sebagian, dan badannya penuh dengan goresan yang menganga. Raungan geramnya menggema di seluruh lembah salju, membawa ancaman yang nyata.
Mata mereka menyaksikan dengan ngeri saat Frostgonga mengangkat batu besar dari tanah dan menghantamkannya ke arah Vayron Daoragh. Tebasan angin tajam keluar saat Vayron mencoba bertahan dengan mengaktifkan perisai anginnya. Dalam satu gerakan cepat, Vayron Daoragh menghempaskan angin itu, membuat Frostgonga terpental beberapa meter ke belakang.
Namun, pertarungan belum berakhir. Dengan gerakan gesit, Vayron Daoragh meluncurkan serangan mematikan menggunakan ekornya, menusuk tubuh Frostgonga. Dalam sekejap, raksasa berbulu itu tumbang, tubuhnya jatuh dengan suara berat yang menggetarkan bumi.
Keheningan sesaat meliputi tempat itu, namun ketegangan masih menggantung di udara. Aria, Mira, Griffin, dan Kaiden hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan pertempuran dua makhluk legendaris yang nyaris mustahil dipercaya.
"Ini buruk..." gumam Griffin dengan nada pelan, tapi jelas terdengar penuh rasa takut. "Kita harus pergi sekarang juga sebelum yang lebih buruk terjadi."
Saat mereka bersiap untuk melarikan diri, Vayron Daoragh tiba-tiba meraung keras, memekakkan telinga dan mengguncang udara di sekitar mereka. Dengan sayapnya yang besar, Elder Dragon itu mengepak kuat, menciptakan pusaran angin yang menyelimuti tempat itu sebelum akhirnya terbang ke udara, menghilang ke dalam kabut salju yang tebal.
Griffin, Mira, Kaiden, dan Aria terduduk lega, berusaha mengatur napas mereka yang terengah-engah setelah ketegangan tadi. Griffin mengusap dahinya yang basah oleh keringat meski udara dingin menggigit. "Hampir saja... Jika dia mengincar kita, perjalanan ini sudah pasti berakhir di sini," ucapnya sambil menggelengkan kepala.
Dia melanjutkan dengan nada serius, "Kita beruntung. Pertarungannya melawan Frostgonga sepertinya meninggalkan luka yang cukup parah. Dalam kondisi seperti itu, daripada melanjutkan pertempuran, dia memilih untuk pergi dan memulihkan diri. Tapi—" Griffin mendadak berdiri dan menyeringai kecil sambil mengeluarkan belati carving miliknya. "—bagaimana kalau kita manfaatkan kesempatan ini untuk mengambil material dari mayat Frostgonga? Tidak setiap hari kita mendapat peluang seperti ini."
Mira mendengus kecil, meskipun masih terlihat gugup. "Kau selalu memikirkan keuntungan di tengah situasi seperti ini, Griffin."
"Justru karena situasi seperti ini, kita harus mengambilnya," balas Griffin sambil mulai memotong bagian tubuh Frostgonga.
Mereka berhasil mengumpulkan berbagai material berharga: cakar yang tajam, taring besar, bulu lebat putih yang mengilap, beberapa potong daging beku, jantung yang berukuran besar, hingga kantong es—organ unik yang digunakan Frostgonga untuk menciptakan badai salju.
Saat mereka selesai mengumpulkan bahan, Aria tiba-tiba teringat sesuatu. "Velogian..." gumamnya.
Griffin menoleh. "Apa maksudmu?"
Aria menjelaskan, "Saat aku melawan kawanan Velogini, aku berhadapan dengan Velogian, target utama kenaikan peringkatku, tapi di saat itu Frostgonga datang dan membutnya tumbang. Tapi tubuhnya masih ada di area puncak Frostspire Peaks."
Kaiden mengangguk mengerti. "Itu penting. Kau harus memastikan materialnya diambil sebagai bukti."
Dia menatap Felyron miliknya, seekor makhluk bertubuh besar dengan bulu tebal yang cocok untuk kondisi bersalju, dan memberi isyarat kepada Aria. "Gunakan Felyron-ku. Dia akan mengantarmu kembali ke puncak."
Aria memandang Kaiden dengan rasa terima kasih yang dalam. "Terima kasih, Kaiden. Aku akan cepat kembali."
Griffin mengangguk. "Hati-hati di sana. Jangan terlalu lama, kita harus segera turun gunung sebelum hal lain terjadi."
Aria bersama Felyron itu, melanjutkan perjalanannya menuju puncak, sementara Griffin, Mira, dan Kaiden mulai bersiap untuk kembali ke tempat pertemuan mereka di kaki gunung.
Setibanya di puncak Frostspire Peaks, Aria bersama Felyron milik Kaiden segera menemukan mayat Velogian yang tertutup sebagian oleh salju. Meski tubuhnya sudah mulai membeku, tanda-tanda pertempuran sengit sebelumnya masih jelas terlihat. Aria menghela napas lega. "Ini dia. Akhirnya," gumamnya sambil mempersiapkan alat untuk mengangkut mayat itu.
Namun, saat sedang bersiap, matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Rasa penasaran membuatnya mendekat ke sumber cahaya itu, dan benar saja—di sana tergeletak empat buah sisik besar yang terlihat seperti pecahan kristal, memancarkan kilau biru perak. Aria memeriksanya lebih dekat, dan senyumnya melebar. "Sisik Vayron Daoragh... Aku tidak percaya keberuntungan ini."
Namun, itu belum semuanya. Saat dia memindai sekeliling area, dia melihat sesuatu yang mencuat dari tumpukan salju tak jauh dari sisik itu. Ketika dia mendekat, Aria menemukan tanduk besar yang patah, dengan ujung runcing yang masih tajam. Tanduk itu jelas milik Vayron Daoragh.
"Tanduknya juga? Ini luar biasa!" Serunya dalam hati. Dengan penuh semangat, dia mengambil semua material itu—sisik dan tanduk sang Elder Dragon—lalu kembali ke lokasi mayat Velogian.
Bersama Felyron, Aria memuat mayat Velogian dan memastikan semua material berharga telah diamankan. Dia lalu mulai menuruni gunung dengan hati-hati, melawan dinginnya malam di Frostspire Peaks, sambil membawa beban berharga yang berhasil dia peroleh.
Setibanya di kaki gunung, Aria melihat Griffin, Mira, dan Kaiden yang sudah menunggu dengan cemas. Melihat Aria dan Felyron kembali dengan selamat, mereka melambaikan tangan dengan ekspresi lega.
Aria, yang kini berdiri di depan mereka dengan senyuman lelah namun bahagia, mengangkat tangan untuk menyapa. "Semuanya, aku pulang."
~Bersambung~