Setelah berpamitan dengan semua temannya, Aria bersama Ingnis memulai lembar pertama pertualangan mereka. Mulai dari padang rumput luas, hutan lebat, serta bukit dan pegunungan, sambil sesekali mampir di bebebey desa kecil yang mirip seperti desa Astoria, sambil mencicipi hidangan khas desa yang mereka singgahi.
Di setiap desa yang mereka kunjungi tak jarang juga mereka pergi ke hunters guild untuk mengambil quest yang tersedia, dan juga menjual material monster yang telah mereka buru. Setiap mereka singgah ke hunters guild yang ada di desa lain, mereka sering bertanya tempat banyak hunter dari berbagai wilayah berkumpul, dan jawaban semua orang tetap sama yaitu mereka menyarankan Aria untuk pergi ke Izna Port untuk bertemu hunter baru, berbagi pengalaman, serta belajar bersama mereka.
Mendengar jawaban yang selalu sama di setiap desa yang ia singgahi, rasa penasaran Aria terhadap Izna Port semakin besar. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadikan kota pelabuhan itu sebagai tujuan berikutnya.
Sudah hampir satu bulan berlalu sejak ia meninggalkan desa Astoria. Kini, Aria berdiri di sebuah dermaga kecil yang ramai oleh para pelancong dan pedagang. Di antara hiruk-pikuk suara ombak dan aktivitas di dermaga, ia mendengar seseorang berseru, "Kapal menuju Pulau Izna Port akan segera berangkat!"
Aria menoleh ke arah suara itu, melihat seorang pria berseragam pelaut memanggil para penumpang. Dengan Ignis yang setia di sisinya, Aria tersenyum kecil dan mengencangkan tas dan dua longsword yang tergantung di punggungnya melangkahkan kakinya sambil berkata "Baiklah, mari mulai bertualang ini."
**************
Setelah dua minggu perjalanan melintasi lautan, akhirnya sebuah pulau yang tampak megah mengambang di atas lautan biru mulai terlihat di kejauhan. Kapal perlahan memperlambat lajunya, mendekati dermaga besar di **Izna Port**. Beberapa menit kemudian, suara jangkar yang dijatuhkan menandai bahwa kapal telah berlabuh dengan sempurna. Di sekitar mereka, kapal-kapal lain juga terlihat bersandar—ada yang membawa muatan material monster, hasil tangkapan laut, hingga kebutuhan sehari-hari.
Saat menuruni kapal, Aria langsung disambut oleh pemandangan yang sibuk. Orang-orang berlalu-lalang di sekitar pelabuhan; para pedagang sibuk mempromosikan dagangan mereka, para nelayan baru saja tiba dengan perahu penuh ikan segar, dan para Hunter tampak berbincang sambil membawa senjata dan perlengkapan mereka. Suasana ini begitu berbeda dari desa kecil Astoria.
Aria menoleh ke Ignis yang berdiri di sampingnya. Dengan kekaguman yang jelas terlihat di wajahnya, dia berkata, "Jadi, ini Izna Port. Rasanya seperti dunia lain dibandingkan Astoria. Sekarang aku mengerti kenapa semua orang menyarankan untuk datang ke sini."
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menikmati suasana, Aria mengencangkan tali tas di punggungnya serta dua longsword yang tergantung dengan rapi. "Baiklah, Ignis. Mari kita berkeliling sebentar. Kita perlu mengisi tenaga sebelum memulai petualangan baru di tempat ini," ucapnya dengan semangat, lalu mulai melangkah bersama Ignis menyusuri Izna Port.
*******************
Mereka berdua berkeliling dari satu kedai ke kedai lainnya, mencicipi berbagai hidangan khas Izna Port yang menggugah selera. Sampai di sebuah kedai yang cukup ramai, Aria memesan steak berukuran besar yang membuatnya tak sabar untuk segera menyantapnya. Namun, saat dia hendak mulai makan, perhatiannya tertuju pada sekelompok Hunter yang duduk di sudut ruangan.
Kelompok itu terdiri dari beberapa pria dengan seorang perempuan di antara mereka. Suasana di meja mereka tampak tegang, dengan suara perdebatan yang mulai terdengar di tengah hiruk-pikuk kedai.
"Ah, menyebalkan sekali! Ini semua salah kalian!" suara tajam gadis itu terdengar jelas. Dia memiliki rambut twintail berwarna biru gelap, mengenakan armor yang agak terbuka dan mencolok dengan potongan yang memperlihatkan gaya berani. "Seharusnya kita bisa menangkap monster itu hidup-hidup! Tapi karena kecerobohan kalian, monster itu kabur dan aku harus kena... kentutnya!"
Salah satu pria dalam kelompok itu, bertubuh agak pendek dengan rambut hitam yang poninya miring ke samping, langsung membalas dengan nada kesal. Dia mengenakan armor biru-perak dengan sepasang dual blade tergantung di belakang pinggangnya. "Kau yang salah perhitungan! Kau bilang monster itu sudah melemah dan waktunya melemparkan Traq Bomb, tapi ternyata tidak. Dan ketika monster itu lepas dan meraung, tanpa sadar kita malah menjatuhkan semua Traq Bomb kita. Hasilnya? Barisan belakang tertidur karena efeknya!"
"Jangan cari alasan!" gadis itu membalas sambil menatapnya tajam. "Kalau kalian lebih sigap, ini semua tidak akan terjadi!"
Aria hanya bisa memandangi mereka dari jauh sambil tersenyum kecil, menikmati steaknya yang masih hangat. "Sepertinya Izna Port memang penuh dengan warna dan cerita," gumamnya pelan pada Ignis, yang ikut memperhatikan situasi di meja itu.
**************
Saat perdebatan itu semakin memanas, seorang laki-laki bertubuh kekar dengan rambut pirang pendek, mengenakan armor berat, dan membawa Great Sword besar yang tergantung di punggungnya akhirnya angkat bicara untuk menengahi teman-temannya.
"Cukup, kalian berdua," ucapnya dengan suara tenang tapi tegas, membuat perhatian mereka langsung tertuju padanya. "Daripada terus menyalahkan satu sama lain, lebih baik kita fokus belajar dari kesalahan ini. Itu jauh lebih bermanfaat."
Kedua Hunter yang sebelumnya berdebat saling berpandangan sejenak sebelum menghela napas.
"Kurasa kau benar," ucap pria dengan dual blade sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tidak ada gunanya kita saling menyalahkan di sini."
Gadis berambut biru gelap itu mengangkat bahu dan mengusap baju zirahnya yang masih terlihat kotor. "Iya, baiklah. Lagipula, kita memang kekurangan informasi tentang monster itu sejak awal," katanya dengan nada enggan. Wajahnya berubah masam saat mencium bau tidak sedap dari armornya. "Dan aku benci mengakui ini, tapi aku benar-benar perlu mandi yang lama untuk membersihkan bau busuk ini. Armor ini juga butuh perawatan serius."
Laki-laki kekar itu tersenyum tipis, lega melihat suasana mulai mereda. "Kalau begitu, mari kita siapkan diri lebih baik untuk perburuan berikutnya. Tak ada salahnya kita bertanya pada Guild atau para Hunter lain tentang informasi tambahan soal monster itu."
Mendengar percakapan mereka, Aria yang duduk tak jauh hanya mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. "Kelompok mereka cukup menarik," gumamnya pelan kepada Ignis.
********************
Dua minggu telah berlalu sejak Aria tiba di Izna Port bersama Ignis. Selama waktu itu, Aria sering mengerjakan berbagai quest solo bersama Ignis, mulai dari tugas-tugas sederhana seperti gathering quest hingga perburuan bird wyvern.
Hari itu, sepulang dari menyelesaikan sebuah quest mengambil telur wyvern herbivora, Aria dan Ignis kembali ke Hunter Guild di Izna Port. Namun, perhatian mereka segera tertuju pada sekelompok Hunter yang pernah dilihat Aria sebelumnya—kelompok yang sempat berdebat di kedai beberapa waktu lalu. Namun kali ini, mereka tampak tergesa-gesa dan tidak lengkap; dua anggota mereka, si gadis berambut twintail dan pria dengan poni miring, tidak terlihat bersama mereka.
Setibanya di meja resepsionis Hunter Guild, pria bertubuh kekar dengan Great Sword tergantung di punggungnya berbicara kepada resepsionis dengan nada panik dan cemas.
"Tolong segera kirim bantuan!" katanya dengan suara yang terdengar penuh kekhawatiran. "Teman-teman kami sedang dalam bahaya!"
Aria, yang mendengar ucapan itu, berhenti sejenak dan memperhatikan situasi dengan cermat. Ia dapat melihat ketegangan di wajah pria tersebut, begitu juga dengan anggota kelompok lainnya yang tampak gelisah dan lelah.
Sambil menatap Ignis, Aria berbisik pelan, "Sepertinya ada sesuatu yang serius. Kita mungkin harus mendengar lebih banyak tentang apa yang terjadi." Ignis mengeong kecil, seolah menyetujui niat Aria untuk terlibat.
*********************
Setelah mendengar cerita itu, resepsionis Hunter Guild merenung sejenak, mencoba menganalisis informasi yang diberikan. Ia lalu bertanya lebih detail tentang wujud monster tersebut. "Bisa Anda jelaskan lebih rinci tentang penampilan monster itu?"
Pria bertubuh kekar itu mencoba mengingat, dan perlahan menggambarkan sosok monster yang menyerang mereka.
"Tubuhnya ramping, dengan corak hitam dan pola neon hijau yang menyala di sisiknya. Mata berwarna hijau terang, dan ada tanduk panjang bercabang yang terlihat di kepalanya. Sayapnya besar, berkilauan kehijauan dan sangat tajam."
Resepsionis Guild terdiam sejenak, mencerna deskripsi tersebut, kemudian mengerutkan dahi. "Sepertinya ini adalah Aerothalix, si Penakluk Langit, juga dikenal dengan julukan The Tempest Striker. Sebuah wyvern terbang yang mampu mengendalikan listrik dan energi plasma. Ini adalah jenis monster yang sangat berbahaya, baik di darat maupun di udara, biasanya monster ini jarang terlihat di dataran rendah, bisa katakan dimana kalian bertemu dengannya?"tanya resepsionis itu agar dia bisa segera memberikan quest darurat.
"Kami bertemu dengannya di pulau kecil yang terhubung dengan pulau Isle Solvalis, aku mohon segera kirimkan bantuan, sebelum teman kami tewas oleh monster itu."ucap laki-laki berambut pirang dengan great sword di punggungnya.
Setelah tau monster apa yang menyerang, resepsionis pun dengan lantang berkata, "Kepada semua hunter yang ada disini, ini adalah quest penyelamatan darurat, setiap orang yang berpartisipasi akan mendapatkan hadiah dari Hunters Guild, jadi tolong bersiaplah, karena kita akan segera berangkat,"ucap resepsionis guild pada semua orang yang ada disana.
Para Hunter yang berada di dalam guild segera bergegas mempersiapkan perlengkapan mereka untuk menghadapi bahaya yang akan datang. Dalam beberapa menit, kelompok penyelamat pun siap untuk berangkat.
~Bersambung~