Setelah semua orang kembali dari misi penyelamatan dengan membawa material Aerotalix, kapal pun berlabuh kembali ke Izna Port. Kedatangan mereka disambut oleh resepsionis Hunters Guild yang terlihat lega melihat para hunter yang berhasil pulang dengan selamat.
Malamnya, ketika semua hunter telah berkumpul di Hunters Guild untuk merayakan kemenangan mereka, suasana di dalam sana tampak ramai dengan hunter yang menari-nari sambil meminum satu gelas besar Ale dingin untuk merayakan kemenangan mereka atas Aerotalix.
Melihat semua orang bersenang-senang, Aria teringat kenangannya bersama teman-temannya di Desa Astoria.
"Aku penasaran bagaimana kabar Kaiden dan yang lainnya, apakah mereka baik-baik saja di desa Astoria," gumam Aria sambil menikmati makanannya bersama Ignis.
Setelah puas menyantap makanan dan minumannya, Aria melihat Ignis yang sudah tertidur lelap karena kenyang. Melihat itu, ia tersenyum kecil lalu menggendong Ignis bersamanya.
Saat akan menuju penginapan yang ditempatinya, Aria melihat seorang gadis berambut biru gelap yang diikat twintail berdiri memandangi bintang sambil sedikit bergumam, "Sepertinya aku memang lemah. Selama ini aku pikir aku ini kuat karena selalu unggul dalam pelatihan hunter. Tapi dalam perburuan yang sebenarnya, aku ketakutan dan selalu membuat teman-temanku melindungiku," gumam gadis itu sambil menatap bintang di langit malam.
Melihat gadis itu sendirian, awalnya Aria berniat menyapa dan menemaninya. Tapi karena Ignis sedang tertidur, dirinya pun melewati gadis itu untuk membawa Ignis pulang ke penginapan. Setelah sampai di penginapan dan membaringkan Ignis di kasur, Aria perlahan menutup pintu kamarnya dan berjalan keluar dari penginapan.
Di luar penginapan, Aria melihat gadis tadi masih berdiri di sana. Dengan langkah perlahan, ia menghampirinya dan menyapa, "Hai, keberatan jika aku menemanimu di sini?" tanyanya dengan nada ramah.
Gadis itu menoleh ke belakang, memperhatikan Aria sejenak, lalu mengangguk pelan. "Tentu saja, silakan," jawabnya lembut.
Mereka berdua hanya terdiam dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Setelah beberapa saat, gadis berambut twintail itu akhirnya memecah keheningan dengan bertanya, "Kau seorang hunter juga, ya?" tanyanya, sambil menatap Aria dengan penuh rasa ingin tahu.
Aria kemudian menjawab, gadis itu sambil tersenyum, "Tentu, aku juga seorang hunter yang baru saja naik ke rank 2."
"Tunggu kau bilang rank 2? Kau serius?" ucap gadis itu seakan tidak percaya bahwa Aria adalah seorang hunter rank 2.
"Kenapa kau seterkejut itu? Bukankah itu hal normal bagi para hunter?" tanya Aria sambil menatap gadis itu dengan rasa ingin tahu.
Gadis berambut twintail itu menghela napas sambil tersenyum kaku. "Jadi itu hal biasa, ya? Ternyata pengetahuanku tentang dunia hunter masih sangat minim," jawabnya sambil mengusap tengkuknya dengan canggung.
Aria tersenyum lembut mendengar jawabannya. "Tidak apa-apa, setiap hunter memulai dari suatu titik. Aku sendiri juga masih belajar banyak hal. Dunia perburuan ini memang penuh kejutan," ucap Aria dengan nada penuh pengertian.
"Ya, aku pikir aku masih harus banyak bertanya. Kalau kau tidak keberatan, bisakah kau ceritakan pengalamanmu sebagai hunter? Aku ingin belajar," ujar gadis itu dengan antusias.
"Tentu," kata Aria sambil tersenyum. "Tapi, kau harus siap mendengar beberapa cerita yang mungkin tidak selalu menyenangkan."
"Aku siap kapanpun. Meskipun itu tidak menyenangkan aku tetap ingin mendengarnya," ucap gadis itu dengan rasa ingin tahu di wajahnya.
Melihat gadis itu ingin tahu pengalaman Aria sebagai seorang hunter, ai pun mulai bercerita berbagai hal kepadanya. Mulai dari pertama kali dirinya bertemu Kaiden, Mira, dan yang lainnya, yang mau berbagi misi dengannya, sampai bagaimana dirinya bertemu Frostgonga sampai elder dragon Vayron Daorah.
Setelah mendengar cerita Aria, gadis itu tercengang, seakan tidak percaya bahwa mereka berhasil kembali hidup-hidup saat bertemu elder dragon.
"Lalu, apa yang terjadi pada kalian setelah bertemu elder dragon itu, dan bagaimana kalian berhasil selamat darinya?" tanya gadis itu dengan rasa penasaran di wajahnya.
Bisa dibilang kami hanya beruntung, karena elder dragon itu terluka parah saat pertarungannya melawan Frostgonga. Jadi, dia memutuskan untuk menjauh dan memulihkan diri dan meninggalkan kami," ucap Aria menceritakan pengalamannya pada gadis itu.
"Sudah cukup tentang diriku. Bagaimana kalau sekarang giliranmu yang bercerita?" Aria tersenyum hangat, mencoba mengalihkan perhatian. "Oh, ngomong-ngomong, namaku Aria. Senang bertemu denganmu, umm..."
Gadis itu menoleh sambil tersenyum tipis. "Celes. Panggil saja aku Celes," jawabnya singkat dan ramah.
"Jadi Celes. Bisa kau ceritakan tentang diri mu pada ku? Aku ingin mendengar cerita mu," ucap Aria yang ingin mengetahui tentang Celes
Celes menghela napas pendek sebelum mulai bercerita. "Aku dan teman-temanku adalah teman masa kecil. Kami juga satu angkatan di akademi hunter," ucapnya sambil menatap ke langit malam. "Selama di akademi, aku sering dibilang yang paling unggul—pengetahuan soal monster, taktik perburuan, hingga cara meracik obat dan alkimia. Bahkan, aku lulus dengan predikat terbaik."
Dia tersenyum kecil, lalu melanjutkan. "Setelah lulus, kami memutuskan untuk membentuk tim dan mendaftar ke Hunter Guild. Awalnya, semangat kami tinggi. Kami langsung mengambil misi berburu Fartuga, kera raksasa yang terkenal susah ditangkap," katanya, sebelum tertawa kecil.
"Tapi... ternyata kami terlalu gegabah. Kami kurang informasi, dan semuanya malah berakhir kacau. Fartuga kabur, aku terkena kentutny, bau busuk yang membuat ku harus mandi berjam-jam untuk membersihkan aroma busuk dari kentutnya, dan yang lainnya malah tertidur karena salah meracik tranquilizer bomb," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mendengar cerita Celes, Aria hanya tertawa kecil, lalu meminta Celes melanjutkan ceritanya. Setelah beberapa menit bercerita, Celes pun berkata kepada Aria "Umm... Aria, apa boleh aku meminta sesuatu pada mu?" tanya Celes dengan sungkan.
"Tentu, selama bukan hal yang mustahil dan melebihi batas kemampuan ku," ucap Aria dengan senyum ramah di wajahnya.
"Kalau begitu, bisa kita bertemu lagi setelah aku dan teman ku pulih sepenuhnya," ucapnya sambil menatap kearah Aria.
Scene Festival Cahaya Lautan: Pertemuan dengan Tim Penjaga Horizon
Satu bulan telah berlalu sejak pertemuan Aria dan Celes. Malam itu, Izna Port diselimuti suasana hangat Festival Cahaya Lautan, perayaan tahunan yang menandai harapan baru di akhir tahun. Lentera bercahaya berwarna-warni bergantungan di sepanjang jalan, sementara para penduduk menikmati hidangan khas dan musik meriah yang menggema di pelabuhan.
Aria berdiri di alun-alun, kagum dengan keindahan lentera-lentera yang dilepaskan ke udara, menciptakan pemandangan bintang buatan. Ketika dia tengah menikmati suasana, Celes muncul dari kerumunan dengan senyum lebar. "Aria! Aku sudah mencarimu," katanya sambil melambaikan tangan.
Aria tersenyum dan menghampiri Celes. "Kau terlihat lebih sehat sekarang."
"Ya, terima kasih atas dukunganmu. Oh, aku ingin kau bertemu teman-temanku," jawab Celes, menarik tangan Aria ke arah kelompok kecil yang berdiri di dekat tenda makanan.
Pengenalan Tim Penjaga Horizon
Di sana, empat orang menunggu, masing-masing dengan aura yang berbeda.
Kael, seorang pria tinggi dengan rambut coklat gelap yang berantakan, tersenyum tipis dan menjulurkan tangannya. "Aku Kael Runhardt. Terima kasih sudah membantu Celes saat itu." Suaranya tegas, tapi penuh rasa terima kasih.
Ren, pria dengan rambut hitam berkilau dan mata biru cerah, melambaikan tangan dengan santai. "Ren Altair di sini. Aku ahli dalam melompat, menyerang cepat, dan... mencuri kue festival," katanya sambil tertawa kecil.
Ezra, dengan rambut keperakan dan mata hijau zamrud yang tenang, mengangguk sopan. "Ezra Voncrest. Aku lebih sering diam di belakang dan memastikan semuanya tidak keluar jalur."
Arden, pria bertubuh tegap dengan rambut coklat kemerahan, hanya memberikan anggukan singkat. "Arden Lorne," katanya singkat, namun tatapannya hangat.
Aria tersenyum. "Senang bertemu kalian semua. Celes sering membicarakan kalian."
"Semoga dia tidak membicarakan kebiasaan buruk kami," Ren menimpali sambil terkekeh, membuat yang lain tertawa kecil.
Malam f estival pun tiba, mereka berlima duduk bersama menikmati makanan khas festival seperti ikan bakar, sup khas Izna Port, dan kue manis berbentuk lentera. Setelah semua orang menikmati makanan dan pesta, terlihat lentera-lentera mulai dilepaskan ke udara, da ke laut menciptakan pemandangan indah.
"Festival ini selalu membuatku merasa damai," ucap Celes, menatap lentera yang perlahan menghilang di kejauhan.
"Damai, ya?" ujar Kael. "Tapi aku yakin setelah ini, kita semua akan kembali ke medan perburuan."
"Dan aku yakin Aria harus bergabung dengan kita suatu hari," tambah Ren dengan semangat, membuat Aria tersenyum.
"Mungkin. Tapi untuk malam ini, mari kita nikmati momen ini," jawab Aria sambil memandang langit penuh cahaya.
Malam itu, di bawah kilauan lentera dan bintang, persahabatan mereka semakin erat, menciptakan kenangan yang akan selalu mereka ingat.
Beberapa hari setelah malam festival berlalu, Celes bersama teman-temannya memutuskan untuk mengajak Aria untuk berburu Fartuga bersama mereka. Namun, setibanya di Hunters Guild, permintaan quest mereka untuk berburu Fartuga di tolak oleh resepsionis guild. Aria yang bingung bertanya kepada Celes dan teman-temannya, tapi tidak ada satupun yang mau menjawab. Akhirnya Aria pun bertanya ke resepsionis guild, tentang penyebab permintaan quest untuk berburu Fartuga di tolak.
Resepsionis pun mulai mengeluarkan tumpukan selebaran quest perburuan Fartuga yang semuanya gagal di selesaikan, dan beberapa quest lainnya yang juga berakhir dengan kegagalan.
"Kami, pihak Hunters Guild sebenarnya tidak memberikan batasan pada para hunter, tapi pengecualian untuk Celes dan timnya. Karena mereka terlalu sering gagal menyelesaikan quest perburuan Fartuga, kami pun menyimpulkan bahwa mereka tidak punya pengalaman untuk menjadi hunter. Meskipun mereka adalah lulusan terbaik akademi hunter, kami tidak bisa membahayakan hunter yang belum punya pengalaman yang matang, dan itulah alasan mengapa pengajuan quest mereka di tolak," tegas resepsionis itu pada Aria, sambil menatap ke arah Celes.
Teman-temannya sudah mengetahui hal itu, bahkan Celes pun juga sudah mengetahuinya. Namun dirinya tetap bersikeras untuk mengambil quest itu.
Setelah beberapa kali memohon, resepsionis guild tetap menolaknya. Meskipun begitu, Celes tetap memohon agar quest perburuan mereka di setujui. Karena keinginan kuat dari Celes, Aria pun bertanya kepada resepsionis guild, "apakah jika mereka didampingi hunter yang ranknya lebih tinggi dari mereka, pengajuan quest mereka akan di setujui?" tanya Aria pada resepsionis guild itu.
Setelah mendengar pernyataan resepsionis guild, Aria hanya mengangguk kecil, sementara Celes dan timnya menelan semua syarat yang diberikan dengan berat hati.
"Kami terima," ucap Celes dengan tegas, meskipun terlihat ada sedikit keraguan di wajahnya.
"Baiklah. Semoga ini menjadi pembuktian bagi kalian," jawab resepsionis guild. "Ingat, jika kalian gagal, kartu guild kalian akan dicabut, dan tim ini tidak lagi diakui di wilayah ini."
Dengan keputusan itu, mereka pun bersiap menjalankan misi terakhir mereka, perburuan Fartuga di Pulau Isle Solvalis.
Di atas kapal yang membawa mereka menuju pulau, suasana terasa tegang. Hembusan angin laut tidak mampu mengusir rasa gelisah yang melanda tim Celes.
Ren mencoba memecah keheningan. "Hei, aku yakin kita bisa melakukannya kali ini. Lagi pula, kita punya Aria yang mengawasi. Kalau kita melakukan kesalahan, dia pasti membantu, kan?" katanya dengan senyum optimis, meskipun ada sedikit nada cemas di suaranya.
Aria yang duduk di sisi kapal hanya mengangkat bahu. "Aku akan mengawasi. Tapi ingat, aku tidak akan membantu kecuali situasi benar-benar darurat. Ini quest kalian, bukan milikku."
Ren menelan ludah, lalu tertawa kecil. "Ya, ya, aku tahu. Tapi setidaknya, kita tidak sendirian, kan?"
Ezra menimpali dengan suara datarnya, "Ren, fokuslah. Ini bukan misi yang bisa dianggap enteng. Kita gagal terakhir kali karena terlalu gegabah. Kali ini, kita harus bekerja sama dengan baik."
Kael, yang duduk di dekat tiang kapal dengan Greatsword-nya di punggung, hanya mengangguk. "Ezra benar. Jangan ada yang bertindak gegabah seperti waktu itu. Kita tidak bisa kehilangan kesempatan ini."
Celes, yang berdiri di dekat pagar kapal, memandang laut yang tenang dengan tatapan penuh pikiran. Suaranya tiba-tiba memecah keheningan. "Kalau kita gagal kali ini, aku tidak akan menahan kalian lagi."
Semua mata tertuju pada Celes.
"Apa maksudmu?" tanya Kael dengan nada serius.
Celes menarik napas panjang. "Aku tahu, selama ini aku terlalu egois dan hanya mementingkan diri ku sendiri. Aku terlalu memaksakan kehendak ku pada kalian. Maka dari itu, kalau kita gagal kali ini... aku akan membubarkan tim kita. Aku tidak akan menahan kalian lagi. Kalian bebas pergi ke mana pun kalian mau. Aku tahu aku bukan pemimpin yang sempurna."
Ren tertegun mendengarkan ucapan Celes. "Celes, kau tidak serius, kan?"
"Aku serius," balas Celes dengan suara bergetar, tapi tegas. "Ini adalah misi terakhir kita sebagai tim. Jika kita tidak bisa membuktikan diri, itu berarti aku gagal sebagai pemimpin. Aku tidak ingin menyeret kalian lebih jauh."
Arden, yang biasanya pendiam, akhirnya angkat bicara. "Kita tidak akan gagal."
Celes menoleh ke arahnya, melihat keyakinan di mata Arden.
"Kita akan melakukan ini bersama-sama," lanjut Arden. "Dan jika ada yang menyerah, itu bukan kau, Celes."
Kata-kata Arden membuat suasana sedikit lebih ringan. Mereka semua tahu betapa pentingnya misi ini bagi Celes, dan bagi mereka semua.
Aria, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, hanya diam. Tapi dalam hatinya, dia mulai melihat semangat yang berbeda di tim ini.
Ketika daratan Pulau Isle Solvalis mulai terlihat di kejauhan, Aria berdiri dan mengencangkan perlengkapannya. "Baiklah, semua. Waktunya membuktikan diri. Ingat, aku hanya akan campur tangan jika situasi benar-benar di luar kendali."
Celes menoleh ke arah timnya. "Ini adalah kesempatan terakhir kita. Jangan sia-siakan."
Ren tersenyum tipis, Ezra mengangguk, Kael mengepalkan tangannya, dan Arden menarik napas panjang. Mereka semua tahu, tidak ada jalan kembali lagi.
Angin laut menerpa wajah mereka, membawa aroma petualangan sekaligus tekanan besar yang menanti di depandepan.
~Bersambung~