Aria berhenti sejenak, menarik napas panjang. Salju tipis berputar di sekitarnya, menambah suasana dingin yang menusuk hingga ke tulang. Tiba-tiba, dari balik kabut, sebuah siluet besar muncul perlahan, bergerak mendekati posisinya.
Jantung Aria berdegup kencang. Dia segera menggenggam pedangnya erat-erat dan bersiap siaga. Dengan nada sedikit tegang, dia berteriak, "Siapa di sana!?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara langkah berat yang semakin mendekat, menimbulkan desiran di salju. Aria memutuskan untuk maju perlahan, napasnya terlihat dalam udara dingin. Matanya tidak lepas dari bayangan itu, yang semakin jelas seiring jaraknya yang kian dekat.
Ketika bayangan itu hampir berada di hadapannya, Aria menarik pedangnya dengan gerakan cepat, bersiap menyerang. Namun, saat hendak mengayunkan pedang, dia terkejut melihat siapa yang ada di depannya.
"Kaiden!?" serunya, menurunkan pedangnya dengan wajah penuh kebingungan. Di samping Kaiden, berdiri seekor Felyron besar yang mengenakan armor, tampak kokoh dan siaga.
Kaiden menatap Aria dengan alis sedikit terangkat. "Aria? Kau sedang apa di sini?" tanyanya, suaranya terdengar serius tetapi tetap tenang.
Aria menyarungkan kembali pedangnya, mencoba menenangkan dirinya. "Aku... sedang menjalankan ujian kenaikan peringkat," jawabnya, masih terkejut dengan kehadirannya. "Tapi bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Kaiden menyilangkan tangan di dadanya sambil melirik Felyron di sampingnya yang mengendong tas berisikan mineral dan beberapa tanaman yang hanya tumbuh di pegunungan Frost Peaks Mountain. "Kau bisa lihat sendiri kan aku sedang dalam misi gathering. Tapi kita bicarakan itu nanti. Yang lebih penting sekarang, kau harus lebih waspada. Tempat ini bukan lokasi yang ramah bagi seorang hunter pemula."
Aria mendengus pelan. "Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan mundur. Bagaimanapun juga, aku harus menyelesaikan ini."
Kaiden tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tetap penuh kehati-hatian. "Kalau begitu, berhati-hatilah. Dan jangan terlalu jauh dari pos. Kau mungkin akan membutuhkan bantuan."
********************
Setelah berpisah dengan Kaiden, Aria kembali melanjutkan langkahnya menyusuri tebing yang diselimuti salju abadi. Udara semakin dingin seiring perjalanannya, dan kabut es mulai menebal, perlahan menutupi pandangannya. Suasana sunyi, hanya diiringi suara gemerisik salju di bawah langkahnya dan hembusan angin yang menggigit kulit.
Saat kabut mulai sedikit mereda, pandangannya tertuju pada sesuatu di kejauhan. Sebuah tenda yang tampak hancur, setengah terkubur salju. Di dekatnya, terlihat beberapa bangkai anak Popoga, tubuh kecil mereka terkoyak parah hingga hanya menyisakan tulang dan sedikit daging yang membeku. Aroma samar darah yang telah lama mengering bercampur dengan udara dingin, menciptakan suasana yang mencekam.
Dengan hati-hati, Aria mendekati tenda itu, matanya terus mengamati sekelilingnya. Namun, ketika dia baru saja akan memeriksa lebih dekat, sebuah suara melengking tajam tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Suara itu memecah keheningan dan membuat tubuh Aria spontan menegang.
Tanpa berpikir panjang, Aria melompat ke depan dan berguling di atas salju, nyaris menghindari serangan yang melesat ke arahnya. Ketika dia berbalik, pemandangan di depannya membuatnya terkejut.
Lima ekor Bird Wyvern berdiri tidak jauh darinya. Tubuh mereka ramping dan penuh otot, bergerak dengan kelincahan yang mengintimidasi. Cakar mereka yang panjang mengeluarkan cairan beracun yang menetes perlahan ke salju, menciptakan noda gelap. Jambul kecil di kepala mereka berwarna biru pucat dengan corak putih yang membuat mereka sulit terlihat di lingkungan bersalju. Mata mereka berwarna kuning cerah, menatap Aria dengan tatapan penuh ancaman, sementara suara melengking khas mereka kembali menggema di udara.
Aria menarik napas dalam-dalam, meraih pedangnya, dan dengan refleks dia melopat dan berguling ke depan berbalik lalu memasang kuda-kuda sambil berkata,"Jadi ini ulah kalian, ya?" ucapnya lembut namun penuh kewaspadaan, mempersiapkan diri untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Tanpa memberi Aria waktu untuk bersiap lebih lama, lima ekor Bird Wyvern itu langsung menyerang secara bersamaan. Mereka melompat dengan gerakan gesit, cakar tajam mereka mengarah tepat ke Aria. Dengan refleks yang terlatih, Aria menghindar ke sisi kiri, lalu mengayunkan longsword miliknya dengan tegas. Tebasan itu mengenai leher salah satu Bird Wyvern, membuat darahnya memancar ke salju putih di sekitarnya. Monster itu jatuh, tak bergerak lagi.
"Satu tumbang, tinggal empat lagi," ucap Aria, suaranya tegas namun tetap penuh kewaspadaan. Dia mengangkat longswordnya, bersiap menghadapi kawanan yang tersisa.
Empat Bird Wyvern yang masih hidup tampak marah atas jatuhnya rekan mereka. Dengan raungan ganas, mereka mulai mengepung Aria, mencoba menyerangnya dari berbagai arah. Aria berusaha memanfaatkan armornya untuk menahan sebagian serangan, tetapi beberapa serangan berhasil menembus pertahanannya, membuat luka kecil di tubuhnya.
Dalam duel sengit itu, Aria berhasil mengurangi jumlah mereka menjadi dua. Namun, sebelum dia bisa bernapas lega, suara raungan berat dan menggelegar tiba-tiba menggema dari atas tebing. Suara itu membuat Aria menghentikan gerakannya sejenak, dan matanya terangkat untuk mencari sumber suara.
Dari balik kabut tebal di atas tebing, muncul sosok besar yang tampak lebih berbahaya. Seekor Bird Wyvern berukuran masif melompat turun, diikuti oleh beberapa kawanan kecilnya. Tubuhnya dihiasi jambul berwarna ungu muda, dengan dua cakar tajam yang bersinar dalam gradasi biru dan ungu, serta corak putih-biru yang berpadu dengan duri tajam di sepanjang punggungnya.
"Jadi, akhirnya kau muncul juga, sang Alpha... Velogian," gumam Aria, matanya menatap sosok mengintimidasi itu dengan campuran rasa takut dan tekad. "Jika aku bisa mengalahkanmu, maka aku pasti akan lulus ujian ini."
Velogian meraung lagi, lebih keras dari sebelumnya, memanggil kawanannya untuk bergabung dalam pertarungan. Dari berbagai arah, 12 ekor Velogini—Bird Wyvern yang lebih kecil namun tetap mematikan—muncul dan bergabung dalam barisan. Kini, Aria berdiri menghadapi total 14 ekor Velogini dan sang Alpha, Velogian.
Aria mengepalkan tangan di gagang pedangnya, menatap kawanan yang mengelilinginya. Tekanan dan rasa takut mulai merayap, tetapi dia menolak untuk menyerah.
"Kalian benar-benar mengepungku... Tapi aku tidak akan mundur!" katanya, suara gemetar namun penuh tekad. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Ayo maju! Aku akan menghadapi kalian semua!"
********************
Duel sengit pun berlangsung, Aria berhasil menumbangkan sekitar enam ekor Velogini. Namun, luka-luka di bahu, tangan, dan paha semakin terasa, ditambah dengan dampak racun dari cakaran Velogini yang membuat gerakannya melambat. Darah mengalir perlahan dari tubuhnya, namun tekadnya tak goyah.
"Siapa berikutnya?!" seru Aria dengan napas terengah-engah, matanya menatap tajam kawanan yang tersisa.
Beberapa Velogini mundur beberapa langkah, memberi ruang bagi sang Alpha, Velogian, untuk maju. Cakar es yang berkilauan dan racun yang mematikan terarah menuju Aria. Dalam pertarungan yang semakin brutal, Aria berhasil mematahkan cakar racun Velogian dan menebas mata kiri sang Alpha, meski tubuhnya terhuyung karena serangan-serangan mematikan yang datang bertubi-tubi.
Namun, meski Aria terluka parah, musuh lebih unggul dalam jumlah. Di tengah kekacauan itu, tiba-tiba sebuah bayangan besar melayang ke arah beberapa Velogini, menghantam mereka dengan kekuatan yang membuat beberapa ekor terbunuh seketika. Formasi kawanan pecah, menciptakan peluang bagi Aria untuk melawan lebih banyak lagi.
Raungan yang lebih keras terdengar dari kejauhan, dan siluet besar melompat dari bebatuan ke bebatuan. Dengan kekuatan luar biasa, monster itu mendarat dengan kedua tangannya yang besar, menghantam tanah dengan kekuatan yang cukup untuk membuat kabut salju tebal menutupi seluruh area pertarungan.
Kabut itu mulai menghilang, dan yang terlihat di hadapan mereka adalah monster primata raksasa, tingginya sekitar 7 meter, dengan tubuh besar berotot dan bulu putih lebat yang menutupi tubuhnya. Rahangnya besar dengan taring tajam yang menonjol seperti pedang, sementara kuku-kukunya yang tajam menyerupai cakar. Mata merah menyala memberikan kesan yang lebih mengintimidasi, seperti api yang menyala di tengah kegelapan.
*****************
Melihat kedatangan monster tersebut, Velogian dan kawanan Velogini mengeluarkan suara keras, seolah memberikan peringatan kepada penyusup yang masuk ke wilayah mereka. Raungan mereka semakin sering, dan akhirnya, Velogini bersama Velogian menyerang monster baru itu secara bersamaan. Serangan mulai dilancarkan dengan cakaran dan gigitan, namun monster besar itu tetap tidak bergeming, seolah-olah serangan-serangan itu tidak berarti.
Dengan satu ayunan cakar yang kuat, dua ekor Velogini terbabat, tubuh mereka terbelah menjadi dua bagian. Monster itu meraung keras, lalu melompat ke tanah, menghantamnya dengan kekuatan yang membuat seluruh area bergetar hebat. Beberapa Velogini terlempar dan jatuh ke jurang, sementara Aria dan Velogian terpental keras ke dinding tebing.
*****************
Saat monster besar itu bersiap mengincar Aria yang terhuyung, tiba-tiba sebuah Flash Bomb dilemparkan ke arahnya. Ledakan terang membuat monster itu terkejut, sejenak buta oleh cahaya yang menyilaukan. Dalam kekacauan itu, suara Mira terdengar memanggil dengan penuh urgensi, "Aria! Cepat bangun sebelum monster itu kembali mendapatkan penglihatannya!"
Dengan kesulitan, Aria mengangkat tubuhnya yang terluka. Napasnya tersengal, tapi tekadnya masih kuat. Dia mengambil senjatanya yang tergeletak di dekatnya, juga cakar racun yang terpisah dari tubuh Velogian, lalu bersiap untuk menghadapi monster yang lebih besar dari sebelumnya.
Namun, saat Aria menghadap monster primata itu, ada satu hal yang membuatnya merinding. Meski mata monster itu masih kabur karena cahaya, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih menakutkan. Dengan suara menggelegar, monster itu mulai bergerak—tidak untuk menyerang Aria, tapi untuk melangkah mundur, menghindari serangan yang akan datang. Dan di balik kabut salju yang kembali menyelimuti, terdengar raungan lebih keras, lebih dalam, dan lebih mengancam. Sebuah suara yang bukan milik monster yang sudah berada di hadapan mereka.
Aria menahan napasnya. Sesuatu yang lebih besar... lebih kuat... sesuatu yang lebih mengerikan sedang datang.
~Besambung~