"Kamu enggak punya
motor?" Erick lebih heran lagi. Kemudian mengambil selembar uang merah
dari dalam dompet lalu menyodorkan kepada Nirmala.
"Motor saya turun mesin, Pak. Bannya juga harus ganti. Saya belum punya
uang buat ganti," jelas Nirmala. Ia tidak ikhlas rasanya harus merepotkan
orang tuanya untuk hal seperti ini.
Meski orang tuanya selalu menawarkan bantuan, Nirmala tidak mau terusan menjadi
beban orang tua. Sudah saatnya ia berbakti dengan meringankan beban mereka.
Nirmala pun pamit dan segera beranjak. Agar pekerjaannya bisa cepat selesai.
-oOo-
6
Setelah berkeliling lama di Ciputra World Mall, akhirnya Nirmala kembali ke kafe dengan
menenteng empat kantong plastik saja. Satu kantong plastik berisi segelas kopi starbucks, satu kantong plastik lagi
berisi makanan yang dibelinya di Paradise
Dynasty, dan sisanya berisi snack ringan bermacam-macam.
"Apa ada yang kurang, Pak?" tanya Nirmala.
Erick tampak puas dengan kinerja Nirmala yang tidak kekurangan satu jenis
makanan, pun. Bahkan, snack ringannya
pun komplit.
"Ya ini yang disebut bekerja dengan baik," jawab Erick memuji.
"Kalau enggak ada yang kurang, saya pamit melanjutkan pekerjaan saya di
bawah," pamit Nirmala.
"Eh, tunggu!" Erick menahan.
Nirmala pun urung beranjak dari tempatnya. "Ada apa lagi, Pak?" tanya
Nirmala.
"Kamu lihat lantai di sekitar!" Erick menunjuk lantai ruangannya.
Perhatian Nirmala mengikuti telunjuk Erick. Lantai itu tampak baik-baik saja,
bersih, dan rapi. Tidak ada yang aneh.
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Nirmala tidak mengerti.
"Lantainya kotor," jelas Erick. "Kamu sapu, ya!"
Nirmala mengernyitkan dahi. "Tapi, Pak, saya enggak lihat ada satu debu
pun di sini," elak Nirmala.
"Yang pakai ruangan ini, kan, aku bukan kamu. Aku merasa lantai ini masih
kotor dan enggak nyaman," Erick menegaskan.
Nirmala menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Mengulanginya
beberapa kali untuk menenangkan diri. Ia harus belajar membiasakan diri dengan
bosnya yang bersifat kekanakan. Ingat! Pasal dua, kalau bos salah, pegawai yang
waras harus mengalah.
"Baik, Pak. Saya ambil sapu dulu," pamit Nirmala. Ia pun beranjak
keluar ruangan. Tak lama, ia kembali dengan mengambil sapu dan cikrak.
Nirmala mengawali pekerjaannya dengan menyapu area di sekitar tuan besarnya.
Kemudian memperluas ke sekitar.
"Hei!" panggil Erick.
Tangan Nirmala berhenti bergerak. Ia menoleh.
"Jangan buru-buru kalau nyapu. Ini ada yang kelewatan." Jemari Erick
mengarah ke bawah. Tepat di sekitar kakinya berserakan tiga kemasan snack bekasnya.
Padahal, Nirmala yakin sudah membersihkannya tadi! Sudah jelas itu ulah tuan
besarnya.
Bola mata Nirmala berputar disertai embusan napas kasar. Ia muak. Kemudian
berjalan mendekati lelaki yang kembali sibuk dengan dokumennya beserta snack di sampingnya.
Nirmala mendorong bungkus snack di
samping kaki Erick ke dalam cikrak menggunakan sapunya. Kemudian hendak
beranjak tetapi harus terhenti karena Erick kembali berulah.
Siku Erick mundur sehingga snack di
sampingnya tadi jatuh ke lantai dan berceceran.
"Astaga!" pekiknya, bersikap seolah itu adalah kecelakaan yang tidak
disengaja. "Aku lupa kalau bungkusnya sudah kubuka."
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Nirmala berjongkok memunguti snack yang berceceran dan memasukkannya
kembali ke dalam kemasannya. Toh, lantai sangat bersih usai disapu Nirmala
barusan.
Nirmala mengembalikan kemasan itu ke meja.
"Apa maksudmu?" tanya Erick.
Nirmala mengernyitkan dahi. Ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan
Erick. "Soal apa, Pak?" tanyanya.