"Tuhan. Memang hidup itu ibarat ujian yang berisi cobaan," gumam Nirmala baru dua langkah memasuki ruangan si angkuh dan kekanakan. Kemudian ia melanjutkan dengan mulut terasa kelu untuk mengeluarkan suara, seolah menelan kepahitan. "Tapi Tuhan, kalau masih ada lagi namanya bukan cobaan, tapi keterusan."
Nirmala menelan ludahnya dengan ekspresi datar menatap bungkus-bungkus snack yang sudah berserakan di meja dan di lantai. Nirmala terlalu lama menenangkan diri di luar sehingga kekacauan ini tidak teratasi.
Nirmala kehabisan kata-kata. Ia telah pasrah.
"Tuhan. Kini, aku berserah," gumamnya sembari melangkahkan kaki lagi mendekati tuan besarnya.
Nirmala mengusap dadanya sembari bergumam, "Sabar. Sabar. Cewek yang sabar nanti pacarnya ganteng kayak Hrithik Roshan."
Sesampainya di samping Erick, Nirmala langsung meminta izin untuk membersihkan sampah di meja kerja. "Permisi, Pak," katanya.
"Lama banget," protes Erick.
Memang Nirmala sengaja berlama-lama di luar kafe. Ia pikir, dengan begitu, Erick tidak bisa terusan menjahilinya. Namun, ia salah. Erick semakin parah.
"Ada urusan sebentar tadi, Pak," Nirmala berdalih.
Usai membersihkan kekacauan yang disebabkan Erick, Nirmala memberanikan diri menghadap Erick. Semua kekacauan ini harus segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya.
Tampak Erick kembali mengambil sebungkus snack lagi tanpa rasa bersalah. Sebelum ia membuka, panggilan Nirmala menghentikan gerakannya, "Pak."
Perhatian Erick beralih menuju Nirmala.
"Sebaiknya bapak makan dulu masakan tiongkoknya tadi," ujar Nirmala.
Alis kanan Erick terangkat. "Masih males. Mau makan snack saja," tolaknya.
"Tapi, Bapak sudah terlalu banyak makan snack," protes Nirmala.
Seketika wajah Erick berubah muram. "Kamu siapa ngatur-ngatur aku?" Erick balik memprotes.
Nirmala menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Menenangkan diri. Ia hampir saja melewati batasnya sebagai seorang bawahan.
"Maaf, Pak, bukan maksud saya mengatur Bapak. Saya hanya menyarankan kebaikan karena saya ingin yang terbaik untuk kesehatan Bapak. Snack, kan, enggak terlalu baik buat kesehatan tubuh kita." jelas Nirmala.
"Kenapa kamu, kok, jadi sok perhatian gitu? Memangnya kamu ibuku?" protes Erick.
Nirmala berdesah. Bahkan, butuh kesabaran lebih untuk menjelaskan maksud baik kepada orang ini.
"Saya hanya salah satu orang yang selalu menginginkan kebaikan untuk Bapak," jelas Nirmala. Ia begitu memperhatikan ucapannya dari kata per kata.
Kini Erick meruncingkan penglihatannya. Ia menelisik raut wajah Nirmala dengan penuh kecurigaan. "Sekarang kamu terus terang menggodaku?" tuduhnya.
"Enggaklah, Pak. Buat apa saya menggoda Bapak?" elaknya.
Erick mengalihkan perhatiannya dari Nirmala menuju snack yang barusan ia ambil. Kemudian ia membuka snack itu dan mengunyah isinya satu.
"Ya, siapa tahu kalau kamu suka aku," tebak Erick.
Bola mata Nirmala seketika membulat. Itu adalah tuduhan terkejam dalam hidupnya!
"Mana mungkin saya suka sama orang yang angkuh dan kekanakan kayak--" Nirmala langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Bola matanya semakin melebar. Hampir saja ia kebablasan.
Kejujuran memang baik. Tapi, sesuatu yang berlebihan kadang bisa berubah menjadi tidak baik.
Erick melirik. "Kayak siapa?" tanyanya berpura-pura lugu.
Nirmala menjauhkan tangan dari mulutnya. Kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. "Maksud saya, enggak mungkinlah saya bisa suka sama orang sukses kayak Bapak. Saya cuma tukang cuci piring. Jadi, saya lebih sadar diri sebelum patah hati." Nirmala berusaha menjelaskan.
"Kan, banyak wanita-wanita miskin yang sengaja menggoda pria kaya biar hidupnya bisa enak tanpa bekerja," celetuk Erick. Nirmala sampai heran kenapa lelaki angkuh di depannya ini bisa mengutarakan segalanya tanpa sungkan. Erick sudah seperti orang yang tidak pernah tersentuh didikan baik dari orang tuanya.