Ponsel Nirmala berdering tepat setelah es krimnya habis. Tertera nama 'Bos Gila' di tengah layar ponselnya.
"Ah, mimpi buruk sudah datang," gerutu Nirmala. Padahal, baru sebentar ia bisa bernapas lega.
"Enggak kamu angkat, enggak apa-apa. Ini masih jam istirahat, kok," ujar Andre.
Nirmala setuju. Itu bisa dijadikan sebagai alasan. Ia pun mengheningkan dering ponselnya. Sehingga sepuluh kali pun Erick menelponnya, ia tidak akan mendengar apa-apa.
Sepuluh menit kemudian, mobil Ferrari abu-abu berhenti di depan halaman Indomaret. Lelaki berkaos hitam berselimut jaket varsity hitam berpadu oren keluar dari mobil tersebut. Nirmala mengembuskan napas kasar. Karena orang yang sangat ingin ia jauhi, malah mendekatinya.
"Ikut aku. Aku harus berbelanja untuk membuat resep baru," titah Erick seenaknya.
"Maaf, Pak. Tapi, ini masih jam istirahat saya," tolak Nirmalam.
Erick mengangkat lengan setinggi dada. Perhatiannya mengarah pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangan. Kemudian ia mendekat dan duduk di samping Nirmala. Sehingga Nirmala terapit dua lelaki tampan dengan kepribadian yang berlawanan.
"Kalau begitu, aku akan menunggu sepuluh menit lagi sampai jam istirahat selesai," jelas Erick.
Nirmala hanya bisa pasrah.
"Pak Erick," panggil Andre.
Erick pun menoleh.
"Bukankah kita mempekerjakan Nirmala sebagai tukang cuci piring? Seharusnya tempat bekerja dia di dapur. Dan kalau Pak Erick butuh ditemani seseorang, Bapak bisa meminta bantuan saya," ujar Andre, memberanikan diri.
"Aku tahu sebenarnya kita tidak kekurangan tukang cuci piring. Aku hanya memberikannya pekerjaan agar dia benar-benar bekerja. Sebenarnya, kan, dia memang tidak dibutuhkan di sini." Erick menampar Andre dengan kenyataan.
Nirmala tidak mengatakan apa pun. Ia sadar ia bekerja di sini karena Andre terpaksa tidak bisa menolak permintaan Dinar.
"Lagi pula, pekerjaanmu lebih banyak dari dia, kan? Kamu di sini bukan untuk bermain-main," Erick menegaskan.
Andre tidak berkutik. Padahal, ia merasa kasihan kepada Nirmala.
"Udah, Pak Erick." Akhirnya Nirmala bersuara.
Perhatian Erick beralih pada perempuan di dekatnya. Alis kanannya terangkat.
Nirmala bangun. "Ayo kita pergi, Pak," ajaknya.
"Bukankah jam istirahat masih tujuh menit lagi?" sela Erick.
"Enggak papa, Pak. Biar cepat selesai. Ayo!" Nirmala menarik lembut lengan Erick.
Erick pun berdiri. Kemudian mereka berdua berjalan beriringan menuju Ferrari abu-abu di depan halaman.
Ketika berada di dekat pintu mobil, Erick mengangkat lengannya. Kemudian mengangkat alis kanannya sembari melirik pada lengannya lalu beralih pada Nirmala. Seolah mempertanyakan apa maksud Nirmala.
Nirmala yang meyadari tatapan penuh tanya itu, langsung melepaskan tangannya dengan raut terkejut. "Maaf, Pak. Aku enggak sadar sudah kelewatan," pinta Nirmala.
"Aku tahu kamu sangat suka berada di dekatku. Baiklah. Sebagai bos yang baik, aku akan mengabulkannya untukmu," ujar Erick bernada angkuh. Kemudian memasuki mobil dan duduk di kursi sopir.
Nirmala masih tercengang. "Dia sangat kekanakan," gumamnya.
Nirmala mengembuskan napas kasar sembari bergeleng-geleng pelan. Ia tidak habis pikir kalau ternyata, kekayaan bisa membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang berlebihan. Ia pun segera menyusul Erick.
Mobil Ferrari itu pun melaju cepat membelah jalan raya. Tidak lama kemudian, mobil itu memasuki halaman parkir Transmart Carrefour Rungkut. Pusat perbelanjaan yang tidak pernah sepi dari pengunjung. Mereka berdua pun berajalan beriringan memasuki tempat itu dan langsung menuju bahan-bahan masakan dipajang.
Erick menyuruh Nirmala mengambil troli. Nirmala hanya mendorongnya di belakang Erick sedangkan Erick terus memerhatikan sekeliling, sibuk memilih, dan berputar ke sana kemari. Awalnya memang tidak berasa. Namun, setelah troli itu mulai berisi separuh, Nirmala mulai kelelahan. Nirmala bisa bersyukur ketika seorang lelaki datang mendekat dan menyapa Erick dengan sangat akrab. Rupanya, lelaki bercelana chino pendek moka dipadukan kemeja putih motif garis putih yang dimasukkan sebelah itu, adalah teman Erick.