"Tumben banget, Pak Erick," ujar Andre memecahkan keheningan.
"Tumben apanya, Pak?" Nirmala tidak mengerti apa yang dibicarakan Andre.
"Tumben saja dia beli snack sebanyak itu dan memakannya," sahut Andre.
Dahi Nirmala mengernyit. Ia tidak mengerti apa yang aneh dari itu? Bukankah semua orang pasti suka snack?
"Mungkin Pak Erick lagi pengin nyemil, Pak," tebak Nirmala.
"Mungkinkah?" Andre tidak yakin. "Pak Erick biasanya cuma makan masakan kafe. Aku belum pernah melihat Pak Erick makan makanan ringan apalagi sebanyak itu."
Ah, sudah Nirmala tebak. Erick memang sengaja melakukan semua yang terjadi siang secara sengaja. Erick hanya berniat membalas dendam kepada Nirmala!
Untung saja, Erick menyuruhnya membawa semua sisa makanannya untuk pulang. Sehingga suasana hati Nirmala terasa lebih baik.
-ooOoo-
Beberapa hari bekerja, Nirmala tidak banyak menyentuh piring-piring kotor di dapur. Bagaimana tidak? Erick terus saja memberikannya pekerjaan tidak masuk akal. Seperti barusan, Nirmala baru kembali usai membawakan Erick kopi dan makanan Korea yang dijual di daerah Ketintang. Bahkan, tadi pagi, Erick juga menyuruhnya menghitung lima pak kertas HVS kosong dan membaginya menjadi dua puluh. Entah apa yang akan Erick lakukan dengan tumpukan kertas HVS itu?
Nirmala berharap, Erick benar-benar menggunakan seluruh kertas HVS itu untuk pekerjaan, bukan sekadar mengusilinya.
Kini, Nirmala menghabiskan waktu istirahatnya dengan duduk di depan Indomaret yang berhadap langsung dengan kafe Pandora. Ia memakan sebungkus roti untuk mengganjal perutnya. Kesibukan sesiang ini membuatnya tidak selera makan di dalam kafe.
"Aku ingin pulang saja," rengeknya sendirian. Kemudian menjatuhkan dahinya ke atas meja. Rambutnya yang baru ia urai menutupi seluruh bagian kepalanya.
"Tapi, kamu masih harus bekerja. Jadi, kamu belum bisa pulang." Seorang lelaki menyahuti tiba-tiba.
Nirmala terkejut. Ia langsung mengangkat kepala. Rambutnya berserakan. Lelaki berkepala bundar dengan rambut keorenan sudah berdiri di depannya. Senyum dan suara lembutnya sesuai dengan wajah tampannya.
"Eh, Pak Andre." Nirmala menyebut nama lelaki itu.
"Aku boleh duduk juga, enggak?" tanya Andre.
"Enggak usah izin, Pak. Ini bukan milik saya." Nirmala merasa sungkan.
Andre pun duduk di samping Nirmala. Kemudian menyodorkan sebuah es krim cokelat. Nirmala menoleh dengan raut wajah bertanya-tanya.
"Ambillah. Biasanya perempuan suka sekali dengan es krim rasa strawberi," ujar Andre.
Nirmala semakin heran. "Tapi, itu rasa cokelat, Pak."
"Perempuan memang suka sekali sama es krim rasa strawberi. Tapi, siapa, sih, yang enggak suka sama manisnya rasa cokelat?" jelas Pak Andre.
Nirmala tertawa pelan. Ia pun mengambil es krim itu. Kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Amat menyegarkan. Cukup untuk mendinginkan kepalanya yang sempat mendidih.
"Kamu pasti kerepotan, ya, karena Pak Erick?" tanya Andre.
Nirmala menggelengkan kepala. "Enggak, kok, Pak." Tentu saja ia berbohong.
"Kamu bisa, kok, cerita ke saya. Saya manajer di sini. Jadi, saya ingin tahu apa yang dialami dan dirasakan bawahan saya. Saya sendiri kaget dengan perubahan Pak Erick akhir-akhir ini. Selama tiga tahun saya bekerja di sini, saya belum pernah lihat Pak Erick mengusik pegawainya seperti ini," ujar Andre.
"Ya, mau gimana, Pak? Saya cuma pegawai dan Pak Erick yang bayar saya. Sudah tugas saya, kan, mengikuti apa yang Pak Erick perintahkah," jelas Nirmala, berusaha menghibur diri.
"Tapi, kan, kamu bekerja di sini bukan untuk menuruti semua kemauan Pak Erick," protes Andre.
"Lha, terus gimana, Pak? Pak Andre mau menolong saya? Pak Andre, kan, juga pegawai di sini." Nirmala menampar Andre dengan kenyataan.
Andre terdiam. Nirmala memang benar.