"Nirmala," panggil Vino, salah seorang pelayan di Kafe Pandora.
Nirmala berhenti menggosok piring di tangannya. Ia pun menaruhnya di bak cuci piring dan mematikan keran untuk mengurangi bising. Ia pun berbalik menghadap Vino. "Ada apa?" tanya Nirmala.
"Kamu dipanggil Pak Erick langsung," jawab Vino.
Nirmala memngernyitkan dahi. "Kenapa?" tanyanya.
Vino mengangkat bahu. "Enggak tahu. Jarang-jarang Pak Erick manggil pegawainya langsung. Biasanya, apa-apa nyuruh Pak Andre," jawabnya.
Nirmala heran. Ada urusan apa seorang atasan tertinggi dengan seorang tukang cuci piring? Apa Nirmala sempat melakukan kesalahan? Nirmala tidak ingat itu.
Nirmala tidak mau menghabiskan waktu dengan menebak-nebak. Ia pun melepaskan sarung tangan dan celemek anti airnya. Kemudian bergegas menuju ruangan Erick di lantai dua.
"Ada apa, Pak?" tanya Nirmala usai dipersilakan masuk.
Erick tampak sibuk dengan beberapa dokumen di meja. Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaannya, ia berkata, "Aku lapar."
Nirmala bernapas lega. Rupanya ia tidak melakukan kesalahan.
"Bapak mau makan apa? Biar saya bilang sama orang dapur," tawar Nirmala.
"Aku lagi enggak pengin makan makanan kafe," tolak Erick.
Nirmala mengernyitkan dahi. "Kenapa, Pak?" tanyanya.
"Lagi bosan saja. Aku penginnya makan snack," jawab Erick.
"Di sini, kan, juga ada snack, Pak," tawar Nirmala lagi.
"Kamu ke Ciputra World Mall saja. Belikan aku snack," titah Erick. Ia berhenti sejenak dari dokumennya untuk mengambil dompet dari loker. Ia pun mengeluarkan satu kartu atm dan menyerahkan kepada Nirmala. "Bayar pakai ini."
"Kenapa harus ke Ciputra World Mall, Pak?" Nirmala meninggikan suara karena terkejut. Ia segera menyadari kelancangannya. Ia pun menurunkan intonasi suaranya. "Maksud saya, bukankah di sekitar sini banyak Indomaret atau Alfamart. Atau kalau mau yang lebih besar, ada Transmart."
"Ya aku maunya kamu beli di Ciputra World Mall," tegas Erick.
Orang gila macam apa yang jauh-jauh ke mal mewah hanya untuk beli snack? sedangkan di sekitarnya masih banyak toko besar yang tidak kekurangan dagangan, batin Nirmala memaki.
Nirmala menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya perlahan. Berusaha menahan diri agar emosinya tidak terpancing. Bagaimana pun, Erick adalah bosnya. Bos selalu benar. Dan kalau bos salah, maka pegawai yang waras harus mengalah.
"Bapak mau snack apa?" tanya Nirmala bernada lembut usai berhasil menenangkan diri.
"Mana ponsel kamu?" Erick tidak memberikan jawaban.
"Buat apa, Pak?" tanya Nirmala.
"Mana?" Sekali lagi, Erick tidak memberikan jawaban.
Dengan ragu-ragu, Nirmala menarik ponsel dari saku celananya. Kemudian menyerahkan kepada Erick. Ia tidak mengerti untuk apa Erick memintanya.
Erick menghidupkan layar. Ia disambut oleh layar terkunci.
"Sandinya apa?" tanyanya lagi.
Nirmala tidak mau memberitahukan. Ia pun meminta ponsel itu dan membuka kunci layarnya. "Ini, Pak," katanya menyerahkan ponselnya kembali.
Erick pun mengetikkan nomor teleponnya lalu menyimpannya di ponsel Nirmala. Kemudian menghubungi nomor itu. Ponsel lain yang tergeletak di atas meja pun berdering. Erick pun mematikan sambungannya dan menyerahkan ponsel itu ke pemiliknya.
"Nanti aku kirim apa yang harus kamu beli lewat pesan," katanya.
"Baik, Pak." Nirmala hanya bisa pasrah. Kemudian ia menadahkan tangannya.
"Apa?" tanya Erick heran.
"Uang kes, Pak. Buat ongkos gojek. Enggak mungkin, kan, saya jalan kaki?" jawab Nirmala. Ia yakin kalau bos gilanya ini masih punya sedikit nurani di ujung hatinya yang paling pojok.