"Saya janji, Pak. Saya tidak akan membuat kekacauan. Saya pastikan saya akan bekerja dengan baik." Erick menirukan sumpah Nirmala kemarin tanpa kekurangan satu kata pun, dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu bilang begitu kemarin. Tapi, di hari keduamu, kamu sudah berani melakukan kesalahan."
Nirmala hanya bisa menunduk sembari merutuki kelalaiannya pagi ini. Sudah tahu Erick masih menyimpan dendam dan menantikan kesalahannya, bagaimana Nirmala bisa lalai di hari keduanya bekerja?
Tadi Nirmala bangun terlalu siang. Sebenarnya Nirmala sudah bangun jam empat tadi. Namun, hawa dingin membujuknya untuk kembali terlelap. Dinar tidak membangunkan Nirmala karena Dinar sudah berangkat pagi-pagi untuk mengantarkan Arabella, putrinya, ke sekolah. Dan dari sekolah, Dinar langsung pergi bekerja ke kafe.
Sebenarnya tidak terlalu siang. Nirmala bahkan sampai tidak mandi dan tidak sarapan karena terburu-buru. Andai ia menjejakkan kakinya di lantai kafe tujuh menit lalu, ia masih bisa disebut datang tepat waktu.
Ya. Nirmala hanya terlambat tujuh menit. Namun, Erick menggembar-gemborkan seolah ia terlambat tujuh jam.
"Maaf, Pak. Saya mengaku bersalah. Saya menyesal. Dan saya berjanji tidak akan mengulangi kelalaian saya lagi. Saya janji ini akan menjadi yang terakhir." Nirmala kembali bersumpah.
"Aku sudah bilang, kan, kalau aku enggak menoleransi kesalahan sedikit pun," tegas Erick.
"Ini kesalahan saya. Dan akan saya jadikan pelajaran besar dalam hidup saya. Tapi, bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan? Setidaknya sekali seumur hidupnya?" Nirmala berusaha membujuk Erick.
"Bukankah menerimamu bekerja di sini juga sama dengan memberikan kesempatan untukmu?" sahut Erick.
"Setidaknya berikan saya kesempatan kedua. Saya tidak akan lagi berani lalai. Karena kalau saya lalai sekali lagi, bisa dipastikan saya akan dipecat dari sini." Nirmala belum menyerah.
Erick diam sejenak. Berpikir. Entah kenapa, hatinya agak terhibur melihat Nirmala dengan raut muka penuh cemas. Erick berpikir tidak boleh melepaskan kesempatan menjahili Nirmala begitu saja. Ia belum puas.
"Ya sudah. Aku berikan kamu kesempatan kedua. Tapi, kalau kamu lalai sekali lagi, aku enggak akan menoleransi lagi," ancam Erick.
Nirmala mengangguk. "Baik, Pak. Saya berjanji akan menggunakan kesempatan kedua ini sebaik mungkin."
"Aku enggak butuh janji. Aku butuh kamu bekerja sebaik mungkin!" Erick menegaskan. Kemudian beranjak menaiki tangga menuju lantai atas.
Ruangan di lantai atas seluruhnya berdinding kaca. Sehingga tamu bisa melihat pemandangan luar dari dalam ruangan. Begitu pun dengan ruangan Erick. Hanya saja, Erick kerap menutupnya dengan gorden ketika banyak tamu yang datang. Ia tidak bisa berkonsentrasi bekerja ketika menjadi pusat perhatian.
Ada beberapa dokumen laporan yang harus Erick periksa. Dokumen-dokumen itu cukup menyibukkan Erick. Karena Kafe Pandora yang didirikan Erick lima tahun lalu, cabangnya sudah tersebar di tujuh wilayah bagian Surabaya. Beberapa bulan ini, Erick jadi tidak sempat menciptakan resep baru. Padahal, ia berniat membangun cabang baru setelah menciptakan dua atau tiga resep baru lagi.
Satu jam berkutik pada lembaran penting di depannya, otak Erick merasa lelah. Ia lapar. Ia juga merasa bosan. Sebenarnya pekerjaan Erick masih banyak. Namun, jika ia memaksa otaknya terus bergelut dalam keadaan lapar, ia bisa stres. Otaknya juga butuh fresh. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu.
-oOo-
"Nirmala," panggil Vino, salah seorang pelayan di Kafe Pandora.
Nirmala berhenti menggosok piring di tangannya. Ia pun menaruhnya di bak cuci piring dan mematikan keran untuk mengurangi bising. Ia pun berbalik menghadap Vino. "Ada apa?" tanya Nirmala.