"Bu. Maafin Mala, ya. Soalnya bulan ini, Mala belum bisa kirimin Ibu sama Bapak uang," ujar Nirmala dengan berat hati. Membayangkan betapa kecewanya kedua orang tuanya karena itu. Ia pun menarik napas dalam-dalam. Kemudian mengembuskannya. Setelah dadanya terasa lebih longgar, ia pun mulai menceritakan kejadian tadi siang.
Tidak ada sedikit pun cerita yang disembunyikan, termasuk tentang dirinya yang di-PHK. Karena Nirmala dengan kedua orang tuanya sudah seperti sahabat sendiri yang terbiasa mencurahkan seluruh kelu kesah.
"Tindakanmu itu sudah bagus, Mala. Ibu bangga punya anak kayak kamu," ujar sang ibu menenangkan hati Nirmala.
"Tapi, Bu, Mala enggak bisa kasih Ibu apa-apa," protes Nirmala.
"Berbakti itu enggak hanya soal uang, Mala. Kamu berbuat baik sama orang lain, itu juga berbakti sama ibumu. Berarti kamu mau mengamalkan didikan baik dari Bapak sama Ibu," jelas ibu.
"Iya, Nak," sang bapak ikut menyahut. "Lagi pula, Bapak sama Ibu masih kuat. Masih bisa memenuhi kebutuhan hidup kami sendiri. Uang yang kamu kirim setiap bulan juga belum pernah kami gunakan."
Nirmala terkejut. "Lho, kenapa, Pak? Mala, kan, ngirim uang itu buat meringankan Bapak sama Ibu."
"Penghasilan kami masih mencukupi kebutuhan kami, Nak. Jadi, buat apa uang kamu dihambur-hamburkan juga? Jadi, kami menyimpannya. Barangkali kamu butuh, kamu bisa mengambilnya," jelas Bapak.
"Kalau kamu butuh uang buat bayar kosan atau untuk kebutuhan sehari-harimu selama belum menemukan pekerjaan baru, kamu bisa mengambil uangmu lagi," sang ibu menambahkan.
Nirmala amat terharu. Ia bangga memiliki kedua orang tua yang amat memedulikan masa depannya.
Setelah satu jam bertelepon, Nirmala menemui Dinar di kamarnya. Dinar adalah sepupunya yang tinggal bersama anak kecilnya, di kamar di samping kamar Nirmala. Nirmala menyerahkan uang yang ia sisihkan dari pesangonnya tadi untuk membayar kosnya. Biasanya ia menitipkan uang itu kepada Dinar.
"Aku dengar obrolan kamu sama pakde bude barusan," ujar Dinar.
"Oh," sahut Nirmala.
"Tindakan kamu memang baik. Tapi, Mala, terlalu baik itu enggak baik. Dunia itu lebih kejam dari yang kamu bayangkan," nasihat Dinar.
"Aku cuma enggak tega sama anak kecil itu, Mbak. Dia masih kecil tapi sudah berpikir untuk meringankan utang orang tuanya," bela Nirmala.
"Dan dengan kamu kasih uang terakhir yang kamu punya itu, apa utang orang itu lunas? Apa ada jaminan kalau utang orang itu lunas, orang itu enggak bakal utang lagi?" tanya Dinar menyudutkan Nirmala.
"Aku hanya ingin berbuat baik, Mbak. Kebaikan pasti akan kembali sebagai kebaikan," bela Nirmala.
"Berbuat baik juga harus pada tempatnya, Nir," protes Dinar. "Enggak semua orang berutang karena mereka memang butuh untuk hal yang penting. Kadang orang berutang hanya untuk memenuhi gengsi, hanya untuk sesuatu yang sebenarnya enggak penting-penting banget."
"Aku juga enggak tahu, Mbak, mereka berutang buat apa. Yang aku tahu, aku hanya menolong orang yang lagi butuh banget. Soal gimana mereka selanjutnya, itu akan menjadi tanggung jawab mereka di masa depan," jelas Nirmala.
Dinar hanya bisa pasrah menanggapi kelakuan Nirmala yang baginya terlalu berlebihan.
"Terserah kamu. Aku tadinya cuma mau nawarin kamu kerja di tempatku." Dinar mengalihkan pembicaraan.
"Di kafe ada lowongan pekerjaan?" tanya Nirmala antusias.
Dinar bergeleng. "Enggak ada. Tapi, kalau kamu mau, aku bisa nyoba minta tolong sama Pak Andre. Barangkali, dia mau ngasih posisi sama kamu. Asal kamu mau kerja apa pun," ujar Dinar, menyebutkan nama manager di kafe Pandora, tempatnya bekerja.