Langkah Nirmala berhenti di sebuah bangku putih di tepi jalan. Ia pun mendudukkan anak itu di sana dan duduk di sampingnya. Tangisan anak itu rupanya sudah mereda.
"Sudah. Berhenti, ya, nangisnya. Enggak bakal terjadi apa-apa, kok," kata Nirmala berusaha menenangkan.
Anak itu hanya berdiam. Ia tampak ketakutan.
"Kamu enggak usah takut lagi, ya. Ada Kakak di sini yang bakal bela kamu dari om-om jelek tadi," tambah Nirmala.
Anak itu mulai memberanikan diri mengangkat wajahnya melihat Nirmala. "Te-terima kasih, Kak," katanya tergagap.
"Oh, ya. Rumah kamu di mana? Biar Kakak antar kamu pulang sambil beli es krim nanti di jalan," tanya Nirmala.
Anak itu kembali menunduk. Raut wajahnya menjadi murung.
Dahi Nirmala mengernyit. Ia heran dengan perubahan raut anak itu. "Lho, kamu kenapa?" tanyanya.
"Aku enggak mau pulang, Kak," jawab anak itu.
"Ya, kamu harus pulang, dong. Ibumu pasti khawatir banget sama kamu," bujuk Nirmala.
Anak itu bergeleng. "Enggak mungkin."
Nirmala menjadi penasaran.
"Ibu enggak pernah sempat mikirin aku," jelas anak itu. "Ibu cuma sibuk mikirin utangnya terus."
"Utang?" tanya Nirmala.
Anak itu mengangguk. "Ibu kerja siang malam dan jarang pulang buat bayar utangnya. Ibu enggak pernah punya waktu untukku atau memperhatikanku. Aku kangen ibu. Aku ingin bersama ibu. Jadi, aku mencopet om tadi untuk membantu ibu melunasi utangnya. Tapi, aku ketahuan," jelas anak itu. Tangisnya pun pecah.
Nirmala tercengang. Bagaimana mungkin anak sekecil ini bisa berpikir sejauh itu?
"Aku enggak mau pulang sebelum aku bisa melunasi utang ibu. Karena sebelum utang ibu lunas, ibu enggak akan punya waktu buat memperhatikan aku," tambah anak itu.
"Enggak ada ibu yang enggak peduli sama anaknya, termasuk ibu kamu," ujar Nirmala berusaha menenangkan.
"Ibumu sekarang pasti lagi nungguin kamu karena enggak pulang-pulang. Percaya, deh, sama Kakak," tambahnya.
"Kakak bohong!" elak anak itu.
"Kalau kamu enggak percaya, ayo pulang. Kakak akan buktikan kalau Kakak benar," bela Nirmala.
"Apa iya, Kak?" Anak itu mulai terpengaruh.
Nirmala menarik amplop dari sakunya. Kemudian mengeluarkan lima lembar uangnya lalu menyimpannya di dalam saku celana. Ia pun menyodorkan amplop berisi uangnya kepada anak itu.
"Berikan ini ke ibumu. Mungkin enggak bisa buat melunasi semuanya. Tapi, seenggaknya bisa membantu sedikit," jelas Nirmala.
"Jadi, sekarang kamu jangan nyopet lagi, ya. Ibumu kalau tahu pasti akan sangat sedih," tambah Nirmala.
Anak itu pun menerima amplop itu. "Terima kasih, Kak."
"Oh, ya. Ibumu pergi siang malam itu karena sebenarnya dia sangat peduli sama kamu. Dia bekerja keras untuk melunasi utangnya agar kamu bisa hidup lebih baik setelahnya.
Kamu masih anak-anak. Bukan tugas kamu memikirkan utang ibumu dan bekerja. Kamu hanya harus bersabar. Ibumu itu wanita kuat. Dia pasti bisa menyelesaikan masalahnya ini.
Dan kalau kamu kangen sama ibumu, sebaiknya kamu habiskan waktumu dengan belajar yang rajin. Kalau kamu jadi anak pintar terus berprestasi, ibumu pasti bangga sama kamu," jelas Nirmala.
Anak itu pun berhasil dibujuk Nirmala untuk pulang. Sesuai janjinya, Nirmala mengantar anak itu pulang dan membelikan beberapa es krim dalam perjalanan.
Sesuai perkataan Nirmala, ibu anak itu tampak menunggu anaknya di depan teras rumah dengan raut kebingungan. Karena anak itu adalah satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa. Jika anak itu hilang, mungkin ia sudah tidak memiliki tujuan dalam hidupnya.
-oOo-