Chereads / Dhani My Life Partner / Chapter 2 - Pagi yang cerah berubah menjadi mimpi buruk

Chapter 2 - Pagi yang cerah berubah menjadi mimpi buruk

Saat itu di pagi hari yang cerah, suasana di sekitar terasa begitu sejuk dan segar. Kupu-kupu beterbangan di udara dan burung-burung menari indah di atas pepohonan. Namun, suara alarm yang berdering kencang membuatku terbangun dari mimpi indahku. Hoaamm, masih terasa ngantuk dan malas untuk bangun mematikan alarm itu.    

Aku mencoba menutup telinga dengan bantal, berharap alarm itu akan berhenti dengan sendirinya. Tapi, ternyata tidak. Alarm itu terus berbunyi tanpa henti, seolah-olah memaksa aku untuk bangun dari tempat tidurku yang nyaman. Sambil meregangkan tubuh, aku menggerutu pelan dan mencari keberanian untuk bangun dari tempat tidur yang nyaman. Dengan setengah hati, aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhku, mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti diriku. Aku kembali ketempat tidur yang dimana posisi alarm masih menyala.

Tiba2 suara ketukan pintu memenuhi ruang kamarku, Ayah masuk ke dalam kamar dan mematikan alarm dengan penuh kasih sayang. "Hey, ratu kecil ayah yang cantik, mau ikut ayah ke bank ga?"    

Aku yang masih mengantuk menjawab dengan lesu, "Mau ke mana ya, Ayah?"    

Ayah duduk di sampingku sambil memegang jam alarm. "Temenin ayah ke bank yuk, sekalian jalan-jalan kita, mau ga?"    

Tiba2 rasa malas yang sempat singgah hilang seketika, "Boleh, ayah. Aku ikut ya."    

Ayah tersenyum lebar. "Yaudah, mandi dulu sana." 

Aku bergegas ke kamar mandi lagi dan menyeka wajahku dengan air dingin. Aku merasa segar dan bersemangat untuk memulai hari baru. Aku mengenakan pakaian yang nyaman dan rapi untuk pergi ke bank bersama ayah. Aku menyisir rambutku dan memeriksa diriku di cermin. Aku tersenyum puas dan keluar dari kamar. Aku menuju ke dapur dan melihat ibuku sudah menyiapkan sarapan untukku. 

"Selamat pagi, Jessica mungilku. Cantik banget anak kesayangan ibu. Mau pergi sama Ayah ya?" tanya ibuku sambil tersenyum.

"Selamat pagi juga, Ibu. Iya aku diajak Ayah untuk menemaninya ke Bank. Ngomong ngomong, Ayah kapan berangkat lagi bu?" jawabku sambil mencium pipinya.

"Ayah pergi lagi ke Amerika Serikat sih, minggu depan kayaknya deh. Makanya dia sekarang sibuk bolak balik bank terus. Lagi ngurus dokumen dokumen untuk kesana yang dibutuhkan apa aja Jessica sayang. Cepat makan, nanti kamu ditinggal Ayah berangkat loh." kata ibuku sambil memberiku piring berisi nasi goreng dan telur ceplok.

Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Aku menyantap sarapan dengan lahap, sambil sesekali minum susu hangat yang ibuku buatkan. Aku merasa kenyang dan bahagia. Aku selesai makan dan membersihkan piringku. Berjalan keluar rumah, aku merasakan angin pagi yang segar menyapa wajahku.  Aku merasa sangat gembira dan semangat. Tak ada yang bisa menggoyahkan semangatku hari ini. Pada saat perjalanan menuju Bank, aku dan ayahku asik berbincang dan bergurau bersama. Sesekali kami berhenti di tepi jalan untuk sekedar membeli makanan ringan serta minuman, lalu melanjutkan perjalanan kami.

Namun, saat perjalanan pulang dari bank, handphone ayah tiba-tiba berbunyi. Aku melihat ayah tersibuk dengan teleponnya, bahkan ketika sedang berkendara sekalipun. Aku merasa agak khawatir, tapi ayah tampaknya tak terganggu dan terus fokus pada pembicaraan di telepon.   

" Ayah, nanti aja si telponannya kan ayah lagi nyetir!" ujarku kesal dan jengkel saat melihat ayah sedang telponan. 

"Iya, sayang. Sebentar, Ayah ada urusan," jawab Ayah.    

Ayah terus sibuk dengan teleponnya, aku mencoba untuk meminta Ayah untuk berhenti menerima telepon dan fokus pada mengemudi, tapi dia terus melanjutkan pembicaraan di telepon. Aku merasa khawatir dan takut dengan sikap ayah yang tidak peduli dengan keselamatan. Aku melihat jalan yang semakin ramai dan berbahaya.

Pada saat bersamaan, aku merasakan getaran yang tidak biasa dari motor dan merasakan kepanikan yang mencekam. Ternyata motor yang dikendarai ayah mulai oleng dan kemudian menabrak seorang pengendara sepeda yang sedang melintas di jalan. Aku terkejut dan terguncang akibat benturan yang keras. Aku merasakan nyeri di bagian kaki dan pinggangku. Aku berusaha bangkit dari motor yang sudah terbalik.

"Kamu baik-baik saja? Kamu tidak apa-apa?" tanya ayah dengan suara gemetar.

"Gapapa Ayah." jawabku dengan suara lemah.

Ayah langsung mengecek kondisi orang yang ditabraknya. Ternyata, pengendara sepeda itu mengalami luka ringan di bagian tangannya dan sepedanya rusak parah.   Tanpa ragu, ayah langsung bertanggung jawab untuk membawanya ke bengkel dan mencari warung di sekitar untuk membantu memperbaiki luka di tangannya.  Sambil menunggu sepeda diperbaiki, Ayah memanfaatkan waktu untuk membelikan air minum, kue, dan obat di warung yang telah ditemukan.  

Aku melihat raut kasihan di wajah orang tersebut saat ia duduk di bangku. Ia seperti menahan air matanya. Aku mencoba mendekatinya secara pelan dan dengan sedikit rasa malu, bertanya padanya, "Ka... Kaammu... Kaammmuu... Kamu gapapa?." 

"Iya...iya, aku... akuuuu... akuu gapa... papapa," jawabnya dengan suara yang sedikit gagap.  

Namun, aku bisa melihat bahwa ia masih merasakan kesakitan dan ketakutan. Aku berusaha membantunya dengan menyeka di tangannya dengan baju yang kusut, tapi ia tetap menjerit kesakitan. Aku merasa kasihan dan bersalah pada pengendara sepeda itu. Aku tahu bahwa dia tidak bersalah dan hanya menjadi korban dari kelalaian ayah. Aku ingin meminta maaf padanya, namun untuk berbicara aja aku masih gugup. Aku merasa kasihan dan sedih melihatnya seperti itu.  

Aku pun bertanya lagi padanya, "Seriusan? Kamu seriusan ga apaapa?" 

"Iya. G-gapapa kok," jawabnya dengan terbata-bata. 

Akhirnya sepeda selesai diperbaiki, ayah membayar uang perbaikan tersebut, dan kami izin pamit pulang ke rumah dengan orang tersebut. Aku masih agak kesal dengan ayah yang lebih fokus pada telepon daripada berkendara. Ingin rasanya memarahi Ayah dengan penuh kekecewaan. Karna didalam benak hati ingin menyampaikan secara langsung sudah tak terbendung, aku pun mengomeli ayah. 

"Ayah, apa-apaan sih tadi? Kenapa ayah lebih sibuk dengan telepon daripada berkendara? Ayah tahu kan bahaya yang bisa terjadi kalau ayah tidak fokus di jalan? Ayah tahu kan akibatnya kalau ayah menabrak orang lain? Ayah tahu kan betapa khawatir dan takutnya aku?" omelku dengan suara keras.

Ayah mendengar omelanku dan menunduk. Dia merasa bersalah dan malu karena telah membuatku marah dan kecewa. Dia tidak bisa membantah atau membela diri. Dia hanya bisa meminta maaf padaku.

"Maafkan ayah, Nak. Maafkan ayah. Ayah memang salah. Ayah memang ceroboh. Ayah memang tidak bertanggung jawab." kata ayah dengan suara hina.

Ayah pun memasukkan handphone-nya ke dalam kantong. Aku melihat wajahnya yang sedih, hatiku terasa teriris. Aku merasa iba dan sedih melihat penderitaan yang dialaminya. Aku berharap dia cepat sembuh dari lukanya dan kembali merasa bahagia seperti sebelumnya. Aku merenung, khawatir dia kenapa napa saat dia berada dirumah .