Asap dan debu menyelimuti kelas, mengurangi visibilitas yang sudah sedikit. Dentuman itu terus berlanjut, tetapi sekarang suaranya jauh lebih dekat. Apapun sumber suara itu, sekarang dia ada di dalam kelas.
BUM!
Getaran yang mengguncang tubuh beserta isi-isinya itu menaklukkan satu kelas. Namun sekarang getarannya lebih kuat, seakan sumbernya datang mendekat, memasuki kelas. Bangku dan meja berhamburan, terlempar kesana-kemari.
BUM!
Setiap dentuman seakan menghasilkan begitu banyak energi sehingga membuat angin besar yang menyebar ke seluruh kelas, menyingkirkan debu dan asap. Dentuman itu ditemani dengan suara kaca diremukkan dan ubin yang hancur berkeping-keping.
Seno, yang sedang bersembunyi di bawah meja guru, mengintip melalui kisi-kisi meja. Sebelum dia bisa menghela napas lega setelah melihat adiknya tidak apa-apa, yang selanjutnya dia lihat membuatnya merinding; nafasnya tersenggal dan keringat dingin mulai keluar di sekujur tubuhnya selagi dia berusaha untuk tidak bersuara.
Tidak ada apa-apa, atau lebih tepatnya, tidak terlihat apa-apa. Tidak terlihat makhluk, mesin, atau benda yang menjadi sumber dentuman itu. Tetapi dentuman enggan berhenti, dan setiap dentuman itu terjadi, muncul sebuah lubang yang dalam dan lebar. Lubang sebesar kaki gajah itu terus muncul diikuti dengan bunyi menggelegar, seakan makhluk itu berjalan mengitari kelas, mencari sesuatu.
Lantas, setelah sekian lama, mahluk tak kasat mata itu pun akhirnya keluar, meninggalkan kelas dalam keadaan hancur dan berantakan. Namun, dentuman itu masih terus bergemuruh, sekarang menjauh dari kelas X IPS-2. Sepertinya makhluk itu berpatroli ke kelas-kelas lainnya.
Saat dentuman itu sudah mulai jauh, mungkin sekitar kelas X IPS-4, suara lengkingan ketakutan menggema dalam koridor. Kemudian diikuti dengan ledakan dari dinding kelas yang tidak asing lagi bagi Arto, Wahyu, dan Seno. Sekali lagi, makhluk itu memakan korban.
Tidak tahu berapa detik, menit, atau jam telah berlalu, ketiga saudara itu masih bersembunyi, walaupun sudah tidak terdengar dentuman lagi. Seno yang beruntung memilih meja guru sebagai tempat mengumpat tidak luka-luka karena dilindungi meja yang kokoh. Namun Arto dan Wahyu tidak terlalu beruntung karena meja dan kursi yang berhamburan menghantam mereka, membuat kaki dan tangan mereka biru-biru saat berusaha melindungi diri.
"...tolong," suara lemah seorang perempuan mengisi kesepian koridor. "...tolong …tolong." Isak tangis mengiringi langkah perempuan itu, diikuti dengan bunyi sesuatu diseret perlahan-lahan. Suara itu berasal dari arah yang mereka belum jelajahi, X IPS-1. "Tolong… siapapun, tolong."
Wahyu mengintip tipis-tipis, mencari dimana perempuan yang sedang menyeret sesuatu itu berada. Namun karena masih tidak terlihat dari kejauhan, dia beranjak pelan-pelan, ingin mencari tahu lebih lanjut siapa perempuan itu.
"Lu mau ngapain, cuy?" Bisik Arto, curiga kakaknya akan melakukan hal bodoh.
"Gw mau ngecek."
"Jangan, kita ga tau dia siapa." Arto menyeka debu dan keringat yang menyatu dengan mukanya. "Mungkin dia mancing kita. Pura-pura jadi perempuan lemah, tapi taunya kita yang jadi mangsa."
Wahyu terhenti, bimbang harus mengikuti nalurinya atau perintah adiknya. Dia menoleh ke lubang besar di dinding kelas. Di luar sana ada seseorang yang butuh bantuan, dan dari suaranya, orang itu berada di ambang keputusasaan. Dia menoleh kembali ke adiknya. Tapi bisa jadi apa yang dibilang Arto itu benar, mungkin dia serigala yang pura-pura menjadi domba.
Di mata Wahyu, adiknya adalah orang yang realistis dan sedikit pesimistik. Arto selalu berprasangka buruk terhadap semua orang selain dirinya sendiri. Paradigma seperti itu sangat cocok dalam situasi yang tidak terduga ini. Tetapi untuk kali ini, Wahyu akan melawan adiknya dan mengikuti nalurinya: menyelamatkan dia yang sedang memohon pertolongan di luar sana.
Lantas Wahyu berdiri dan mengendap-endap melewati lubang besar itu. Terus kenapa kalau ternyata perempuan itu adalah serigala? Pasti adik-adiknya akan datang membantu dia apabila dia dalam bahaya. Bahkan Arto yang sedang menggerutu karena gagal menahan kakaknya pasti akan datang membantu; mungkin dia akan datang sambil didampingi kata-kata kasar dengan muka yang masam, tetapi yang penting tetap membantu.
Wahyu melihat kanan-kiri mencari sosok perempuan itu. Di lantai koridor terdapat bekas seretan yang mengerikan, warnanya merah gelap dan terlihat masih basah. Bekas seretan itu berasal dari arah X IPS-1, dan di ujungnya ada sosok perempuan yang sedang menggendong, atau menyeret seorang lelaki. Dia menggendongnya dengan melingkari lengan lelaki itu ke leher dia, tetapi karena dia pendek maka kaki lelaki itu terseret di ubin.
Perempuan itu mengenakan seragam SMA, dengan kemeja putih dan rok abu-abu. Mukanya lesu dengan bercak-bercak darah dan debu. Jalur bekas air mata mengalir terpapar jelas di pipinya. Pria yang digendongnya juga mengenakan seragam yang sama, tetapi celananya hancur dari lutut ke bawah, sudah gepeng dan terkoyak-koyak. Darah mengalir sedikit demi sedikit dari ujung celana, dan membekas di ubin koridor.
Bunyi beling diinjak mengagetkan perempuan itu. Dia refleks menoleh ke belakang dimana bunyi itu berasal. Genggamannya pada lengan lelaki itu dipererat.
"Saya bukan orang jahat," kata Wahyu dengan dua tangan di atas. "saya mau bantu—"
Sebelum Wahyu selesai berbicara, perempuan itu langsung meluncur ke arahnya. "Tolong, tolong Rama, bantuin Rama, kak!" Dia berseru, hatinya lega setelah melihat ada orang lain di tempat menyeramkan itu.
"Iya, iya tapi kamu tenang dulu."
"please, kak, bantuin Rama. Dia udah sekarat, kak!"
Sepasang tangan menutup mulut Wahyu dan perempuan itu. "Kalian beruda berisik banget si," bisik Arto, keributan mereka berdua mengganggunya.
Perempuan itu menepis tangan arto, "tapi tolong banget, kak. Rama udah dari tadi—"
"Diem lu," Arto sekali lagi membungkam mulut perempuan itu, sekarang genggamannya lebih kencang dari sebelumnya. "Ga usah banyak omong, cepetan masuk ke kelas itu." Arto menunjuk ke kelas X IPS-2 sebelum melihat ke kakaknya, "lu bantuin gendong, kan tadi katanya mau nolong."
Mereka pun memasuki kelas melalui lubang besar sambil berusaha agar tidak mengeluarkan sedikitpun suara, sesuai instruksi Arto. Perempuan itu memijat-mijat pipinya, masih sedikit nyeri. Dia memandang Arto dengan was was. Memang dia tadi sedikit berlebihan sampai teriak-teriak, tapi dia itu perempuan, masa iya seorang lelaki melukai perempuan? Mungkin kalau Arto menggenggam sedikit lebih keras, akan ada bekas tangan di mukanya.
Arto tau kalau perbuatannya membuat perempuan itu takut. Perempuan seperti itu, dengan kulit putih bersinar dan tangan yang tidak pernah melakukan pekerjaan keras bak tuan putri, seharusnya diperlakukan dengan lembut. Tapi tempat itu bukan tempat yang cocok untuk belas kasih. Lebih baik dia diam dan takut, dibandingkan dia berisik dan mati.
"Woi, Seno, Lu bantuin adik lu, gih." Kata Arto ke Seno yang masih bersembunyi di bawah meja guru. Setelah Seno meng-iyakan, Arto menuju ke sudut ruangan dan menyingkirkan beling serta pecahan-pecahan benda lain dengan kakinya. "Mas Wahyu, dia ditaro sini aja."
Wahyu mengikuti kata Arto, menuruni lelaki di punggungnya secara perlahan-lahan di sudut kelas. Perempuan itu duduk di sebelah Wahyu dan memegang lelaki yang masih tidak sadarkan diri itu; dia mendekapkan tangan lelaki itu ke wajahnya sambil bergumam.
Arto melirik ke arah lelaki itu. Wajah lelaki itu tampak pucat, bibirnya gemetar, dan sekujur tubuhnya dingin sekali. Dadanya naik turun tipis-tipis, energi untuk menyalurkan oksigen ke seluruh tubuh hampir kosong. Dia sudah terlalu banyak kehilangan darah. Jika tidak cepat-cepat ditangani maka maut akan menjemputnya sebentar lagi.
Arto menelan ludah. "Iket kakinya di atas lutut biar darahnya ga ngalir lagi," kata Arto. "Kalo lu butuh apa-apa, kasih tau aja. Gw mau bantuin Seno ngeluarin Steven." Lantas Arto membuang muka dan pergi membantu Seno.
Wahyu mengangguk dan langsung merobek lengan bajunya, membuat sebuah tali dari kain. Dia memandang ngeri kakinya lelaki itu. Walaupun luka mengerikannya itu tertutup oleh celana, bau darah yang menyayat hidung tidak bisa bohong. Wahyu mengesampingkan pikiran-pikiran itu, lalu dia mengitari tali kainnya di sekitar paha kanan lelaki itu dan mengikatnya dengan kencang. Kemudian dia mengambil kaki meja yang sudah patah dan menyelipkannya di antara paha dan tali yang barusan dia ikat. Kayu itu diputar-putar olehnya hingga menghentikan aliran darah, membuat sebuah tourniquet sementara.
Lelaki itu merintih, dahinya sedikit mengerut dan kelopak matanya bergetar. Lukanya perih sekali seperti ada pisau-pisau kecil yang tertancap di seluruh kakinya. Nyeri yang dialaminya tidak terbayangkan, bahkan dalam keadaan tidak sadar pun masih bisa terasa.
Saat Wahyu ingin lanjut merawat kaki yang satunya lagi, perempuan itu berkata, "pelan-pelan, kak. Kayaknya Rama kesakitan."
"Gapapa sakit asal masih hidup," sambung Seno. Di belakang dia ada Arto yang menggendong Steven.
"Kenapa jadi gw sih yang ngangkat dia," kata Arto sembari menurunkan Steven.
"Otot gw masih dalam masa pertumbuhan." Seno memamerkan otot tangannya yang tidak jauh beda dari pipa paralon. "Nanti kalo ini udah gede pasti gw bantuin deh, mas."
"Makanya lu makan sayur yang bener biar kagak kekurangan gizi kayak sekarang."
Arto duduk dan mulai membersihkan dirinya dari debu yang masih menempel. Di sebelah Arto, perempuan itu memperkecil suara gumamannya dan tanpa sadar menjauh dari Arto. Tidak perlu seorang psikolog untuk mengetahui bahwa perempuan itu tidak nyaman berada di sekitar Arto.
Persis saat Seno ingin duduk beristirahat, Arto berdiri dan berkata, "ayo kita ngecek kelas-kelas sebelah."
"Lah… baru juga mau duduk. Nanti aja kali, capek gw abis angkat-angkat batu."
"Ga, lebih cepat lebih baik, and tadi kayaknya X IPS-4 ada yang teriak-teriak deh. Kalau bolanya Mba Dian hancur atau hilang, kita bisa jadi ga bisa keluar dari sini."
"Iya bener juga si ya, yaudah semangat ngerondenya—"
Arto menjawab dengan senyuman dan cengkraman ke belakang leher Seno. Kemudian dia membawa Seno keluar untuk mencari tahu keadaan yang lain.
"Kak, itu si Arto adiknya kakak?" Perempuan itu bertanya setelah Arto dan Seno sudah keluar kelas.
"Iya, kenapa emangnya?"
"Gapapa sih, kak..."
"Jangan terlalu diambil hati," kata Wahyu sambil tertawa kecil. "Keluarga saya emang ada masalah nahan emosi. Lagian juga tadi kita yang salah, berisik-berisik di luar kelas."
"Emangnya kenapa kalo berisik, kak?"
"Kayaknya monster tadi sensitif sama suara," kata Arto. "Mengkanya lu jangan sompral, mulutnya dijaga kalo ga mau gw robek."
"Jadi dia bisa tau kita dimana make suara? Tapi kan dia berisik banget, mas. Kuping gw aja sampe sakit."
"Bener juga ya," Arto menunduk dan mencubit-cubit kecil bibir bawahnya; otaknya bekerja keras mencari jawaban. "Mungkin dia sengaja. Ada interval kan setiap dia melangkah? Bisa jadi dia lagi dengerin sekitarnya."
Seno mengangguk, benar atau tidaknya asumsi Arto itu belakangan, yang penting berhati-hati dulu untuk sekarang. Dan tidak lama kemudian, mereka tiba di depan kelas X IPS-3. Untungnya tidak ada yang berubah, tidak seperti kelas mereka yang sekarang memiliki lubang besar di dindingnya.
Rani sedang bersimpuh di sebelah suaminya yang terbujur kaku. Dia membuka mulutnya, ingin berkata sesuatu, tetapi tangan Arto lebih cepat untuk membungkamnya. Kemudian Seno bertanya apa yang terjadi terhadap suaminya Rani.
Tadi saat monster tidak kasat mata itu berjalan melalui koridor, Samson sudah berprasangka buruk. Dia menyuruh istrinya untuk bersembunyi. Kemudian, Samson buru-buru ingin menutup pintu. Tetapi sebelum dia bisa menutup pintu, angin kencang menghempasnya. Samson terlempar tinggi sebelum jatuh dengan cepat, belakang kepalanya terbentur meja, membuat dia terkapar tak sadarkan diri. Untungnya tidak ada pendarahan, mungkin karena dari kepala sampai kakinya dipenuhi otot yang kuat. Seharusnya dia akan bangun setelah beberapa menit beristirahat.
"Kita cek kelas sebelah ya, mba," kata Seno.
Mereka berdua pun melanjutkan patrolinya. Angin dingin dan kegelapan kembali menyapa mereka di luar kelas. Tetapi belum jauh dari kelas X IPS-3, serpihan kaca, lantai, dan tembok sudah tersebar dimana-mana.
Seno gemetar, wajahnya pucat pasi. Arto tadi mengingatkan untuk bersiap-siap karena ada kemungkinan kelas X IPS-4 tidak jauh beda dari kuburan. Tetapi siapa sangka kelas itu jauh lebih menyeramkan dari kuburan.
Tidak perlu lagi memasuki kelas itu melalui pintu karena dindingnya sudah tidak ada, menyisakan puing-puing bebatuan malang yang bergelantungan. Papan kayu yang menunjukkan nama kelas hilang entah kemana. Meja dan kursi berserakan, tidak ada lagi yang masih utuh. Cipratan darah yang merah kelam mewarnai sisa dinding dan lantai dari kelas itu. Bau amis yang sangat familiar dibawa angin kecil, menusuk hidung Arto dan Seno.
"Aduh, gimana kalau kita balik aja?" Kata Arto sambil menutup hidungnya.
"Yakin lu, mas? Siapa tau masih ada yang selamat."
"Gimana mau selamat kalo satu kelas hancur begitu." Persis setelah Arto berhenti berbicara, bulu kuduknya berdiri dan matanya terbelalak. Sekali lagi isak tangis menggema dalam koridor, tetapi sekarang suara itu berasal dari kelas X IPS-4. "Itu barusan cuma imajinasi lu doang kok. Ayo kita balik."
"Kalo imajinasi gw kenapa lu juga bisa denger, tolol." Seno melewati Arto dan memasuki kelas, berlagak berani.
Arto menghela nafas yang panjang sebelum mengikuti Seno. Dia bergumam, "why is everyone crying? Ga bisa gitu ya nyelesain masalah ga make nangis?"
Adi duduk di pojokan kelas, bahunya bergetar selagi dia menangis. Dian berada di pelukannya, matanya seperti ikan yang tertangkap nelayan, mati dan tanpa harapan. Gadis manis yang riang penuh dengan optimisme itu tidak terlihat lagi.
Pandangan Dian terus tertuju ke belakang kelas, tidak peduli dengan kondisi adiknya yang sedang sesenggukan. Arto dengan sigap menghalangi mata Seno yang penasaran dan berkata, "jangan liat kesana." Dia mendorong kecil punggung Seno, menyuruhnya untuk terus berjalan. "Kalo ga mau muntah, mata lu jangan keluyuran."
Namun tangan Arto tidak secepat mata Seno. Seno berhasil mengintip sekilas kejadian tragis yang menimpa keluarga X IPS-4. Jantungnya berdebar kencang. Dia menutup matanya dan berusaha mengatur nafasnya. Tetapi setiap hirupan nafasnya mengingatkannya akan kekacauan dan kekejaman tempat itu. Adrenalin berlarian ke otaknya, membuat pandangan Seno seakan berputar-putar. Perutnya bergolak ingin mengeluarkan seluruh isinya.
Dua mayat tanpa nyawa terserak sembarang di belakang kelas. Anggota tubuhnya terputar, bengkok, dan pecah seperti mainan usang. Mata mereka masih terbuka lebar, terkejut akan kematiannya yang tragis. Darah yang masih hangat menggenang dan mengalir ke jejak kaki monster itu, membentuk sebuah kubangan.
Mata dan pikiran orang awam tidak akan sanggup untuk melihat pembantaian mengerikan itu.
Seno menelan ludah dan mengambil satu langkah. "Mas Adi, mba Dian, ayo kita jangan disini," kata seno, suaranya bergetar.
"Kakak sakit," kata Adi dengan suara yang bergetar, air mata berlinangan di pipinya. Dia menunjukkan tangan kanan Dian. Sikutnya patah, bengkok ke arah yang tidak sewajarnya. Piyamanya berubah warna, kusam akibat debu yang berterbangan. "Aku… aku ga bisa apa-apa…"
Seno terdiam, yang bisa dia lakukan hanyalah menepuk pelan punggung Adi. "Ayo mas, kalo kelamaan disini takut monsternya balik lagi."
Mata Adi terbelalak. Nafasnya tersenggal mengingat apa yang terjadi kepada adik-adiknya. Dia pun mengangguk pelan dan berusaha mengangkat kakanya, tetapi tangannya yang kecil tidak kuat. Tentunya tangan yang setiap hari mengangkat beban yang tidak lebih berat dari mouse dan keyboard tidak akan kuat mengangkat seseorang.
Seno melirik ke Arto dengan mata memohon; tangan dia dan tangan Adi tidak jauh beda, walaupun tangan Seno lebih kuat sedikit. Arto menghela nafas panjang lagi, bahunya terkulai dan kepalanya menunduk. Mau tidak mau, dia harus mengeluarkan tenaga lagi karena orang disekitarnya tidak becus.
"Nah gitu dong," Seno memberikan jempol apresiasi. "Keren kan lu gendongnya kayak prince sama princess gitu. Cocok banget buat lu yang badannya—"
"Bacot lu," kata Arto, tatapannya tajam seakan mau menguliti Seno hidup-hidup. Dia celingak-celinguk, mencari sesuatu di sudut kelas. Tetapi sesuatu yang dia cari tidak ada dimana-mana. Arto menghela nafas yang sepanjang-pangjangnya dan berkata, "Mba Dian, maaf ya, kita harus buru-buru jadi tahan sebentar sakitnya."
Dian tidak menjawab, matanya masih kosong, kehilangan harapan. Arto tidak peduli dan menganggap Dian setuju dengan permintaannya.
Lantas mereka lekas berjalan cepat melalui koridor. Angin dingin membelai mereka. Biasanya angin sepoi-sepoi seperti itu akan disambut dengan senang hati, apalagi di Indonesia yang umumnya menghempaskan angin panas, polusi udara, dan asap rokok. Tetapi belaian angin di tempat gelap penuh misteri itu berlaku sebagai pengingat terhadap ancaman yang mengincar nyawa mereka.
Sesampainya di kelas X IPS-3, mereka disambut hangat oleh Rani, "Loh kalian ber-empat? Adiknya Dian sama Adi dimana?"
Hancur sudah bendungan air mata Dian. Kejadian tadi kembali menyerang, memukul hatinya bertubi-tubi. Ketidakberdayaannya saat menghadapi lawan yang di luar nalar membuatnya frustasi sampai ingin menggaruk-garuk aspal hingga jari-jemarinya hanya menyisakan tulang. Tetapi seberapa kencang dia menangis dan meratap, kedua adiknya tidak akan kembali hidup. Dia sudah gagal menjadi seorang kakak. Seharusnya dia yang mati, bukan adik-adiknya.
Dian menggenggam erat baju Arto dengan tangannya yang tidak cedera. Matanya tertutup, berusaha menahan air mata yang terus turun tak terbendung.
Lagi-lagi, Arto menghela nafas panjang. Sudah berapa kali dia menghela nafas seperti itu? Kalau orang-orang disekitarnya berpikir dulu sebelum bertindak dan berbicara, mungkin stres yang terkumpul di otaknya saat ini akan berkurang. "Mba Rani, minta tolong jagain ya," kata Arto sambil menurunkan Dian di sebelah Rani. Dia pelan-pelan membuka jemari Dian yang masih menempel di bajunya. "Suami mba masih belum bangun?"
"Belum, aku dari tadi nyoba bangunin dia, tapi tetap ga bangun-bangun." Rani tersenyum tanggung, tahu betul kalau barusan dia tidak seharusnya bertanya itu.
"Yaudah deh," kata Arto sebelum menoleh ke Seno.
"Apa lagi kau? Mau nyuruh apa lagi kau?" Seno mencibir sambil menyilangkan tangannya.
"Tadi gw mau nyuruh lu istirahat, tapi kayaknya lu masih banyak energi deh."
"Duh, mas Arto ga kecapean?" Seno bergegas memijat pundak Arto. "Ayo duduk, biar gw pijitin kakinya."
"Apa sih lu, rese banget." Arto menendang Seno dan berdiri. "Gw mau manggil mas Wahyu; lu disini jangan berisik."
"Siap bos," kata Seno sambil memberi hormat.
Lantas Arto pergi untuk memanggil kakaknya. Seno mengusap dada. Ketegangan di ototnya berangsur-angsur hilang. Akhirnya dia bisa beristirahat setelah berlarian kesana-kemari. Dia pun duduk di sebelah Adi yang sedang menekuk lutut ke dada.
"Kok kalian masih bisa bercanda sih?" Adi bertanya, pandangannya ke bawah. Rambutnya kusut, tidak teratur sampai menutupi matanya yang sayu.
Seno terdiam sesaat sebelum menjawab, "gelap banget ya, mas?"
Adi menoleh dengan ekspresi kebingungan. Apa hubungannya dengan pertanyaannya barusan?
Seno mendongak, tersenyum, dan berkata, "pernah ada yang bilang: 'dalam kegelapan, api sekecil ujung pensil akan lebih berharga daripada kilauan emas.'"
"Jadi kamu mau jadi api-nya?" Adi bertanya lagi.
"Jadi percikan aja udah cukup, mas," kata Seno. "Paling ga, aku harus bisa bermanfaat. Apalagi di tempat kayak gini."
"Siapa yang bilang kata-kata itu?" Dian menceletuk setelah diam lama.
"Si Arto, mba," Jawab Seno.
"Arto…" Muka Arto yang cemberut, dan mulutnya yang tidak berhenti menghela napas masih sangat jelas di benak Dian. "Dia lebih cocok jadi kegelapan dibandingkan api deh."
Seno tertawa lepas, "emang dia gitu, mba. Motonya dia itu: talk more, do less."
Dian tersenyum, kemudian menutup mata dan bersandar ke dinding. Semuanya yang terjadi sampai saat itu bagaikan mimpi buruk untuknya. Dian berharap saat dia membuka matanya maka dia akan terbangun dari mimpinya. Kemudian nanti dia akan disambut oleh ketiga adiknya di meja makan pada pagi tahun baru. Namun, tidak peduli berapa kali dia buka tutup matanya, dia masih terjebak dalam mimpi buruk itu. Kedua adiknya Dian tidak akan kembali tersenyum, tubuh mereka tidak akan menikmati hangatnya sinar matahari lagi.
Tapi bukan berarti dunia berakhir hari itu juga. Masih ada Adi yang memerlukannya. Juga ada kedua orangtuanya yang menunggu kedatangannya di luar sana. Ini bukan waktu untuk bersedih. Kalau empat anak yang jauh lebih muda dari dia, masa iya dia tidak bisa mengikutinya? Apabila Seno ingin menjadi percikan maka Dian harus menjadi bahan bakarnya.
Dian menengok ke Seno, "bisa tolong bantuin nyembuhin tangan aku ga?"
"Siap bisa, mba," kata Seno sambil tersenyum dan memberi hormat.
Tak lama kemudian, Arto dan Wahyu sampai di X IPS-3 menggendong Steven dan lelaki yang masih tidak sadarkan diri. Juga ada perempuan cantik itu yang mengikuti di belakang mereka.
"Nih, adik lu," kata Arto sambil menurunkan Steven. "Bangunin coba, gw sama mas Wahyu mau ke X IPS-4."
"Hah?" Wahyu mengangkat sebelah alisnya, kebingungan tiba-tiba disuruh harus ke kelas lain lagi.
"Udah-udah ga usah komplain, ikut aja ayo." Langkah Arto terhenti saat mereka ingin keluar kelas lagi; dia berbalik badan dan melemparkan benda berbentuk seperti piramida ke Seno. "Jagain itu, kita mau cari yang bentuknya bola, punya mba Dian tadi."
Seno mengangguk dan memberikan jempol ke Arto, "siap bos. Nanti gw cari di X IPS-1 kalo Steven udah bangun."
Sebelum mereka keluar, Arto mengintip keadaan Dian, Adi, dkk. Kondisi mereka membaik, seperti memiliki semangat baru untuk terus hidup. Dian dengan cekatan membersihkan luka-luka lelaki itu; dia juga mengecek keadaan Samson yang masih terbujur kaki. Adiknya membantu dengan mengambil barang-barang yang bisa digunakan sebagai alat P3K sementara.
Meninggalkan Seno dengan mereka adalah keputusan yang tepat. Mungkin Seno hanya bisa memberi percikan kecil, tetapi itu cukup untuk menyalakan api harapan dalam hati mereka. Paling tidak sekarang mereka akan ikut membantu dan tidak hanya berkubang dalam rasa sedih.
Arto keluar kelas dengan langkah yang lebih ringan. Dia dan Wahyu menyusuri koridor sambil ditemani dengan hempasan angin yang berbisik kecil.
"So, dia cerita apa ke lu?" Arto bertanya sambil menghindari serpihan kaca di lantai.
Wahyu mendecakkan lidahnya. "Sengaja lu ya tadi ninggalin gw," kata Wahyu sambil menatap kesal Arto.
Arto menjawab dengan tersenyum polos. Betul sekali, dia memang sengaja meninggalkan kakaknya agar perempuan yang kurang kooperatif itu bercerita ke Wahyu. "Iya, sengaja, lagian kan first impression dia ke gw udah jelek. Dia pasti cuma mau cerita ke lu," kata Arto, masih menghindari serpihan-serpihan dengan cekatan. "Tapi seriusan, dia cerita apa ke lu tadi?"
Lantas Wahyu menceritakan kembali apa yang terjadi pada perempuan dan lelaki itu.
Perempuan dan lelaki itu bernama Lina dan Rama. Mereka sedang merayakan tahun baru bersama teman-temannya di sekolah saat gempa besar diikuti dengan lolongan kesakitan bumi menghentikan pesta pora mereka. Tanah lapangan terbelah dua dan cairan biru menyembur keluar, membanjiri sekolah. Siswa-siswi yang mengikuti pesta itu berhamburan, menyelamatkan diri masing-masing. Lina dan Rama lari ke atap sekolah, namun usaha mereka sia-sia lantaran cairan itu terus mengejar mereka. Lina pun tenggelam dalam lautan cairan biru itu, dan saat membuka matanya, tiba-tiba dia sudah ada di kelas X IPS-1.
"Satu sekolah kelelep?" Arto terkejut, matanya melebar.
"Iya, kata dia banjirnya dari lantai satu sampai atap."
"Jadi ini sekolah mereka?"
Wahyu mengangkat bahunya, "ga tau deh. Bisa jadi, tapi Lani anak IPA bukan anak IPS; gedung IPA sama IPS dipisah jadi dia ga tau ini sekolahnya atau bukan."
"Fuck man… berarti ada banyak korban dong, tapi kenapa cuma kita doang disini?"
Arto muncubit-cubit kecil bibir bawahnya hingga ada ingatan yang melintas di otaknya. Kelas yang berbau amis. Lantai yang memiliki retakan dimana-mana dan sudah tidak layak untuk dibiarkan saja dalam sekolah. Ubin yang memiliki lapisan tipis dari darah yang mulai mengering. Mungkinkah tempat ini sudah digunakan berkali-kali? Mungkinkah retakan, darah, dan bau amis itu berasal dari korban-korban sebelumnya?
"Terus, pacarnya dia, si Rama, kenapa bisa begitu kakinya?" Arto mengganti topik, mengesampingkan asumsinya. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak berguna sekalipun ada jawabannya. Keluar dari tempat ini adalah prioritas nomor satu.
"Dia… ga bilang apa-apa." Ekspresi Lina saat dia sedang bercerita masih sangat jelas di benak Wahyu. Wajah Lina yang memucat dan bibirnya yang bergetar saat bercerita membuat hatinya berat. Terlebih saat Lina tiba-tiba terdiam, mengingat celakanya nasib temannya. "Oh iya, kata Lina seharusnya ada tiga orang di kelas X IPS-1: dia, Rama, dan satu lagi temennya."
"Berarti udah ada tiga korban jiwa ya: dua adiknya mba dian, sama temannya Lina." Arto mengucek-ngucek matanya yang lelah. "Ayo kita buruan cari bola itu deh, jangan sampe korban jiwanya nambah lagi."
Depan kelas X IPS-4 memancarkan aura kematian yang mencekam jiwa, seakan mengatakan bagi mereka yang berani masuk akan mengenal apa rasa takut yang sebenarnya. Wahyu berdiri di depan lubang besar yang menganga itu, tangannya bergetar dan berkeringat. Dia menghirup nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungnya yang berdebar, tetapi adalah kesalahan karena bau busuk langsung menyerbu hidungnya. Sebelumnya, Arto sudah memperingati agar tidak menoleh ke belakang kelas, dan tentunya Wahyu akan mengikuti peringatan adiknya.
Mereka berdua mulai mencari bola hitam itu. Kelas itu dibongkar dari sudut ke sudut. Dari laci meja guru, loker meja murid yang sudah hancur berkeping-keping, hingga bongkahan batu dan lantai pun mereka periksa. Tetapi bola itu tidak kunjung ditemukan.
"Dik, kayaknya ga ada di sini deh bolanya," kata Wahyu sambil menyeka keringat di dahinya.
"I know," Arto mengintip ke belakang kelas dari sudut matanya. "Gimana nih, cuy? Mau ga mau kita harus nyari di belakang kelas juga."
Wahyu mendecakkan lidahnya lagi. Adiknya dari dulu memang handal dalam menyuruh tanpa menyuruh. Dia berkata, "coba gw yang cari deh."
"Yakin lu?"
"Yakin lah, lagian gw ga gampang enek kok. Kan gw biasanya yang bersiin muntah sama kotoran kucing."
"Tai kucing sama mayat beda jauh, anjir."
"Terus lu yang mau nyari?" Wahyu bertanya, tetapi karena Arto tidak menjawab dia lanjut, "ga mau kan? Ya udah biar gw aja yang cari."
Wahyu perlahan mendekati kedua mayat itu. Tubuh mereka hancur; mayat mereka hampir tidak bisa dibedakan antara manusia dengan boneka rusak. Bau mayat yang sudah mulai membusuk menyerang Wahyu sampai dia harus menutup hidung dan bernafas lewat mulut agar tidak memuntahkan isi perutnya.
Wahyu mulai mencari bola itu di sekitar dua mayat tersebut. Dia tidak langsung mencari dekat kedua mayat itu karena bola yang dicarinya kemungkinan terkubur di bawah tumpukan meja dan kursi rusak. Tetapi sejujurnya, dia memang tidak mau terlalu dekat dengan mayat itu, baik karena kondisi mereka mengerikan atau bau busuk yang memualkan. Dia terus berharap dalam hatinya agar bola yang dicarinya dapat ditemukan dengan cepat. Namun nasib berkata lain. Bolanya masih tidak ditemukan walaupun dia sudah mencari dari ujung ke ujung.
Wahyu menghela nafas panjang. Seperti inikah rasanya menjadi Arto yang dari tadi tidak berhenti menghela nafas? Wahyu pun mendekati lagi kedua mayat itu, sekarang dia berada sangat dekat hingga kondisi kedua mayat itu tercermin jelas pada matanya. Wajah mereka kesakitan, selamanya terjebak dalam kondisi mulut menganga seperti berteriak meminta tolong untuk menghilangkan sakit yang dialaminya.
Wayu menangkap gambaran sebuah objek berbentuk bola dari sudut matanya. Dia hampir berteriak, saking senangnya bisa keluar dari kelas mengerikan itu. Namun, setelah diperiksa lebih dekat, ternyata nasib Wahyu tidak beruntung. Bola itu terjepit di antara leher mayat dengan lantai.
Wahyu menahan nafas, mempersiapkan mentalnya untuk mengambil bola itu. DIa mengulurkan tangannya, dan memindahkan kepala mayat itu perlahan-lahan. Kulit mayat itu sangat dingin, dan lehernya yang patah membuat kepalanya terombang-ambing seperti boneka rusak. Bulu kuduk Wahyu berdiri, merinding.
Kedua mayat itu belum lama ini masih hidup dengan mimpi, cita-cita, dan aspirasi hidup masing-masing. Mereka bercanda, tertawa, tersenyum, dan bersedih layaknya orang biasa. Mungkin di luar tempat itu ada keluarga yang menunggu mereka pulang. Namun mereka tidak akan pulang. Tubuh mereka yang ada di tangan Wahyu hanya berupa bongkahan daging, tidak bergerak dan tidak bernafas.
Wahyu mengulurkan tangannya, mengambil bola hitam itu dan memeriksanya dengan seksama. Untungnya bola itu tidak ada kerusakan. Wahyu langsung berputar balik dan berjalan ke Arto.
"Dah dapet nih," kata Wahyu sambil menyodorkan bola itu. "Ayo kita balik ke X IPS-3"
"Sip, dikit lagi kita bisa keluar dari sini."
BUM!
Dentuman yang menggetarkan gendang telinga itu kembali.
BUM!
Angin berderu kencang, menghempas kepingan ubin, batu, dan kaca ke seluruh arah.
BUM!
Sebuah lubang muncul di lantai, diikuti dengan debu dan asap yang mengepul. Makhluk tidak kasat mata itu telah memasuki kelas X IPS-4!