Chereads / Lentera Siang / Chapter 4 - Menuju Dunia Baru

Chapter 4 - Menuju Dunia Baru

Langkah kaki empat orang menggema dalam ruang putih yang hampa dan luas. Mereka berjalan menuju titik hitam kecil yang berada di ujung ruangan, di arah yang berlawanan dari pintu masuk mereka sebelumnya. Entah titik itu berupa pintu keluar atau bukan, yang penting mereka memiliki tujuan.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Letih lesu yang mulai merambat ke otot-otot membuat mereka bungkam. Setelah tidak ada lagi yang mengejar, adrenalin meninggalkan otak mereka. Tanpa adanya adrenalin, mereka hanya ditinggalkan dengan otot yang nyeri-nyeri.

Bruk

Wahyu jatuh terjerembab, lututnya menghantam lantai. Tadi saat dia terbangun setelah kejang-kejang, mimisannya sudah berhenti. Namun, sekarang darah mulai mengalir lagi dari lubang hidung yang sama. Lantas Wahyu menjepit hidungnya agar menghentikan aliran darah.

"Kan gw bilang jangan dipikirin lagi bentuk monsternya," kata Arto.

"Sori, sori," kata Wahyu dengan suara cempreng karena hidungnya ditutup.

"Emang lu ngeliat apaan si, Mas?" Seno bertanya, kemudian dia duduk di samping Wahyu.

"Gw ga tau…" Bentuk, warna, tekstur, dan wujud dari makhluk itu terlewat dalam pikiran Wahyu. Tiba-tiba rasa sakit menyambar otak Wahyu, seakan ada yang melemparkan batu berat langsung ke kepalanya. Dia memejamkan mata, pelipisnya berdenyut, dan darah menetes dari kisi-kisi hidung yang ditutup. "Gw ga ngerti apaan itu tadi."

"Yaudah jangan dipikirin lagi," kata Arto sebelum berbaring. Pandangannya ke atap ruangan, mencari sumber cahaya yang masih berupa misteri. "Monster kayak gitu ga bisa dicerna sama otak manusia."

"Kenapa kok ga bisa, Mas?" Tanya Steven yang duduk di sebelah kakaknya.

"Ini masih kira-kira aja loh ya," kata Arto. Dia berhenti sebentar sebelum berlanjut, "kalian pernah denger Cthulhu ga?"

Cthulhu, salah satu dari The Great Old Ones, sebuah karakter dalam novel buatan H. P. Lovecraft. Novelnya mengatakan bahwa Cthulhu adalah dewa dari dimensi lain yang akan bangkit setiap 300,000 tahun sekali untuk mendatangkan malapetaka ke alam semesta. Dia adalah pengingat akan bahaya luar angkasa, tersembunyi di balik hamparan kosmos yang amat sangat luas. Rupa dari Cthulhu tidak menentu, tergantung pada siapa yang memandangnya. Ada yang bilang bentuknya berupa makhluk raksasa berkepala gurita, bersayap, dan dengan cakar yang tajam. Ada juga yang bilang bentuknya adalah manusia dengan wajah dipenuhi tentakel.

Namun tidak ada yang tahu bagaimana wujud aslinya lantaran siapapun yang memandangnya akan kehilangan kewarasannya. Mencerna informasi akan bentuk, tujuan, dan keberadaan Cthulhu bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh manusia. Eksistensi dari Cthulhu adalah penghinaan bagi segala pemahaman manusia akan dunia yang mereka pijak.

"Jadi menurut lu monsternya itu Cthulhu?" Tanya Seno.

"Ya kagak lah, tolol." Arto menjitak kepala Seno. "Mangkanya kalo orang ngomong tuh dengerin. Misalkan itu Cthulhu, Mas Wahyu seharusnya udah gila dari tadi, tapi dia gapapa kan? Mungkin monsternya mirip-mirip sama Cthulhu, bentuknya ga bisa dimengerti, tapi ga sekuat Cthulhu. Lagian Cthulhu cuma fiksi doang kok."

"Wow, keren lu ya, wawasannya luas," kata Seno sambil mengangguk-angguk. "Emang pengangguran banyak waktu luang ya, jadi bisa baca buku-buku ga guna."

Arto tertawa terbahak-bahak, sebelum menyindir kembali "paling ga gw kagak diselingkuhin pacar gara-gara 'terlalu baik.'"

Seno menampar dahi Arto yang sedang berbaring. Arto membalasnya dengan menjewer kuping Seno sampai daun telinganya merah merona. Seno, tak mau kalah, juga ikut menjewer kuping Arto hingga telinganya melar. Bodoh sekali kelakuan mereka berdua. Tidak peduli tempat dan situasi, pasti ada saja yang mereka jadikan bahan untuk berkelahi.

Steven mengacuhkan kedua orang bodoh itu dan bergeser ke sebelah Wahyu. "Mas Wahyu, udah gapapa idungnya?" Dia bertanya dengan muka sedikit khawatir.

"Hidung gw gapapa, tapi kepala gw masih nyut-nyutan."

"Yaudah kita istirahat dulu…" Steven menoleh ke arah titik hitam, kemudian membalikkan mukanya ke arah pintu masuk mereka yang sudah hancur. "Mas Wahyu, kira-kira yang lain bisa selamat ga ya?"

Wahyu terdiam sejenak, "let's hope for the best aja buat mereka."

"Oke," Steven mengangguk. "Lagian kenapa sih monsternya ngancurin pintu? Padahal dikit lagi kita semua bisa keluar."

"Kayaknya dia ga mau kita kabur," sambung Arto, kupingnya sudah melebar sebesar dua kali lipat.

Seno bertanya dengan muka yang menyebalkan, "mang eak?"

"Eyak," kata Arto, sebelum menendang tulang kering Seno, membuatnya berguling di lantai sambil memegang kakinya yang kesakitan. "Mungkin monster itu tugasnya buat ngurung kita, buat jadi makanan dia."

"Makanan ya…" Wahyu menyeka sisa darah yang masih menempel di hidungnya, mimisannya sudah berhenti. "Bisa juga monsternya ga suka sama cahaya. Jadi dia ngancurin portalnya yang terlalu silau."

"Mas Arto, bisa ga sih, kalau sebenarnya monster itu juga mau keluar tapi ga bisa." Lolongan pilu makhluk itu masih terbayang-bayang dalam benak Steven. Entah kenapa, hatinya bergetar setiap makhluk itu melolong. "Steven sedih setiap denger dia."

Arto mengangkat satu alisnya, terkejut dengan konklusi Steven. Arto berkata, "depressing banget misalkan dia mau keluar tapi ga bisa…" Pandangan Arto terkunci pada pintu masuk yang sekarang sudah sangat jauh. "Tapi bagus buat kita, ga usah ketakutan bakal dimakan atau enggak."

Mungkin sudah bagian dari nasib makhluk itu untuk terus terkurung dalam kegelapan tanpa sekalipun merasakan balutan sinar matahari.

"Gimana? Kita makin deket atau enggak?" Tanya Arto, kakinya berteriak memohon dirinya untuk berhenti lantaran sudah lama sekali berjalan.

"Iya, tadi titiknya segede kuku, sekarang segede ujung jari," jawab Wahyu.

"Anjir, kapan sampenya kita ini," gerutu Seno.

Setelah tadi rehat beberapa menit, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya. Walaupun tidak ada terik matahari yang menyambar, bebatuan tajam yang menusuk kaki, dan angin kencang yang menghempas diri, perjalanan mereka tidak kalah susahnya. Berjalan dalam kehampaan, dimana atas bawah kiri kanan susah untuk dibedakan sangatlah melelahkan, baik untuk mental, hati, maupun fisik. Bisa saja orang kehilangan akal sehatnya kalau berada terlalu lama di ruangan itu.

"Kak Seno, badannya gatel-gatel ga?" Steven bertanya sambil menggaruk-garuk tangannya.

"Bukan gatel, tapi kayak ada yang nyubit kecil-kecil gitu," jawab Seno.

"Mangkanya kalo mandi yang bener, sabunnya dipake, bukan buat pajangan," celetuk Arto, walaupun dia juga gatal-gatal.

Seiring mereka berempat berjalan, kulit mereka diusik oleh sesuatu yang tidak terlihat di udara. Rasanya seperti ada yang menusuk kecil-kecil dengan jarum pada sekujur tubuhnya. Memang tidak sakit, dan hanya menyisakan gatal-gatal ringan, tetapi itu sangatlah menyebalkan.

Lantas mereka terus berjalan sambil ditemani dengan gatal-gatal yang lambat laun menghilang. Hingga akhirnya, setelah lebih dari 30 menit berjalan, sebuah pintu kokoh berdiri di depan mereka. Pintu coklat tua berukiran klasik berupa bunga-bunga dengan daun yang menggelombang, mirip seperti pintu penghubung antar koridor dan ruang putih hampa.

"Pintu lagi, pintu lagi," kata Arto, lagi-lagi menghela nafas.

"Aduh, kira-kira ini pintu keluar bukan ya." Steven meronta-ronta dalam hati, tidak mau menjalani hal yang sama lagi.

"Mas, gendong gw, capek kaki gw," kata Seno ke Arto.

"Ayo, siapa yang mau buka? Masa gw mulu yang buka benda-benda aneh?" Kata Wahyu.

Arto mendorong Seno maju, menyuruhnya untuk membuka pintu. Seno mendekati pintu, dia awalnya tidak mau, tapi karena satu lawan tiga jadi apa boleh buat. Gagang pintu yang bulat digenggam olehnya, dan diputar ke kanan hingga keluar bunyi klik.

DUAR!

Pintu terbuka lebar, mengagetkan mereka berempat.

Wooosh

Angin kencang mendorong mereka agar masuk ke dalam ruangan yang ada di balik pintu itu. Lantas badan mereka terangkat dan terhempas masuk ke dalam ruangan bundar. Arto dan Seno terbanting dan terguling di lantai lantaran tidak siap untuk mendarat, sedangkan Steven dan Wahyu berhasil mendarat dengan elegan.

Ruangan itu bundar, pinggirannya berdiri pilar-pilar tinggi yang menjulang ke atap berbentuk kubah, dan lantainya berupa susunan batu bata emas mengkilap yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah spiral dengan pusat di tengah ruangan. Pada pusat spiral itu, ada patung berkepala kubus yang tingginya hampir mencapai langit. Empat sisi dari kubus patung itu memiliki wajah datar yang sedang menutup mata, tertidur. Patung itu mengenakan jubah merah yang menyembunyikan badannya—itu pun kalau memang patung itu memiliki badan.

Mereka disambut dengan musik orkestra yang menggelegar di langit-langit ruangan. Terompet brass memainkan melodi menanjak dalam tangga nada mayor, diiringi dengan hangatnya lantunan dawai biola, dan dentuman bass drum yang sesekali berdegum, mengisi ruangan akan euforia kemenangan. Walaupun para pemain orkestra tersebut tidak terlihat, harmoni yang diciptakannya masih bisa mengguncang jiwa.

Pemandangan yang begitu menakjubkan diiringi dengan musik pastinya akan memukau mereka berempat. Tetapi fantasi akan kemenangan dan euforia yang baru digapainya langsung hilang lantaran susana di sekitarnya.

Sudah ada banyak orang yang menempati ruangan itu. Orang-orang itu adalah para "pemenang" tantangan yang sudah dahulu memasuki ruangan. Ada seorang anak kecil berambut pirang menggenggam tangan neneknya yang sudah tidak bernafas lagi, air mata berlinangan di pipinya. Ada perempuan dengan kulit kuning langsat dan mata sipit—ciri khas orang Asia Timur—berada di ambang kematian, dikelilingi oleh teman-temannya yang sudah duluan menemui Sang Pencipta. Juga ada orang-orang berkulit hitam mengenakan daster warna-warni sedang cekikikan, sibuk dengan dunianya sendiri. Berbagai macam orang, etnis, dan kondisi disatukan dalam satu ruangan.

Darah mengalir dari mayat-mayat yang bergeletakan di dalam ruangan, terselip memasuki celah antara batu bata emas, menciptakan kontras yang indah dan mengerikan secara bersamaan. Bau anyir menyebar dalam ruangan itu, menyerang siapapun yang berani untuk menghirup udara. Pemandangan dan aroma yang sudah familiar bagi Arto, Seno, Steven, dan Wahyu. Siapa sangka empat orang yang tidak pernah berurusan dengan darah akan terbiasa secepat itu?

Arto buka tutup mulutnya, hingga akhirnya dia berkata, "what in the fuck is this?"

Mungkin sudah lebih dari satu jam mereka terjebak dalam ruangan itu. Setelah mereka, ada juga pendatang-pendatang lain yang memasuki ruangan diiringi dengan musik fanfare. Sama halnya dengan orang-orang sebelumnya, sekali dua kali mereka penasaran siapa pendatang barunya, tetapi lama kelamaan mereka bosan. Lebih baik beristirahat dibandingkan celingak-celinguk yang hanya membuat leher sakit saja.

Mereka berempat sedang bersandar di dinding ruangan. Setelah lama terdiam, Arto membuka mulutnya, "mereka bule kah? Atau orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke?"

"Coba tanya, Mas," usul Seno.

"Ga mau ah," Arto menggeleng. "Entar pas gw mau nanya, taunya yang gw tanyain malah mayat lagi," kata Arto sambil bergidik, menggosok-gosok lengannya.

"Emangnya kenapa kalo mereka bule?"

"Kalo emang bule, berarti ini dampaknya internasional, cuy." Arto mendongak, menutup matanya, dan menghela nafas panjang. "Inget ga? Pas portalnya muncul, gempanya gede banget. Kalo emang ini skalanya internasional, jangan harap listrik udah nyala lagi besok."

"Iya juga ya… bakalan pada sibuk sendiri-sendiri, apalagi bisa jadi se-Indonesia kena gempa."

Arto mengangguk, "belom ditambah tsunami, tanah longsor, and ada kemungkinan gunung meletus gara-gara gempa. Siapa yang bakal benerin gardu listrik kalo semuanya kocar-kacir evakuasi?"

"Ah elah, capek banget gw." Kata Seno, mendengus kesal. "Oh, kan kita abis ini dapet kekuatan. Bantuin orang make kekuatan kita aja ga sih?"

Arto tertawa, terpingkal-pingkal, "stupid banget si lu. Siapa bilang kita bakal dapet kekuatan? Sekalinya dapet, pasti kekuatan abal-abal dah." Arto menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan tawanya yang tidak berhenti-berhenti. "Kita bukan protagonis, cuy. Orang-orang kayak kita antara jadi pengikut, atau pemain figuran di hidupnya protagonis."

"Biarkan seorang bujang bermimpi, Mas. Ga semua orang hidupnya semenyedihkan lu," balas Seno.

Orkestra bersuara kembali, dan pintu terbuka lebar, mengeluarkan suara kencang seperti biasa. Sebelumnya, mereka berempat sempat terpanjat kaget saat pintunya tiba-tiba terbuka, tetapi sekarang bunyi itu cuma pengganggu istirahat belaka.

Wooooosh

Angin membawa para "pemenang" berikutnya masuk. Namun, berbeda dengan yang mendahuluinya, kali ini jumlah orang yang masuk sangat banyak. Ada 10 orang memasuki ruangan, sedangkan sebelumnya paling banyak hanya setengah dari itu. Mereka bersepuluh melakukan pendaratan indah setelah dibawa masuk oleh angin.

Berdiri di paling depan, seorang pemuda dengan perawakan tegap dan gagah sedang mendongak, mengamati patung besar di depannya. Dia mengernyit, pandangannya masih terpaku pada patung. Kemudian dia mengetuk pelipisnya dua kali, dan mulai sibuk dalam pikirannya sendiri, berusaha mengingat sesuatu. Hingga akhirnya dia menggeleng menyerah, lalu mulai celingak-celinguk seperti kebingungan. Sampai tiba-tiba, pandangannya bertabrakan dengan pandangan Arto untuk sementara.

Arto tercengang menatap pemuda itu. Rambut hitamnya mengkilap di bawah sinar ruangan. Hidungnya mancung sempurna, bibir merahnya tipis dengan cupid bow, dan kulitnya putih bersih tanpa jerawat. Tetapi yang paling mencolok adalah matanya; sepasang mata biru langit memandang, tertutup sedikit oleh kelopaknya yang setengah turun, seakan ingin menyembunyikan dunia lain yang terpancar di balik mata itu.

Setelah bertatapan sejenak, pemuda itu membuang muka, melepas Arto dari penampilannya yang memikat mata.

Arto tertawa kecil, "cuy, gw nemu protagonisnya."

"Hah? Dimana?" Seno celingak-celinguk mencari orang yang dimaksud Arto. Tetapi dia diinterupsi oleh orkestra yang mulai bermain lagi.

Sebelumnya, orkestra memainkan musik fanfare untuk menyambut para pendatang baru, tetapi sekarang berbeda. Dentum bass drum berdegum-degum. Biola bermain dengan tremolo, menciptakan suasana yang menegangkan. Terompet bertiup dengan nada yang pelan-pelan meningkat hingga akhirnya mencapai titik klimaks. Mereka menciptakan harmoni yang seakan menyambut seseorang.

Tiba-tiba satu ruangan mulai bergetar. Pilar-pilar di dinding memancarkan cahaya emas. Ubin di lantai mulai bergerak mengikuti spiralnya, seperti pusaran air di laut. Juga yang paling mengejutkan, patung berkepala kubus itu mulai melayang!

Jubah merah patungnya menari mengikuti tiupan angin, dan keempat wajah pada patung tersebut membuka matanya. Ekspresi datar yang dimilikinya berubah menjadi ekspresi-ekspresi konyol, hampir seperti karikatur.

Muka pertama, matanya terbuka lebar dan tersenyum hingga ujung mulutnya menyentuh batas sisi kubus, berkata, "selamat datang para märchen, dan selamat telah lulus ujian." Pandangannya terhenti pada pemuda bermata biru untuk sementara. Matanya terbentuk bulan sabit, seakan senang melihat pemuda itu.

"Dunia ini sedang dalam bahaya, dan kalian lah orang-orang terpilih yang akan menyelamatkannya!" Kata muka kedua. Wajah kecilnya tertarik jauh ke dalam kubus, seperti massa berat yang membengkokkan gravitasi.

"Maka carilah, jalankan, dan wujudkan tujuan kalian," kata muka ketiga. Sisi kubus itu memiliki wajah yang tidak beraturan: matanya besar sebelah, mulutnya vertikal terletak di pipi, dan hidungnya mencong berada di dahi.

"Jangan pernah berhenti untuk belajar akan diri sendiri dan dunia sekitar. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil jika kalian membuka seluruh indra," kata muka keempat. Tidak seperti yang lain, wajahnya tidak memiliki deformitas. Namun, mukanya tertutup oleh tulisan-tulisan aneh.

Kemudian, intensitas cahaya dari pilar-pilar di dinding semakin kuat. Ruangan berguncang hingga gerak batu bata di lantai menjadi acak-acakan, bahkan ada beberapa yang terpental. Pilar-pilar mulai runtuh, membawa tembok yang menempel dengannya, menampakkan kegelapan yang begitu familiar di baliknya; kegelapan mencekam yang tidak ada habisnya.

Empat wajah itu mulai berbicara secara bersamaan, "for some of you, this will be the last time we see each other."

Batu bata emas mulai hilang satu-persatu, jatuh ke dalam kegelapan. Lubang-lubang mulai bermunculan di lantai, melahap mayat-mayat yang tidak bergerak, dan mereka yang kurang beruntung. Semua orang panik, berlarian kesana-kemari, menghindari lubang yang muncul di bawah kaki mereka secara tiba-tiba. Arto, Seno, Steven, dan Wahyu tidak terkecualikan.

"But for those of you who will see us again," kata patung itu sambil tertawa-tawa. "You guys are in for a surprise."

Akhirnya ruangan itu runtuh. Tidak tersisa lagi lantai yang dapat dipijak. Tembok dan pilar megah sudah hilang. Orang-orang terjun bebas sambil berteriak meminta tolong. Hanya patung berjubah merah itulah yang tersisa, melayang-layang sendirian diselubungi kegelapan.

Wahyu yang tersentak bangun membuka matanya, badannya sudah basah dengan keringat, dan nafasnya terbata-bata. Dia sedang berbaring di atas aspal dengan retakan yang menjalar kemana-mana. Hiruk-pikuk masyarakat sedang gotong royong mencari korban gempa membuatnya menghela nafas lega. Akhirnya dia sudah keluar dari tempat itu.

"Akhirnya bangun juga lu," kata Arto yang sedang duduk disamping Wahyu. "Kirain udah mati."

"Dasar kucing emang lu," balas Wahyu sambil tertawa.

"Udah lega ya, Mas? Akhirnya kita bisa keluar," kata Steven.

"Iya, lega banget." Wahyu menegakkan dirinya dan meregangkan badannya. Tetapi ada sesuatu yang janggal, membuatnya bertanya, "loh, Seno mana?"

"Udah duluan pulang dia," jawab Arto. "Katanya beban di perutnya ga bisa nunggu lu bangun."

"Oh, masih sakit perut dia?"

"Iyalah, kalo udah enggak berarti dia berak di celana dong." Arto berdiri mengulurkan tangannya ke Wahyu, "ayo kita nyusul. Kalo kelamaan disini nanti malah disuruh-suruh sama warga. Udah ga kuat gw buat ngapa-ngapain lagi, pengen tidur."

Lantas mereka berjalan pulang, meninggalkan jalanan dan rumah-rumah yang sudah roboh. Setelah mereka berjalan beberapa menit dalam diam, suasananya berubah. Sebelumnya mereka dikelilingi oleh runtuhan rumah dengan tiang listrik berserakan di jalan. Tetapi sekarang rumah-rumah yang ada di sekelilingnya kokoh, kerusakan paling parah hanya retakan saja di dindingnya, tidak ada yang roboh. Tentu saja kokoh, rumah berharga puluhan miliar rupiah tidak mungkin roboh begitu saja. Betul, mereka sampai di perumahan elit, tempat tinggal kaum yang mendapatkan uang semudah memetik daun dari pohon, dimana rumah sementara mereka berada.

Angin bertiup kecil, mengusap wajah mereka sambil berbisik. Pohon rindang menghiasi sisi jalanan, daunnya berdesis setiap bergesekan setelah digoyang angin. Jalan itu begitu sepi sampai-sampai bunyi kerikil terinjak dan gesekan kulit dengan baju terdengar jelas. Tanpa adanya listrik, lampu jalanan mati, sehingga mereka berjalan dalam kegelapan dan kesunyian yang mencekam.

"Jam berapa ya sekarang? HP gw mati nih." Arto bertanya untuk mencairkan suasana.

"Jam 11:50," jawab Wahyu. Dia menatap layar HP sejenak, sebelum kebingungan dan bertanya-tanya, "loh… 11:50? Tadi pas kita masuk perasaan jam 11:45 deh."

Steven berhenti berjalan. Dia menurunkan pandangannya ke HP yang ada di tangannya dan bertanya, "eh, kenapa tadi kita ga make HP buat senter ya?"

Arto ikut berhenti berjalan dan berkata, "bener juga ya." Dia mengkerutkan alis dan mulai mencubit kecil bibir bawahnya. Namun, lama-kelamaan cubitannya makin kencang, bahkan sampai meninggalkan bekas. "What the fuck… kenapa ya?"

Mereka berempat berkumpul di kamar Wahyu. Kamarnya luas dan simpel, berisikan hal-hal yang perlu saja seperti lemari, meja, dan kasur, tidak ada dekorasi yang mencolok. Sebuah jam weker terletak di atas meja belajar Wahyu, jarumnya menunjukkan pukul 11:58, dua menit sebelum tahun baru. Tidak ada listrik maka tidak ada AC dan lampu, membuat ruangan itu pengap dan gelap. Sebatang lilin diletakkan di tengah kamar, kelip cahayanya menerangi ruangan.

"Gimana rasanya di kamar mandi, sendirian, gelap-gelapan?" Tanya Arto ke Seno.

"Ga peduli gw sama gelap, udah bener-bener mau meletus tadi." Jawab seno sambil mengelus perutnya.

"Bentar dulu," sela Wahyu. Dia garuk-garuk kepala, rambut ikalnya bergoyang mengikuti tangannya. "Kalian ngapain sih disini? Katanya tadi kecapean?"

"Emang kecapean kok," kata Arto.

"Ya, kalo kecapean tidur di kamar masing-masing lah."

"Gw takut," kata Arto.

"Steven juga takut," kata Steven.

"Gw ga takut, cuma ngikut yang lain aja," kata Seno. Tetapi setelah ditempeleng oleh Arto, dia mengubah jawabannya, "gw juga takut."

"Maklumin aja, cuy." Arto mulai mempersiapkan tempat tidur. Kasur di kamar Wahyu ditumpuk menjadi dua, jadi salah satunya bisa ditarik untuk membentuk kasur besar yang dapat menampung mereka berempat. "Kita kan manusia, pastinya takut sama hal-hal aneh."

"Paling aneh lu ga kepikiran make HP sih," kata Seno. "Biasanya megang HP delapan hari seminggu, kok bisa gitu loh ga kepikiran make HP?"

Arto mengangkat bahunya, "ga tau."

"Terus kok bisa kita cuma lima menit di tempat itu?"

"Ga tau."

"Patungnya tadi aneh deh, jangan-jangan dia dewa lagi."

"Ga tau."

"Ngomong 'ga tau' mulu lu," Seno menendang punggung Arto yang sedang memasang sprei, membuatnya terjerembab ke kasur.

"Ya emang gw kagak tau, anjir." Arto melempar bantal ke muka Seno. "Capek gw, pengen tidur."

Kring kring kring

Jam weker berdering keras di atas meja, mengagetkan mereka semua. Jarumnya sekarang menunjukkan pukul 12:00, memasuki tahun baru.

Biasanya awal tahun Steven ditemani dengan banyak kembang api dan tawa ria sambil berhitung mundur. Tetapi sekarang Steven disambut oleh suatu yang lain; sesuatu yang seharusnya ada hanya di dunia fiksi. Sebuah layar hologram biru muncul di depan mereka, seperti layar yang ditemukan dalam game komputer. Konten yang terpampang di layar tersebut bergantian dengan cepat.

[системаны орнотуу…2%]

[系统安装...15%]

[Instalasi sistem…41%]

[تركيب النظام...67٪]

[システムのインストール...83%]

[instalación del sistema…99%]

[System installation…100%]

Bunyi bel berdenting di dalam kepala Steven. Kemudian muncul dua layar baru di depan mukanya.

[ The System has been installed!

The System language has automatically been set to English. The System is given to those who've become a catalyst. The System will help in giving and processing the power of its user. The System will ONLY be visible to its user. ]

[ CONGRATULATIONS!

Huzzah! You have passed the preliminary test, and you are deserving of a prize! So, please choose one of the three powers available:

Translator

Liar

Nomad ]

Steven kebingungan, terlalu banyak informasi yang harus dicerna. Tetapi hatinya berkata lain lantaran satu kata yang membuatnya gembira: power. Mungkin dengan kekuatan, Steven akhirnya bisa menjadi pahlawan seperti yang sering ditontonnya di layar kaca!

Steven menoleh ke Wahyu, "Mas Wahyu, dapet hadiah kekuatan juga ga?"

Wahyu mengangguk, "Iya, gw disuruh pilih satu dari tiga kekuatan: alchemist, scavenger, sama tracker."

Berikutnya, Steven ingin bertanya ke kakaknya, Seno. Tetapi orang yang ingin ditanya sedang sibuk lompat-lompat di atas kasur sambil meniru gerak-gerik dan suara monyet.

"Kan gw bilang apa," kata Seno, menunjuk ke Arto. "Kita bakal dapet kekuatan!"

"Iya, iya," balas Arto sambil tertawa. Dia senang mendapatkan hadiah setelah melewati tantangan yang sulit itu. Paling tidak semua keringat yang dikeluarkannya memiliki hasil. "Gw dapet contrast, dancer, sama puzzle enthusiast."

"Dih… aneh-aneh dah lu dapetnya. Kayak gw dong dapet neos, student, detective."

Setelah mempertimbangkan selama beberapa saat, mereka sudah siap untuk memilih. Wahyu memilih alchemist karena dia memang suka berkarya kalau dalam game. Steven memilih translator karena diusulkan oleh Arto. Seno memilih detective karena keren. Terakhir, Arto memilih puzzle enthusiast karena dua pilihan lainnya aneh.

Lantas mereka memilih kekuatannya masing-masing. Wahyu memencet tombol yang ada di hologram bertuliskan alchemist. Kemudian muncul sebuah layar baru.

[ System Assisted Assimilation in progress!

User is advised not to consume anything during the process. User is advised not to sleep during the process. User is advised to wait patiently until the process is finished.

System Assisted Assimilation…1% ]

Tiba-tiba Wahyu berada di dalam ruangan putih. Baru saja dia keluar dari ruangan itu, sekarang dia kembali lagi. Kebingungan dan frustasi, dia mulai celingak-celinguk mencari pintu yang bisa membawanya keluar. Ternyata pintu tersebut berada tepat di belakang dia. Berbeda dengan sebelumnya, pintu itu tidak memiliki nuansa klasik, melainkan sebuah pintu geser berwarna abu-abu polos.

Wahyu menggeser pintu itu, dan sebuah pemandangan menakjubkan menyambut dia. Perpustakaan dengan deretan rak buku yang ujungnya jauh melebihi cakrawala. Setiap rak memiliki tinggi yang menembus awan-awan, bahkan melampaui atmosfer. Namun, dari begitu banyak rak buku, tidak ada satupun yang terisi penuh, seakan menunggu pemilik perpustakaan itu untuk melengkapi koleksi bukunya.

Wahyu ingin memasuki perpustakaannya, tetapi sebelum dia bisa melangkah, tubuhnya sontak ditarik menjauh dari pintu. Kecepatan menariknya sangat kencang, hingga dalam waktu sepersekian detik, pintu itu tampak lebih kecil dari sebutir pasir.

Terbangunlah Wahyu, kembali ke dunia nyata, dalam kamarnya yang gelap dan pengap itu. Ingatannya akan perpustakaan tadi seakan ditutupi oleh kabut tebal, dan pikirannya hanya fokus kepada tiga orang di depannya yang sedang ricuh.

"Kok jadi lu si yang dapet kekuatan gw?" Kata Seno ke Steven, mukanya kesal.

"Steven juga ga tau," kata Steven. "Tadi jelas banget Steven mencet translator!"

"Terus kenapa gw jadi dapet peeper?!" Seno memukul-mukul kasur, frustasi. "Gw maunya jadi detektif, kenapa gw ujung-ujungnya jadi pengintip?!"

Sebuah layar melayang-layang di depan mata Seno dan Steven. Tertera di layar tersebut:

[ PEEPERS STAN TOGETHER!

Hello fellow peeper, welcome to the wonderous world of peeping where everything—and I mean EVERYTHING—is never out of sight for us! ]

[ A NEW DETECTIVE IS IN TOWN!

You have been selected to join our elite team of investigators who solve the most mysterious and thrilling cases in the world. But does every unanswered case and question need to be solved? ]

Tadi saat Seno memencet pilihannya, tanpa dia ketahui, huruf-huruf yang tertera pada layar menggeliat dan membentuk kata baru. Hingga akhirnya pilihan detective berubah menjadi peeper. Pada saat itu, tidak ada yang mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin memang takdir, atau kesalahan pada System, atau bahkan intervensi dari luar. Sungguh hal aneh yang membingungkan.

"Lu dapet apa, Mas Wahyu?" Tanya Seno setelah menarik nafas panjang, menenangkan dirinya.

Di mata Wahyu tertera sebuah layar:

[ A NEW ALCHEMIST IS BORN!

Welcome to the world of alchemy!

Alchemy is a fascinating and ancient art that has been practiced for centuries. Not only do alchemists study the transmutation of matter, they also seek the very essence of the universe. But every alchemist is different.

So, what kind of alchemist might you be? ]

"Gw dapet alchemist, sesuai pilihan gw," jawab Wahyu.

"Dih, curang…" Seno menoleh ke Arto. "Lu dapet apa, Mas?"

Arto terdiam, pandangannya terkunci menatap layar di depannya. Dia bergumam sesuatu, tetapi terlalu kecil sehingga tidak bisa didengar Seno.

"Hah? Cigar? Gw ga denger lu ngomong apa," kata Seno. Dia mendekati Arto agar bisa mendengar lebih jelas.

"Beggar…" kata Arto, suaranya kecil seakan sudah membuang semua harapan hidup. "Gw dapet beggar, pengemis."

[ BEGGARS BEGONE!

Beggar? Is that even a profession? Just get your filthy, stinky, worthless existence out of my sight! ]

Satu kamar mendadak hening, tidak tahu harus berkata apa. Hanya Seno yang berani maju. Dia menepuk iba punggung Arto. Sebagai pengintip, dia mengerti rasanya memiliki kekuatan abal-abal.

*****

Seno terbangun dari tidurnya, kasur di sekitarnya sepi. Sinar matahari memasuki ruangan melalui sekat jendela. Warna sinarnya aneh, seharusnya sekarang pagi, tetapi sinar mataharinya berwarna merah seperti sore menjelang malam. Penasaran, Seno beranjak dan mengecek jam; jarumnya menunjukkan pukul 6:00 pas.

Pandangan Seno masih kabur karena baru saja bangun. Lantas dia ke kamar mandi untuk membersihkan mukanya. Tetapi setelah berkali-kali mencuci wajah, pandangannya masih kabur. Saat dia ingin berkaca untuk memeriksa matanya, Seno terkejut sampai terjatuh ke belakang. Wajahnya tidak ada!

Seno lari keluar kamar dan langsung mencari saudara-saudaranya. Kamar mereka berempat berada di lantai dua, sedangkan ruangan lainnya ada di lantai satu. Maka Seno menuruni tangga spiral sambil memanggil, "Mas Arto, Mas Wahyu, Steven! Woi, kalian dimana ga ngajak gw?!"

Grasak-grusuk dari luar menyentak Seno. Pasti itu Arto, Steven, dan Wahyu yang ada di luar, siapa lagi kalau bukan mereka? Mungkin mereka sedang mencari hangat matahari di luar. Atau mungkin mereka sedang mencoba-coba kekuatan barunya. Kurang ajar, seenaknya saja mereka mengetes kekuatan tanpa mengajak Seno!

Lantas Seno bergegas dan menendang pintu keluar. Tapi bukannya disambut oleh tiga saudaranya, dia disambut oleh seekor kambing.

Mbeeek

Kambingnya sangat besar! Tingginya lebih dari dua meter, membuat suaranya sekencang speaker pada volume maksimum. Bulu peraknya yang tebal berkilauan berkat sinar merah matahari. Tanduknya berputar membentuk huruf "O".

Kambing itu sedang berjemur di bawah sinar matahari yang mengintip melalui awan tebal; awan-awan di langit terkadang mengeluarkan guntur yang memekakkan telinga. Kambingnya mengembik sekali lagi, kemudian dia berdiri dan merangsak maju ke Seno, menyeruduknya!