Chereads / Lentera Siang / Chapter 6 - Belanja Bulanan

Chapter 6 - Belanja Bulanan

Wahyu bergegas kembali ke rumahnya, ingin memberitahu tentang "quest" yang didapatnya. Sesampainya di rumah, dia disambut dengan kelakuan aneh Arto dan Seno.

Arto melompat-lompat dari kanan ke kiri dengan cepat sambil melempar barang-barang ke Seno. Sedangkan Seno menghindari semua yang dilempar oleh Arto dengan cekatan, tidak ada satupun yang berhasil mengenainya. Ruang tamu yang tadinya sudah rapi setelah mereka bersih-bersih kembali kotor, debu dan batu berserakan dimana-mana.

"Ga bakal kena," kata Seno sambil menunduk, bongkahan batu melesat di atas kepalanya. Mukanya dimirip-miripkan dengan monyet, menyebalkan sekali.

"Ga mungkin ga bakal kena," Arto masih melompat-lompat, nafasnya ngos-ngosan. "Curang banget kekuatan lu, anjir."

"Lah, lebih curang lu, bisa motong kepala kambing gede gitu!"

"Tapi gw ga ngerti cara makenya!"

Wahyu geleng-geleng kepala dan memijat dahinya. Dia dan Steven dari tadi bekerja agar mereka berdua bisa beristirahat. Tetapi bukannya beristirahat, mereka malah asyik bermain sendiri. Tambah lagi mengotori ruangan yang sudah dibersihkannya.

"Kalian berdua ngapain sih?" Kata Wahyu, menahan amarahnya yang mau meledak.

"Oh, lu udah balik, cuy," kata Arto sambil melempar batu ke Seno.

"Ey, Mas Wahyu, liat gw keren kan?" Seno melompati batu yang jatuh tepat dimana kakinya sebelumnya berada. "Kita lagi test drive."

Wahyu bertanya, "test drive apa?"

"Ya test drive kekuatan gw lah," kata Seno. "Nih gw kasih liat." Seno menyentuh Wahyu dan berlanjut, "coba pukul gw."

Wahyu menoleh ke Arto, kebingungan dengan kegunaan dari test drive itu. Arto hanya mengangguk saja, menyuruhnya untuk memukul Seno sekuat tenaga. Lantas Wahyu memukul ke arah muka Seno, mengerahkan seluruh tenaganya walau sedikit ragu. Namun, belum sampai setengah jalan tinjunya melesat, Seno sudah menghindar duluan.

"Keren kan," kata Seno dengan muka songongnya. "Gw bisa ngeliat masa depan!"

"Seberapa jauh lu bisa ngeliatnya?"

"Cuma sepersekian detik doang," kata Arto. Dia menggenggam tangan Seno dan mulai bermain suit. Mengejutkannya, pemenangnya adalah Seno. "Liat dah, gk bodoh lagi dia gara-gara bisa ngeliat masa depan. Biasanya kan dia selalu ngeluarin gunting terus."

"Binatang emang kalian ya," kata Seno, ketus. Bisa-bisanya selama ini dia ditipu untuk bermain suit.

Wahyu bertanya ke Arto, "terus lu bisa apa?"

Arto mengangkat bahu, "ga tau deh." Dia mengambil pisau yang tadi dia gunakan untuk memotong kepala kambing, bilahnya sudah tidak ada. "Tadi kayaknya gw teriak 'I beg of you' pas lawan kambingnya. Jadi seharusnya kekuatan gw sebagai beggar itu mengemis—mengemis kekuatan. Tapi dari tadi gw coba ga pernah bisa."

Arto dan Seno sebenarnya tidak hanya bermain dari tadi, mereka berdua sedang berusaha mengerti kekuatan yang didapatnya. Berbeda dengan novel dan komik yang mereka sering baca, "System" yang mereka miliki tidak memberikan petunjuk penggunaan kekuatannya. Jadi satu-satunya cara untuk mengerti adalah ujicoba.

"Kita dapet quest kan? Jadi harus siap buat ngelawan monster-monster aneh lagi." Kata Arto sambil mencari benda lain yang bisa digunakannya sebagai senjata dalam dapur.

"Nah itu quest-nya, kita mau berangkat kapan?" Tanya Wahyu.

"Lebih cepat lebih baik sih," Seno menoleh ke Arto. "Ya ga, Mas?"

Arto mengangguk, di tangannya ada rolling pin, alat yang digunakan untuk menggepengkan adonan. "Gw maunya langsung berangkat sih, tapi kita perlu cari makanan dulu."

"Kan udah ada daging kambing banyak," balas Wahyu.

"Liat aja nanti," kata Arto sebelum melempar roller pin-nya ke Seno. "Itu lu yang bawa, jaga-jaga kalo nanti harus ngelawan yang aneh-aneh. Terus si Steven suruh masuk, udah lama banget dia mainan sama mayat kambing."

Kemudian, Seno keluar untuk menyuruh adiknya masuk. Sedangkan Arto dan Wahyu lanjut mencari benda yang bisa digunakan untuk senjata. Mereka harus mempersiapkan diri untuk segala hal, karena tidak ada yang tahu kapan bahaya akan kembali menghantam.

Seno dan Steven masuk ke dalam rumah membawa bongkahan daging yang berlumuran darah. Seno protes ke Arto; dia kelaparan dan ingin cepat-cepat makan daging kambingnya. Tanpa bersikeras, Arto membolehkan mereka berdua memasaknya dan segera menjauh dari dapur. Wahyu juga ikut memasak, tapi dia sedang memasak obat ; obatnya berupa campuran antara daun kemangi yang sudah diuleknya dengan minyak kayu putih. Bau menyengat dari minyak kayu putih langsung mengisi ruangan, tetapi tidak hanya itu, juga ada bau menjijikan dari daging kambing yang sedang dimasak. Paling tidak bau minyak kayu putih masih membawa kesejukan. Jauh lebih enak daripada bau kambing bak bau kaos kaki yang tidak dicuci berminggu-minggu.

"Gimana? Enak ga baunya?" Kata Arto dari luar rumah sambil tertawa terbahak-bahak.

"Bau banget, Steven ga kuat," kata Steven yang sedang menutup hidungnya. Dia keluar rumah bersama kakaknya.

"Kurang ajar lu, Mas. Kalo emang bau kasih tau dari awal," protes Seno sambil terbatuk-batuk.

"Belajar tuh lebih cepet melalui praktek, bro." Arto menoleh ke kakaknya yang masih memasak, tidak terganggu dengan menyengatnya bau kambing dan minyak. "Woi, Mas Wahyu, ga usah sok kuat!"

Wahyu tidak menjawabnya, dia termangu memandang minyak dan daun kemangi yang sedang dia aduk. Terdapat kerlip cahaya yang muncul dalam pancinya. Setiap dia mengaduk ke arah kerlip tersebut, cahayanya menghilang, dan setiap kali cahayanya menghilang, terdapat suatu insting dalam diri Wahyu kalau obat yang dia buat semakin cepat selesainya. Apakah itu kekuatannya sebagai alchemist? Wahyu tersenyum dan berkata, "gw lagi test drive."

"Oh…" Arto termenung, bertanya-tanya dalam hati. Kenapa test drive harus di tempat yang baunya seperti itu? Tapi itulah kakaknya, kalau sudah tertarik terhadap sesuatu, dia pasti akan terobsesi. "Seno, Steven, kalian berdua cari empat tas gunung sama baju-baju tebal."

Steven bertanya, "buat apa, Mas Arto?"

"Bajunya buat bikin armor. Tasnya ya buat tas."

Orang zaman dulu menggunakan berlapis-lapis pakaian sebagai bahan pelindung. Lapisan baju yang tebal bisa menyerap hantaman dari musuh. Pakaian mereka juga bisa melindungi dari tebasan benda tajam. Menggunakan pakaian seperti itu adalah keputusan yang bagus lantaran di luar sana pasti ada orang jahat atau monster yang ingin menyakiti mereka, seperti di film-film Hollywood.

"Kita mulu yang kerja, lu mau ngapain, Mas?" Tanya Seno.

"Mikir. Gw tuh yang mikir. Lu ga bisa kan mikir?" Arto mendorong-dorong kepala Seno dengan telunjuknya. Kemudian dia menunjuk bongkahan daging dan bulu kambing, "ini dagingnya ga bisa dimakan, tapi bisa buat umpan. Terus bulunya bau, tapi kalo udah ga bau bisa kita pake. Jadi gw mau rapihin biar bisa kita bawa."

"Emang lu tau caranya biar bulunya ga bau?"

Arto mengangkat bahu, "ga tau, tapi mending kita bawa banding ditinggalin kan? Udah cepetan sana cari tas sama bajunya."

Lantas Seno dan Steven mulai mencari di seluruh ruangan rumah. Setelah setengah jam berlalu mereka berdua kembali membawa pakaian-pakaian tebal dan tas gunung yang sudah lama tidak dipakai.

Pas di saat mereka sudah selesai mencari, Wahyu juga sudah selesai memasak. Kemudian Wahyu mengoleskan obatnya ke punggung Seno. Punggung Seno langsung dialiri dengan rasa sejuk seperti dilumuri oleh serpihan permen mint. Sekarang punggungnya sudah tidak sakit lagi saat disentuh-sentuh.

"Gila Mas, obat lu manjur banget," kata Seno terpukau.

"Ini lu simpen, kalo nanti mulai sakit-sakitan lagi langsung dipake." Wahyu menyerahkan kantong plastik kecil berisikan obat kental kepada Seno.

"Semuanya buat gw? Kalo nanti yang lain perlu gimana?"

"Tenang aja masih banyak kok," Wahyu menunjukkan Tupperware, di dalamnya penuh dengan obat itu.

Arto menepuk tangannya, "yuk kita siap-siap. Nanti jam 3-an kita bakal berangkat ke minimarket buat suplai makanan."

Arto menyuruh mereka mulai mengenakan pakaiannya, minimal tiga lapis harus dipakai. Lantas mereka memakai kaos sebagai dalaman, hoodie untuk tengah, dan jaket bomber untuk luaran. Sedangkan untuk celana, mereka menggunakan dua lapis saja karena tiga lapis tidak muat. Tentunya, mereka bertiga langsung protes karena kepanasan dalam berlapis pakaian. Tidak hanya itu, apabila badan mereka terlalu panas maka akan ada kemungkinan terkena heatstroke.

Namun, Arto tidak peduli, mereka harus terbiasa lantaran pakaian itu bisa menyelamatkan nyawa. Sedangkan masalah panas, mereka akan berangkat di waktu sore, saat panas matahari sudah mereda. Jadi Arto menyuruh mereka untuk beristirahat dan jangan banyak bergerak untuk menyimpan energi; sebentar lagi sore akan datang, dan waktu mereka untuk menghadapi dunia luar semakin dekat.

Brrrrrrm

Suara mobil distarter menggema dalam garasi rumah. Kaca mobil diturunkan agar Ac-nya bisa dimatikan untuk menghemat bensin. Walaupun bensin mobilnya masih penuh, dan stadion Gelora Bung Karno tidak terlalu jauh, tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga. Bagasi mobil berisikan empat tas berisi baju ganti, makanan mereka yang tersisa, dan daging serta bulu kambing yang dibungkus plastik.

"Dik, beneran ga boleh bawa anjingnya?" Wahyu yang duduk di bangku supir bertanya dengan nada memohon.

Seno merangkul Arto dari kursi belakang, "tenang aja, Mas. Ga usah cemburu, lu satu-satunya anjing di mata gw."

Arto menyikut muka Seno, tetapi gagal karena Seno sudah menghindar duluan. Dia menghela nafas dan berkata, "yaudah nanti kita liat dulu anjingnya segede apa. Kalo kegedean, ga mungkin kita bawa."

Wahyu tersenyum dan tak membalas apa-apa. Dia mulai menyetir mobilnya, keluar rumah, menuju ke tempat dia bertemu anjing itu. Anjing setinggi satu meter sudah pasti masuk ke dalam kategori "kebesaran" yang barusan disebutkan Arto. Tetapi Wahyu yakin Arto mau membawa anjing itu dengan mereka, karena adiknya sebenarnya suka dengan hewan. Namun, Arto hanya suka bermain dengan hewan, tidak suka mengurusnya.

Sosok rumah dua tingkat mereka mulai mengecil dalam kaca spion. Mereka tinggal di rumah itu baru beberapa bulan, dan mereka sekarang harus meninggalkannya, tidak tahu kapan akan kembali lagi. Walaupun waktu mereka tinggal di situ sangatlah singkat, rumah tetaplah rumah, zona nyaman yang tidak tergantikan. Dan sekarang mereka meninggalkan rumah itu, untuk menjalani quest yang muncul tiba-tiba.

Seno bertanya, "kira-kira di GBK ada apa ya sampe kita disuruh kesana?"

"Ada pengungsi banyak," jawab Arto. "Biasanya stadion dipake buat mengungsi, apalagi kalo kondisi darurat kayak gini. Mungkin orang tua kita di sana."

"Tapi ga masuk akal Mas," sambung Steven. Matanya terikat ke luar jendela, memandang rumah dan pepohonan yang lewat. "Masa iya kita ada quest cuma buat ngungsi doang? Masa iya pembuat quest ngarahin kita dari sekian banyak orang? Masa iya quest-nya semudah ini?" Steven berhenti sejenak, tatapannya kosong tapi otaknya terus berputar. Kemudian dia berkata dengan suara pelan, "feeling Steven ga enak."

Arto mengangkat alisnya, terkejut dengan Steven yang tiba-tiba banyak tanya, "iya, emang ga masuk akal. Tapi gw barusan motong kepala kambing sekali tebas, Seno bisa ngeliat masa depan, terus Mas Wahyu bisa bikin obat. Normal yang dulu udah ga berlaku lagi.

"Terus, siapa bilang quest-nya cuma ngarahin kita? Pasti ada banyak yang dapet quest sama. Soalnya, seinget gw, system kita dikasih buat mereka yang berhasil jadi catalyst—whatever that means."

Seno memotong pembicaraan mereka, "catalyst itu bahan yang mempercepat reaksi tanpa merubah dirinya sendiri." Dagunya sedikit mengangkat seakan bangga. "Gw masih inget ada pelajaran kimia ngomongin katalis."

"I know, tapi maksudnya kita 'berhasil jadi katalis' itu yang gw ga ngerti." Arto mencubit kecil bibir bawahnya, berpikir sejenak sebelum berlanjut, "bodo amat lah. Ga guna mikirin sesuatu yang belum jelas."

Laju mobil mulai melambat, mereka sudah dekat dengan tempat tadi Wahyu menemukan anjing. Wahyu menyetir mobilnya perlahan-lahan, tidak mau mengagetkan anjingnya saat mereka datang. Namun, sesampainya di tempat anjing itu tadi tertidur pulas, tepat di bawah pohon rindang hanya tersisa kardus bekas. Anjingnya sudah pergi entah kemana.

"That was a waste of time," gerutu Arto.

"Gw mau nyari bentar aja," kata Wahyu. Dia keluar dari mobil dan mulai memanggil anjing itu, "Kuki! Di mana kamu, Kuki? Sini, ada makanan banyak buat kamu."

Beberapa menit telah berlalu, dan anjing yang dinamakan Kuki itu tidak pernah menjawab panggilan Wahyu. Dia menyerah dan kembali ke mobil. Mukanya menunduk dan bahunya terkulai, kecewa sekali tidak bisa membawa Kuki bersamanya.

Arto bertanya, "Kuki?"

"Iya Kuki," Wahyu tersenyum tanggung. "Soalnya warnanya coklat, mirip cookie."

"Baguslah dia ga ada. Gw ga suka anjing, air liurnya kemana-mana."

"Jangan gitu, Mas," sambung Seno sambil menepuk punggung Arto. "Ga boleh lu benci sama bangsa lu sendiri."

Arto mengirimkan Seno tinjuan kencang menuju mukanya. Tetapi, menggunakan kekuatan mengintipnya, Seno berhasil menghindar dengan handal.

Wahyu menyalakan kembali mobilnya. Mesin mobil berputar dan sudah siap untuk menempuh perjalanan ke GBK. Namun, tiba-tiba terdengar suara batuk dari belakang mobil. Batuknya tak henti-henti seperti sedang tersedak sesuatu.

Wahyu menoleh ke Arto, adiknya tidak sedang batuk. Kemudian dia menengok ke belakang, Seno dan Steven juga tidak sedang batuk. Lantas siapa yang batuk-batuk?

"Seno, siapin pentung lu," bisik Arto. Dia juga mengeluarkan senjatanya berupa sarung bantal berisikan batu. "Kayaknya ada sesuatu di bagasi.

Mobil yang mereka naiki merupakan mobil berkursi enam, dimana kursi paling belakang bisa diubah menjadi bagasi apabila dilipat. Biasanya, melipat kursi saja sudah cukup untuk menempatkan barang-barang mereka, tetapi karena sekarang bawaannya banyak, kursi belakang sudah mereka copot dan ditinggalkan di rumah.

Arto menyuruh Seno untuk memeriksa bagasi. Hanya Seno yang bisa menghindar apabila ada bahaya, jadi dialah pilihan yang paling tepat.

Walaupun Seno memang memiliki kekuatan untuk mengintip masa depan, Arto melupakan satu hal: dia tidak bisa melihat masa depan dari orang yang belum disentuhnya. Awalnya Seno ingin protes, tapi setelah ditatap tajam oleh Arto, dia pasrah dan mengintip ke belakang. Hati kecilnya berdoa agar apapun yang ditemukannya tidak semenyeramkan kambing dari neraka itu. Kondisi di belakang bagasi tidak ada yang berubah, kecuali sekarang plastik berisikan daging kambing itu berkurang jumlahnya.

Mungkin karena tadi mereka terlalu fokus terhadap Wahyu yang teriak kesana-kemari, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa tumpukan tas mereka bergerak tipis. Ada sesuatu yang grasak-grusuk sambil bersembunyi di balik tas mereka!

"Steven, bantuin Kak Seno, ya?" Ucap Seno. Dia meminta Steven untuk pelan-pelan mengangkat salah satu tasnya selagi dia bersiap untuk menyerang.

Steven pun mengiyakan dan mulai menarik tasnya perlahan-lahan. Karena Seno sudah takut duluan, dia langsung mengayunkan pentungannya ke arah tas tersebut. Masalah itu monster atau bukan belakangan, yang penting apapun itu harus pingsan dulu agar tidak bahaya baginya dan saudaranya. Tetapi ayunannya terhenti di udara lantaran yang muncul di balik tas tidak sesuai ekspektasi Seno.

Grrrr

Seekor anjing coklat dengan rusuk yang mencuat sedang menggeram. Mulutnya menggigit plastik berisikan daging kambing. Badannya sedikit menunduk dan kupingnya diturunkan, siap untuk menyerang siapapun yang mendekatinya.

"Mas Wahyu, nih anjing lu kenapa ada di bagasi?" Tanya Seno, kebingungan.

"Hah? Ada si Kuki di belakang?" Wahyu bertanya balik, lebih kebingungan.

"Iya… dia kayaknya dari tadi makan daging kambing kita."

Tiba-tiba Kuki melompat ke arah Seno. Seno terkaget-kaget saat badan besar Kuki melesat ke arahnya dan menabrak dia. Kemudian, Kuki berusaha untuk keluar dari mobil melalui jendela terbuka saat Seno masih lengah dan bingung. Untungnya Steven di sebelahnya berhasil meraih Kuki dan menangkapnya.

"Udah kamu ga akan dijahatin kok," kata Steven sambil mengelus kepala Kuki yang meronta-ronta.

"Kuki, sini dagingnya biar Mas ambil dulu," kata Wahyu dengan lembut. Dia ingin mengambil plastik berisi daging itu agar bisa memberikannya ke Kuki. Tetapi, bagi Kuki, Wahyu hanya ingin merampas daging kesayangannya, sehingga Kuki mulai meronta-ronta lebih kencang. "Eh, Kuki jangan gitu, ini dagingnya buat kamu kok."

"Tutup jendelanya, Mas. Biar si Kuki ga bisa kabur," suruh Arto.

Lantas Wahyu menutup jendela mobil dengan tombol di sampingnya. Saat jendelanya tertutup penuh, Kuki celingak-celinguk dan berhenti melawan genggaman Steven, seakan pasrah. Tetapi justru kebalikannya, tiba-tiba sekujur tubuhnya Kuki memancarkan cahaya biru yang sangat silau, membutakan mereka berempat. Saat penglihatan mereka kembali, Steven hanya menggenggam sebongkah angin, Kuki sudah tidak ada.

Di dalam mobil, ada jejak kaki anjing yang melayang-layang. Warnanya biru dan kelap-kelip laksana kunang-kunang di siang hari. Jejak itu keluar melalui kaca depan mobil dan terus berjalan di udara, menjauh dari mobil hingga tak terlihat lagi. Tak lama kemudian, jejak itu menghilang sendirinya, meredup perlahan-lahan.

"Yah, Kuki…" Wahyu memandang mengikuti arah jejak Kuki.

"Anjing lu keren juga, Mas," kata Seno sambil menepuk-nepuk punggung Wahyu. Kemudian dia menengok ke Arto, "lebih keren dari anjingnya gw nih."

Arto menghiraukan Seno, dan berkata, "paling ga sekarang kita tau: ga semua monsternya jahat."

Sebuah mobil melaju di jalanan sepi yang penuh dengan kerusakan baru. Di sekitarnya sudah banyak bangunan runtuh, sehingga mobil itu harus berjalan dengan hati-hati agar tidak mengenai puing-puing yang berserakan. Setelah lama berjalan, akhirnya mobil itu berhenti pada sebuah minimarket.

"Akhirnya sampe juga," kata Seno sambil keluar mobil.

"Iya, lama banget tadi di jalan." Wahyu mematikan mesin mobilnya dan ikut keluar. "Jalanan rusak semua gara-gara gempa kemarin, jadi kita muter-muter deh."

Saat mereka ingin masuk, ternyata pintu minimarket itu terkunci rapat. Mereka menerawang melalui pintu kaca minimarket, dan menemukan bahwa dalamnya masih bersih, belum ada yang menyentuh. Biasanya dalam situasi seperti ini, orang-orang akan berbondong-bondong ke toko-toko dan mengambil jualannya. Jadi, minimarket yang masih penuh dengan makanan itu berupa jackpot bagi mereka.

"Kekunci semua, lewat mana lagi ya buat masuk," kata Arto. Dia keliling-keliling minimarket itu, tetapi semua pintu yang ditemukannya tertutup rapat.

"Mungkin lewat atap?" Wahyu menengadahkan kepalanya, mencari jalan menuju atap.

"Mungkin ada kunci serep di sekitar sini," kata Steven, sebelum dia mulai mencari kunci yang entah keberadaannya di mana.

Tiba-tiba Seno berteriak, "awas!" Dia melempar batu sebesar kepala ke pintu minimarket. Batunya melesat melewati Wahyu dan Arto, kemudian menabrak pintunya. Pintunya pecah berkeping-keping diikuti dengan suara kencang.

Wahyu kesal langsung berteriak, "gila lu, Seno! Gimana kalo suaranya bikin monster penasaran?!"

Seno terdiam sejenak dan berkata, "oh iya ya… ga kepikiran."

Arto tertawa terbahak-bahak dan menjitak Seno dari belakang, "bego emang lu, kelakuan sama otaknya ga jauh beda sama monyet: ngelakuin dulu baru mikir."

"Terus gimana ini, Dik? Kita kabur aja?" Wahyu bertanya ke Arto.

"Kabur atau engga ya…" Arto mencubit kecil bibir bawahnya. Tetapi sebelum dia sempat berpikir panjang, Steven menginterupsi.

"Kayaknya ga masalah deh, Mas," kata Steven. "Kalo kita kabur, pasti monsternya ngejar kita abis denger suara mobil nyala. Jadi mending di tempat yang udah pasti tertutup dan belum ada yang nyentuh aja."

Arto mengangguk, "bener kata dia. Yaudah, ayo kita 'belanja' sepuasnya!"

Lantas mereka bergegas memasuki minimarket. Rak-rak berisikan produk yang tersusun rapi menyambut mereka. Melakukan sesuatu yang buruk seperti itu membuat jantung mereka berdebar kencang, bahagia dan gelisah secara bersamaan. Sebagai anak rumahan yang selalu menaati peraturan, "mencuri" dari sebuah minimarket adalah pengalaman yang sangat baru bagi mereka.

Untungnya minimarket itu lumayan besar dan lengkap, jadi hampir semuanya dapat ditemukan. Mulai dari makanan, peralatan masak, peralatan mandi, dan lain-lain. Pastinya barang-barang itu tidak hanya akan menguntungkan bagi mereka, juga akan menguntungkan bagi pengungsi yang mungkin ada di stadion GBK.

"Eh, cuy," Arto memanggil Seno sambil mengulum permen lolipop bundar. "Kok lu tadi ga menghindar pas Kuki lompat ke lu?"

"Kan gw ga bisa liat masa depan yang belum gw sentuh," jawab Seno, di tangannya ada keranjang penuh dengan makanan ringan.

"Oh iya ya, lupa gw," Arto menepuk dahinya sendiri. "Lah, kenapa lu ga bilang tadi?"

"Kan permintaan lu itu perintah mutlak."

"Dih, jangan gitu lah," Arto mengernyitkan alisnya. "Kalo mau protes ya bilang lah. Gw bukan pemimpin hidup lu, anjir."

Seno mengangkat alis sebelah dan berkata, "kalo tadi gw protes, siapa emangnya yang bakal ngecek bagasi?"

"Ya, tetep lu lah. Kan lu yang paling deket sama bagasi."

"Terus apa gunanya gw protes, anjir???" Kata Seno dengan muka penuh tanda tanya. Arto hanya tertawa dan tidak menjawabnya. Entah apakah dia sedang bercanda atau serius pada saat itu.

Di sisi lain minimarket, tepatnya pada kasir, Steven sedang mencoba-coba cara agar mesin kasirnya dapat dibuka. Mesin kasir yang sering dipakai biasanya menggunakan listrik sebagai tenaga utamanya, dan baterai untuk tenaga cadangan. Seharusnya, salah satu dari tombol yang dipencet Steven dapat membuka mesin kasir itu. Setelah beberapa menit mencoba, akhirnya mesinnya terbuka sambil mengeluarkan suara ding. Namun, isinya kosong lompong, tidak ada uang.

"Yah, uangnya ga ada." Ucap Seno, kecewa.

"Emang mau dipake buat apa uangnya kalo kita bisa ngambil barang tanpa bayar kayak sekarang?" Wahyu bertanya dengan tangan yang dipenuhi oleh ranjang berisi minuman.

"Buat nabung, Mas," jawab Steven sambil tertawa kecil. "Kan harus optimis. Kalo nanti dunia kembali normal, pasti kita butuh uang."

Wahyu mengangguk dan bergumam, "oh, begitu." Selagi dia berjalan keluar untuk meletakkan barang-barangnya di mobil, Wahyu berkata, "tapi jangan lupa ya bantuin kita bawa yang penting-penting."

"Oke Mas, nanti Steven bantuin," kata Steven sambil menuju ke ruang staff. "Steven mau nyoba nyari uang di situ dulu." Lantas Steven melesat masuk ke ruang staff. Intuisinya mengatakan bahwa ada brankas berisikan uang di dalam ruangan itu.

Sudah setengah jam lebih mereka bertengger di minimarket itu. Matahari mulai terkantuk-kantuk dan siap untuk terbenam di ufuk barat. Sinar hangatnya menyiram Seno yang sedang merapikan barang-barang di bagasi mobil. Sedangkan Arto dan Wahyu masih di dalam minimarket, mengecek apakah mereka masih ada barang esensial yang bisa dibawa atau tidak.

Tiba-tiba, lengan Seno digenggam oleh seseorang, dan pelipisnya ditekan oleh benda dingin berbentuk bundar. Suara Wahyu dan Arto masih terdengar dari dalam minimarket, jadi yang sedang memegangnya bukanlah orang yang dia kenal! Tidak hanya itu, orang misterius itu menodongkan pistol di kepalanya!