Chereads / Lentera Siang / Chapter 8 - Pengkhianatan

Chapter 8 - Pengkhianatan

Steven terbangun dari tidurnya. Dia menegakkan dan meregangkan badannya yang masih lemas. Di atas kasur itu, ketiga saudaranya masih tertidur pulas. Agar tidak membangunkan mereka, dia perlahan beranjak dari kasur dan meraih HP-nya yang kemarin malam dicharge. Jam digital di layar HP-nya menunjukkan pukul 12 siang. Tumben sekali mereka tidur begitu lama, mungkin karena sangat kecapean kemarin.

Lantas dia keluar kamar, perutnya keroncongan ingin menyantap makanan yang kemarin dibuat Diana lagi. Steven membuka rak makanan dan menemukan tumpukan beragam makanan kaleng dan mie instan yang tersusun rapi. Namun, sepertinya tidak sopan apabila asal mengambil makanan tanpa izin terlebih dahulu.

Tok Tok Tok.

Steven mengetuk pintu kamar Diana dan Agus yang persis berada di sebelah kamar mereka. Setelah beberapa saat kemudian, masih belum ada yang menjawab. Aneh… mungkinkah Diana dan Agus tertidur? Tapi sudah jam 12 siang, pastinya mereka tidak akan tidur sampai sore nanti kan? Steven mengetuk pintu lagi, dan tidak ada jawaban lagi. Intuisi Steven bersorak, memberi tahu bahwa ada sesuatu di balik pintu itu.

Tanpa habis pikir, dia mendengarkan saran intuisinya dan membuka pintu. Benar, ada yang aneh lantaran di dalam kamar Diana dan Agus tidak ada siapa-siapa. Steven lekas mengecek lemari dalam kamar; tidak ada baju di lemari itu, hanya hanger yang bergelayutan pada besi di tengah lemari. Tidak mungkin mereka tiba-tiba menghilang begitu saja. Mungkin kamar itu hanyalah kamar untuk tidur, baju mereka disimpan di tempat lain. Setelah itu, Steven langsung mencari-cari Agus, Diana, dan Riska di seluruh ruangan yang ada. Masih ada harapan di hatinya bahwa intuisinya, yang sedang berkoar-koar memperingatinya, itu salah.

Wahyu yang baru bangun kebingungan melihat Steven mondar-mandir dari ruangan ke ruangan. Lantas dia bertanya, "Steven, ngapain sih pagi-pagi begini grasuk grusuk kesana-kemari?"

"Om Agus ga ada dimana-mana, Mas," jawab Steven, ngos-ngosan.

"Yakin? Udah ngecek semua ruangan belum?"

"Udah—" semua ruangan dia sudah cek lebih dari dua kali, kecuali satu. "Steven belum ngecek gudang sih." Entah kenapa, Steven tidak mau mengecek gudang. Intuisinya mengatakan bahwa sudah pasti ada sesuatu yang dia lupakan di dalam gudang, tetapi apabila dia menemukan sesuatu itu, berarti Agus bukan orang baik yang dia pikirkan.

Mereka berdua mengecek gudang. Pintu gudang dibuka diikuti dengan suara derit engsel. Tidak ada siapa-siapa juga di dalam gudang, bahkan debu di atas kaleng bensin sama seperti saat kemarin Agus memberikan mereka tour. Tetapi karena pemandangan beberapa lusin kaleng bensin, Seno mengingat hal janggal yang kemarin dia pikirkan: kenapa tidak ada bau bensin padahal kalengnya banyak sekali?

"Kalian ngapain?" Tanya Arto, matanya masih sipit karena baru bangun.

"Ga tau tuh dia," jawab Wahyu sambil menunjuk Steven yang sedang mengendus kaleng bensin.

"Dih, ngapain lu," Arto termangu kebingungan. Steven yang ada di depannya sedang menjilat bensin yang dia tuangkan ke dalam sebuah gelas plastik. "Kalo lu mau jadi bodoh kayak kakak lu, ada cara lain selain minum bensin, Steven…"

"Bukan, Mas," Steven menyodorkan gelas plastiknya ke Arto. "Coba cium deh, bau apa kira-kira?"

Arto mencondongkan hidunya ke gelas plastik dan mengendus-endus, "Hmm? Kok ga ada bau bensinnya?"

Steven mengobrak-abrik gudang rumah Agus. Semua kaleng bensin dia buka dan dituangkan ke lantai. Intuisinya benar, tidak ada satu pun dari kaleng-kaleng itu yang berisikan bensin. Lantas kenapa Agus berbohong kemarin malam?

Arto, Steven, dan Wahyu bertatap-tatapan sejenak, bergegas ke pintu, dan menemukan sebuah gembok yang mengunci pintu keluar untuk terbuka; gemboknya memiliki password yang terdiri dari delapan angka. Mereka terkunci di dalam ruang bawah tanah dengan genset yang akan mati lantaran tidak ada bensin. Mereka ditipu Agus dan keluarganya!

Seno akhirnya terbangun dari tidurnya. Sebagai yang pertama tidur dan terakhir bangun adalah hal yang normal baginya; siklus tidurnya sudah sering disamakan Arto dengan kerbau sekarat yang sudah siap masuk ke liang lahat. Seno beranjak dari tempat tidur yang berantakan, mengucek-ngucek mata, dan keluar dari kamar. Saat dia membuka pintu, dia pikir dia masih bermimpi karena kelakuan absurd Arto, Steven, dan Wahyu.

Arto sedang bergumam berbagai mantra yang dipikirnya dapat mengaktifkan kekuatannya. "I beg of you, please open the door," kata dia sambil memukul gembok di pintu dengan punggung pistol yang tadi dia ambil dari bawah kasur. Namun, tidak sama seperti saat dia melawan kambing, kekuatannya tidak teraktifkan. Lantas dia menggunakan berbagai macam mantra, "Please, open the door… open sesame… tolong bet, buka dong pintunya…"

Seno menoleh ke Wahyu yang sedang terkapar di lantai sambil merogoh ke bawah sofa, mencari-cari sesuatu. Muka Wahyu serius, sangat kontras dengan pose tubuhnya yang mirip dengan cicak habis diinjak. Sedangkan Steven, yang jongkok di sebelah Wahyu, sedang meneguk habis air yang ada di kaleng bensin.

Absurd… absurd sekali kelakuan mereka. Seno yang masih mengantuk tidak mau berurusan dengan orang-orang aneh itu. Dia lantas menutup pintu, kembali ke kasur, dan berusaha masuk ke dunia mimpi lagi.

"Steven, Mas ga yakin mereka bakal ninggalin password-nya buat kita," kata Wahyu. "Kan mereka mau ngurung kita."

"Iya sih… tapi ada sesuatu yang aneh," Steven berkata, ragu-ragu. Dari kemarin, hatinya berulang kali membisikkan sesuatu ke benaknya. Sampai sekarang, bisikan hatinya masih belum ada yang salah, dan sekarang hatinya sedang berbisik bahwa di sekitar rumah Agus terdapat password dari gembok itu.

"Intuisi ya?" Arto bertanya, duduk, dan mengambil kaleng bensin untuk meminum airnya. Lelah sudah berkali-kali memukul gembok yang menjengkelkan tanpa ada hasil. "Kemarin lu dapetnya detective, kan?" Steven mengangguk-angguk, meng-iyakan pertanyaan Arto. "Kan detective tuh biasanya identik sama intuisi. Masalah bener atau enggaknya itu nanti, yang penting percaya aja dulu sama kekuatan lu."

Steven merasa gembira dan lega dalam waktu yang bersamaan. Gembira karena akhirnya dia mengerti bahwa bisikan hatinya adalah kekuatan yang didapatnya. Lega karena dia bukan beban lagi, seperti kemarin saat melawan kambing besar.

Steven bangkit dari duduknya dengan semangat baru. Sebagai detektif, dia tidak akan menyerah sampai bisa memecahkan password gembok. Seorang detektif itu teliti dan tidak akan menghiraukan sedikitpun detail yang ada, lantas dia mulai mencari-cari lagi di setiap ruangan di dalam rumah. Semuanya dia cek, mulai dari rak-rak kosong hingga butiran debu dia periksa baik-baik. Kalau saja ada kaca pembesar, pastinya dia akan detail lagi memeriksanya.

"Wah… langsung berasa jadi Sherlock Holmes dia," kata Arto. "Wanna bet? Kata gw dia ga bakal dapet apa-apa. Detektif perlu pikiran yang logis, ga cuma intuisi aja."

"Ga mau ah," balas Wahyu. "Taruhan itu ga baik."

"Yang kalah harus masakin mie sekarang."

"Deal," jawab Wahyu dengan cepat. "Kata gw dia bakal nemu password-nya."

"Kenapa menurut lu dia bakal nemu?"

"Ga tau deh," Wahyu menoleh ke Steven yang lagi keluar masuk ruangan. "I guess I believe in him."

"Dih, cringe banget lu..."

Dalam ruang gudang, Steven menangkap sesuatu yang aneh di sudut matanya. Ternyata salah satu sisi dari gudang bukan tembok, tapi rak lemari kayu yang berbaur dengan tembok di sekitarnya. Tidak hanya itu, salah satu dari lokernya tidak berdebu seperti yang lainnya; berarti lokernya baru-baru ini dipakai. Memang tidak sia-sia usahanya untuk mengecek debu-debu!

Steven membuka loker tersebut dan menemukan kaleng cat yang terbuka sedikit. Cat yang ada di dalam kaleng berwarna hijau neon, menyala di dalam kegelapan loker. Namun, saat Steven mengangkatnya keluar dari dalam loker, warna cat berubah menjadi bening. Penasaran, Steven memasukkan lagi catnya ke dalam loker, dan dugaannya benar: catnya berubah warna menjadi warna hijau neon lagi. Dia menemukan cat glow in the dark!

Intuisinya berbisik, mengatakan kepadanya bahwa ada sesuatu yang dia lewatkan di ruang utama. Steven keluar dari gudang dengan petunjuk baru dan lekas mematikan lampu. Pasti intuisinya sedang memberikan dia petunjuk setelah menemukan cat glow in the dark. Sekali lagi, intuisinya benar lantaran muncul tulisan yang menyala di atas meja makan.

15022005

Itu kode gemboknya

Maaf ya kemarin saya kasih obat tidur

Saya perlu mobilnya, jadi pinjam dulu ya

"Bangsat!" Arto memukul meja makan, tangannya dikepal erat sampai ujung jarinya merah. Dia melesat ke pintu dan memasukkan kode yang ditemukannya ke gembok. Gemboknya terbuka dengan bunyi klik, kemudian diikuti oleh sahutan Arto, "buruan pake baju kalian, kita langsung keluar buat nyari dia!"

"Bentar, sabar dulu," kata Wahyu. "Dia pasti udah pergi dari lama."

"Shit… Masa kita harus ke GBK jalan kaki?" Sebenarnya dari situ ke GBK tidak terlalu jauh, kira-kira butuh waktu 6 jam apabila jalan kaki. Namun, yang dipermasalahkan Arto adalah monster yang bisa jadi menyerang mereka. Kalau ada mobil, paling tidak mereka bisa berlindung atau melarikan diri dari monster seperti kambing besar itu yang ingin membunuh mereka. Arto menoleh ke Steven, "lu bisa ngelacak orang ga? Kan lu detektif."

"Ga tau Mas," Steven menggelengkan kepalanya. "Steven masih belom terlalu ngerti cara make kekuatannya."

Putus asa, Arto berjalan ke sofa dan merebahkan badannya. Agus dan keluarganya pasti sudah di luar jangkauan mereka. Mereka menggunakan mobil, tidak mungkin seseorang dapat mengejar mobil yang arahnya saja tidak diketahui mau ke mana. Arto menatap atap lamat-lamat dan bergumam, "apa kita netep di sini aja ya? Tapi quest-nya…"

"Kalian ngapain sih dari tadi," kata Seno yang baru keluar dari kamar tidur.

Arto tidak menjawab, tatapannya masih mengarah ke atap, dan dia memberikan Seno jari tengahnya. Lantas Wahyu yang mulai menjelaskan kronologi bagaimana mereka ditipu oleh Agus dan keluarganya.

"Kayaknya gw tau Agus ada di mana," kata Seno sambil mengingat-ingat. Tadi saat dia kembali tidur, dia memimpikan sesuatu. Sesuatu yang bisa menjadi sebuah petunjuk akan keberadaan Agus dan keluarganya. "Sini kumpul, gw mau cerita."

Mimpinya dimulai di tengah jalan menuju rumah Agus. Jalanan memiliki retakan yang menjalar panjang, rumah-rumah nihil penduduk, semuanya persis seperti di dunia asli. Namun, berbeda dengan saat dia memimpikan diseruduk kambing, dunia mimpinya sekarang berwarna hitam putih sama seperti pada televisi jadul. Tidak hanya itu, di dalam dunia mimpi Seno, waktu seakan terhenti; awan-awan terdiam di langit, angin yang biasanya berbisik membisu, dan dedaunan yang jatuh berhenti di udara.

Seno menelusuri mimpinya, penasaran dan sedikit takut akan apa yang bersembunyi di balik dunia tanpa waktu itu. Kakinya bergerak sesuai dengan arahan Agus saat mereka pertama kali melewati jalannya. Hingga akhirnya Seno berhenti tepat di depan rumah Pak Hartono, orang yang Agus bilang memelihara banyak burung. Di atas rumah Hartono ada banyak burung gagak yang terdiam statis di udara; mereka membentuk sebuah lingkaran yang berpusat di atas rumah. Lalu, ada patung aneh berupa anjing yang menunjuk ke arah timur, entah maksudnya apa.

Seno secara sadar tak sadar berjalan masuk ke dalam rumah Hartono, pikirannya seakan mengambang di tengah lautan dalam. Dia menemukan banyak sangkar burung kosong berserakan di dalam rumahnya Hartono. Jeruji besi dari semua sangkar burungnya penyok dan menganga seperti dibuka secara paksa. Tiba-tiba langkah Seno terhenti lantaran menemukan sebuah pintu menuju ruang bawah tanah yang mengeluarkan aura mencekam.

Lagi-lagi, kakinya melangkah sendiri tanpa disuruh. Seno membuka pintunya setelah menuruni selusin anak tangga, dan memasuki ruangan bawah tanah. Ruangannya gelap, lembab, dan apek. Debu melayang diam di udara, barang-barang rongsok tersebar alakadarnya, dan lumut tumbuh di sudut-sudut ruangan. Namun, Seno mengunci pandangannya ke sesuatu di ujung ruangan—sesuatu yang memancarkan aura mencekam tadi. Sebuah laba-laba raksasa hinggap di ujung dinding!

Delapan kaki laba-laba itu menjalar hingga memenuhi dinding yang dia hinggapi. Tubuhnya terbentuk oleh sisik yang menyerupai ribuan laba-laba kecil. Di perutnya ada Agus, orang yang mereka cari-cari. Mata Agus terbelakak, tubuhnya menempel di perut laba-laba, dan mulutnya menganga seperti berteriak meminta tolong.

"Lu yakin itu bukan cuma mimpi buruk biasa?" Tanya Arto.

"Yakin," Seno mengangguk. "Mimpi biasa tuh gw bisa lupa. Tapi kalo mimpi ini, sama kayak mimpi kemarin pas lawan kambing, mirip nonton film."

"Jadi sekarang kita ke rumahnya Pak Hartono?" Tanya Wahyu.

"Iya," jawab Arto. "Ayo siap-siap, kita harus buru-buru nemuin dia, sebelum dia—"

Tok Tok Tok

Suara ketukan pada pintu masuk rumah Agus menyentak Arto. Dia menaruh jarinya pada bibirnya, mengisyaratkan agar tidak ada yang berisik. Kemudian dia mengeker pistolnya ke arah pintu, dan menyuruh Seno untuk membuka pintu. Lantas Seno membuka pintunya perlahan-lahan. Dibalik pintu itu ada orang yang tidak disangka-sangka.

"Halo…" kata Agus. Suaranya serak dan kecil. Mukanya memar-memar, hampir tidak bisa dikenali. Bajunya sobek-sobek seperti ada yang menyayatnya dengan pisau tajam. Dia mengenakan sebuah kalung hitam dengan permata ruby yang bulat di tengahnya; entah kenapa, hanya kalungnya saja yang tidak memiliki tanda-tanda kerusakan. "Saya boleh minta tolong?"

Arto merangsak maju dan ingin memukul Agus dengan punggung pistolnya, tetapi dia ditahan oleh Wahyu dan Seno. Arto memberontak dan berteriak, "lepasin, bodoh! Itu dia yang nyolong mobil kita!"

"Kalo emang dia mau nyolong ngapain balik lagi?" Kata Wahyu sambil susah payah menahan amukan Arto.

"Sabar, Mas," kata Seno. "Itu dia udah babak belur, kalo lu pukulin bisa mati!"

"Ya terus kenapa kalo dia mati?!" Arto ingin melepas dirinya dari genggaman kedua saudaranya, tetapi sulit sekali. Jadi dia meronta-ronta, matanya terpaku ke Agus yang turun untuk sujud di depan mereka.

"Tolong, tolongin saya," kata Agus, suaranya lemah sekali. Punggungnya yang sedang bersujud memohon bergetar seperti sedang menangis. "Diana… Riska… mereka diambil sama orang-orang berjubah. Tolongin saya…"

"Jubah?" Arto berhenti meronta-ronta. Punggungnya keluar keringat dingin. Dia bertanya lagi, "jubah warna apa?"

"Warna putih."

Keluarga Agus telah sial. Sepertinya mereka menerima amarah dari orang-orang berjubah putih karena Arto membunuh dua dari anggotanya. Bisa jadi mereka mengenal mobil yang Agus kendarai, dan berasumsi bahwa keluarganya Agus yang membunuh dua anggota mereka. Atau mungkin mereka memang tidak beruntung dan bertemu dengan orang jahat yang memang mau merampas mereka.

"Mobilnya dimana?" Tanya Arto.

"Mereka juga mengambil mobilnya."

Bukan keluarga Agus saja yang sial. Tanpa adanya mobil, Arto, Seno, Steven, dan Wahyu juga terancam bahaya ditemukan oleh orang-orang berjubah putih itu. Sekalipun Agus dan keluarganya sudah menjadi kambing hitam, orang-orang berjubah putih itu bukan orang baik, seperti saat mereka memulai perkelahian kemarin dengan menodong pistol ke Seno.

Agus mulai bercerita tentang apa yang terjadi selama beberapa jam dia dan keluarganya mencuri mobil. Awalnya, semuanya berjalan lancar, sesuai dengan rencana. Tujuan pertama mereka adalah minimarket, dimana Agus pertama kali bertemu dengan Arto, Seno, Steven, dan Wahyu. Sesampainya di minimarket, mereka terkejut lantaran ada banyak orang berjubah putih. Orang-orang berjubah itu menghentikan mobil mereka dan menyergap keluarga Agus. Diana dan Riska ditangkap oleh mereka, sedangkan Agus berhasil untuk melarikan diri saat ada kesempatan. Agus ingat kalau Pak Hartono tidak hanya hobi memelihara burung, tetapi juga berburu. Seharusnya ada senapan di dalam rumah Pak Hartono yang bisa digunakan untuk melawan orang-orang berjubah. Dan dia membutuhkan bantuan Arto, Seno, Steven, dan Wahyu untuk mengambil senjata itu dan menyelamatkan keluarganya!

Arto mengernyitkan dahinya. Alasannya seperti ada yang tidak masuk akal. Ada sesuatu di ujung lidah tapi tidak bisa diucapkan. Dia mau menolak, tapi entah kenapa otaknya berkata lain. Frustasi, dia melampiaskan amarahnya ke meja makan. Kasihan sekali meja yang cantik itu, sekarang ada jiplakan punggung pistol di tengahnya.

Satu jam telah berlalu, sekarang terik matahari memanggang lima orang yang sedang menuju ke rumah Pak Hartono. Tanpa pikir panjang, mereka memutuskan untuk membantu Agus. Meskipun begitu, di hati Arto, Seno, Steven, dan Wahyu, ada sesuatu yang janggal dengan Agus dan permintaannya, membuat mereka was-was akan kolaborasi itu.

"Gimana menurut lu?" Tanya Arto ke Steven. Tapi karena dijawab dengan muka bingung Steven, Arto bertanya lagi, "gimana kata intuisi lu?"

"Oh…" Steven mendengarkan bisikan hatinya. Tidak ada kata-kata lain dalam busikannya selain, "bahaya. Steven ga suka harus ikut sama dia, tapi Steven mau ikut sama dia."

Arto mengangguk, setuju dengan Steven, ada yang aneh dengan situasi ini. "Kalung emasnya juga aneh. Kenapa kok ga ada kerusakan sama sekali padahal bajunya udah gembel begitu."

"Kalung emas?" Tanya Steven.

"Iya, itu kalung yang dia pake."

"Hah? Steven ngeliatnya itu warnanya item kok, bukan warna emas."

Arto mencubit tipis bibir bawahnya. Dia menanyakan Wahyu dan Seno akan warna dari kalungnya Agus. Jawabannya sama: kalungnya berwarna hitam. Lantas kenapa hanya dia yang melihat warna kalung berwarna emas?

"Akhirnya sampai juga," kata Agus. Tubuhnya basah kuyup, berkeringat tiada henti.

"Ga usah istirahat," Arto mendorong kasar Agus. "Kita kesini buat ngambil senjata, bukan buat leha-leha."

Agus menghela nafas. Bisa-bisanya orang tua seperti dia diperlakukan dengan kasar. Kakinya yang pincang karena tadi dipukulin sudah kecapean, dengkulnya gemetar ingin istirahat. Namun, itulah karma, dia yang mencuri mobil mereka maka harus sanggup menerima ganjarannya.

"Yaudah, kita mencar ya," kata Agus. "Saya sama Mas Seno ke bawah tanah, terus yang lainnya cari di ruangan-ruangan lain."

"Hah? Kenapa lu mau berduaan aja sama Seno?" Tanya Arto, curiga Agus akan berkhianat lagi.

"Saya takut gelap," jawab Agus. "Lagian saya cuma orang tua yang lagi sakit, pasti saya kalah kalo mau macem-macem."

Arto mengernyitkan dahinya, lagi-lagi dia terdiam tak bisa menyangkal, seperti ada suatu bendungan yang menahan otaknya untuk berpikir. Dia menoleh ke kedua Wahyu dan Steven, wajah mereka bimbang sama seperti dia. Tapi entah kenapa mulutnya setuju dan mereka pun berpencar untuk mencari senjatanya.

Ada yang aneh… tapi apa? Arto tidak berhenti berpikir, aliran pikirannya bak sungai, sangat deras dan menerjang tembok yang menghalangi pikirannya. Sedikit demi sedikit, tembok itu retak.

Di sisi lain, Seno memperhatikan ruangan sekitar sambil mengawasi Agus dari belakang. Sangkar burung berserakan tak beraturan, ruangan kosong polong tanpa penghuni, dan lembabnya ruangan bawah tanah yang barusan ia masuki. Semuanya persis seperti mimpinya. Namun, tidak ada laba-laba raksasa yang menempel di dinding ruang bawah tanah.

Lantas mereka berdua mulai mencari senapannya Pak Hartono dalam hening. Agus membuka mulutnya ragu-ragu, dan mengeluarkan suara kecil, "kamu masih SMA ya?"

Seno tidak menjawab; dia terus mencari senapannya, terkadang melirik ke arah dinding dimana seharusnya ada laba-laba raksasa.

"Anak saya, Grace, dia masih SMA," lanjut Agus. "Dulu dia anaknya manja banget, tapi tiba-tiba dia bilang mau mandiri. 'Aku mau jadi Wonder Woman,' kata dia." Agus tersenyum kecil mengingat anaknya. "Tapi, orang tua mana yang ga khawatir sama anaknya?"

"Jadi Om ngambil mobil kita buat jemput dia?" Tanya Seno, ketus.

Agus mengangguk, "maaf ya. Gara-gara saya, mobil kalian dicuri orang lain."

Seno bungkam dan terus fokus mencari senapannya. Kalau dia Arto, pasti dia akan bilang, "ngapain nyari anak lu? Emang masih hidup?" Tapi dia bukan Arto, dan otaknya masih seperti orang normal. Jadi, walaupun dia kesal, lebih baik diam saja.

"Istri saya ga salah apa-apa," kata Agus, matanya berkaca-kaca dan suaranya serak. "Riska juga ga salah apa-apa, mereka cuma ngikutin kemauan saya." Air mata mengalir dan dadanya kembang kempis tidak tahan sesenggukan. "Tapi mereka sekarang ditangkep sama orang-orang berjubah itu… karena kebodohan saya."

Seno sedikit iba dengan Agus. Memang Agus mencuri mobil mereka, tapi tujuannya untuk menjemput anak kesayangannya menyentuh hati Seno. Apabila di luar sana orang tuanya juga masih hidup, semoga mereka juga merasakan hal yang sama seperti Agus. Seno menoleh ke Agus, ingin memberikannya semangat. Tetapi dia disambut oleh ujung laras senapan. Hal sama terjadi lagi, tapi sekarang yang memegang senjatanya adalah Agus.

"Maaf… maaf… maaf," tangan Agus bergetar menodong senapannya, pipinya basah kuyup, dan dia tidak bisa menghentikan isak tangisnya. Kalau dia sedang bersandiwara, mungkin dia sekarang sudah menjadi pemenang Oscar. "Mereka bilang saya harus bawa orang kayak kamu, kalau tidak istri saya…"

"Orang kayak aku?" Seno bertanya, tangannya diangkat tanpa disuruh. Ruangan bawah tanah itu sempit, jadi menembak asal-asalan saja dia tetap bisa kena. Tetapi karena sempit, jarak dia antara Agus lumayan dekat; apabila dia bisa menyentuhnya dan menggunakan kekuatannya maka Seno akan menang. "Emang istri Om kenapa? Mungkin kita bisa bantuin," kata Seno, mengulur waktu untuk mencari cara agar bisa mendekatinya.

"Saya ga tau. Kata mereka kalo saya gagal, saya ga bakal ketemu lagi sama dia." Agus berjalan ke belakang Seno, dan melanjutkan, "tapi kata mereka, kalo saya nemu orang kayak kamu, mereka bakal lepasin istri dan anak saya."

"Orang kayak aku maksudnya apa, Om?"

"Nanti juga kamu ngerti," Agus mendorong pelan Seno dengan senapannya. "Kamu ke atas, terus pura-pura mau keluar, baru saya nyusul setelah beberapa menit. Kalau kamu meminta tolong, saudara-saudaramu saya tembak mati."

Seno menelan ludah. Sekarang Agus di belakang dia, jadi sulit untuk disentuh. Juga ada kemungkinan yang Agus bilang bukan hanya gertakan. Kalau dia meminta bantuan ke saudara-saudaranya secara terang-terangan, bisa jadi malah akan memperburuk keadaan.

Lantas Seno jalan pelan-pelan, mematuhi perintah Agus. Tetapi tiba-tiba dia jatuh, badannya terguling, dan terhentak menghantam lemari buku yang usang. Lemarinya ambruk dan buku-bukunya berjatuhan, menimbun Seno.

"Kamu gimana sih," kata Agus. Sayangnya dia tidak terpancing dan membantu Seno, ujung senapannya masih tertuju ke kepala Seno.

"Maaf, Om, aku kesandung tadi." Seno berusaha menggali dirinya dari tumpukan buku yang menimbunnya, tapi tangan kecilnya tidak kuat. Berulang kali dia hampir berdiri, namun jatuh lagi karena kakinya tidak seimbang akibat buku-buku yang berserakan.

Agus mendekati Seno, berniat ingin membantunya, tetapi sontak berhenti lantaran terkejut akan derap kaki yang menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Dia segera mengeker ke arah pintu masuk, jarinya ditempelkan ke pelatuk senapan, dan siap untuk menembak siapapun yang muncul.

Seno yang dari tadi berpura-pura jatuh langsung beranjak maju dan memukul belakang kepala Agus. Dia tidak mau usahanya pura-pura bodoh untuk memanggil saudaranya ke ruang bawah tanah menjadi sia-sia.

Kepala Agus pening dan ada bunyi dengin yang berputar di kupingnya; pukulan Seno keras, tapi tidak cukup untuk membuatnya pingsan. Agus pun mengayun senapannya untuk memukul Seno. Tentunya Seno menghindar dengan mudah, kekuatan mengintip masa depannya sudah bisa digunakan setelah memukul Agus tadi. Awalnya Agus ingin mengejar Seno yang melompat ke belakang, tetapi dia berhenti dan kembali mengeker ke arah pintu. Ternyata yang pertama muncul dari balik pintu adalah Steven; dia tidak sadar bahwa nyawanya bergantung pada jari Agus yang sudah siap untuk menarik pelatuk senapannya.

Mata Seno melihat duplikat masa depan Agus yang terhentak ke belakang. Walaupun dia tidak melihat peluru keluar dari senapannya, recoil senjatanya itu nyata. Agus akan menembak Steven!

"Steven, awas!" Teriak Seno.

Dor!

Steven tidak sempat bereaksi, mukanya terkejut seperti pelaku curanmor yang tertangkap basah. Untungnya, Steven dibantu oleh sepasang tangan yang mendorongnya, membuat pelurunya melesat ke tembok. Peluru senapan angin berbeda dengan senapan api, kecil dan tidak kuat. Jadi bukannya tertanam ke tembok, peluru itu malah memantul ke arah orang yang barusan mendorong Steven!

"Aaaaaaah!" Arto menjerit kesakitan, pelurunya tertanam di bahunya. Dia terguling dan merintih, "apes banget gw!"

"Steven, ambil senjatanya Om Agus!" Seno lekas memerintah, tidak memedulikan Arto.

Steven berlari maju dan menggenggam erat senapannya Agus. Mereka mulai tarik menarik senapannya. Agus sedang memenangi permainan tark-tarikan itu lantaran Steven yang masih SMP tidak memiliki badan yang besar, tetapi sepasang tangan ikut membantu Steven tiba-tiba. Wahyu datang membantu untuk mengambil senapannya Agus!

Tidak perlu lama sampai Agus kewalahan tarik menarik dengan dua anak muda, dan dia melepaskan senapannya. Seno menarik Agus ke belakang, membuatnya terjatuh dan kepalanya terbentur ubin yang dingin. Agus ingin berdiri, mau melawan balik, namun Wahyu, Seno, dan Steven menahannya. Alhasil dia tersungkur di lantai, tak bisa apa-apa selain meronta-ronta.

"Udah, jangan ngelawan, Om." Seno memerintah dengan tegas.

"Lepaskan saya," kata Agus. "Kalian butuh saya kalau mau nemuin mobil kalian lagi."

Genggaman Seno, Steven, dan Wahyu melemas, entah kenapa mereka merasa alasannya sangat masuk akal dan mereka harus mengikuti keinginannya. Namun, Arto melihat sesuatu yang janggal: ruby yang ada di kalung Agus mengeluarkan sinar remang-remang. Mungkin karena dari tadi Arto ada di tempat terang hingga membuat sinarnya tidak terlihat, tetapi karena sekarang dia ada di bawah tanah, tempat yang relatif gelap, sinarnya dapat ditangkap oleh mata walaupun hanya sekilas saja. Sinar itu membantu Arto menghancurkan bendungan yang menghambat aliran pikiranya. Sekarang dia sudah sadar penuh dan tahu apa yang harus dilakukan!

Arto menendang muka Agus, dan membungkam mulut Agus dengan kakinya. Kemudian, dia melepas kalung yang digunakan Agus. Dalam waktu yang bersamaan, Seno, Steven, dan Wahyu mengencangkan genggamannya kepada Agus, pikiran mereka kembali jernih setelah terlepas dari hipnotis kalungnya!

"Pantesan dari tadi kita nurutin semua permintaan lu," Arto menendang lagi mulut Agus sembari menggunakan kalung yang barusan dia ambil.

"Apa itu, Mas?" Tanya Seno.

"Liat nih," Arto mengambil sebuah kayu usang dari lemari tergeletak di lantai dan menodongkannya ke leher Agus. "Kasih tau kenapa lu nyerang kita kalau ga mau gw bunuh make kayu ini."

Tidak masuk akal. Mana mungkin kayu usang yang lapuk bisa membunuh seseorang. Mungkin satu-satunya cara agar kayu itu dapat membunuh adalah kalau Arto menyuruh Agus untuk memakan kayu tersebut, dan Agus tersedak hingga mati. Namun raut muka Agus langsung ketakutan setelah Arto mengancamnya, dan dia membuka mulutnya, "Aku disuruh oleh orang-orang berjubah itu untuk menangkap orang seperti Seno!" Kemudian dia menunduk sambil memohon, "tolong jangan bunuh saya. Saya masih perlu menyelamatkan anak dan istri saya…"

"Hipnotis…" Steven menatap kalungnya dengan seksama. "Apapun alasannya, mau masuk akal atau tidak, semuanya perintah pasti diturutin."

Arto mengangguk, "iya, kita dari tadi dihipnotis—" tiba-tiba Arto meringis kesakitan. Adrenalin mulai merambat pergi dari otaknya, dan bahu kanan yang barusan tertanam peluru mulai berdenyut. Setiap denyutannya seolah menanam pelurunya lebih dalam lagi, sakit sekali layaknya ditancapkan oleh besi panas yang lambat-laun menggali masuk ke dalam daging.

"Tadi lu bilang 'harus menangkap orang seperti Seno,' apa maksudnya itu?" Tanya Arto sambil mengepal bahunya.

Agus menjelaskan bahwa orang-orang berjubah putih itu mencari mereka yang memiliki daging berlebih di kupingnya. Secara kebetulan, Seno termasuk dari orang yang mereka cari. Sejak lahir, kuping kiri Seno memang memiliki daging berlebih. Tidak terlalu terlihat, hanya daging kecil mencuat yang menempel dengan sekat kupingnya.

"Sebenarnya ada tiga macam orang lagi yang mereka cari," Agus ingin berlanjut.

"Apa—" Arto mau mendengar kelanjutannya, tetapi ditahan oleh Steven.

"Mas, kita keluar dari sini dulu yuk," pinta Steven dengan muka memelas. "Perasaan Steven ga enak."

"Bentar dulu," jawab Arto ketus sambil memandang sinis Steven. Kenapa Steven harus menghentikan pembicaraan penting seperti cliche di film yang disengaja agar ada unsur misterinya? Menyebalkan sekali.

"Saya setuju sama dia," kata Agus. "Mending kita ke atas, terus bicarain baik-baik."

"Bacot lu. Ga ada gunanya bicara baik-baik sama maling," kata Arto. "Dengerin ya, lu ga boleh ngomong atau gerak kecuali untuk menjawab pertanyaan gw. Nah, sekarang siapa lagi yang mereka—"

"Mas, Mas, itu liat," Seno mencolek-colek Arto sambil menunjuk ke arah tembok.

"Apaan lagi? Apa lagi yang lebih penting dari ini?!"

Seno tidak menjawab, dan membiarkan apa yang dia tunjuk menjawab pertanyaan Arto. Ujung jari Seno menunjuk ke sebuah tembok yang hitam pekat, berbeda dengan tembok lainnya. Walaupun ruangan itu gelap, hanya tembok itu sajalah yang hitam pekat seakan menyerap cahaya. Apabila dilihat secara seksama, ternyata tembok itu tidak hanya hitam, tetapi menggeliat juga, seperti terbuat oleh ribuan makhluk kecil.

Ingatan Arto kembali ke mimpi yang diceritakan Seno. Di dalam mimpinya terdapat laba-laba besar yang menutupi tembok. Laba-laba itu dideskripsikan oleh Seno sebagai laba-laba hitam yang bersisik, dimana sisiknya seperti terbuat oleh ribuan laba-laba kecil. Bisa jadi mimpi Seno bukan sebuah kejadian pasti, tetapi metafora akan masa depan. Ruang bawah tanah itu tidak menampung satu laba-laba besar, tapi berlimpahan laba-laba kecil!

Ribuan, bahkan ratus ribuan laba-laba hitam tidak hanya menutupi satu dinding saja, tetapi menyebar ke segala arah. Arto menunduk, lantas melihat ubin yang dia pijak bagaikan lautan hitam. Tanpa pikir panjang, Arto lari dari ruang tanah, tak lama kemudian diikuti oleh Seno.

Sedangkan Steven yang ikut menunduk, lantas membatu lantaran dikelilingi oleh ribuan laba-laba hitam menyeramkan. Karena dia terdiam, laba-labanya mulai memanjat ke kakinya, membuat Steven lebih takut lagi dan tambah tidak bisa bergerak. Untungnya Wahyu lagi-lagi datang menolong sambil berseru, "buruan lari ke atas, jangan bengong!"

Setelah Steven sudah tidak membatu lagi dan kabur ke atas, Wahyu menoleh ke Agus yang masih tergeletak di lantai. "Ayo, Pak Agus!" Seru Wahyu sambil mengajak Agus untuk kabur.

Agus tidak membalas, tidak berkedip, tidak bergerak. Pandangannya lurus ke atap ruangan. Walaupun dia tidak bergerak, air hangat terus bercucuran dari ujung matanya, sangat membutuhkan pertolongan tapi tidak bisa meminta.

Kaki Wahyu sudah mulai dikerubungi oleh laba-laba, bahkan taring dari beberapa laba-laba berhasil menembus celananya yang tebal dan menggigit Wahyu. Wahyu lantas juga kabur, tetapi dia menengok terakhir kalinya ke belakang, "Pak Agus…"

Duar!

Pintu ruang bawah tanah dibanting oleh Wahyu. Dia tutup rapat-rapat agar tidak ada laba-laba yang keluar dari ruangan itu dan mengejarnya.

Di dalam ruangan itu, tersisa Agus seorang diri. Sekujur tubuhnya dibalur oleh laba-laba hitam pekat yang menggerogotinya. Prajurit hitam kecil menggali masuk ke dalam tubuhnya, memakan apapun yang mereka inginkan. Agus berusaha mengeluarkan suara apapun dari kerongkongannya, tetapi tidak ada yang keluar. Perih, pedih, bingung, takut, dan sesal bercampur aduk di dalam dirinya. Pada pipinya mengalir cairan hangat. Apakah itu air mata atau darah? Tidak ada yang tahu.

Kalau saja dia tidak tinggal di situ.

Kalau saja dia tidak membiarkan putrinya pergi begitu saja.

Kalau saja dia tidak mencuri mobilnya mereka.

Kalau saja dia meminta pertolongan, bukan membohongi mereka lagi.

Kalau saja…

Mungkin dia masih bisa hidup saat ini. Atap ruang bawah tanah menjadi pandangan terakhir bola matanya yang sekarang sudah habis dimakan laba-laba. Akhirnya setelah sekian lama menderita, dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan satu kata:

"maaf…"