Seno panik, dia tidak bersuara dan tidak bergerak. Dia ingin menoleh, tetapi lehernya kaku karena ketakutan. Apabila dibandingkan antara manusia dengan kambing yang dia lawan, tentunya kambing itu lebih menyeramkan. Tetapi manusia jauh lebih berbahaya dari kambing, senjata yang mereka bawa tidak bisa dianggap remeh.
"Nyari uang? Buat apa?" Arto bertanya sambil keluar dari minimarket.
"Katanya harus optimis. Ada benernya sih, kalo kita balik ke keadaan semula pasti perlu duit."
"Iya, perlu duit kita, bukan duit orang lain. Kita ngambil makanan ini gara-gara keadaan darurat—" Arto sontak berhenti.
Dua orang berjubah putih berdiri di depan bagasi mobil. Jubahnya menutupi seluruh badan mereka, hanya bagian mulut saja yang terbuka. Terdapat sabuk coklat dengan jahitan keemasan yang mengitari bagian lengan, kaki, dan badan jubah. Salah satu dari kedua orang berjubah itu sedang menodongkan pistol ke pelipis Seno.
"Angkat tangan kalian," kata salah satu dari mereka, suaranya berat seperti suara lelaki berlogat timur. "Kita cuma mau ngobrol kok."
"Iya Bang, kami ga mau cari masalah," Arto mengangkat tangannya, kemudian Wahyu mengikutinya. Muka Arto datar dan tenang, tetapi hatinya berteriak ingin kabur dari tempat itu. "Bang, itu sepupu saya…"
Pria berjubah itu berhenti menodong Seno dan menyuruhnya untuk berdiri di samping Arto. Tetapi, tanpa pria itu ketahui, jemari Seno berhasil menyentuh tipis dirinya.
Langsung muncul di mata Seno sebuah duplikat semi transparan pria berjubah itu. Gerakan duplikatnya lebih cepat dari yang asli. Dan gerakan yang asli sudah pasti mengikuti gerakan duplikatnya. Itulah kekuatan Seno sebagai pengintip masa depan!
Tetapi dia tidak bisa menggunakan kekuatannya terlalu lama. Sama seperti orang yang tidak memakai kacamata tiba-tiba disuruh memakai kacamata, apabila untuk beberapa detik saja tidak ada masalah, tetapi jika terlalu lama maka akan pusing. Seno hanya bisa menggunakan kekuatannya selama 1-2 menit saja. Jadi, dalam kurun waktu 1-2 menit, mereka harus mengalahkan dua orang berjubah itu!
"Kalian jalan mundur, masuk ke situ ya!" Kata si pria.
Lantas mereka mulai berjalan mundur, menuruti kemauannya. Mereka digiring hingga ke depan kasir, dimana mereka disuruh berbaris menghadapnya. Tangan mereka masih diangkat dan sudah mulai capek.
Kemudian pria itu berkata, "ini kalian kenapa make baju berlapis-lapis?"
"Ini buat kalo ada monster, Bang," jawab Arto.
"Monster? Ketemu kalian dengan monster?"
"Ketemu, Bang. Tadi kami abis bunuh satu."
"Bunuh satu?!" Pria itu berteriak terkejut, matanya membelalak. Dia mencondongkan badannya ke depan dan bertanya, "monster apa yang kau bunuh, dek?"
"Kambing, Bang."
Pria itu langsung tertawa terpingkal-pingkal. Orang berjubah satunya juga tertawa, suaranya nyaring dan lembut seperti wanita. Lalu, pria itu berkata, "apalah kau ni, dek. Abang kira kau utusan Ibunda, taunya cuma kebanyakan nonton TV aja."
Arto tidak membenarkan kesalah pahamannya dan tidak menanyakan siapa "Ibunda" yang dimaksudnya. Dia hanya berkata sambil tertawa kecil, "mana mungkin kami utusan 'ibunda.' Kami bukan siapa-siapa."
"Oh, kalian kenal Ibunda?"
"Enggak sih," kata Art, bergurau agar suasananya tidak terlalu tegang.
Namun, pria itu tidak menyukai candaan Arto. Tiba-tiba dia memukul kepala Arto menggunakan pistolnya dengan sangat kencang. Mukanya garang seperti tidak sabar ingin membunuh Arto. Kemudian dia berseru, "bangsat kau berani-beraninya mengejek Ibunda!"
Arto terjatuh ke belakang. Kepalanya menyentuh ubin dingin. Keluar darah dari pelipisnya, tempat tadi pria itu memukulnya. Pandangannya berputar dan kunang-kunang menari di depannya.
Perempuan berjubah itu juga kesal. Dia menginjak-injak tubuh Arto yang tersungkur. Saking kesalnya perempuan itu, mukanya memerah dan nadinya muncul di pelipisnya. Hanya rintisan Arto yang bisa meredakan amarahnya.
Arto melindungi kepalanya dengan tangannya dari kaki perempuan itu. Seumur hidupnya, dia tidak pernah berantem dengan siapapun, dan sakit yang dialami tubuhnya saat itu sangat baru untuknya. Kalau dibiarkan, bisa jadi dia akan pingsan.
Lantas Arto mengintip ke Seno, bertanya dengan matanya apakah Seno berhasil menggunakan kekuatannya. Seno mengangguk dan diam-diam menunjuk ke pria berjubah. Lalu, Seno mengangkat satu jari, memberi tahu kekuatannya bersisa satu menit lagi.
Tidak banyak waktu lagi yang tersisa. Maka Arto memutuskan untuk memulai serangannya.
Detik pertama.
Arto menggenggam kaki perempuan itu dan memelintirnya. Perempuan itu pun menjerit dan jatuh ke samping. Pada umumnya, memang laki-laki lebih kuat daripada perempuan, dan Arto yang sudah menjadi catalyst pasti lebih kuat dari laki-laki biasa.
Detik ke-2.
Pria berjubah itu kaget dan langsung ngeker ujung pistolnya ke Arto. Tetapi sebelum dia bisa berbicara atau menarik pelatuknya, Seno memukul tangan pria itu, membuat pistolnya lepas dan terpental ke lantai.
Detik ke-3.
Seno berlari menuju pistol itu. Pria itu juga berlari menyusul Seno, tetapi dia di diseruduk oleh Arto. Mereka berdua menabrak rak produk minimarket dan menjatuhkannya, membuat sebuah domino yang merubuhkan satu baris rak.
Detik ke-4.
Seno berhasil mendapatkan pistolnya. Lalu, dia mengeker pistol tersebut ke arah perempuan yang baru saja berdiri dengan kaki pincang. Seno tidak mengeker ke arah si pria berjubah karena Arto sedang berada di dekatnya, jadi lebih baik mengurangi musuh yang lebih mudah ditargetkan. Lantas Seno menarik pelatuknya, tetapi yang keluar hanya bunyi klik. Ternyata pistol itu kosong! Mereka telah ditipu!
Detik ke-5.
Seno yang masih menggunakan kekuatannya melihat duplikat dari pria itu memasukkan tangannya ke dalam jubahnya. Kemudian, duplikatnya mengeluarkan pisau dan ingin menusuk Arto yang masih menguncinya di lantai. Tanpa berpikir lama, Seno melempar pistol kosongnya ke pria yang sedang meraih pisau di dalam jubahnya. Lalu, Seno berteriak, "awas, Mas, dia punya pisau di dalem jubahnya!"
Detik ke-6.
Bullseye! Pistol yang tadi melesat dari tangan Seno mengenai matanya pria berjubah, membuatnya berhenti lantaran kesakitan.
Arto mengambil kesempatan itu untuk membuka jubah si pria. Rupanya pria itu tidak memakai busana di balik jubahnya, tetapi ada sebuah sabuk yang mengitari tubuhnya dan mengikat pisau hitam kecil.
Detik ke-7.
Perempuan yang kakinya tadi dipelintir oleh Arto merangsak maju, ingin menghentikan Arto. Untungnya Wahyu, yang dari tadi tercengang dan tidak tahu bagaimana cara membantu dua saudaranya, berhasil menahannya.
Arto merampas pisau hitam itu, merobek sabuk yang mengitari sang pria. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menghantam dada si pria dengan pisau itu, membunuhnya dalam sekejap.
Detik ke-8.
Si perempuan berteriak dan menyundul Wahyu yang sedang menahannya dari belakang. Setelah lepas dari genggaman Wahyu, dia melesat ingin menghentikan Arto. Karena Arto membelakanginya, dia tidak tahu bahwa Arto sudah membunuh partner-nya, atau mungkin dia tahu tapi tidak mau percaya.
Arto sudah mengantisipasi akan diserang lagi. Dia mencabut pisaunya dari dada si pria dan menggunakan pundaknya untuk mendorong wanita itu.
Detik ke-9.
Wanita itu terhempas ke belakang, kakinya sempoyongan. Karena Arto sudah berdiri, dia dapat melihat apa yang terjadi pada pria itu. Dadanya sudah ada bolongan kecil yang tidak berhenti mengalirkan darah keluar. Perutnya masih kembang kempis tipis, tetapi matanya seakan sudah tidak bernyawa. Pria itu berada di ambang kematian.
Arto tidak mempedulikan mayat si pria, pandangannya terkunci ke wanita itu. Dia melaju pesat dengan pisau di tangannya!
"Sebentar dulu!" Teriak wanita itu. Dia tidak mau mati disini. Lagipula dia dan masih ada keperluan yang sudah dipercayakan kepadanya.
"Stop, dik!" Wahyu berseru, tangannya meraih Arto. Dia tidak mau ada nyawa yang hilang lagi, terlebih apabila yang merenggut nyawa itu adalah adiknya.
Detik ke-10.
Tangan Wahyu tidak mencapai Arto.
Arto terus melesat. Buta dan tuli akan sekitar karena amarahnya setelah disakiti oleh wanita keparat. Derap kakinya seperti pengingat maut yang akan menjemput wanita itu. Hingga akhirnya pisau Arto menikam leher orang yang barusan menginjak-injaknya.
Wanita itu pun terjatuh lemas dengan pisau yang tertancap di lehernya. Sebentar lagi dia akan mati. Memori akan kehidupannya melintas cepat dalam pikirannya, membuat setetes air mata kesedihan berlinang di pipinya.
Sepuluh detik. Cukup 10 detik saja, dan dua nyawa manusia hilang selamanya. Keluarganya, teman-temannya, anak-anaknya, mungkin juga cucu-cucunya di masa depan tidak akan tahu apa yang terjadi pada mereka. Sekarang dua orang berjubah itu hanya seonggok daging yang membusuk.
"Dik…" suara Wahyu bergetar, shock berat akan apa yang terjadi barusan. "You didn't have to kill her…"
Arto tidak menjawab apa-apa, matanya terpaku pada pisau berlumuran darah yang masih tertanam dalam leher perempuan itu. Beberapa saat kemudian, dia menarik pisaunya dari leher si perempuan. Lubang baru di lehernya memuncratkan darah merah ke muka Arto.
Arto beranjak pergi, keluar dari minimarket. Ekspresi wajahnya tidak berubah dari awal sampai akhir dia bertarung dengan dua orang berjubah, mungkin karena saking fokusnya. Tetapi, ekspresinya langsung berubah saat dia terciprat darah, rahangnya tegang dan ujung bibirnya turun.
"Steven dapet duitnya, tadi brankasnya disembunyiin di balik—" Steven yang baru keluar dari ruang staff dengan riang gembira spontan berhenti. Rak yang sebelumnya masih tertata rapi sekarang sudah rubuh. Kemudian setelah berjalan sebentar ke kasir, dia mendapati dua mayat tergeletak dengan darah yang mengalir dan menggenang di lantai.
"Mas, ada apa barusan?" Steven bertanya kepada Wahyu yang sedang duduk di samping mayat perempuan. Tadi sepertinya dia terlalu fokus mencari harta karun sampai melupakan dunia. Tetapi karena Wahyu tidak menjawab, dia bertanya lagi, "Mas, Mas, ini kenapa—"
"Bisa diem dulu ga sih?!" Jawab Wahyu dengan nada tinggi. Dia tidak tuli. Dia sudah mendengar pertanyaan Steven. Tapi dia tidak mau jawab, tidak bisa jawab, tidak sanggup jawab. Adiknya sudah membunuh dua orang. Wahyu menutup mata perempuan itu yang masih terbuka, dan berkata, "sori… tapi mending bahas ini lain kali aja."
Steven yang tersentak hanya bisa mengangguk dan menjawab, "...oke." Kemudian dia celingak-celinguk dan bertanya pelan, "Kak Seno mana?"
"Dia lagi di luar, ngecek Arto."
Seno yang barusan keluar minimarket sedang memperhatikan Arto dengan prihatin. Arto menggunakan air minum untuk membersihkan darah dari tubuhnya lantaran tidak menemukan keran. Dia menggosok-gosok kasar mukanya yang terciprat darah sambil bergumam. Gumamnya tidak terdengar Seno karena terlalu jauh. Lantas Seno mendekat, penasaran.
"Gross, gross, gross, gross, gross, gross, …" Arto bergumam berulang kali, tangannya tidak berhenti membersihkan darah dari tubuhnya, dan mukanya sangat masam.
Menjijikan. Darah yang muncrat dari mayat itu menjijikan sekali. Tubuhnya yang mulai dingin setelah darah tidak terpompa di dalamnya juga menjijikan. Matanya yang kosong setelah kehilangan rohnya tidak kalah menjijikan. Kenapa dia harus berurusan dengan mayat? Kenapa dia harus berdekatan dengan mayat? Kenapa dia harus diingatkan dengan kejadian itu lagi? Menjijikan. Menjijikan. Menjijikan!
Seno mematung kebingungan. Dia berniat untuk menghibur Arto, mungkin Arto merasa bersalah karena sudah membunuh dua orang. Dia mau bilang bahwa Arto tidak salah, dia hanya membela dirinya dan keluarganya. Namun, sekarang Seno hanya bisa diam, mulutnya buka tutup tidak tahu mau bilang apa. Kakaknya tidak merasa bersalah, tapi dia merasa jijik… benar-benar di luar ekspektasi Seno.
Mukanya Arto sudah bersih dan dia menyeka air yang masih tersisa. Kemudian dia melepas semua bajunya dan membuangnya. Bajunya sudah ternodai darah-darah itu sudah tidak layak pakai lagi. Untung celananya tidak terkena darah, kalau iya, dia harus bugil di depan minimarket.
"Dik, ada apa ya tadi kok saya dengar ada yang teriak?" Tiba-tiba seseorang muncul, memasuki parkiran minimarket. Orang itu mengenakan kaos putih dan celana gombrong. Garis rambutnya membentuk huruf "M" dan perutnya sedikit maju. Seorang bapak-bapak rumahan yang ramah muncul tiba-tiba!
Kalau saja bapak-bapak itu datang lebih cepat, dia pasti akan disambut dengan ramah. Tetapi setelah bertarung, Arto sedang was-was. Dia tidak mempercayai siapapun dan tangannya menggenggam erat pisau hitam yang tadi dia ambil, siap untuk menambah jumlah mayat di tempat itu.
Seno menangkap gerak-gerik Arto. Dia harus segera mengatasi situasi itu jika tidak mau memperbanyak masalah. "Bukan apa-apa, Om. Tadi pas kami lagi ngambil barang-barang, raknya pada jatuh." Kata Seno. Dia berbohong dengan natural, seperti yang dilakukannya sehari-hari.
"Ngambil barang-barang ya…" si bapak menengok ke minimarket yang berantakan, kemudian menengok ke mobil mereka. "Kalian mau ke stadion GBK, ya?"
"Loh… kok tau, Om?"
"Loh, ya mau kemana lagi?" Kata bapak itu dengan muka kebingungan. Dia mengeluarkan HP dan mulai utak-atik, kemudian ditunjukkan HP-nya ke Seno. "Kalian dapet SMS ini kan? Tempat pengungsian."
Tertera pada layar HP sebuah peringatan untuk berlindung di dalam rumah—terlebih pada malam hari—dan daftar stadion yang digunakan sebagai tempat pengungsian di Jabodetabek. Salah satu dari stadion tersebut adalah GBK Main Stadium.
"Oalah~ Iya Om, kita juga dapet itu," Seno berbohong lagi. Mungkin kegelisahan yang dirasakan adiknya itu salah. Hati Seno lega dan keinginannya untuk segera ke GBK meningkat.
"Kalian mau berangkat sekarang? Udah mau malem loh." Bapak itu mendongak. Matahari tersisa ujungnya saja, dan langit sudah mulai menggelap. Angin dingin bertiup melalui bangunan yang mengelilingi mereka. "Ada himbauan ga boleh keluar rumah pas malem, mending ke rumah saya aja dulu, istirahat sampai besok."
"Rumah Om?" Seno bertanya kebingungan. Bapak-bapak itu sangat mencurigakan. Orang macam apa yang mengajak orang asing masuk ke rumahnya secara cuma-cuma?
"Saya bukan orang jahat kok," kata bapak itu sambil tertawa, tahu betul apa yang ada di benak Seno. "Saya punya dua anak, seumuran kalian. Sebagai orang tua, saya punya kewajiban untuk menjaga, bukan?"
Seno terdiam, masih curiga. Orang tua itu menjaga anak sendiri, bukan anak orang lain. Kalau ada yang mengaku sebaliknya, kemungkinan dia memiliki keinginan lain. Paling tidak itu yang Arto pernah bilang. Kemudian Seno berkata, "sebentar ya, Om. Saya tanyain ke yang lain dulu." Lantas Seno kembali ke Arto dan menjelaskan tawaran bapak itu.
"Ayo kita ke rumah dia," kata Arto. "Ga ada salahnya kita hati-hati, apalagi udah ada himbauan pemerintah." Kemudian dia menengok ke dalam minimarket, dan berkata, "jangan lupa pistolnya dibawa. Kalo emang dia mau aneh-aneh, kita bisa bikin dia takut make pistol."
"Pak, kalo boleh tau namanya…?" Wahyu bertanya, dia berjalan di samping bapak itu.
"Oh iya belum kenalan," kata bapak itu sambil tertawa. "Nama saya Agus—Agus Ketaren."
Tadi mereka memutuskan untuk ikut dengan Agus ke rumahnya. Seno, Steven, dan Wahyu berjalan bersama Agus sambil mengobrol kecil. Sedangkan Arto mengendarai mobil sendirian dan mengikuti mereka dari belakang, selalu sigap apabila Agus ingin berkhianat.
Seno juga tidak kalah waspada. Dia setiap satu menit sekali akan menyentuh Agus dan menggunakan kekuatannya, jaga-jaga apabila Agus melakukan gerakan yang mencurigakan. Setelah satu menit berlalu, dia akan menonaktifkan kekuatannya dengan berkedip tiga kali agar bisa istirahat sejenak. Kemudian dia akan menyentuh Agus lagi, dan itu terus dia lakukan berulang kali.
"Itu rumahnya Pak Hartono," kata Agus, jarinya menunjuk ke sebuah rumah kosong dengan kandang burung yang berserakan. "Dia melihara banyak burung, sampai-sampai setiap ruangan minimal ada satu burung. Tapi sekarang udah ga ada lagi burungnya, mungkin kabur karena gempa ya?" Agus menjelaskan rumah-rumah tetangganya dengan ramah, seakan menjadi tour guide sementara.
Sikap acuh tak acuhnya memang aneh, tetapi yang lebih aneh lagi adalah kompleknya. Jalan menuju rumah Agus tidak jauh beda dengan jalan-jalan sebelumnya, terdapat retakan dimana-mana akibat gempa. Namun, di jalan yang mereka lalui sebelumnya sudah pasti ada darah berlinangan yang mendekorasi rumah-rumah hancur. Sementara pada komplek ini, boro-boro ada darah, tidak ada sedikitpun tanda-tanda kerusakan pada rumah warga yang kosong, seakan penduduknya hilang seketika.
"Om Agus, ini orangnya pada kemana?" Steven bertanya. Sudah beberapa menit mereka berjalan, dan semua rumah yang mereka lalui kosong lompong. "Pada kabur apa gimana, Om?"
"Saya juga kurang tau. Kemarin malem, pas gempa, banyak yang keluar rumah kok." Agus berhenti sejenak untuk berpikir. "Tapi tiba-tiba tadi pagi udah ga ada siapa-siapa. Mangkanya saya dari tadi keliling komplek, nyari orang." Kemudian dia menengok ke Steven dan tertawa, "eh tiba-tiba denger orang teriak deh. Siapa itu yang teriak? Suaranya kayak cewek."
Steven tertawa canggung. Dia tidak tahu siapa yang teriak, bahkan dia tidak tahu kalau ada yang teriak tadi lantaran sibuk dengan dunianya sendiri. Dia membuka mulutnya ragu-ragu, "eh… itu si—"
"Itu si Arto, Om," sela Seno. Dia harus mengalihkan pembicaraan. Agus tidak boleh mengetahui bahwa yang berteriak itu sekarang berupa mayat yang dibiarkan tergeletak dalam minimarket. Kemudian dia menunjuk ke mobil dengan muka mengejek, "itu tuh yang lagi nyetir."
"Oh, yang itu," Agus menengok ke belakang, dimana Arto sedang mengendarai mobil dengan pelan, mengikuti mereka. Kemudian dia melambaikan tangannya, dan berkata, "mukanya sangar, tapi aslinya letoy ya?"
Seno tertawa lebar dan menepuk pelan lengan Agus. Lalu, Dia juga ikut melambaikan tangannya ke Arto. "Iya Om, emang dia cuma pengen berasa keren aja."
Dia membalas lambaian mereka dari dalam mobil dengan senyum tanggung. "Kurang ajar, pasti si bangsat lagi ngatain gw," gumam Arto.
Usai berjalan dan mendengarkan segala cerita Agus selama sekitar 20 menit, mereka sampai di depan rumah Agus. Matahari sudah terbenam dan angin malam mulai menggigit kulit mereka. Lantas mereka lekas memasuki rumah Agus.
"Loh kok…" Wahyu menoleh ke kanan, kiri, atas, dan bawah, termangu-mangu. Rumah yang dia masuki hanya berupa ruangan kecil dengan dua pintu: pintu keluar masuk dan pintu menuju kamar mandi. Ruangannya gelap, lampu dekoratif dengan berlian palsu yang bergantung di atas tidak menyala, membuat ruangan tampak muram. Di tengah ruangan ada karpet dan tatakan minuman air mineral gelasan.
"Bingung ya?" Kata Agus dengan tawa yang mengguncang perut buncitnya. "Di atas sini emang cuma ruang tamu."
Agus membuka ubin di ujung ruangan seperti membuka pintu. Rupanya di balik ubin itu ada tangga menuju ke ruangan bawah tanah. Sesudah itu, dia memanggil empat saudara yang masih kagum akan adanya pintu rahasia untuk mengikutinya.
"Bangunan ini sudah puluhan tahun," jelas Agus kepada empat itik yang mengikutinya menuruni tangga. "Dulu kakek saya buat ruangan bawah tanah untuk menyembunyikan anak dan istrinya pas tentara jepang datang." Agus membuka pintu di ujung tangga itu, dan mereka disambut oleh cahaya yang menyilaukan.
Di dalam ruang bawah tanah itu terdapat ruangan bernuansa modern. Penuh dengan perabotan bergaya kekinian seperti sofa kulit, meja kaca, lampu gantung, dan televisi layar datar. Di sudut ruangan, ada sebuah bar mini yang dilengkapi dengan kulkas, dispenser, dan rak berisi berbagai makanan kaleng. Air conditioner tersebar di penjuru ruangan, namun tidak dinyalakan. Tetapi ruangan masih tetap adem sebab terdapat exhaust yang meniupkan udara luar, membuat lantai marmernya menjadi dingin.
"Di daerah sini banyak yang punya ruang bawah tanah, peninggalan masa penjajahan dulu. Tapi yang renovasi ruangan bawah tanah jadi ruang utama cuma saya," kata Agus dengan bangga. Kemudian dia memanggil dengan nada yang lembut, "Diana, Riska, sini keluar ada tamu."
Ibu dan anak keluar dari salah satu ruangan. Diana Ketaren, istrinya Agus, memiliki paras yang ayu. Lipatan kecil di ujung matanya setiap dia tersenyum membuatnya terlihat dewasa dan elegan. Bibirnya merah dan pipinya tidak ada kerutan sama sekali. Rambut coklatnya yang lurus dibiarkan mengalir melewati pundaknya. Membingungkan sekali kenapa perempuan secantik dia mau dengan Agus yang sudah berevolusi menjadi bapak-bapak komplek.
Anak yang keluar bersamaan dengan Diana adalah Riska Ketaren, seorang gadis comel yang memancarkan binar penasaran di matanya. Dia sangat mirip ibunya. Rambut hitamnya dikepang menjadi mahkota kecil di kepalanya. Pipi tembemnya sedikit mengayun saat dia berjingkrak-jingkrak bertanya ke Arto, "Kakak siapa? Kakak ngapain make baju tebal? Emangnya ga panas, Kak?"
Arto terdiam karena dihantam dengan bertubi-tubi pertanyaan. Ditambah lagi dia tidak mengerti cara berinteraksi dengan anak kecil. Jadi dia hanya bisa celingak-celinguk ke saudaranya, meminta pertolongan. Namun, bukannya menolong, saudara-saudaranya yang tidak tahu rasa kasihan itu malah nyengir, senang melihat Arto menderita.
"Jangan ganggu kakaknya, Riska." Agus menggendong anaknya dan berjalan ke meja makan yang ada di sebelah bar mini. Kemudian dia menoleh balik ke Seno dan kawan-kawan, "kalian ga mau lepas baju? Sumuk banget saya ngeliatnya."
"Ini bajunya kami satuin, Om. Jadi kalo mau dibuka satu harus buka semuanya dulu," jawab Seno dengan alasan tak masuk akalnya. Mereka tadi sudah sepakat menggunakan alasan itu untuk menyembunyikan pistol dan pisau yang ada di dalam baju Arto.
Agus tidak terlalu peduli akan alasan aneh mereka, dan berkata, "Diana, tolong anterin mereka ke kamarnya Grace." Grace adalah anak pertama Agus yang sedang asrama di luar kota, jadi kamarnya saat itu kosong.
Diana menatap Agus ragu-ragu. Sepertinya dia tidak terlalu suka dengan orang-orang asing yang tiba-tiba memasuki rumahnya.
"Diana, gapapa kok," kata Agus dengan nada yang halus. "Grace kan lagi ga make kamarnya, jadi dia ga bakal marah kalo kamarnya dipake orang lain."
Diana menangguk dan mengantar mereka berempat ke kamar yang ada di ujung ruangan. Sesampainya di depan pintu kamar, dia berkata, "di dalam kamar udah ada kamar mandi." Lalu dia menunjuk ke pintu yang ada di sebelah pintu kamar Grace, "ini kamar aku sama Mas Agus, kalau nanti perlu apa-apa, bilang aja ya."
"Maaf ya, Tante," kata Seno sambil menggaruk kepalanya. "Kami jadi ngerepotin gini."
"Enggak kok," Diana menggeleng-geleng. "Justru saya yang harusnya minta maaf."
"Loh kok jadi Tante yang minta maaf?"
"Iya, kita ga bisa ngasih lebih dari ini…" Diana melirik ke meja makan dimana Agus dan Riska sedang bercanda.
"Duh jangan gitu, Tante," Seno tersimpul tak enak hati. "Ini lebih dari cukup buat kami."
"Yaudah nanti kalau udah ganti baju langsung ke meja makan ya," kata Diana dengan senyum manisnya. "Makanannya sudah siap santap."
Selepas Seno berterimakasih sekali lagi, mereka akhirnya memasuki kamar. Di Dalam kamar itu penuh dengan serba-serbi barang berwarna pink. Tertempel di dindingnya poster-poster lelaki tampan dan perempuan cantik dari mancanegara. Tergambar sekali bagaimana karakter anaknya Agus yang bernama Grace itu.
Mereka lekas membuka bajunya setelah tercengang untuk beberapa detik. Baju-baju tebalnya dikesampingkan, sedangkan mereka mengenakan kaos nyaman yang sering dipakai di rumah. Arto menyembunyikan pistol dan pisaunya di bawah kasur; dia tidak perlu khawatir akan tidak sengaja tertembaknya peluru karena pistolnya kosong. Seno, Steven, dan Wahyu menunggu Arto yang masih sibuk sendiri, tidak sabar ingin makan lantaran perut mereka sudah keroncongan.
Akhirnya, Arto selesai menyembunyikan senjatanya, dan mereka pun bergegas ke meja makan untuk menyantap hidangan lezat yang sudah disiapkan Diana. Nasi putih mengepul menggoda selera, disandingkan dengan sarden, tumis kangkung pedas, dan sambal merah yang menggugah. Di tengah meja, ada sebuah piring berisi kue coklat yang manis dan lembut, sebagai hidangan penutup. Mie instan memang enak, tetapi tidak ada yang lebih enak dari masakan otentik Indonesia.
"Kalau mau dipake kulit kambingnya, kalian harus bersihkan dulu," kata Agus sambil memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. "Biasanya direndam seharian di air anget pake baking soda sama obat kelantang, baru bisa hilang baunya."
"Waduh, seharian…" Wahyu termenung, sarden di tangannya tidak jadi masuk ke mulut.
"Kalo mau, besok pagi direndam. Terus taruh di luar biar panas mataharinya bisa bikin airnya hangat."
"Liat besok aja deh, Pak."
Mereka sedang berbincang-bincang sambil menyantap makanan di atas meja. Namun, lebih tepatnya, Wahyu dan Seno sedang berbincang-bincang lantaran Arto dan Steven jarang mengikuti obrolan. Wahyu dan Seno memang suka mengobrol kecil tanpa arah pembicaraan yang jelas. Arto hanya akan bicara dengan orang yang tidak dekat dengannya apabila perlu dan mendesak. Sedangkan Steven lebih suka berkhayal dalam benaknya sendiri.
"Om, kok ini bisa ada listrik sih?" Tanya Seno.
"Ini saya make genset," jawab Agus singkat.
"Bahan bakarnya apa, Om?"
"Bensin." Agus berdehem sejenak, sebelum melanjutkan, "saya punya stok bensin banyak di gudang. Nanti saya kasih liat."
Seno hanya mengangguk-angguk. Sejujurnya dia tidak peduli kenapa listriknya rumah Agus masih nyala. Sebentar lagi juga dia akan pergi ke GBK dengan saudaranya. Dia bertanya hanya untuk melanjutkan pembicaraan tanpa arahnya.
Beberapa menit telah berlalu, disandingi dengan canda tawa yang membuat bapak-bapak seperti Agus terkekeh-kekeh. Makanan di atas meja sudah habis dicerna dalam perut, dan rasa kantuk mulai melanda. Agus yang ingin menepati janjinya lantas mengenalkan mereka berempat ke semua ruangan yang ada di rumahnya. Tentunya tidak melupakan gudang yang berisikan kaleng bensin dari ujung ke ujung.
"Kalo segini banyak pasti bisa dipake buat nyalain listrik sampai setengah tahun kedepan," kata Agus sambil berdehem.
Arto, Seno, Steven, dan Wahyu hanya mengangguk-angguk saja. Kantuk menjajah pikiran mereka setelah perut sudah bahagia. Mata mereka berkedip-kedip, menatap nanar Agus yang sedang menjelaskan rumahnya.
Selepas Agus selesai menjelaskan ruangan-ruangan rumahnya, mereka akhirnya bisa istirahat di kamar. Seno segera melompat ke kasur dan menutup matanya. Otot-ototnya lelah setelah seharian berlarian kesana-kemari. Cuma kasur dan tidur pulas yang bisa menghilangkan nyeri di sekujur tubuhnya.
"Eh, jangan tidur dulu," kata Arto yang berbaring juga di kasur. Pengucapannya tidak jelas lantaran lidahnya ikut mengantuk. "Perasaan gw ga enak. Kayak ada…"
"Kayak ada yang kelewat," sambung Steven, suaranya teredam karena kepalanya dikubur ke bantal. "Gerak-gerik Om Agus aneh. Kayaknya dia lagi nyembunyiin sesuatu deh."
"Alah kalian kebanyakan nonton TV," kata Wahyu yang sudah kerukupan dengan selimut.
"Iya, kebanyakan TV kalian…" Seno ngelindur, dan tidak lama kemudian kesadarannya hilang. Seno yang pertama menjadi korban kasur empuk nan nyaman.
"Pak Agus baik kok," kata Wahyu. Suaranya semakin kecil pada setiap kata yang dilontarkannya. "Dia aja ngasih liat kaleng bensin. Kan bisa aja kita colong itu bensinnya. Tapi Pak Agus percaya sama kita, jadi kita dikasih…" Wahyu menjadi korban ke-2 kasurnya. Sisa Arto dan Steven saja yang masih bertahan.
"Kaleng… bensin," Arto tidak ada tenaga lagi. Mengeluarkan satu kata saja sangat sulit baginya. "Kaleng bensin… ada yang aneh sama…" Lantas, kasur itu memakan korban ke-3.
Hanya tersisa Steven yang berpikir sendirian, penasaran akan sesuatu yang janggal. Sesuatu yang ada di ujung lidah tetapi tidak bisa diucapkan. Menjengkelkan sekali, sampai-sampai Steven masih bisa menahan kantuknya karena gregetan ingin tahu.
"Kaleng bensin?" Gumam Steven, kepalanya masih tersungkur ke bantal. Matanya tertutup rapat dan otot-otot di tubuhnya mulai lemas. Sebentar lagi dia akan tertidur pulas. Namun, sebelum dia kehilangan kesadarannya, dia akhirnya menangkap sesuatu yang janggal, "kenapa tadi ga ada bau bensin ya di gudangnya?"
Akhirnya Seno menjadi korban terakhir kasur mematikan itu. Mereka berempat tertidur pulas, kelelahan dan tidak ada yang bisa membangunkan sekarang. Namun, tiba-tiba kesunyian kamar itu dipecah oleh derit pintu yang dibuka dari luar.