Chereads / Lentera Siang / Chapter 5 - Melawan Kambing Besar

Chapter 5 - Melawan Kambing Besar

Seno tersentak bangun di dalam kamar gelap gulita, pakaiannya dibasahi keringat, dan tangannya gemetar memeluk erat gulingnya. Dia langsung beranjak dan membuka jendela. Keadaan di luar normal-normal saja, hanya perumahan yang masih diselimuti kegelapan, dan jauh di ufuk timur, matahari sedang bersiap untuk naik ke panggungnya. Kemudian Seno mengecek jam; jarumnya menunjukkan pukul 5:30.

"Lu ngapain sih mondar-mandir?" Tanya Arto, matanya masih terpejam. Suaranya sedikit serak karena baru bangun.

"Sori, gw tadi mimpi serem," jawab Seno.

"Mimpi apaan lu?"

"Gw diseruduk kambing—" Seno terinterupsi oleh bantal yang meluncur ke mukanya.

"Lu bikin gw bangun gara-gara mimpi tolol kayak gitu?" Arto mendengus kesal. Dia menegakkan dirinya dan berkata, "jam berapa sekarang?"

Arto berdiri dan menuju ke lantai satu. Seno ingin mengikutinya, tetapi dia ke kamar mandi dulu untuk mengecek apakah mukanya masih ada atau tidak—tentunya masih ada. Lantas dia meluncur ke bawah, meninggalkan Steven dan Wahyu yang tertidur pulas, dengkuran mereka memenuhi ruangan.

Seno memasuki dapur dan menemukan Arto sedang memasak air. Dia bertanya, "mau masak apa lu?"

"Nih," Arto menunjukkan sebungkus mie instan. "Laper gw, mau ngemil."

"Bikinin gw juga dong."

"Suit dah, yang kalah masakin."

Seperti biasa, Seno kalah dan harus mengikuti kemauan Arto; saking seringnya dia kalah, terkadang dia berpikir kalau Arto bisa baca pikiran. Lantas Seno memasukkan mie beserta bumbunya ke dalam panci di atas kompor gas. Saat dia ingin memasukkan telur, Arto menghentikannya. Katanya lebih baik memasukkannya nanti saja setelah kompor sudah dimatikan, agar sisa panas di airnya dapat memasak telur hingga setengah matang.

Rasa gurih, pedas, dan manis dari bumbu mie yang begitu nostalgic bercampur menjadi satu, membentuk harmoni rasa yang tidak terkalahkan. Bau dari serbuk bumbu dalam air panas menyebar ke segala arah, berjalan-jalan memasuki hidung dan mulut, membuat mereka yang menciumnya menelan ludah. Tetapi baunya tidak berhenti di situ, dia terus berjalan, keluar ruangan, menuju lantai dua.

Steven dan Wahyu terbangunkan aroma indah nan familiar yang menggelitik hidung mereka. Mereka melesat turun ke lantai satu untuk meminta dibikinkan mie juga.

"Bikinin punya gw juga dong," kata Wahyu yang menatap nanar Seno.

"Steven juga mau," kata Steven, sudah segar dan tidak terkantuk-kantuk lagi.

"Suit dah, yang kalah masakin," balas Seno.

Seno menggerutu sambil memutar-mutar mie yang sudah mulai melunak dalam panci. Lagi-lagi dia kalah main suit. Apakah mungkin seluruh keluarganya kecuali dia merupakan cenayang yang bisa melihat masa depan? Bagaimana bisa dia selalu kalah? Jawabannya: tentu mereka bukan cenayang. Justru Seno yang aneh, jika tahu bahwa dia selalu kalah, kenapa dia memilih untuk bermain suit?

Setelah mienya sudah selesai dimasak, Seno mematikan kompornya dan memasukkan dua butir telur, sesuai arahan Arto. Kemudian dia memecah dua telur setengah matang ke dalam mangkuk dan berkata, "telurnya cuma dua. Karena gw yang masak jadi gw yang makan—"

"Eits, tidak semudah itu ferrrguso," Arto menahan tangan Seno yang ingin meraih telurnya. "Lu sama Steven paling muda disini. Pernah denger kan 'yang muda harus mengalah dengan yang tua.'"

"Kebalik itu, anjir."

"Perasaan kita beli banyak deh," celetuk Steven.

"Iya kita beli banyak," jawab Wahyu, tangannya diam-diam mengulur ke telur yang masih hangat itu. "Kita beli banyak kemarin. Ingat kan belanjaan kemarin ada di mana?"

Arto menepis tangan Wahyu dan berkata, "gimana kalo kita hompimpa?"

Mereka setuju dan mulai bermain hompimpa. Seno melipat tangannya sambil menggerutu. Lagi-lagi dia kalah di ronde pertama. Sedangkan untuk ronde kedua, Wahyu kalah. Jadi pemenang telur itu adalah Steven dan Arto.

Mereka pun berpindah ke ruang makan yang berada di sebelah ruang tamu. Tepat di tengah ruang makan, terdapat meja lonjong dari kayu jati yang dapat menampung enam orang. Tetapi mereka lebih memilih untuk makan di satu sisinya saja sambil berdempet-dempetan. Kenapa mereka seperti itu? Cuma ada satu jawabannya: perang.

Arto sedang mencari sumpit yang barusan dibawanya, membuatnya lengah dan tidak memperhatikan mangkuknya. Seno, pelaku yang menyembunyikan sumpitnya Arto, dengan cekatan mengambil telur Arto dan memakannya. Saat Arto ingin memakan mienya, dia kaget telurnya sudah hilang, dan langsung menuduh Seno sebagai pelakunya. Tanpa basa-basi, Arto langsung memakan setengah porsi dari mienya Seno.

Steven, mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengendap-endap ke samping Arto dan mengambil setengah porsi dari mienya Arto. Sekali lagi, Arto terkagetkan akan mienya yang berkurang setengah, dan langsung menuduh Steven karena menurut dia kakak dan adik sama saja kelakuannya. Saat mereka bertiga sedang bertikai, Wahyu menukar mangkuknya dengan mangkuk Steven, menjadi pemenang sejati lantaran mendapatkan satu setengah mie dan sebutir telur.

Begitulah keseharian biasa keempat saudara itu: dipenuhi dengan tawa, canda, dan begitu banyak murka. Mereka tinggal dalam rumah itu dengan damai. Namun, hari itu bukanlah hari biasa.

Ctaar! Ctaar! Ctaar!

Guntur menggelegar tanpa henti di langit. Bunyi itu diikuti dengan teriakan tetangga dan suara ledakan yang menggetarkan jiwa. Derap kaki yang sedang kabur tunggang-langgang di luar rumah mereka mengguncang bumi.

Seno langsung melesat menuju pintu keluar yang ada di ruang tamu. Sedangkan Arto, Steven, dan Wahyu tidak lama kemudian mengikutinya.

Langkah kaki Seno tiba-tiba terhenti di depan pintu. Dia mendongak ke atas, mulutnya terbuka lebar seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya.

"Kenapa lu, Seno," tanya Wahyu, khawatir.

"Itu Mas," Seno menunjuk jam di atas pintu. "Jam 6:00 pas."

Sinar matahari merah menerangi ruangan melalui kisi-kisi jendela di sisi dinding. Lautan gumpalan awan hitam menghalangi matahari untuk mengintip bumi sambil mengeluarkan guntur yang gemuruhnya seakan memecahkan langit. Juga jarum jam yang menunjukkan pukul 6:00 tepat.

Semua itu sama persis dengan mimpi Seno!

Mbeeek

Tiba-tiba pintu itu copot dari engselnya, diikuti dengan suara baut-baut pecah, terdorong oleh sesuatu yang sangat kuat. Daun pintunya terus didorong melewati mulut pintu. Seno yang sedang ada di depannya ikutan terseret, hingga akhirnya dia dengan pintunya menabrak dapur, menghancurkan lemari dan temboknya. Asap dan debu mengepul, menyembunyikan sosok yang menghancurkannya.

Seekor kambing keluar dari debu dan asap. Tingginya melebihi dua meter. Bulu peraknya tebal dan mengkilap dinaungi oleh sinar merah matahari yang mengintip. Tanduknya melingkar, membentuk huruf "O". Satu hal lagi yang sama dengan mimpi Seno!

Entahlah bagaimana nasib Seno, semoga dia baik-baik saja. Beruntung sekali kalau hanya satu atau dua tulang patah. Kambing itu sangat besar, dan apabila tembok bisa hancur berkeping-keping karenanya, apalagi manusia.

Namun, mereka bertiga tidak memiliki kelonggaran untuk memeriksa Seno karena pandangan kambing itu seakan sudah siap untuk menyerang lagi. Kambing itu mengembik sekali, lalu merangsak maju ke arah Wahyu. Untungnya, Wahyu berhasil menghindar dengan berguling ke depan, membuat kambing itu menabrak tembok sampai tanduknya tersangkut, tidak bisa dilepas.

Arto berlari ke arah dapur, tubuhnya lenyap ditutup asap dan debu. Sedangkan Wahyu melesat ke arah Steven yang terdiam ketakutan.

"Jangan diem aja, ayo kita kabur juga!" Wahyu memukul punggung Steven.

"Ga bisa, Mas," kata Steven, suaranya bergetar. "Steven ga bisa gerak."

Seorang pahlawan tidak akan gentar saat menghadapi musuhnya. Bahkan sejak kecil seorang pahlawan sudah berani melawan kejahatan, hatinya teguh dan tidak bisa dihancurkan. Tetapi itu hanya terjadi di film-film saja. Nyatanya, seorang tidak serta-merta menjadi seorang pahlawan, dia harus dilatih dahulu; mereka dibanting, ditempa, dan dibentuk menjadi pedang yang bisa menebas segala rintangan di depannya. Inilah saat yang tepat bagi Steven untuk menempa dirinya menjadi seorang pahlawan!

Sayangnya, kakinya tidak mendengarkan keinginannya. Untuk kali ini, orang lain yang harus menjadi pahlawan.

Tanduk si kambing akhirnya lepas, dan amarahnya meningkat dua kali lipat. Wahyu segera mengambil baut yang lepas dari engsel pintu, kemudian dia melemparkannya ke kambing itu. Baut besi melesat kencang di udara dan menghantam matanya kambing, membuat amarahnya meningkat tiga kali lipat.

Kambing itu mengembik dan meluncur ke arah Wahyu. Kali ini Wahyu tidak sempat menghindar, badannya terkena tanduk kambing itu dan dia terpental ke dekat dapur. Sedangkan kambingnya menabrak tembok dan tersangkut lagi.

Arto keluar dari asap yang masih mengepul di dapur, tangannya menggenggam pisau; bilah pisaunya sudah diasah hingga kilaunya pun ikut tajam.

"Anjir, lu gapapa, cuy?" Arto bertanya, mengulurkan tangannya ke Wahyu.

"Ga tau," kata Wahyu sambil dibantu Arto berdiri. "Antara adrenalin atau emang kekuatan alchemist."

"Kurang ajar lu nyebut nama keren 'alchemist' di depan pengemis," kata Arto sambil tertawa. "Gw punya plan, cuy."

"Spit it out."

"Manusia punya Achilles heels, tendon yang buat gerakin kaki. Kalo itu dipotong, boro-boro jalan, berdiri aja susah."

Achilles heels datang dari legenda pahlawan bernama Achilles. Tubuhnya kebal, membuatnya hebat dalam bertarung di perang Trojan. Namun, satu-satunya kelemahan Achilles adalah bagian kaki yang tepat di atas tumit, atau heels-nya. Pada akhirnya, Achilles meninggal lantaran heels-nya tertembak panah beracun. Kematiannya menunjukkan pada dunia bahwa sekuat apapun seseorang, pasti ada kelemahannya.

"Seharusnya bukan cuma manusia doang yang punya Achilles heels," Arto menoleh ke kambing yang akhirnya berhasil melepas dirinya dari tembok. "Lu yang distract, gw yang potong."

Wahyu menangguk, "oke."

"Takut banget gw, cuy," kata Arto sambil tertawa untuk menutupi gelisahnya, tangannya gemetar. "Tapi gw masih belom mau mati."

Mbeeek

Kambing itu melaju seperti kereta yang menggusur segala rintangan di depannya. Wahyu dan Arto menunggu saat yang tepat untuk menghindar agar bisa menjebak kambingnya dalam tembok lagi.

Lantas, saat yang tepat itu datang, dan mereka berdua langsung menghindar ke arah yang berlawanan. Namun, kambing itu tidak bodoh, dia menurunkan kecepatannya dan hanya tergelincir sesaat di atas ubin granit, tidak tersangkut lagi oleh tembok. Kemudian si kambing mengganti targetnya, dari Wahyu menjadi Arto.

"Holy shit!" Arto berlarian dalam bentuk zig-zag tidak teratur untuk membingungkan si kambing.

Taktik itu berhasil! Kambingnya tidak bisa menyentuh Arto lantaran bingung arah jalannya kemana. Tetapi Arto juga tidak bisa menyerang balik si kambing karena terlalu sibuk berlarian. Mereka sedang perang stamina, dimana yang capek duluan akan kalah. Jika dibiarkan terlalu lama, peperangan itu akan dimenangkan oleh si kambing karena Arto sudah ngos-ngosan dan gerakannya melambat.

"Awas, cuy!" Wahyu berteriak sambil memegang ember penuh air.

Refleks Arto menyuruhnya untuk menghindar, dan dia mengikuti isi hatinya. Setelah Arto sudah menghindar, Wahyu melempar air itu ke ruang tamu, membasahkan lantai granit. Saat kambing itu ingin menurunkan kecepatannya, dia tidak bisa berhenti lantaran lantainya terlalu licin. Granit basah akan sangat licin, apalagi pada rumah baru yang menggunakan granit tipe glossy!

Duak!

Kambing itu tergelincir melewati pintu, dan kepalanya yang tidak terlindungi oleh tanduk menabrak tiang dekorasi di luar rumah. Kambing itu pun sempoyongan, dan akhirnya duduk karena kepalanya terlalu pusing. Sebuah kesempatan yang tidak boleh terlewatkan!

Arto bergegas ke belakang kambing itu dan membacok berkali-kali di tempat yang sama, tepat di lengkungan kaki belakangnya, Achilles heel kambing!

Si kambing pun mengembik kesakitan dan meronta-ronta. Kepalanya diputar-putar seperti baling-baling helikopter. Tanduknya menghancurkan segala yang ada di sekitarnya, dan hampir membentur Arto. Untungnya Arto melangkah ke belakang, berhasil mengelak.

Setelah beberapa saat berlalu, kambing itu berhenti dan mencoba berdiri. Dia berhasil, tetapi kakinya bergetar karena tidak biasa menopang beban badan hanya pada satu kaki.

Wahyu melemparkannya batu kerikil. Dia berusaha mengusik kambing itu sambil menampakkan dirinya sebagai makhluk berbahaya bagi si kambing. Dadanya dibusungkan dan dia sesekali berteriak dalam bahasa yang tidak lazim. Kalau si kambing perhatiannya teralihkan ke Wahyu, Arto bisa memotong satu lagi kakinya, dan mereka akan mengalahkan kambing itu!

Tatapan kambing itu terpaku di Wahyu, bingung harus menyerang atau tidak, kakinya sudah tidak bisa berlari lagi. Arto melesat dengan mata pisau tertuju ke kaki belakang kambing yang masih sehat, mengambil kesempatan emas itu. Mata pisaunya melewati bulu perak tipis kambing, dan menusuk dagingnya sedalam tujuh sentimeter. Kemudian Arto mengerahkan seluruh tenaganya untuk memotong daging kambing dari dalam, pisaunya meluncur membuat sayatan lebar.

Kambing itu mengembik kesakitan lagi. Dia terjatuh dan badannya terhampar di atas rerumputan halaman rumah. Lidahnya keluar, nafasnya ngos-ngosan, dan pandangannya kosong seakan sebentar lagi akan mati.

"Wah… gila," Arto terjatuh, kakinya lemas, dan tangannya belum berhenti gemetar. "There were so many things that could've gone wrong…"

"Yang penting kita selamat," ucap Wahyu.

Pertarungan mereka ditonton oleh Steven yang selama ini masih terpaku di dalam rumah. Pahlawan macam apa yang berdiam diri saat saudaranya sedang mempertaruhkan nyawa? Dia bukan pahlawan, tidak mungkin seorang pahlawan berlaku seperti dia.

Ooooooo!

Kambing itu melolong, kejang-kejang di tanah seakan memakan racun. Mulutnya keluar busa dan matanya berputar ke belakang.

"Apalagi ini?!" Wahyu berseru.

"Susah banget sih dia matinya," gerutu Arto.

Sebuah kesempatan muncul lagi! Steven tidak tahu apa yang terjadi di luar sana, tetapi yang pasti adalah pertarungannya masih berlanjut. Kesempatan ini akan membanting, menempa, dan membentuk Steven, membuatnya menjadi pahlawan—pahlawan kesiangan!

Steven bergegas mencari sesuatu yang bisa digunakannya untuk senjata. Dia meraih sebuah sapu ijuk dan mematahkan ujung sapunya. Terbentuk ujung tajam pada bagian yang dipatahkan, cukup untuk membuat sate kambing. Kemudian dia langsung melesat keluar, hatinya siap untuk membantu kedua kakaknya. Namun, matanya tidak siap. Langkah Steven terhenti lagi lantaran terlalu terkejut.

Kambing itu berdiri hanya dengan kaki depannya saja. Darah mengalir dari rongga-rongga tubuhnya: mulut, mata, telinga, dan hidung. Lidahnya menjulur keluar, panjang sekali hingga menyentuh tanah. Kemudian dia menjerit-jerit tanpa henti. Iblis… kambing itu seperti iblis yang muncul di permukaan bumi.

Oooooooo!

"Kambing apaan suaranya kayak begitu?" Seru Wahyu, sudah siap untuk menghindar lagi.

"Yang jelas ga ada kambing tingginya dua meter," jawab Arto.

Kambing itu merangsak maju, derap kaki depannya diikuti suara kaki belakangnya yang diseret. Arto dan Wahyu tidak sempat menghindar karena kecepatan kambingnya. Kambing itu sangat cepat, jauh lebih cepat dari sebelumnya walaupun dia berlari dengan kaki depan saja!

Arto dan Wahyu tersambar pukulan tanduk kambing. Mereka pun terpental dan bergulingan di atas rumput yang empuk. Wahyu yang mendarat kepala duluan jatuh pingsan, tidak sadarkan diri. Sedangkan Arto yang masih bangun sudah kelelahan. Apakah mereka akan mati di situ? Mati diinjak-injak kambing setan?

Kaki Steven mematung. Tidak peduli berapa kali disuruh untuk maju agar dia bisa membantu kakaknya, kakinya tetap tidak bergeming. Mau bagaimana lagi? Seorang anak SMP tidak mungkin bisa melawan kambing semenyeramkan itu. Reaksi Steven sangat normal, yang tidak normal adalah kedua kakaknya.

Tiba-tiba seseorang merengut sapu tajam Steven dari tangannya. Kemudian orang itu berlari mendekati kambing sambil berteriak, "woi, sini lu kalo berani kambing anjing!"

"Kirain lu udah mati," tawa Arto. "Kelamaan lu tidurnya, Seno!"

Seno berlarian dengan tombak di tangannya, menarik perhatian si kambing. Kambingnya pun berputar arah dan melesat ke arah Seno. Saat mereka berdua mendekat, kambing itu mengayun kencang kepalanya ke bawah, ingin menggepengkan Seno dengan tanduknya. Tetapi sebelum kambing itu mengayunkan kepalanya, Seno sudah menghindar ke samping si kambing, seakan sudah tahu serangannya mau ke mana.

Bum!

Tanah dan rumput pecah melayang-layang di udara, berserakan dimana-mana. Hantaman kambing itu membuat sebuah lubang besar di tanah, sebesar bentangan dua orang dewasa. Kalau Seno tidak menghindar, dia sudah pasti akan menjadi bubur.

Seno mengerahkan tenaganya untuk berlari, ujung tajam tombak buatan Steven mengarah ke mata sang kambing. Momentum larinya Seno berhasil memberikan tenaga yang dapat menembus matanya kambing. Kambingnya itu sekarang buta sebelah!

Kambing itu berteriak kesakitan, memukulkan tanduknya ke segala arah. Seno menghindar dengan handal serangan-serangan tidak beraturan dari kambing itu. Kemudian dia menoleh ke Arto dan berkata, "Mas, buruan sini. Dia udah buta sebelah, sekarang lu yang motong kepalanya!"

"Gila lu!" Arto berteriak. Tidak mungkin dia bisa memotong kepala kambing sebesar itu. Terlebih senjatanya cuma pisau dapur yang sudah tumpul. "Lu aja lah yang motong!"

"Gw ga bisa motong," kata Seno. Dia sudah kabur, kembali ke dalam rumah, mengintip melalui mulut pintu yang menganga. "Trust me, man. Gw udah liat lu motong kepalanya."

"Kepalanya masih nyantol gitu, gimana caranya lu liat gw udah motong," gerutu Arto.

Kambing itu berdiri lagi. Mangsanya tadi menyebalkan, susah sekali untuk dibunuh. Lantas dia memilih mangsa yang akan lebih mudah dibunuh: Arto. Dia berputar dan melaju pesat ke arah Arto!

Arto sudah mengetahui kecepatan kambingnya, jadi dia tidak terkejut lagi. Kemudian dia berhasil menghindar dengan berlarian ke titik buta kambing itu. Lalu, dia menaiki kambingnya melalui bokong kambing yang terseret-seret. Sambil berpegangan ke bulu tebal, Arto memanjat menuju leher kambing.

Saat dia sudah sampai di tengkuknya kambing, dia mulai menusuk-nusuk kambing itu. Tidak peduli manusia atau bukan, leher belakang pasti memiliki bagian vital. Usul Seno untuk memotong kepala kambing itu tidak realistis, mana mungkin bilah pisau dapur bisa memotong kepala kambing? Maka dari itu, Arto menusuknya tanpa henti, berharap kambingnya cepat mati.

Si kambing meronta-ronta, ingin melepaskan Arto dari lehernya. Namun, Arto sudah berpegangan erat dengan bulu peraknya, tidak ada yang bisa melepasnya sampai kambing itu mati.

Kambing itu sebal; mangsanya terlalu lincah dan cerdik. Lantas dia mencari mangsa baru. Mangsa yang mudah untuk diinjak-injak. Mangsa yang tidak bergerak. Mangsa yang tidak menyerang. Pandangannya terkunci ke Wahyu.

"Mas Arto, itu dia mau nyerang Mas Wahyu!" Teriak Seno memperingati.

"Hah?" Arto menengadahkan kepalanya. Betul, kambing itu sudah siap meluncur ke arah Wahyu. Arto langsung menusuk-nusuk lagi dengan cepat, kalau dia gagal maka kakaknya akan mati!

Ooooooo!

Kambing itu meluncur menargetkan Wahyu.

Deru angin menerpa tubuh Arto. Tangan kirinya mempererat genggamannya ke bulu perak kambing. Sedangkan tangan kanannya tidak berhenti menusuk-nusuk. Darah merah muncrat dari setiap luka yang diberikannya, menodai bulu peraknya kambing.

"Jangan ditusuk, tapi dibacok!" Teriak Seno.

"Ga bisa," Arto menebas tengkuk kambing itu. Tetapi bulu kambing yang tebal menghalanginya untuk membuat luka yang signifikan. "Bulunya ketebalan kalo gw bacok!"

Kambingnya sedikit lagi sampai ke Wahyu. Arto tidak berhenti menusuk tengkuknya, mencari-cari saraf di tulang belakang, tetapi pisaunya terlalu pendek untuk mencapainya.

"Ayolah, mati aja lu buruan," kata Arto, bercucuran keringat. Tangannya kecapean, membuat tusukannya menjadi dangkal. "Don't you dare kill my brother."

Seno menggigit jarinya, gelisah. Apakah yang dia lihat di mimpi itu salah? Saat dia tidak sadarkan diri setelah diseruduk oleh kambing, dia bermimpi Arto sedang berdiri di atas kepala kambing yang terpotong. Mungkinkah itu hanya mimpi belaka dan bukan ramalan masa depan?

Arto bergumam, "please, berhenti dong…" Dia sudah tidak kuat lagi untuk mengangkat tangannya. Genggamannya ke bulu kambing mulai melemah.

Tiba-tiba kambing itu berhenti, Wahyu sudah ada di depan matanya. Dia mendongakkan kepalanya, sudah siap untuk menghantam Wahyu dengan tanduknya!

"Mas, itu dia mau ngeremukin Mas Wahyu!" Seno berteriak, menyentak Arto yang hilang harapan.

Arto tidak boleh menyerah. Kakaknya akan mati kalau dia menyerah. Apa kata orang tuanya nanti kalau dia datang dengan mayat kakaknya. Sekali lagi! Dia harus mengerahkan seluruh kekuatannya sekali lagi!

"I beg of you," Arto berteriak, pisaunya diangkat tinggi. Dia akan mempertaruhkan seluruh tenaganya untuk serangan terakhirnya. "Please, just fucking die already!"

Tanpa disadari Arto, bilah pisaunya bergetar dan memancarkan sinar redup, seakan menjawab permintaannya.

Shing!

Arto menurunkan tangannya, menebas leher kambing itu. Bilah pisau memotong lehernya dengan sangat mulus, tanpa resistensi seperti melalui mentega lembek. Walaupun Pisau itu panjangnya tidak lebih dari 20 sentimeter, Arto berhasil memisahkan kepala kambing itu dari badannya!

Kepala kambingnya terjatuh dan terguling di hamparan rumput, darahnya terserap tanah, menjadi kompos yang akan membantu rumput tumbuh subur. Tak lama kemudian, tubuhnya juga ikut jatuh.

Bum!

Arto melompat sedetik sebelum tubuhnya jatuh, dan mendarat dekat dengan kepalanya kambing yang sudah copot. Kemudian dia menaiki kepalanya dan melakukan selebrasi, berteriak sambil berkata, "pengemis juga ada gunanya!"

Seno tertawa-tawa, lega sekali ternyata mimpinya bukan sekedar otaknya berimajinasi. Arto yang sedang selebrasi di atas kepala kambing. Langit-langit yang dipenuhi lautan awan hitam; dibawahnya berterbangan burung-burung besar yang bentangan sayapnya seakan menutupi langit. Tentunya juga kambing yang datang menyerbu tanpa alasan. Semuanya sesuai dengan yang dilihatnya dalam mimpi.

Seno adalah seorang peeper—pengintip masa depan!

"Dikit banget…" Seno memandang sedih tumpukan makanan di depannya.

Delapan bungkus mie instan, seperempat karung beras, dan satu dus air mineral gelas tersusun di atas meja makan. Hanya itulah makanan yang tersisa setelah kambing itu menghancurkan dapur mereka. Menyedihkan sekali, bukannya bersenang-senang setelah memenangkan pertarungan sengit, mereka malah harus berhemat karena stok makanan sedikit.

"Untung kompornya ga ikutan ancur," kata Wahyu.

"Kalo segini doang kita cuma bisa sampe besok," sambung Arto.

"Well, masih ada itu sih," Wahyu menengok ke luar rumah, dimana mayat kambing itu sedang berjemur di bawah terik matahari. "Banyak itu dagingnya."

"Steven mau coba motong," kata Steven. Hanya dialah yang tidak berkontribusi tadi, jadi dia harus inisiatif untuk membantu dalam hal lain.

"Yakin? Kak Seno bantuin deh," kata Seno.

"Udah biarin aja," kata Arto sambil menepuk punggung Seno. "Lu ambil pisau di dapur, gih. Seharusnya masih ada yang lumayan gede."

Lantas Steven ke dapur dan mencari pisau untuk menjagal kambing itu. Dia menemukan sebuah pisau yang mirip dengan pisaunya Arto. Setelah itu, dia melesat keluar dan mulai memotong daging kambing.

Wahyu kebingungan, "emang dia ngerti cara motongnya?"

"Ya enggak lah," jawab Arto. "Tapi emang ada yang bisa motong kambing di sini? Mending dia aja yang motong biar nanti ga rewel."

Misalkan Steven tidak diberikan pekerjaan sama sekali, dia akan menganggap dirinya sebagai beban. Tentunya tidak ada yang mau menjadi beban, jadi dia akan berusaha untuk membantu dalam segala hal. Tetapi setiap orang memiliki peran dan keahlian masing-masing, kalau dia asal-asalan membantu, takutnya malah akan memperburuk keadaan. Lebih baik dia merasa berguna saat tidak diperlukan, dibandingkan merasa tidak berguna saat diperlukan.

"Woi, ngapa si lu?" Arto menunduk, di bawahnya ada Seno yang sedang merintih sambil memegang punggungnya. "Perasaan gw tadi ga kenceng-kenceng amat mukulnya."

"Bentar deh," kata Wahyu. Dia pelan-pelan menarik kerah baju Seno ke belakang. Ternyata punggung Seno dipenuhi lebam ungu yang besar. "Nah kan, ini pas tadi dia diseruduk kambing."

"Damn… sori, sori, gw ga tau," kata Arto sambil membantu Seno berdiri.

"Emangnya kenapa? Punggung gw kenapa?" Seno gelisah saat dua saudaranya bermuka masam. Dia takut punggungnya luka parah.

"Gapapa kok, cuma biru kecil doang. Paling besok… besok lusa…" Arto menatap lebam di punggung Seno untuk sejenak, sebelum berlanjut, "paling minggu depan, atau bulan depan udah sembuh."

"Eh, yang bener aja dong," keluh Seno. "Jangan nakut-nakutin gw gitu."

"Coba sini," Wahyu menekan-nekan rusuk Seno sambil menanyakan ada yang sakit atau tidak. Seno hanya geli saja, tidak ada sakit di rusuknya, menandakan bahwa tulangnya tidak cedera. "Kayaknya dia emang cuma lebam doang deh. Kita perlu daun kemangi, minyak kayu putih, sama air panas buat bikin obat."

"Sejak kapan lu tau cara bikin obat?" Tanya Arto, menaikkan satu alisnya.

"Sejak kapan?" Wahyu berpikir sesaat. "Oh iya, kenapa gw tau, ya?"

Seno menerka, "mungkin karena alchemist?"

"Bukan mungkin lagi," sambung Arto. "Udah pasti itu karena dia alchemist."

Wahyu keluar untuk mencari daun kemangi. Awalnya Seno juga ingin ikut, tetapi Wahyu memaksanya untuk istirahat saja. Sedangkan Arto, sudah pasti dia tidak mau ikut, sudah terlalu banyak kerja katanya.

Sinar matahari menerangkan bumi, awan-awan onar yang menutupinya sudah hilang, pulang dan pergi tanpa diundang. Steven sedang menguliti kambing di bawah terik matahari pagi, rambutnya sedikit kemerahan akibat pantulan sinar. Daging yang sudah dipotongnya tidak beraturan, ada yang sebesar kepalan tangan dan ada yang sekecil jempol kaki. Pada beberapa potongan daging juga ada kulit yang masih tersisa. Berantakan sekali, tapi apa boleh buat? Steven adalah seorang amatir, tidak pernah dia bekerja dengan daging hewan; biasanya makanan yang dia makan sudah siap santap.

Wahyu mendekati Steven dan bertanya, "susah ya? Mau dibantuin ga?"

"Ga usah, Mas," jawab Steven. "Steven bisa sendiri kok."

Wahyu menoleh ke tumpukan daging di sebelah Steven, "Mas minta beberapa ya, buat jadi umpan kalau nanti ada monster."

Wahyu beranjak ke luar rumah, meninggalkan Steven yang sibuk memotong daging sendirian. Dia membuka pagar rumah yang tinggi dan berat. Biasanya dia perlu menggunakan kedua tangan dan otot punggungnya untuk membuka pintu pagar itu, tetapi sekarang cukup hanya dengan satu tangan saja.

"Oh god…" kata Wahyu, tercengang. Jalanan di depan rumahnya penuh dengan bolongan-bolongan kecil, seperti peluru yang ditembakkan dari atas. Cipratan darah merah menodainya, berkaca-kaca di bawah sinar matahari. Puing bangunan berserakan dimana-mana dari rumah tetangga yang hancur lebur. Namun, tidak ada satupun mayat. Semoga saja itu karena mereka berhasil melarikan diri dan bukan sebaliknya.

Wahyu mendongak, menatap awan putih yang melintasi langit, dan menghela nafasnya. Saat dia bertarung dengan kambing besar itu, tetangganya juga sedang mempertaruhkan nyawa mereka. Rasa bersalah meremas hati Wahyu.

Dia telah meninggalkan orang-orang di kelas gelap itu, dan sekarang dia terlalu sibuk bermain dengan kambing hingga tidak sadar bahwa tetangganya butuh bantuan. Tetapi sebagai manusia, dia tidak bisa menyelamatkan semua orang. Wahyu harus memprioritaskan orang-orang terdekatnya terlebih dahulu. Lantas Wahyu langsung mencari-cari daun kemangi, mengesampingkan hatinya yang masih dikekang oleh rasa bersalahnya.

Daun kemangi merupakan tanaman yang tumbuh dalam iklim tropis, seperti iklim Indonesia. Mereka menyukai tempat-tempat yang lembab dan teduh, sehingga dapat ditemukan di pinggir jalan, lapangan, atau ladang yang dinaungi pepohonan. Ada juga yang memelihara daun kemangi sebagai tanaman hias. Karena begitu banyaknya tempat dimana daun kemangi tumbuh, Wahyu bisa mengumpulkannya dengan cepat, sebelum matahari bertengger di atas kepala.

Wahyu menggunakan ember yang ditemukan di rumah tetangganya sebagai wadah untuk daun kemangi dan sekepal daging kambing. Embernya kecilnya sudah hampir penuh, kurang-lebih cukup untuk membuat obat pereda lebam. Wahyu pun berputar balik ke arah rumahnya, ingin pulang. Namun, dia menangkap sebuah sosok dari sudut matanya, membuatnya penasaran dan menoleh.

Sosok itu ternyata adalah seekor anjing. Tingginya sekitar satu meter, bulu coklatnya tipis tak terurus, dan telinganya runcing. Anjing berjenis great dane itu bertatapan mata dengan Wahyu. Seharusnya tatapannya mengintimidasi Wahyu, tetapi yang dirasakan oleh Wahyu hanyalah iba lantaran kondisi anjing itu yang memprihatinkan. Jalannya sempoyongan, matanya lesu, dan rusuknya terlihat jelas di sisi tubuhnya, seperti belum makan berhari-hari.

Maka, sebelum pulang, Wahyu ingin mengurus anjing itu terlebih dahulu. Wahyu mendekatinya pelan-pelan sambil menyodorkan daging kambing, berusaha mendapatkan kepercayaan si anjing. Tentunya anjing itu menggeram saat Wahyu mendekatinya, tetapi setelah beberapa lama, dia berhenti menggeram dan mulai memakan daging yang diberikan Wahyu.

Wahyu senang anjing itu mulai mempercayainya. Dia berlarian kesana-kemari mencari air untuk minum, dan kardus untuk rumah sementara si anjing. Kemudian dia memancing anjing itu untuk berteduh di bawah pohon. Akhirnya si anjing tertidur pulas di bawah naungan pohon rindang dengan tikar kardus.

Sebuah senyuman muncul di bibir Wahyu. Paling tidak dia berhasil menyelamatkan satu nyawa hari itu. Wahyu menyeka dahinya yang berkeringat dan bersiap untuk pulang. Tetapi langkahnya terhenti lantaran munculnya layar di depan matanya.

[ MAIN QUEST!

The world is ending? Nonsense!

I've heard there's something interesting going on in Gelora Bung Karno Stadium. Let's go on a trip, a field trip, a sightseeing field trip, an adventure!

Go to GBK Stadium…0/1 ]