Chereads / Lentera Siang / Chapter 3 - Wisuda

Chapter 3 - Wisuda

Wahyu mendorong Arto ke meja guru, menyuruhnya untuk lekas bersembunyi. Dia pun mulai berjalan mundur sambil memperhatikan kakinya agar tidak membuat suara yang bisa menarik perhatian makhluk itu. Tetapi langkahnya terhenti sebab sebuah lubang baru muncul sangat dekat dengannya.

BUM!

Hembusan angin menerpa Wahyu, debu dan asap memasuki matanya. Dia hampir terpental ke belakang, namun genggamannya ke meja guru cukup kuat hingga dia bisa melawan angin kencang itu.

Wahyu mengucek-ngucek matanya setelah hempasan angin itu mulai reda, ingin mengeluarkan debu yang masuk dan menghalangi pandangannya. Tetapi tiba-tiba dia langsung mematung, tidak bergerak dan tidak bernafas, karena sebuah bunyi yang menciutkan hati.

Wahyu mendengar suara nafas berat dari sesuatu yang besar dan mengerikan di depannya. Suara itu mendekat hingga dia merasakan aliran udara hangat mengelus leher hingga punggungnya. Makhluk tak kasat mata itu sedang mengendus Wahyu!

Dia ingin sekali kabur, tunggang langgang menjauhi makhluk itu. Tetapi kalau dia kabur apa yang akan terjadi dengan adiknya yang barusan dia suruh bersembunyi? Kalau dia kabur—itu pun bila dia berhasil kabur—adiknya akan menjadi target baru makhluk itu, dan menambah jumlah mayat di kelas X IPS-4. Jadi, mau tidak mau, Wahyu memberanikan diri dan menghadapi endusan monster itu, kakinya tertanam erat ke lantai, tidak akan bergerak sekalipun badai datang. Tidak apa-apa kalau monster itu membunuhnya, asal Arto selamat pasti yang lain bisa keluar dari tempat ini!

Tuk… tuk… tuk

Bunyi batu kecil yang jatuh di belakang kelas menyentak makhluk itu, mengalihkan perhatiannya. Makhluk itu menukik ke belakang kelas, meninggalkan Wahyu dan Arto.

Wahyu bernafas kembali setelah makhluk itu menjauhinya. Kakinya melemas, ingin jatuh dan beristirahat setelah bertatapan muka dengan kematian. Tetapi Wahyu menahan dirinya; dia dan Arto masih ada di dalam mulut singa, dan mereka hanya bisa beristirahat jika sudah keluar dari kelas itu.

Arto, barusan keluar dari bawah meja guru untuk melempar batu ke belakang kelas, menepuk pelan punggung Wahyu. Dia menangkupkan tangannya pada kuping Wahyu dan berbisik, "ayo kita keluar mumpung dia masih sibuk di belakang."

Wahyu mengangguk, setuju bahwa ini adalah waktu yang paling tepat untuk keluar. Tidak ada yang tahu bagaimana reaksi makhluk itu saat dia menyadari bahwa di belakang kelas tidak ada apa-apa. Bisa jadi monster itu akan mengamuk, atau bisa jadi monster itu akan pergi begitu saja.

Lantas Wahyu dan Arto mengendap-endap keluar kelas. Tatapan mereka fokus ke lantai, menghindari segala macam kepingan, serpihan, dan bongkahan yang bisa menghasilkan suara selagi makhluk itu masih sibuk di belakang kelas. Sesekali ada dentuman yang diikuti dengan deru angin kencang, tetapi karena berasal jauh di belakang kelas, mereka berdua hanya merasakan angin lewatnya saja. Wahyu dan Arto terus mengambil langkah demi langkah hingga akhirnya lubang besar menganga itu berdiri di depan mereka.

Arto menarik napas lega, tubuhnya lemas berkeringat. Cukup satu langkah lagi dan dia akan keluar dari teror makhluk tidak kasat mata itu. Dia menoleh ke belakang, ingin memastikan Wahyu masih mengikutinya.

Wajah Wahyu pucat pasi, dan tangannya yang bergetar membungkam mulutnya sendiri. Matanya terbelalak memandang ke belakang kelas. Wahyu akan mengira ini mimpi kalau saja jantungnya tidak berdebar kencang seakan ingin kabur dari dadanya.

Arto mengikuti pandangan Wahyu, dan hampir terjatuh lantaran terkejut dengan apa yang disaksikannya.

Dua mayat di belakang kelas itu melayang, anggota tubuhnya yang berayun-ayun seperti boneka wayang tanpa dalangnya mengundang rasa ngeri. Kepala kedua mayat itu diam di tempat, mengambang di udara seperti sedang digenggam oleh belalai tak kasat mata.

Tiba-tiba, tangan dari salah satu mayat itu hilang, kemudian diikuti dengan bunyi tajam dikunyahnya tulang belulang. Kernyau daging dan tulang yang sedang dikunyah oleh makhluk tak kasat mata itu menggema di dalam kelas. Suara gilasan antar tulang dengan tulang menikam kuping, ngilu sekali, terlebih karena korban yang dimakan makhluk itu berupa manusia.

Makhluk tak kasat mata itu terus menikmati kedua mayat itu. Organ tubuh dari mayat itu hilang satu-persatu, mulai dari tangan, kaki, badan, hingga kepala, sampai akhirnya hilang ditelan oleh makhluk tersebut.

Plafon triplek di atap kelas terdorong oleh sesuatu yang terus membesar. Mulai muncul retakan-retakan baru di lantai; pusat dari retakan baru itu berasal dari belakang kelas. Setiap makhluk itu mengambil dan mengunyah makanannya hingga habis, retakan terus bertambah dan celah antar retakan semakin lebar. Ternyata makhluk itu membesar sampai kelas pun tidak dapat menampungnya lagi!

Nafas Arto tersengal, keringat dingin mengucur dari dahinya, dan tubuhnya terasa kaku. Adegan yang hanya ada di film horor sedang terjadi tepat di depan matanya. Dia harus kabur dari kelas itu secepat mungkin!

Lantas Arto bergegas menggenggam tangan Wahyu dan kabur dari kelas itu, tidak peduli tiap langkahnya berisik atau tidak. Dia berlari secepat mungkin, detak jantungnya sudah tidak karu-karuan. Arto tidak tahu dia sedang menggiring, membawa, atau menyeret Wahyu yang digenggamnya lantaran terlalu takut untuk menengok ke belakang. Nyawa mereka bergantung pada keberuntungan dan kelalaian monster itu untuk mengejar, kondisi Wahyu tidak terlalu penting baginya.

Sampailah mereka di kelas X IPS-3. Arto segera menyuruh yang lain mencari tempat persembunyian masing-masing. Seno lekas mencari tempat persembunyian sambil mengajak adiknya yang masih linglung karena baru saja bangun dari pingsannya. Dian dan Adi membopong Samson dan membawanya ke sudut kelas, dimana mereka akan bersembunyi bersama Rani. Wahyu langsung meluncur ke sisi Lani dan membantu untuk memindahkan Rama ke tempat yang lebih aman. Sedangkan Arto, dia sendirian ke tempat yang paling jauh dari pintu masuk. Mereka pun berdiam diri, berharap dalam hati agar makhluk itu pergi secepatnya. Di dalam kelas sekarang hanya terisikan suara sibuknya makhluk itu mengunyah.

Beberapa menit kemudian, suara mengunyah itu berhenti, dan digantikan dengan gemuruh yang menggetarkan lantai. Dentuman yang amat familiar kembali lagi, namun sekarang ditemani dengan suara seretan bak guntur yang menggelegar. Meja dan kursi yang ada di kelas berguncang hebat seperti sedang terjadi gempa. Jendela dan dinding bergoyang, hampir roboh. Timbul retakan pada kaca yang melekat ke jendela, bahkan beberapa sudah ada yang pecah, tidak kuat menahan getaran itu.

Para penghuni kelas hanya bisa menunggu gemuruh itu. Beberapa dari mereka memandang Arto, berharap dia memiliki rencana yang dapat menyelamatkan mereka semua. Tetapi Arto tidak berkutik; dia tetap diam bersembunyi sambil menunggu makhluk itu pergi. Lagipula apa yang bisa dilakukannya untuk melawan makhluk tak kasat mata itu? Arto hanyalah manusia biasa, sama dengan yang lain.

Lima menit mereka menunggu, akhirnya getaran dan suara-suara itu berhenti, dan kelas kembali hening hingga helaan napas panjang dari mereka yang bersembunyi dapat didengar. Mereka pun satu per satu mulai keluar dari persembunyiannya, memandang satu sama lain, bersyukur masih hidup sampai sekarang. Semuanya kecuali Lina.

"Eh, kamu kenapa?" Dian bertanya ke Lina dengan nada khawatir. Lina sedang berjongkok di pojokan, tangannya menutup kedua daun telinganya, dan nafasnya terengah-engah. Mata Lina terbuka lebar, tidak fokus, sedang memutar ulang ingatan-ingatan yang dia sudah kubur dalam-dalam. Lina sedang mengalami panic attack.

"Ayo, tarik napas dalam-dalam, Lina." Dian memandu Lina untuk fokus terhadap pernapasannya. Dian menggenggam tangan Lina dengan penuh perhatian; Lina terus dipandu olehnya hingga akhirnya napasnya kembali normal. "Kamu kenapa tiba-tiba panic attack?"

Lina diam seribu bahasa, mulutnya buka tutup ingin berkata, tetapi hatinya tidak kuat untuk mengutarakan apa yang dia alami di X IPS-1.

Wahyu membuka mulutnya, "mungkin pas di X IPS-1, temannya Lina—"

"Ga mungkin ada yang ga takut kalau tiba-tiba ada monster gede begitu, mba." Arto dengan sengaja memotong kata-kata Wahyu. "Mangkanya kita harus buru-buru keluar dari sini biar bisa balik ke rumah masing-masing," kata Arto sebelum menoleh ke Wahyu sambil menekankan jari telunjuk ke mulutnya, berisyarat agar Wahyu tidak membahas temannya Lina lagi.

Kedua adik Dian berakhir di dalam perut makhluk itu. Teman Lina yang datang ke kelas X IPS-1 juga sudah tiada, dan berdasarkan ekspresi Lina saat dia bercerita, kematian dari temannya itu cukup mengerikan. Satu-satunya "musuh" yang mereka hadapi hanyalah makhluk itu. Jadi dapat dianggap bahwa nasib teman Lina dan kedua adiknya berakhir di tangan makhluk itu, menjadi makanan yang membuat makhluk itu membesar.

Tetapi yang menyaksikan kejadian itu hanya Lina, Wahyu, dan Arto. Selain mereka bertiga, tidak ada yang menyangka bahwa suara-suara itu adalah suara makhluk itu sedang mengunyah keluarga dan temannya sendiri. Apabila Dian dan Adi tahu saudara kandungnya sedang dicabik-cabik oleh gigi makhluk keparat itu, api harapan mereka akan langsung hangus, diguyur oleh air kenyataan yang lebih kejam daripada fiksi. Jadi lebih baik mereka diam dan merahasiakannya, setidaknya sampai mereka keluar dari tempat itu.

"Mas, ini Steven dapet pas tadi ke kelas X IPS-1," kata Steven sambil memberi benda hitam berbentuk balok dengan lubang kotak di tengahnya ke Arto.

"Nih," Seno melempar benda hitam juga ke Arto, kali ini benda itu berbentuk tabung. "Itu dari kelas ini, mba Rani yang nemuin."

"Asik, dah kekumpul empat," kata Arto, memegang empat benda hitam pekat berupa bola, tabung, piramida, dan balok. "Terus ini diapain?"

"Mungkin jadi senjata?" Kata Seno.

"Oh iya boleh," Arto menyerahkan bola hitam itu ke Seno dengan senyum mengejek. "Sono gih bunuh monsternya pake itu."

"Gimana kalo lu aja yang gw bunuh?"

"Udah ah, kalian berdua kalau mau berantem nanti aja pas udah keluar dari sini," kata Wahyu, memotong cekcok mereka.

Selagi Arto, Seno, Wahyu, dan Steven sedang berdebat seperti biasanya, sepasang mata yang tertidur sejak lama di sudut ruangan akhirnya terbuka. Semuanya begitu familiar baginya, mulai dari plafon yang melindunginya dari hujan, papan tulis kuno yang harus dibersihkan setiap dia pulang sekolah, hingga ubin dingin yang sering digunakannya sebagai alas untuk tidur saat tidak ada guru di kelas. Pria itu membuka mulutnya dan berkata dengan suara tipis, "aku balik ke kelas?"

"Rama? Rama, sayang, kamu bangun?" Lina memanggil-manggil kekasihnya, suaranya serak terhalang tangisan lega yang terus mengalir di pipinya.

"Lina, kita dimana?" Rama celingak-celinguk memperhatikan ruangan. "Kita di kelas ku? Banjirnya udah surut?"

"Aku ga tau kita dimana, sayang." Lina mendekapkan kepala Rama, "tapi gapapa, itu kakak-kakak di sana lagi nyari tau gimana cara kita bisa keluar dari sini."

Rama duduk tegak, meregang punggungnya yang kaku, "kayaknya kita di kelas ku deh, coba aku mau cek." Namun saat dia hendak berdiri, kakinya tidak berkutik. Rama menunduk, mulutnya terbuka lebar saat kakinya masuk ke pandangan dia. "Kaki ku kenapa, Lina?!"

"Jangan diliatin, sayang," Lina menutup mata Rama. "Pasti bisa sembuh kok. Nanti kalau udah keluar dari sini, papa ku bisa cariin dokter paling bagus buat kamu." Lina mengelus-elus rambut Rama yang halus.

"Aneh, kok ga sakit ya?" Kata Rama sambil tertawa untuk menutupi kegugupannya. Sebenarnya memang tidak sakit, mungkin karena adrenalin atau alasan lain. Tetapi itu berupa keberuntungan, karena kalau saja Rama kesakitan, tangisannya akan mengundang makhluk itu untuk kembali. Rama menarik napas dalam-dalam, menenangkan hatinya, sebelum bertanya, "Lina, kira-kira kapan tim SAR datang ya?"

Lina menunduk, terdiam, tidak berani menjawab. Lina menatap Rama, menggenggam erat tangannya, dan berkata, "Rama, dengerin aku dulu dan jangan tanya-tanya sampai aku selesai ya." Lantas Lina mulai bercerita, dari awal dia membopong Rama sendirian hingga menemui manusia tak berperikemanusiaan bernama Arto, sampai Rama terbangun dari tidurnya.

"Riddle? Monster? Kita tenggelam terus masuk ke dunia lain? Ga masuk akal, Lina." Rama memijat pelipisnya, masih tidak percaya ceritanya Lina. "Terus kaki ku jadi begini gara-gara kelindes monster itu? Ga mungkin, kalo iya monsternya pasti berat banget, lebih berat dari mobil komersial. Misalkan iya dia lebih berat, terus kenapa satu lantai ini ga roboh?"

Lina mengangguk-angguk, "beneran, Rama. Emang dari tadi ga ada yang masuk akal. Kalau ga percaya tanya aja mereka." Lina menunjuk ke empat saudara itu yang masih sibuk sendiri dengan puzzle yang ditemukannya.

"Fuck, buat apa lu gituin?" Arto menggerutu, sebal akan kreasi Seno.

"Buat apa?" Seno tersenyum bangga. Karyanya berupa empat benda hitam ditumpuk menjadi struktur kacau, sangat cocok untuk melambangkan orang tidak berotak seperti Seno. Mungkin itu kenapa dia sangat bangga dengan karyanya yang acak-acakan. "Lu ga ngerti aja karya seni gw, mas. Emang otak gw tuh di atas rata-rata."

Amarah Arto sudah terkumpul di lehernya, hanya tinggal membuka mulut maka semua umpatan akan keluar, tetapi itu buang-buang energi. Keluar dari tempat itu lebih penting dibandingkan menegur makhluk tak berotak. Arto menoleh ke kakaknya, "cuy, ada ide ga?"

"Kenapa ga piramidanya dimasukin ke lubang kotak?" Wahyu mengambil piramida dan balok itu. Memang kalau disandingkan antara piramida dan lubang di balok, dua benda itu sepertinya bisa disatukan.

Arto mencibir, "ah masa iya segampang itu?"

"Ya, ga ada salahnya coba-coba." Wahyu memasukkan piramida itu ke dalam lobang yang ada di balok; piramidanya pun masuk dengan mulus, seperti puzzle yang sangat cocok.

Tiba-tiba balok itu memancarkan sinar terang benderang yang membutakan. Permukaan balok itu memanas seperti teko di atas kompor. Wahyu melempar balok itu, terkejut atas panas dan cahaya yang muncul. Balok itu meluncur, melambung di udara, dan jatuh dekat Rama. Kemudian balok itu meleleh, menjadi cairan metal panas yang bergerak-gerak. Setelah cairan itu menggeliat, meregang, dan menyusut seperti makhluk hidup mencari bentuk aslinya, terbentuklah sebuah botol minum.

Botol minuman itu memiliki mulut seperti mulut botol gelas, sedangkan badannya gendut seperti labu dengan logo di tengahnya. Logonya menunjukkan pulau kalimantan ditindih oleh gajah yang sedang berdiri di kaki belakangnya. Belalai gajah itu menyemburkan air yang terkumpul di kakinya, membuat sebuah danau, dimana di atas danau tersebut ditanamkan tanaman padi yang sudah siap untuk dipanen.

"Mampus mata gw buta dah," kata Arto sambil menutup matanya yang nyut-nyutan setelah dibombardir sinar.

"Mata gw juga, anjir." Seno mengucek-ngucek matanya. "Ngobrol-ngobrol dulu dong kalo mau lempar flashbang, mas Wahyu."

Wahyu yang sedang memijat matanya berkata, "Mana gw tau itu bakal begitu."

"'Itu bakal begitu' maksudnya gimana, mas?" Steven sedang berselonjor sambil menutup mata tertawa. "Terus sekarang baloknya dimana?"

Mereka mulai meraba-raba lantai, tetapi balok yang sudah berubah menjadi botol itu berada jauh dari mereka, tepatnya di sisi Rama. Rama, tidak terbutakan karena dia sempat melindungi matanya, mengulurkan tangannya, mengambil botol berlogo gajah itu. Dia mulai memeriksa logo gajah itu. Rama memijat dahi diantara alisnya, memikirkan kenapa logo itu sangat familiar baginya.

Hingga dia mendadak menjentikkan jarinya dan berkata, "Ini tentang dongeng 'Si Panggebum Pembuat Gunung,' pantesan kayak pernah liat."

"Eh, siapa yang ngomong tuh?" Arto celingak-celinguk, matanya masih tertutup rapat. Suara barusan asing baginya.

"Aku kak, yang dari tadi tidur," Rama tertawa kecil. "Sebelumnya, terimakasih ya kak udah ngerawat aku."

"Oh, iya sama-sama," Arto mengangguk, menerima terima kasihnya walaupun bukan dia yang merawat. "Tadi kamu bilang apa? Dongeng 'Si apa Pengkubur Gudang'?"

"Dongeng 'Si Panggebum Pembuat Gunung,'" sambung Wahyu, sedikit jengkel dengan adiknya mendapatkan kredit walaupun dia yang susah payah merawat Rama.

"Nah iya, itu," Arto mengangguk-angguk, sedikit antusias mendapatkan petunjuk baru. "Coba ceritain dongeng itu."

*****

Konon, di pegunungan Kalimantan, terdapat pedesaan yang makmur. Di samping desa itu ada danau yang sangat luas, warnanya biru, dan kilaunya tidak kalah dari berlian. Dikelilingi oleh pegunungan tinggi, desa itu tersembunyi, membuat penduduk desa terhindar dari peperangan, penjajahan, dan konflik duniawi.

Mereka hidup bersandingan, semua orang kenal satu sama lain, dan tidak ada yang pernah meratap kelaparan, kehausan, atau kesakitan. Padi dan sayur-mayur yang mereka tanam cukup untuk memberi makan semua mulut warga, dari bayi hingga tua. Danau mereka bersih, bisa untuk diminum dan memancing ikan-ikan gendut. Pohon dan tanaman liar yang tumbuh dapat digunakan untuk obat-obatan tradisional, bahkan dikatakan warga paling tua di desa itu mencapai 200 tahun akibat mengikuti tradisi meminum racikan dari tanaman-tanaman itu.

Namun, setelah ratusan, atau mungkin ribuan tahun hidup dalam isolasi, mereka tidak pernah berkelana keluar dari pegunungan itu. Awalnya mereka takut akan dunia luar yang sangat luas dan penuh dengan keegoisan manusia. Tetapi, lama-kelamaan ketakutan itu berubah menjadi superioritas. Muncul kepercayaan bahwa mereka adalah sebuah suku pilihan dan berdiri di atas manusia luar yang biadab, buas, dan kotor. Oleh karena itu, berkelana keluar menjadi sebuah taboo yang sangat dibenci.

Lantas, apa yang akan terjadi apabila ada seorang yang datang ke desa mereka?

Pada suatu hari, seorang pria muncul dari hutan belukar yang mengitari desa itu dengan penampilan lusuh. Pria itu sedang menggendong ibunya yang sudah tua, di sebelahnya ada istri dan anak perempuannya. Dia berteriak-teriak di tengah desa, mencari perhatian agar kepala desa mau berkomunikasi dengannya. Dan usahanya pun berbuah hasil lantaran kepala desa datang menyamperi.

"Wahai orang-orang dermawan, bolehkah aku meminta obat untuk ibuku yang sakit? Kasihani ibuku, dia sudah berbulan-bulan sakit setelah kami diusir dari rumah kami oleh para penjajah." Kata pria itu sambil bersujud.

"Tidak, obat kami terlalu suci untuk kalian yang kotor!" Kepala desa menendang pria itu satu kali dan mengusirnya kembali ke hutan.

Namun, esok harinya pria itu kembali berteriak-teriak di tengah desa, sekarang dia menggendong istrinya yang tidak sadarkan diri, anak perempuannya sedang berdiri lemas di sebelahnya.

"Wahai orang-orang dermawan, bolehkah aku meminta sebutir padi untuk istriku? Kasihanilah istriku, dia belum makan apapun setelah kami dikejar oleh penjajah." Kata pria itu, sekali lagi dia bersujud, memohon dengan hatinya yang paling dalam.

"Tidak, padi kami bukan untuk memberi makan mulut-mulut orang biadab seperti kalian yang selalu mengujar kebencian!" Kepala desa menendang pria itu dua kali dan mengusirnya kembali ke hutan.

Keesokan harinya, pria itu kembali berteriak di tengah desa. Namun sekarang dia hanya menggendong anak perempuannya yang lemas, istri dan ibunya sudah tiada.

"Wahai orang-orang dermawan, bolehkah aku meminta setetes air dari danau kalian yang melimpah untuk anakku? Kasihanilah anakku, dia belum minum sedikitpun setelah kami mengungsi di hutan."

"Tidak, air danau kami bukan untuk kaum buas seperti kalian yang selalu menggunakan kekerasan!" Kepala desa menendang pria itu tiga kali dan mengusirnya kembali ke hutan.

Kemudian, sekali lagi, dia datang pada keesokan harinya, tidak ada siapa-siapa disampingnya. Dia menjerit-jerit di tengah desa, segala macam umpatan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya.

"Wahai orang-orang keparat, kalian sudah membunuh keluarga ku, tidak sekalian saja membunuhku juga?!"

"Tidak, kami tidak mau mencemari tanah kami dengan kebusukanmu!" Kepala desa menendang pria itu empat kali dan mengusirnya selama-lamanya dari desa itu.

Lantas pria itu pergi, tanpa sanak-saudara, sendiri menelusuri hutan rimba. Tetapi mulutnya tidak berhenti mengeluarkan kata-kata umpatan, dan dia bersumpah akan kembali lagi untuk membalaskan dendamnya.

Warga desa itu kembali ke kehidupan sehari-hari mereka setelah pria itu pergi. Tidak ada lagi yang teriak-teriak, tidak ada lagi yang meminta-minta, dan tidak ada lagi yang mengotori kesucian desa mereka. Cerita tentang pria itu menjadi topik hangat untuk beberapa hari, sebelum mereka melupakannya dan menganggapnya sebagai keonaran manusia luar. Ketentraman tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, setelah lebih dari puluhan tahun berlalu, tiba-tiba desa itu diusik oleh gemuruh hentakan kaki-kaki yang sangat dahsyat.

Tanpa mereka sadari, di puncak pegunungan yang mengelilingi desa itu sudah ditempati oleh pasukan gajah yang tingginya mencapai puluhan meter. Begitu banyak gajah mengelilingi mereka dari ujung ke ujung, tidak ada celah sedikitpun antara pasukan gajah itu, seperti tembok besar dan tinggi yang mengurung para penduduk desa.

Ada satu gajah yang paling besar dan gagah dibandingkan dengan yang lainnya. Tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari gajah-gajah lainnya, dan setiap belainya bergerak, angin menghempas begitu kencang, mengeluarkan suara menggelegar layaknya pecut. Gajah itu mengenakan baju zirah yang dihiasi dengan permata warna-warni, dan di atasnya berdiri seorang pria gagah; pria yang sangat familiar di mata kepala desa.

Betul, pria itu kembali untuk membalas apa yang rakyat desa itu berikan ke dia!

Secara serentak gajah-gajah itu lompat dari puncak, terjun bebas menghantam tanah.

BUM!

Bunyi meledaknya tanah yang diremuk oleh gajah-gajah itu menggelegar, seperti berton-ton bom meledak bersamaan. Pepohonan tumbang, tanaman-tanaman hancur, dan tanah yang subur itu hilang menjadi debu yang mengepul. Konon, saking kencangnya suara itu, seluruh penduduk dunia dapat mendengar dentuman hebat yang disertakan dengan lolongan pilu para gajah.

Kepala desa berlarian tunggang-langgang menghindari serpihan kayu, batu, dan tanah untuk menemui pria itu. Saat dia sudah dekat dengan gajah besar itu, dengan baju lusuh dan muka kotor lantaran tidak bisa menghindari semuanya yang meluncur ke arah dia, kepala desa itu berkata, "Manusia luar keparat, keluar dari tempat ini dan jangan pernah kembali lagi!"

Pria itu menjawab tanpa merubah ekspresi datarnya, "Tidak, obat dari tanaman-tanaman ini terlalu suci untuk kalian yang kotor, lusuh, dan tidak tahu bagaimana cara menerima tamu."

BUM! BUM!

Gajah-gajah itu mulai berjalan melalui padang padi, sesuai arahan pria itu. Padang padi yang membentang luas itu sekarang hancur diinjak-injak. Hilang sudah sumber makanan mereka.

"Manusia hina, jangan hancurkan padi kami, dan cepat pergi dari tempat ini!" Kepala desa berseru.

"Tidak, padi ini bukan untuk memberi makan mulut kalian yang hanya bisa mengujar kebencian."

Pasukan gajah itu lanjut berjalan, sekarang mereka berbondong-bondong mengitari danau. Para penduduk desa mulai menyerang gajahnya satu per satu, takut kalau dibiarkan saja maka sumber air mereka juga akan hilang. Beberapa gajah tumbang, tetapi satu atau dua gajah yang mati tidak akan berpengaruh pada pasukan yang jumlahnya ratusan, ribuan, hingga ratus ribuan itu.

"Manusia luar, tolong hentikan ini, jika danau kami hilang maka desa kita akan hancur!"

"Tidak, air di danau ini bukan untuk memuaskan dahaga manusia buas seperti kalian yang membunuh keluarga ku."

BUM! BUM! BUM!

Air danau bergoyang mengikuti ritme hentakan kaki ratusan ribu gajah yang mengitarinya. Tercipta sebuah tsunami yang mengomban-ambingkan penghuni danau tersebut, membunuh ekosistem yang sudah hidup selama ribuan tahun. Kemudian para gajah menurunkan belalainya, dan menghisap habis air danau sampai tetes terakhirnya, hanya menyisakan bangkai ikan dan tanaman air yang sudah hancur dihantam tsunami.

Kepala desa, bersama dengan seluruh penduduk desa, bersujud di depan pria itu, "wahai orang dermawan, maafkanlah kami. Tolong berikan kami kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kami. Kami berjanji akan berkelana ke dunia luar dan berbuat kebaikan untuk menghapus dosa-dosa kami."

"Tidak, aku tidak mau mengotori tanah di luar sana dengan kebusukan orang-orang arogan seperti kalian."

Pria itu menyuruh gajahnya untuk berputar arah, kembali menuju ke puncak gunung. Sesampainya di puncak, pria itu melemparkan sebuah tas kecil ke kepala desa dan berkata, "itu adalah kemurahan hati ku, sesuatu yang kalian tidak berikan kepada ibu, istri, dan anakku."

BUM! BUM! BUM! BUM!

Para gajah mulai menginjak-injak puncak pegunungan. Gajah-gajah itu tidak menghentikan kakinya hingga pegunungan yang tinggi dan megah berangsur-angsur menjadi datar. Tanah, batu, dan segala macam benda terpental ke langit, sebelum semuanya jatuh, menumpuk, dan membentuk sebuah gunung baru yang tingginya mencapai awan. Konon, saking hebatnya proses pembuatan gunung itu, pesisir pulau kalimantan tenggelam beberapa meter.

Di tengah gunung baru itu terdapat gua yang amat sangat besar, tempat dimana pria itu mengurung para penduduk desa dalam kegelapan untuk selama-lamanya. Sang kepala desa membuka tas yang diberikan pria itu kepadanya. Tas itu hanya berisikan tiga barang.

Sehelai daun, sebutir padi, dan setetes air.

*****

"Dongeng macam apa itu?" Tanya Seno sambil menganga kebingungan. "Masa iya cerita kayak gitu buat anak kecil? Terlalu…"

"Terlalu dark," sambung Arto.

"Iya itu," Seno mengangguk.

"Aku ga pernah denger cerita itu," kata Dian. "Ga mungkin juga aku lupa kalau ceritanya seseram itu."

"Aku… aku pernah denger," Rani mengangkat tangannya seakan sedang presentasi di sekolah. "Suami ku pernah cerita sekali ke aku, tapi kalau ga salah ceritanya beda."

"Bedanya dimana?" Rama bertanya dengan muka yang serius seperti sedang mengerjakan puzzle.

"Aku lupa," Rani mengelus rambut suaminya yang masih tak sadarkan diri. "Mungkin nanti kita bisa tanya ke suamiku kalau dia sudah bangun," kata Rani sambil tersenyum tanggung.

"Terus hubungannya sama botol ini apa?" Arto meraba-raba logo botolnya. Mungkin harus memasukkan padi, air, dan daun ke dalam botolnya? Tapi bagaimana caranya mendapatkan padi, air, dan daun di tempat itu?

"Mungkin harus masukkin air, kak." Rama meminta botolnya, dan dia menunjuk ke gambar gajah di logo botol itu. "Liat tuh, dia nyemburin air kan? Lagian juga ini botol minum, pastinya buat nampung air, bukan makanan." Rama menepuk tangan Lina yang ada di genggamannya, "Lina, coba cek laci paling bawah meja guru deh. Kalau benar ini kelasku, seharusnya kayu di ujung lacinya bisa dibuka."

"Emang ada apa di situ?" Tanya Lina sambil berdiri, ingin mengecek laci meja guru.

"Ya… pokoknya ada air di situ."

Lina membuka laci paling bawah dan mulai merogoh dengan tangannya. Bagian dalam laci itu ada kayu yang tipis, dan jika diketuk maka akan keluar suara kopong. Lina mulai mendorong pelan-pelan, dan akhirnya kayu tipis itu jatuh dengan bunyi tuk. Lina meraih benda yang tersembunyi di balik kayu tipis itu dan mengeluarkannya.

"Ngapain kalian nyembunyiin pistol air?" Tanya Lina kebingungan; tangannya memegang pistol air dengan ukuran sebesar lengannya.

"Berarti bener kita ada di kelasku," kata Rama sambil tertawa kecil. "Kelasku sering kosong, guru-guru lebih seneng ngerokok daripada ngajar. Jadi kita biasanya disuruh buat belajar sendiri." Rama tersenyum mengingat kelakuan teman-teman kelasnya, tetapi dia tidak lupa akan kegunaan pistol air itu. Tangannya pelan-pelan melepas wadah air lonjong pistol air itu, berhati-hati agar tidak menumpahkan setetes pun. "Akhirnya karena kita bosen, kita bikin game. Tapi karena pistolnya cuma satu, kita ga bisa main perang-perangan. Akhirnya kita bikin game tembak air ke mulut. Kita harus minum air yang ditembak, dan yang paling basah karena gagal minum kena hukuman." Setelah wadahnya sudah lepas, Rama menuangkan seluruh airnya ke dalam botol berlogo itu. Jumlah airnya sangat pas hingga air itu membentuk lengkungan di permukaan mulut botol akibat tegangan permukaan. "Aku waktu itu kalah, terus dihukum harus bikin plat kelas X IPS-3 yang dicantol di luar itu. Pas banget karena sekelas males ngukir-ngukir, akhirnya aku deh yang terpaksa bikin."

Rama meletakkan botolnya pelan-pelan. Karena botol sudah penuh dengan air, sekarang tinggal menunggu agar sesuatu terjadi. Mungkin botol itu akan berubah menjadi pintu, atau mungkin alat-alat lain yang bisa membawa mereka keluar dari tempat itu.

Mereka semua termenung, berharap bisa cepat keluar dari situ, tetapi…

"Kayaknya gagal ya? Udah lama kita nungguin tapi ga ada apa-apa," kata Steven.

"Mungkin bukan air yang harus dimasukkin," kata Rama dengan nada kecewa; dia mengembalikan airnya ke dalam wadah untuk pistol air.

"Atau mungkin cairan selain air," Seno mengalihkan pandanganya ke Arto. "Mas, coba kencing lu masukin botol itu."

Arto menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepuk belakang kepala Seno. Dia mencubit kecil bibir bawahnya sambil berpikir apa maksud dari botol itu, juga apa signifikansi dongeng yang barusan diceritakan Rama.

"Ada sih cairan lain," kata Wahyu, pernyataannya membuat semua pandangan tertuju ke dia. "Di kelas sebelah, IPS-4, ada kubangan itu kan?"

"Shit," kata Arto, setengah tertawa. Semua pandangan sekarang berpindah ke Arto, kemudian dia menunjuk papan tulis.

Sejak kemunculan makhluk itu, mereka semua fokus untuk bertahan hidup dan bersembunyi. Beberapa ada yang berlari, ada yang pingsan, dan ada yang merawat. Setiap orang memiliki kesibukan masing-masing, sampai mereka tidak memperhatikan keadaan sekitar.

Terdapat tiga kalimat baru di papan tulis itu:

Temukanlah aku yang tertimbun waktu.

Lalu, Berikanlah yang pantas untuknya.

Dan susul kami menelusuri muara.

Tuk menemui mereka yang membuka pintu.

"Well, kita balik lagi kesini," kata Arto sebelum dia menghela nafas panjang. Dia sedang berdiri di depan kubangan darah yang sekarang dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

"Yaudahlah, paling kita bentar lagi bisa balik ke rumah," sambung Seno.

"Ini kita celupin aja?" Tanya Wahyu yang memegang botol berlogo itu.

"Monsternya gede banget ya," kata Steven, celingak-celinguk di dalam kelas. "Untung tadi Steven belum bangun…"

Sudah tidak tersisa lagi barang-barang yang menunjukkan bahwa ruangan itu berupa kelas sebelumnya. Meja dan kursi sekarang hanya berupa serpihan kayu yang berserakan dimana-mana. Langit-langit dan lantai tergerus oleh sesuatu yang besar dan melata, meninggalkan jejak seperti ular. Tentunya juga ada lubang jejak makhluk itu yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

Mereka berempat diutus untuk memecahkan teka-teki baru yang muncul di papan tulis. Memang sedikit tidak adil selalu menyerahkan tugas-tugas sulit kepada empat bersaudara itu, tetapi siapa lagi kalau bukan mereka? Selain mereka hanya ada ibu hamil, dua perempuan kecil, orang tanpa kaki, orang tak sadarkan diri, dan penakut jangkung.

"Yaudah celupin aja, tapi—" sebelum Arto selesai berbicara, Wahyu melempar botolnya ke dalam kubangan, mencipratkan darah kemana-mana. "Ah, tolol lu, mas." Arto langsung ke dinding kelas, membersihkan darah yang terciprat, menggosokkan dirinya ke dinding.

"Sori, sori," kata Wahyu sambil tertawa.

"Lebay lu, masa sama darah doang takut," kata Seno dengan nada mengejek.

"Bukan gara-gara darah," kata Arto, dia kembali mendekat setelah sudah bersih. "Tapi gara-gara itu darah manusia."

"Ya emang darah manusia. Lu juga punya darah manusia kan? Eh sori, lu punyanya darah monyet ya?"

"Kak Seno, liat deh itu botolnya," Steven menginterupsi tendangan Arto yang sudah meluncur ke bokong Seno. "Itu logonya gerak-gerak."

Botol itu mengambang di atas darah merah pekat. Sedikit demi sedikit, darah masuk ke dalam botol itu melalui mulutnya, hingga akhirnya botol itu tenggelam. Tetapi, tidak lama kemudian, botol itu kembali ke permukaan, mengambang tenang dengan posisi tegak. Logo botol itu berputar seperti jarum jam sambil mengeluarkan suara tik, tik, tik. Setelah satu putaran penuh, logo itu copot dari botolnya, menunjukkan sebuah kaca bundar dengan pinggiran metal berwarna emas.

Wahyu mengulurkan tangannya, mengambil kaca itu, membersihkan bekas darah yang masih menempel, dan berkata, "monocle? Kita dapet monocle?"

"Monocle tuh apa, mas?" tanya Steven.

"Ini biasanya dipake sama orang-orang jaman dulu gitu; kayak kacamata tapi buat satu mata doang."

"Coba dipake deh, mas." kata Seno.

Wahyu tidak pernah memakai monocle, jadi dia bingung bagaimana cara memakainya. Lantas dia menutup satu matanya dan menggunakan monocle itu seperti teropong. Wahyu tercengang, mulutnya menganga, dan matanya terbuka lebar.

Begitu banyak kata-kata sudah dipelajarinya selama lebih dari 20 tahun hidup, tetapi hanya satu kata yang bisa mendeskripsikan apa yang dilihatnya, "wow."

Ruangan kelas itu sepi, suram, dan menyeramkan, tetapi monocle itu membuat suasana kelas berubah 180 derajat. Dinding-dinding kelas yang gelap sekarang terang benderang; garis-garis panjang memancarkan kelap-kelip sinar hijau berliku-liku di seluruh permukaan dinding seperti sirkuit elektronik. Berjuta-juta partikel kecil berwarna biru mengambang di udara layaknya debu yang berdansa di atas angin, membentuk jalur yang mengarah ke luar kelas. Pemandangannya aneh namun indah, tidak ada duanya, dan membahagiakan hati yang lelah setelah menghadapi pengalaman mengerikan.

Seno, sebal dan penasaran karena Wahyu hanya menganga dari tadi, merebut monocle itu dan mengenakannya. Dia memiliki reaksi yang sama seperti Wahyu, kemudian dia berkata, "ah… speechless gw."

"Steven mau coba juga dong, kak Seno," seru Steven. Seno pun menyerahkan monocle itu ke Steven dengan muka cemberut, enggan berpisah. "Wuih, iya keren banget."

"Coba lu pake juga, mas." Seno menawarkan ke Arto.

"Ga usah makasih," kata Arto dengan muka masam. Bercak-bercak darah di pinggiran monocle itu membuatnya tidak nyaman.

"Dih, harus pake lah, siapa tau ada hubungannya sama teka-teki itu."

Justru karena monocle itu keluar dari logo botol, pastinya akan ada hubungan dengan teka-teki yang harus mereka pecahkan. Tetapi monocle kotor bernoda darah itu bukan sesuatu yang Arto ingin pegang.

Arto mendengus, menoleh ke Wahyu, kemudian merobek sisa lengan baju Wahyu. "Pinjem ya, ntar gw balikin," kata Arto.

"Emang kucing ni orang," kata Wahyu, kesal akan sifat adiknya.

Arto menggunakan kain baju Wahyu untuk memegang monocle agar tangannya tidak ternodai. Dia mengintip melalui monocle itu dan berkata, "riddle-nya bilang 'susul kami menelusuri muara.' Jadi pastinya kita harus ngikutin jalur cahaya biru itu kan?" Arto menengok ke tiga saudaranya, dan mereka mengangguk-angguk. "Yaudah, ayo kita ikutin."

Lantas mereka mengikuti jalur yang mengambang di lorong panjang itu. Wahyu berada di paling depan karena dia yang memakai monocle. Steven, sedikit membungkuk, menggenggam belakang baju Wahyu, takut akan kegelapan yang mengelilinginya. Sedangkan Arto dan Seno bersandingan di belakang, sedang berdiskusi tentang puzzle itu.

Seno bertanya, "kok lu lompat mas?"

"Hah? Kapan gw lompat?"

"Bukan, maksudnya kok di teka-teki tadi ada bait yang lu lompatin."

"Mangkanya kalo ngomong tuh jangan sepatah-sepatah," kata Arto sambil mendecakkan lidahnya. Dia berpikir sejenak, mencubit kecil bibir bawahnya, dan berkata, "maksud lu bait 'berikanlah yang pantas untuknya' itu kan? Kayaknya itu tentang balas dendam."

"Balas dendam? Siapa yang balas siapa yang dibalas?"

"Penduduk desa yang balas dendam, pria itu yang dibalas," kata Arto. Dia diam sejenak sebelum berlanjut, "aneh ga sih, pas dikasih air minum, botolnya ga bereaksi. Tapi pas dikasih darah, botolnya langsung ngasih kita monocle."

"Iya, aneh emang," kata Seno, mengangguk.

"Mungkin maksud dari 'yang pantas untuknya' itu darah, bukan air. Air itu menyimbolkan mereka ingin berdamai dengan si pria pengendali pasukan gajah. Tapi, penduduk desa itu ga mau berdamai; mereka maunya membalas pria yang merusak kedamaian desa mereka. Caranya gimana? Lewat darah, atau pertumpahan darah."

"Loh, kenapa jadi mereka yang marah?" Dahi Seno mengkerut, jengkel dengan penduduk desa yang jahat. "Kan salah sendiri ga ngebantuin pria itu, padahal dia cuma minta padi, air, sama obat loh."

"Padi, air, sama obat emang cuma secuil dari kekayaan desa itu," kata Arto sambil tertawa kecil. "Tapi sejak kapan mereka punya kewajiban untuk merawat orang asing yang tiba-tiba datang terus teriak-teriak di tengah desa?"

Desa itu merupakan komunitas tertutup, dan setiap harinya hanya diisikan dengan senyuman penduduk. Mereka adalah keluarga besar. Lantas orang asing yang datang ke pintu mereka, meminta tanpa membayar, dan teriak bak orang tak waras hanyalah kotoran menjengkelkan. Terlebih orang asing itu berbicara tentang penjajah yang mengejarnya, bukankah keberadaan dia di desa itu dapat mengancam penduduk? Kalau penjajah datang merampas kekayaan penduduk desa, apakah pria itu akan bertanggung jawab lantaran dialah yang diikuti para penjajah?

"Anak pria itu sama anak penduduk desa itu kan ga ngerti apa-apa. Kenapa mereka harus dapat imbas dari orang dewasa yang semena-mena?" kata Seno. "Ga adil banget mereka yang ga bersalah jadi ikutan kena."

Arto mengangguk dan menghela nafas, "keadilan itu fana, bisa ditulis oleh siapapun yang menggenggam penanya."

Mereka berdua terdiam. Seno sedang merenungkan apa yang barusan Arto katakan. Arto juga terdiam, tetapi ujung bibirnya sedikit terangkat; dia bangga dengan dirinya sendiri bisa menemukan kata-kata bijak.

Tiba-tiba Wahyu berseru, "ada pintu di situ."

Lantas Arto, Seno, dan Steven melirik ke arah Wahyu menunjuk, tetapi tidak ada pintu, hanya ada tembok buntu di ujung koridor, pas di sebelah kelas X IPS-1. Namun di mata Wahyu yang meneropong melalui monocle itu, terpapar jelas sebuah pintu menempel di tengah tembok. Pintu itu berwarna coklat dengan ukiran bernuansa klasik, ornamennya meliuk-liuk layaknya ombak; tingginya kurang lebih setinggi orang dewasa. Tetapi gagang pintu itu tidak ada, meninggalkan sebuah lubang di sisi kanan pintu.

"Gagangnya ga ada?" Tanya Arto.

"Mungkin make ini," Steven memegang dua benda yang masih belum terpakai: bola dan tabung. Dia mulai berusaha menyatukan kedua benda itu dengan diputar, disentuh, dan bahkan dipukul.

"Ga gitu kali, coba sini kak Seno coba," kata Seno, mengulurkan tangannya. Tetapi tiba-tiba suara klik yang nyaring keluar di antara dua bola itu.

"Loh, tiba-tiba nyatu," kata Steven, kebingungan. Kedua benda itu mendadak menempel, dan tidak bisa dipisahkan walaupun sudah ditarik sekuat tenaga oleh Steven. Steven menggaruk-garuk kepalanya dan berkata, "ini kali gagangnya, mas Wahyu."

Wahyu mengambil gagang bulat dari tangan Steven. Dia menginspeksi gagangnya dan berkata, "gw coba pake ini ke pintunya, ya. Kalian tutup mata, takutnya nanti keluar cahaya lagi." Wahyu memasukkan gagangnya ke lubang di pinggir pintu.

DUAR!

Pintu itu tiba-tiba terwujud di luar monocle dan terbuka lebar, mengeluarkan bunyi nyaring yang menggema dalam koridor. Di balik pintu itu terdapat sinar putih persegi panjang, seperti secarik kertas polos yang ditempelkan begitu saja di dinding. Permukaannya menyerupai portal yang membawa mereka ke tempat itu, seperti cairan yang menggeliat dan statis secara bersamaan.

Jalan keluar mereka akhirnya sudah ada di depan mata. Cukup melangkah beberapa kali saja dan mereka dapat mencium bumi yang dirindukan. Tetapi mereka mematung karena munculnya suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

OOOOOOOOO!

Lolongan pilu yang menyerupai serigala, harimau, gajah, dan sejumlah makhluk lain, bergaung dalam koridor, berasal dari ujung arah berlawanan, kelas X IPS-4. Kemudian diikuti oleh dentuman-dentuman kencang dengan interval pendek, serta suara remuknya lantai akibat dilindas beban berat. Makhluk tak kasat mata itu sedang berlari ke arah mereka berempat dengan cepat!

"Fuck, fuck, fuck," Wahyu mengacak-acak rambutnya sambil berjalan berputar. "Sembunyi, kita harus sembunyi."

"Iya, kita harus sembunyi terus panggil yang lain," kata Steven.

"Tapi mau ngumpet dimana?" kata Seno. "Monsternya gede banget, kalo dia kesini nanti pintunya bisa ikutan kelindes!"

Selagi mereka bertiga berdebat, Arto terdiam. Pandangannya tenang, mengarah ke koridor dimana monster itu sebentar lagi akan muncul. Dia mengerutkan Alisnya. Walaupun mukanya datar, tetapi jantungnya berdebar-debar, dan mesin di otaknya bekerja keras sampai keluar asap.

Tidak mungkin mereka lari ke kelas X IPS-3 untuk memanggil yang lain. Bukan hanya karena ada makhluk yang menghalangi, tetapi juga karena dari enam orang yang ada di kelas itu, tiga orang diantaranya tidak bisa berlari. Jadi, mau tidak mau mereka berempat harus bersembunyi dan menunggu kesempatan berikutnya.

Tapi apakah kesempatan berikutnya akan datang? Makhluk itu sangat besar, melebihi kapasitas koridor dan kelas, lantas mengapa dia ada di situ? Kenapa dia tidak di lapangan luas dan bisa menampung badannya yang besar? Sama seperti puisi, benda hitam, dan botol, makhluk itu pasti memiliki tugas.

"Ga ada gunanya kebanyakan mikir," kata Arto sambil berjalan ke belakang Seno dan Steven. Dia menendang Seno masuk ke dalam portal putih itu, kemudian mendorong punggung Steven agar mengikuti kakaknya masuk; saat mereka berdua memasuki portal, tubuh mereka lenyap termakan cairan menggeliat itu.

Arto menoleh ke Wahyu, dan berkata, "ayo masuk, cuy."

"Yang lainnya gimana?" Wahyu mengkerut dahinya, suaranya dipertegas. "Lu mau ninggalin mereka?"

"Kagak kok, ini kita ngumpet dulu di situ," Arto menunjuk ke portal putih. "Nanti kalo monsternya dah lewat, kita tinggal manggil yang lain."

"Iya mas, ini bisa keluar masuk kok," kata Seno, hanya kepalanya yang muncul dari portal.

Lantas Arto dan Wahyu pun memasuki portal. Mereka dijumpai dengan sebuah ruangan yang luasnya tidak ada habisnya. Dari ujung ke ujung hanya putih, putih, dan putih. Bahkan lebih anehnya lagi tidak ada bayangan kecuali bayangan dari mereka berempat.

"Tuh, mas, kita masih bisa ngeliat ke dalem," kata Seno. Berdiri sebuah pintu di tengah-tengah keputihan ruangan itu yang menunjukkan koridor. "Ini kayak kaca satu arah gitu."

"Berarti kita bisa balik lagi nanti," kata Wahyu, senyumnya melebar. "Gw pengen coba make monocle ah, pas nanti monsternya dateng."

"Nanti kasih tau ya, mas. Steven juga penasaran," kata Steven.

Arto lagi-lagi terdiam. Sejujurnya dia berbohong ke Wahyu. Maksud dia memasuki portal adalah untuk kabur, bukan untuk bersembunyi. Dia berpikir bahwa portal itu satu arah dan akan langsung membawa mereka keluar. Tapi ini lebih bagus, mereka bisa kembali dan keluar bersama dengan yang lain.

Walaupun Arto sudah lega, masih ada sesuatu yang mengusik pikirannya: apa sebenarnya tugas makhluk itu?

BUM!

Lantai-lantai retak dan hancur dalam sekejap, membentuk lubang besar. Muncul jejak seperti ular yang besarnya hingga atap-atap koridor. Makhluk itu akhirnya datang untuk meneror mereka lagi!

Wahyu langsung menggunakan monocle dan meneropong melalui pintu. Saat dia baru mau memproses bentuk serta penampilan makhluk itu, tiba-tiba dia mematung. Kelopak matanya berkedip-kedip dengan cepat, sedangkan bola matanya berputar ke belakang kepala. Dia mulai hiperventilasi, bahunya naik turun seperti sedang ngos-ngosan. Ujung bibirnya berkedut dan darah mulai mengalir dari satu lubang hidungnya.

"Eh, eh, mas, lu kenapa?" Seno menggoyang tubuh Wahyu.

Arto menepis monocle dari genggaman tangan Wahyu. Lalu dia membujurkan Wahyu, dan menyeretnya jauh dari pintu. "Jangan ada yang make monocle itu lagi!"

BUM! BUM! BUM!

Makhluk itu menghantamkan dirinya berkali-kali ke dinding. Walaupun getarannya tidak merambat ke dalam ruangan putih, suara bak guntur yang menyambar bertubi-tubi tetaplah menyeramkan. Sesekali makhluk itu melolong, sebelum lanjut menghantamkan dirinya ke dinding.

Arto berseru, "eh itu dia ngancurin dindingnya." Dia menoleh ke Seno, "distract dia kalo lu ga mau pintunya ketutup!"

"Kenapa lu nyuruh gw mulu sih?!" Teriak Seno, frustasi. Dia mulai mencari sesuatu yang bisa dilempar. Seno membutuhkan barang yang padat agar bisa mengeluarkan suara kencang. Tapi yang ada di sekitarnya cuma baju, dan baju tidak dapat bersuara kencang apabila dilempar.

Seketika, ujung mata Seno menangkap kilau dari benda yang bundar dan padat. Dia lekas mengambil benda itu, lalu menunggu waktu yang tepat. Saat kesempatannya datang, dia melempar monocle melalui pintu ke arah X-IPS 1!

Tuk… tuk… tuk…

Makhluk itu berhenti menabrakkan dirinya ke dinding. Arto, Seno, dan Steven menahan nafas, berharap dalam hati agar makhluk itu cepat pergi. Namun doa mereka tidak terbalaskan lantaran dia mulai menabrakkan dirinya ke dinding lagi.

"Anjir, ga ngaruh, mas!" Seno berpaling ke Arto, "kita harus ngapain ini—"

Arto hanya terdiam. Dia menundukkan kepalanya dan berkata, "harus ngapain lagi? Gw ga tau harus ngapain lagi…"

Muncul retakan pada pintu penghubung antara ruangan putih itu dengan lorong. Setiap makhluk itu menyeruduk dinding, retakan pada pintu semakin bertambah. Hingga akhirnya dinding itu runtuh, menghancurkan hubungan antara ruangan dengan koridor. Pintu itu sekarang menampilkan layar seperti televisi yang kehilangan sinyal.

Walaupun sudah tidak bisa lagi mereka menggunakan pintunya, suara lolongan masih terus terdengar dalam ruangan putih.

OOOOOOOOO!

Pilu sekali lolongan makhluk tak kasat mata itu, seakan dia sedang menangisi nasibnya yang nahas.