"Kamu yakin?"
Pemuda yang sedang menyantap sarapannya itu melirik sekilas ke arah sang ayah dan mengangguk yakin tanpa banyak bicara.
Ayahnya menghela nafas pelan, "Baiklah. Ayah akan mengabari mereka, dan nanti malam kita langsung ke sana."
Laki-laki itu tersenyum miring, namun samar.
"Tidak perlu mengabari mereka. Anggap saja ini sebagai kejutan."
"Kita lihat, siapa yang akan mendapatkannya."
~Transmigrasi~
"Saran lo berhasil!"
Athena menatap gadis di sebelahnya dan tersenyum. "Gimana hasilnya?"
"Yah, meskipun mama nggak bisa berhenti kerja dalam waktu dekat, tapi mama sudah mulai meluangkan waktu buat gue. Kadang-kadang, mama nelpon gue dan kami jadi makin dekat. Gitu juga sama papah. Tapi papah lebih sibuk dari mama, jadi lebih sering mamah yang ngehubungin gue."
Athena mengangguk paham. "Yang penting ada kemajuan."
Bel pulang sudah berbunyi dari 15 menit yang lalu. Tapi, Athena dan Abel baru saja keluar dari perpustakaan setelah selesai mengerjakan tugas kelompok milik Abel. Abel dan Liam satu kelompok, namun Abel memilih untuk tidak menambah beban Liam dan mengerjakan tugas kelompok itu dengan bantuan Athena.
Mereka berjalan beriringan hingga sampai di depan gerbang, guna menunggu jemputan Abel. Athena hari ini tidak di jemput karena supir yang biasa mengantar-jemput nya sedang mengantarkan Feby ke mall. Jadi, ia akan pulang menggunakan ojek saja.
Ares hari ini tidak masuk lagi karena sedang sibuk dengan urusan keluarga, entah apa. Athena merasa sedikit kesepian dan sedikit...rindu?
"Bel. Gue ke toilet dulu, ya?"
"Mau gue temenin?"
Athena menggeleng, "nggak usah, takutnya jemputan lo datang. Kalo udah di jemput, chat gue aja." Athena melembai sembari beranjak pergi dari sana.
"Oke!"
Abel memilih untuk memainkan handphone saja untuk menghilangkan rasa gabut. Dari ekor matanya, Abel melihat 4 orang gadis mengenakan seragam yang berbeda dari sekolahnya sedang mengarah ke sini. Abel tidak memedulikannya dan positif thinking, 'mungkin dia ada perlu di sini' ?
Namun, semua pikiran positif itu menghilang dikala salah satu dari mereka berbicara padanya.
"Heh, lo Abelle Cecilia 'kan?" kata gadis yang berpenampilan ala bad girl.
Abel menatap mereka dan mengangguk. Apakah mereka ada perlu padanya? Perasaan, Abel tidak mengenal satupun dari mereka.
"Bawa." Perintah gadis tadi dan langsung di balas anggukan oleh ketiga temannya.
Mereka bertiga menyeret Abel menuju salah satu gang sepi yang tidak terlalu jauh dari situ. Murid yang melihat mereka tidak berani menegur dan hanya bertanya-tanya dalam hati karena tatapan tajam gadis yang mengajak Abel berbicara tadi. Namun sebagian juga tidak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan.
"Lepas! Emang gue buat salah apa sama lo pada?!"
"Diam lo!" Bentak gadis dengan rambut pendek yang menyeretnya.
Kedua teman gadis tadi menahan tangan Abel agar ia tidak kabur ataupun melawan. Salah satu dari mereka pergi entah kemana.
"Lo nanya kesalahan lo dimana?"
Abel menatap tanda pengenal di baju gadis itu. Cindy Yuvia.
"Woi! Lo denger gue gak?!" Tanpa ba-bi-bu, gadis bernama Cindy itu melayangkan kepalan tangannya ke perut Abel, lantaran kesal karena tidak dihiraukan. Abel refleks berteriak karena pukulan yang kencangnya tidak main-main itu.
Dua gadis yang menahan lengan Abel meringis ngilu. Salah satu dari mereka baru datang dengan tepung dan sebotol air kotor di kedua tangannya. Dia tampak jijik memegang botol itu.
"Tahan pukulan lo, Cin. Takutnya lo di keluarin dari ekskul karate kalo lo ketahuan, lagi." Peringat teman Cindy berambut bergelombang yang juga sedang menahan Abel.
Cindy mengangguk malas, "Iya-iya."
Cindy terlihat meregangkan tubuhnya. Rasanya, Abel ingin menangis saja saat ini. Seumur hidup, baru kali ini ia merasakan yang namanya, pembullyan.
"Gue mau nanya." Cindy mendekatkan wajahnya hingga wajah Abel termundur. "Lo ada hubungan apa dengan Liam?"
Suara bernada rendah namun terdengar mengerikan itu membuat air mata yang sedari tadi ia tahan keluar. Abel ketakutan!
PLAKK
Pipi Abel terasa panas dan perih. Abel memberontak lemah minta di lepaskan. Suaranya mendadak tidak bisa keluar dan emosi yang ia rasakan hanya bisa tersalurkan melewati air mata.
Cindy mencengkeram dagu Abel dengan jari lentiknya.
"Kenapa nangis, hm?"
"Lepas." Lirih Abel.
Cindy berdecih, "Jadi cewek kok lemah. Bisa-bisanya lo dekat dengan Liam. Oh, apa jangan-jangan lo deketin Liam pake cara nangis-nangis biar Liam luluh? Atau jangan-jangan..."
Cindy tampak memperhatikan tubuh Abel dengan tatapan jijik, "Lo jual tubuh?"
Sebuah jari lentik dengan kuku yang panjang mengarah ke leher Cindy. Cindy menatap sang pelaku yang berani-beraninya menantangnya, si juara karate bertahan.
"Lepasin Abel."
Abel merasa lega. Akhirnya, Athena datang.
Flashback on
Athena kembali ke gerbang dan tidak menemukan Abel. Ia mengecek HP-nya, tidak ada pesan dari gadis itu. Athena berfikir positif, mungkin Abel lupa mengabarinya? Atau ponselnya habis daya?
Athena mengirim pesan kepada Abel dan mengabari bahwa ia akan pulang.
Athena menghela nafas lelah. Uang yang ia sisihkan untuk ojek hilang. Ia juga sudah mencoba menghubungi Theo, namun tidak ada jawaban. Apes sekali.
Athena berjalan gontai sembari memasangkan headset di telinganya.
Belum sempat dirinya memutar lagu, suara gaduh namun samar memasuki Indra pendengarannya.
Athena ingin tidak peduli, namun rasa penasarannya tak tertahan. Athena melepaskan headset yang sempat ia pasang tadi dan menyimpannya di kantong bersama handphone.
Athena mengintip dari balik pohon. Sepertinya, tidak ada yang menyadari keberadaannya.
Namun, seseorang yang sangat ia kenali berada di sana. Athena menatap tajam gadis yang berani-beraninya membuat temannya menangis.
Athena mengeluarkan handphonenya dan mengambil satu foto. Setelahnya, ia menaruhnya di atas batu dengan kamera video yang menyala.
Athena tersenyum kesal dan mendekat secara diam-diam.
"Untung gue nggak bawa pisau."
Flashback off
=============♤=============