Athena memegang kepalanya yang sedikit pening. Kejadian di taman tadi membuat kepalanya sakit dan matanya sembab.
Alea tau, tadi Athena yang asli mengambil alih raga itu. Setelah usai melepas rindu pada Theo, Athena mengembalikan raga itu kepada Alea. Alea di buat bingung oleh gadis itu.
Suara tanda pesan masuk membuat Alea yang kembali berada di raga Athena membuka handphonenya.
Di sana, grup yang berisikan dirinya, Ares, Abel, dan Liam nampak ramai. Athena membuka grup itu dan membaca satu persatu pesan di sana.
Athena terbelalak dan langsung berlari menuju kelas. Athena mengambil tasnya dan bergegas keluar.
Tanpa menghiraukan panggilan dari guru yang melihat aksinya, Athena menerobos keluar pagar dan mendatangi salah satu pangkal ojek yang tidak jauh dari sana.
"Bang! Anterin saya ke rumah sakit *****." Kata Athena tergesa-gesa.
"Siap neng."
Setelah memasang helm, motor itu melaju dan berbaur di jalanan kota yang ramai. Athena kembali membuka ponselnya dan membaca ulang pesan yang di kirimkan oleh Liam.
Liam
Keadaan Silla makin parah. Kalo kalian ada waktu, bisa ke sini?
Liam
Gue mau minta tolong. Gue mohon
°•°•°•
Athena berlari di koridor rumah sakit, hingga sampai di depan ruangan yang ia tuju. Di kursi tunggu depan ruangan, Liam sedang menunduk. Di sebelahnya, ada Abel yang mengelus pundak tegap itu.
"Ah, Athena. Maaf, gue manggil kalian pas lagi sibuk. Lo pasti bolos ya." Kata Liam tersenyum paksa.
Athena tersenyum, "Nggak papa. Teman gue jauh lebih penting."
Ares keluar dari ruangan dengan pakaian yang terlihat sedikit kusut. "Silla udah tidur. Ya meskipun dengan obat penenang." Kata Ares memelan di akhir kalimatnya.
Liam kembali menunduk. "Terima kasih."
Athena berjongkok di depan Liam. "Semuanya bakal baik-baik aja."
Liam mengangguk pelan. Abel dengan kesal menarik kepala Liam dan memeluknya.
"Kalo mau nangis, nangis aja. Gak usah di tahan-tahan." Kesal Abel.
"Lo ngapain, njir. Lep--" Ucapan Liam terpotong,
"Lo tau? Selain cerita ke orang lain, nangis juga bisa ngurangin semua beban lo. Gue paham perasaan lo. Gue tau lo takut kehilangan."
Liam terdiam. Laki-laki itu menyembunyikan wajahnya di bahu Abel....dan menangis. Meski tidak terlalu terdengar, mereka tau Liam sedang menumpahkan bebannya melalui air mata.
"Kalo gitu, gue dan Ares beli makanan dulu ya?" kata Athena mengedipkan sebelah matanya.
"Tung--"
"Dah!"
Athena langsung menyeret Ares dan membiarkan Abel dan Liam berdua. Abel mendadak salting dan mengelus rambut Liam dengan kaku.
"Udah, ya? Jangan nangis lagi."
"Gue salting b*ngs*t."
Abel mendorong tubuh Liam pelan, namun Liam menggenggam tangan Abel dan Abel terdiam, tidak jadi melepaskan pelukannya. "Jangan liat gue. Gue malu." Abel membalasnya dengan mengangguk kaku.
"Semoga dia nggak dengar suara jantung gue."
°•°•°•°•
Ruangan Silla nampak senyap. Hanya ada percakapan singkat karena masing-masing dari mereka sedang sibuk dengan makanan dengan makanannya. Mereka hanya duduk lesehan di lantai ruangan khusus ini.
Liam mendadak sujud, "Gue mohon. Bantu gue cari pendonor, secepatnya."
Abel, Ares dan Athena menatap Liam kaget. Ares memukul kepala Liam dengan remot tv hingga Liam meringis dan menatap Ares kesal.
"Gak usah pake sujud-sujud napa. Kalo mau minta tolong, nggak usah sungkan!"
"Gak usah di pukul juga beg*!" kesal Liam tertahan.
"Sorry, refleks."
"Oke. Nanti gue bantu." Kata Abel.
"Beneran?" tanya Liam antusias.
Abel mengangguk kaku karena wajah mereka saat ini sangat dekat.
"Makasih!"
"Nanti gue coba cari juga."
Liam nampak senang, "Makasih, semuanya."
°•°•°•°•
Abel baru saja pulang dari rumah sakit. Gadis itu memasuki rumahnya yang terbilang besar, namun terasa sangat sepi.
Abel di sambut oleh seorang wanita paruh baya yang sudah merawatnya sejak kecil, Bi Lilis namanya.
"Nak Abel mau makan apa?"
"Nggak usah Bi. Abel tadi udah makan bareng temen. Bibi makan aja, pasti bibi belum makan."
Bi Lilis mengangguk paham, "Ya udah, kalo gitu bibi makan dulu ya. Nanti kalo butuh apa-apa, panggil bibi. Oke?"
Abel menirukan gaya hormat, "Siap bi."
Bi Lilis tersenyum lembut dan mengelus rambut Abel sekilas. "Masuk kamar, terus ganti baju. Jangan begadang."
"Gak janji bi." Abel mencium pipi Bi Lilis dan langsung berlari menuju kamarnya.
Abel menghempaskan tubuhnya di kasur dan memandang langit-langit kamarnya sembari menjelajahi masa lalunya hingga sekarang.
Entahlah, ia jadi teringat masa lalu yang selalu membuat dadanya sesak. Abel selalu berusaha untuk terbiasa, namun ia tidak bisa.
Sejak dulu, orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan dan selalu mengirimkan uang yang banyak kepadanya. Saking sibuknya, mereka sampai menitipkan Abel kepada seorang pengasuh. Mereka sangat jarang pulang dan selalu sibuk jika sedang di hubungi. Abel sedih.
Bahkan, Abel pindahan saja mereka tidak datang, untuk sekedar perpisahan. Hanya ada Bi Lilis yang setia bersamanya hingga sekarang. Sampai-sampai, Abel menganggap bahwa Bi Lilis adalah ibunya.
Jika di luar Abel terlihat bahagia dan baik-baik saja, maka percayalah itu hanya sebuah topeng, dan bagai sebuah pelarian. Menyembunyikan kesedihan di balik tawa.
Tiba-tiba, matanya serasa panas dan dadanya sesak. Abel duduk dan tersenyum tipis, berusaha menguatkan dirinya. Bukankah ia harus terbiasa begini? Berada dalam zona kesepian dan butuh kasih sayang.
"Ah, iya. Gue harus bantu Liam."
Abel mengambil laptopnya dan berniat mencari pendonor via online.
"Fighting!"
=============♤============