Beberapa hari berlalu.
Di kelas baru, kelas sains. Erlan tetap menjadi pusat perhatian di sana.
Erlan mencuri perhatian para gadis di sana. Dalam waktu singkat ia berhasil menarik perhatian mereka dan membuat mereka berlomba-lomba tebar pesona di depannya demi mendapat perhatiannya.
"Jika begini aku tak perlu susah-susah mencari korban selanjutnya," batin Erlan sembari melempar senyum manis pada para gadis yang sedang duduk mengerubunginya di luar kelas.
"Erlan, kapan kau ada waktu luang? Aku ingin berjalan-jalan saja dengan mu," ucap seorang gadis menatapnya dengan malu-malu.
"Aku tahu tempat di sekitar sini yang bagus pemandangannya. Apa kau ingin pergi ke sana? Maka aku akan mengantarmu." ujar seorang gadis lainnya.
Erlan lagi-lagi tersenyum manis di depan para gadis cantik itu. Padahal dalam hati dia mengumpat habis-habisan.
"Dasar wanita bodoh. Betapa mudahnya kalian semua tertipu oleh wajah tampan ku ini. Tapi tak apa, jika kalian tak bodoh. Maka ini meringankan kerjaku." batinnya tersenyum lagi.
"Senyum mu manis sekali, Erlan." tutur gadis lainnya lagi, seperti tertarik pada senyum pria itu yang mengandung magnet.
Membuat mereka semua juga seperti tertarik sebuah medan magnet besar yang membuatnya selalu mendekati sumber magnet itu, Erlan.
"Maaf, aku ada urusan di luar jam kuliah ada kesibukan lain. Tapi kapan begitu, aku akan meluangkan waktu untuk kalian," jawab Erlan, mencoba peduli dan perhatian pada mereka.
Tanpa mereka ketahui, padahal Erlan sedang memburu mereka satu per satu.
Dari belakang Erlan terlihat sepasang mata menyilaukan menatap ke arahnya.
Erlan tentu saja tahu dan menyadari keberadaan sepasang mata itu. Ia menoleh ke belakang sebentar, kemudian memberikan kode.
Kode yang hanya dimengerti oleh kaum mereka saja, sesama werewolf.
Melihat kode dari Erlan, sepasang mata serigala tadi pun bergerak mundur dan menjauh dari sana dengan cepat.
Di Knoxville pada pagi hari di mana langit sedikit mendung saat ini dan juga turun gerimis lembut.
Semua warga di sana keluar dari rumah, tepatnya sedang beraktivitas pagi. Termasuk Eloise.
Ia ikut keluar rumah setelah beberapa hari sama sekali tak keluar rumah.
"Eloise, kemari!" panggil Nyonya Miel, melihat gadis itu Baru beberapa langkah keluar dari rumah.
"Ya, Nyonya Miel."
Eloise mendekat, dan kini berdiri tepat di depannya. Di sampingnya banyak orang lalu lalang di jalanan.
Bahkan ada sekumpulan orang seperti berjalan beramai-ramai, mengundang perhatian Eloise.
"Mereka mau kemana, Nyonya Miel?" tanya Eloise menggerakkan biji matanya ke kiri.
"Apa kau lupa hari apa ini?"
Eloise yang jelas tidak tahu sama sekali segera menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Hari ini hari adalah hari bumi. Warga membawa semua hasil panen kebun juga tangkapan ikan ke kota untuk di jual." jelas Nyonya Miel.
Warga Knoxville memang selalu membawa hasil panen ataupun tangkapan ikan di hari bumi, yang jatuh empat bulan sekali setiap tahunnya.
Warga kota suka membeli hasil panen mereka yang berkualitas bagus. Dan tentu saja momen seperti ini tak boleh dilewatkan begitu saja oleh warga untuk mengisi dapur mereka agar mengepul.
"Jadi, apa aku boleh mengikuti mereka ke sana meski tak menjual hasil bumi?" tanya Eloise penasaran.
Jujur saja, selama tinggal di rumah kayu kecil sederhana ini karena terbiasa tinggal dan hidup di kota meskipun dia juga berasal dari desa, Eloise merasa sedikit bosan berada di rumah.
Tak tahu apa pun di sana. Tak ada minimarket, atau tempat hiburan seperti di kota yang dirindukannya.
"Kau ikut saja dengan kami jika begitu." Bukan Nyonya Miel yang menjawab saat ini melainkan Rob.
"Oh, benarkah? Aku boleh ikut kalian? Terimakasih sekali." soraknya, tersenyum lebar.
Pasangan suami istri itu bahkan sampai saling menatap. Baru kali ini mereka melihat reaksi Eloise yang seriang itu, sebelumnya tak pernah begitu.
Eloise merupakan gadis pendiam meskipun sering keluar rumah.
"Baiklah, tunggu sebentar." ucap Rob lagi.
Pria itu lalu masuk ke rumah dan mengambil hasil panen jagung serta gandumnya.
Ada tiga ember hasil panenan mereka. Eloise pun tanpa diminta, langsung membawa satu ember gandum.
"Eloise, itu biar aku saja yang bawa." ucap Rob, meminta ember yang di bawa gadis itu.
"Tidak apa Tuan Rob, biar aku saja yang bawa. Inipun rasanya enteng." tolak Eloise, merasa tak enak hati. Mengikuti mereka tanpa membantu sama sekali.
Entah kenapa ember berisi gandum 10 kilo itu rasanya sangat ringan seperti mengangkat beban seberat sekilo saja, bagi Eloise.
Mereka bertiga kemudian bergabung dengan rombongan lainnya menuju ke kota.
"Apakah masih lama?" tanya Eloise setelah berjalan selama satu jam lebih lamanya.
"Sudah hampir sampai, mungkin 30 menit lagi kita tiba di kota." timpal Nyonya Miel.
Di tengah jalan tiba-tiba ada beberapa serigala yang lewat di depan rombongan itu.
Serigala itu berhenti dan mengepung rombongan tersebut.